FILSAFAT ILMU
JURUSAN BIOLOGI
2017
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Oleh karena, etika merupakan salah satu cabang dari kajian filsafat,
maka sangatlah perlu untuk mengupas tuntas tentang permasalahan etika yang
bersandarkan pada ruanglingkup filsafat. Sehingga dapat diketahuilah tentang
pandangan para pemikir atau para ahli filsafat tentang etika. Tujuan etika dalam hal
ini adalah untuk mendapatkan sesuatu yang ideal bagi semua manusia ditempat
manapun dalam waktu apapupun juga mengenail penilaian baik atau buruk. Namun
ukuran baik dan buruk sangat relatif sebab sangat tergantung pada keadaan suatu
daerah dan suasana suatu masa. Etika menentukan ukuran atas perbuatan manusia.
Oleh karena itu, dalam mengusahakan tujuan etika, manusia pada umumnya
menjadikan norma yang ideal untuk mencapai tujuaan tersebut.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka latar belakang makalah ini
sebagai berikut:
TUJUAN MAKALAH
3. Untuk mengetahui perbedaan etika, norma dan sikap yang tepat sebagai
mahasiswa/ilmuwan dalam etika ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
Sumber-Sumber Ilmu
1. Menurut paradigma filsafat barat
a. Idealisme
Pertama, idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat fisik
hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme
diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme atau
nasionalisme menitik beratkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-
bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-
347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa
hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh
karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang
berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu
pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti
bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil
pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan
kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide",
suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya
(S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami
segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat
kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena
itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan yang tampak dalam wujud
nyata alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya.
b. Empirisme
Alam ini merupakan sumber pengetahuan yang terbuka luas bagi setiap
manusia. Alam yang memiliki hukum yang pasti dan konstan akan membentuk
pengetahuan manusia. Karena hukum alam itulah manusia secara bertahap dapat
mengendalikan alam dan mengadakan pengembangan melalui eksperimen dan
riset secara berulang. Berbagai persoalan yang berkaitan dengan struktur, kondisi
dan kualitas alam, secara bertahap dapat dikuasai dan diatasi manusia .
Hukum alam dan Al-Quran bersumber dari sumber yang sama, yakni Allah
SWT. Oleh karena itu, alam mempunyai kaitan erat dengan ayat-ayat Al-Quran.
Di antara kaitan tersebut, Al-Quran memberikan informasi tentang keadaan alam
pada masa yang akan datang, yang belum bisa diramalkan oleh ilmu pengetahuan.
Al-Quran juga memberikan informasi peristiwa masa lampau yang hanya
diketahui oleh kalangan yang sangat terbatas. Terkadang Al-Quran mempertegas
penemuan para ahli dan terkadang memberi isyarat untuk dilakukan penyelidikan
secara akurat, Al-Qur-an juga memberikan motivasi kepada para ilmuan untuk
melakukan kajian atau pembahasan suatu persoalan dan memerintahkan agar
mendiamkannya (tawakuf) serta menyerahkan segala urusanya kepada Allah
SWT. Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui kajian dan penelitian terhadap
alam ini pada akhirnya akan menunjukkan kebesaran akan menunjukkan
kebesaran Yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam
surat AliImran ayat 190 dan 191.
Di kalangan ilmuan muslim, banyak sekali penemuan ilmuan yang orisinal
(sebagai hasil eksperimen, observasi, atau penelitian) yang terus dikembangkan
dan menjadi milik dunia ilmu pengetahuan modern, termasuk yang kemudian
dikembangkan oleh para ilmuan barat. Para ilmuan muslim, terutama yang
muncul pada masa keemasan islam (abad ke 7-13) banyak memberi kontribusi
pada perkembangan sains modern, seperti bidang kimia, optika, matematika,
kedokteran, fisika, astronomi, geografi, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu
adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan
mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya.
Ada diantara ilmu-ilmu tersebut diberikan melalui insting, ada diantaranya yang
diberikan melalui panca indera, ada lagi yang diperoleh melalui nalar (akal),
adalagi yang ditemukan melalui pengalaman dan penelitian empirik, dan ada yang
lain didapatkan melalui wahyu seperti yang didapatkan para Nabi/Rasul. Tetapi
sumber dari semua ilmu itu adalah Allah, dan dari teologi inilah kemudian
muncul istilah trasendentalisasi ilmu, yang artinya bahwa semua ilmu itu tidak
dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan dan keyakinan seperti ini
akan mempengaruhi konsep dan system pendidikan islam
Kalaau dibarat ilmu pengetahuan beranjak dari premis kesangsian, maka
dikalangan agama samawi, termasuk islam, ilmu-ilmu itu bersumber dari premis
keimanan, suatu keimanan yang memberikan keyakinan, bahwa kebenaran yang
absolute itu hanya ada pada wahyu, termasuk kebenaran ijtihadi dalam upaya
menafsirkan wahyu tersebut. Al-quran dan As-Sunah yang sahih mempunyai
tingkat kebenaran absolute, tetapi ilmu-ilmu ijtihadi seperti ilmu kalam atau ilmu
fiqih dan lain-lain, tingkat kebenarannya adalah relative. (Muhammada Talhah
Hasan,2006:39)Allahlah sumber segala ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu yang
dikuasai manusia selama ini sangat terbatas dan sedikit sekali apa bila
dibandingkan dengan ilmu Allah. Tuhan telah memberikan ilmu-Nya kepada
manusia dan mahluk-mahluk lainnya seperti malaikat, dengan beberapa cara
seperti dengan ilham, instink, indra, nalar (reason), pengalaman dan lain
sebagainya. Atau dengan istilah lain, melalui penelitian dan survey, juga melalui
penelitian laboratories, dan ada juga yang melalui kontemplasi/perenungan yang
tajam dan melalui informasi wahyu yang diterima para Rasul Allah. Itu semua
merupakan cara-cara yang digunakan oleh Allah untuk memberi ilmu
pengetahuan, informasi, kemampuan nalar dan kecakapan kepada manusia, tetapi
sumbernya tetaplah Allah.
Prof. DR. Cecep Sumarna mengatakan, bahwa dikalangan filosof dan saintis
muslim berkembang sebuah pemikiran bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah
wahyu. Bagi umat islam hal itu termanifestasi dalam bentuk Al-Qran dan As-
Sunah. Sumber Al-Quran ini bukan hanya mendampingi sumber pengetahuan
lain, misalnya sumber empiris yang faktual/induktif dan rasional/deduktif. Al-
Quran bahkan dapat dianggap pemegang otoritas lahirnya ilmu. Dalam perspektif
islam, alam menjadi sumber empiris pengaruh modern, adalah wahyu Tuhan juga.
Ia adalah symbol terendah dari Tuhan Yang Maha Tinggi dan sekaligus Maha
Qudus. (Prof. DR. Cecep Sumarna; 2008:111). Selain empiris dan rasional,
sumber ilmu pengetahuan yang lain adalah intuisi dan wahyu. Melalui intuisi
manusia mendapati ilmu pengetahuan secara langsung tidak melalui proses
penalaran tertentu, sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang didapati melalui
pemberian Tuhan secara langsung kepada hamba-Nya yang terpilih yang
disebut Rasul dan Nabi.
DR. Ahmad tafsir mengatakan, bahwa menurut Al-Quran semua pengetahuan
datang dari Allah, sebagian diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian
lain diperoleh manusia dengan menggunakan indra, akal, dan hatinya.
Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolute, sedangkan
pengetahuan yang diperoleh dari indra kebenarannya tidak mutlak. (DR. Ahmad
tafsir; 2008: 8)
Bagi orang islam sumber pengetahuan adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain
yang datang dari Allah. Sumber pertama itu sekarang ini adalah Al-Quran atau
hadits Rasul. Demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada
pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan
indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari
sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma
empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan tersebut tetap dilakukan
secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa baru diantara keduanya
itu. Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan
bahwa :
Liang Gie (1987) dalam Ihsan Fuad (2010) memberikan pengertian ilmu adalah
rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk
memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai
seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala
yang ingin dimengerti manusia.
1. Etika adalah norma manusia harus berjalan, bersikap sesuai nilai/norma yang
ada.
2. Moral merupakan aturan dan nilai kemanusiaan (human conduct & value),
seperti sikap, perilaku, dan nilai
3. Etiket adalah tata krama/sopan santun yang dianut oleh suatu masyarakat dalam
kehidupannya .
4. Nilai adalah penetapan harga sesuatu sehingga sesuatu itu memiliki nilai yang
terukur
Aholiab Watloly (2001) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal
memahami tanggungjawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab, secara
etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu; tanggung dan
jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini, wajib
menanggung dan wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri
maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan,
dan lembaga keilmuan bukan hanya berdiri di depan tugas keilmuannya untuk
mendorong kemajuan ilmu, dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga harus
berdiri di belakang setiap akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu adalah sifat
keterbatasan. Tanggung jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan, dalam arti
bahwa, tanggung jawab itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan sendiri oleh ilmu
dan ilmuwan sebagai manusia, tetapi merupakan pemberian kodrat. Sebagaimana
manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, tetapi menerimanya sebagai
pemberian kodrat maka demikian pula halnya ia tidak dapat menciptakan tanggung
jawab. Manusia hanya menerima dirinya dan tanggung jawabnya, serta menjalaninya
sebagai sebuah panggilan kodrati dan tunduk padanya.
Hubungan etika dan ilmu berarti juga penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggung jawab etis menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan
martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum,
dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut. Manusia disebut
etis adalah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat
hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pribadi
dengan orang lain, antara rohani dengan jasmani, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis,
yang dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa
yang benar dan apa yang tidak benar.
Manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama dengan alam dan berada di
dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan membudayakan dirinya
bilamana manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya. Manusia yang
merupakan bagian alam tidak hanya merupakan bagian yang terlepas darinya.
Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai dengan martabatnya maka
manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa merupakan pusat dari alam
itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan alam ada hubungan
yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itulah, maka manusia harus
senantiasa menjaga keles-tarian alam dalam keseimba-ngannya yang bersifat mutlak
pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa
lebih-lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga kelesta-rian dan
keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan sudah barang
tentu mereka juga perlu memiliki visi moral yaitu moral khusus sebagai ilmuwan.
Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. (Abbas Hamami
M., 1996)
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini disebabkan oleh karena
sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan
ilmiah yang bersifat obyektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah
membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu
ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara
sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat
dipertanggungawabkan kepada Tuhan. Artinya selaras dengan kehendak manusia
dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996)
sedikitnya ada enam , yaitu:
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan
untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih
atau kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang
beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-
masing, atau , cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing
menunjukkan akurasinya.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap
alat-alat indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah
mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas
terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset,
dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak
untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia,
lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
Disamping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada
etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok-kelompok ilmuwan
tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika-etika
profesi lainnya.
a. Deskripsi
b. Preskrepsi
c. Eksposisi pola
d. Rekonstruksi historis
Dari sejumlah fenomena alam yang teramati seorang ilmuwan memiliki masalah
mana yang patut mendapatkan perhatian bila masalah ini telah diidentifikasikan dan
dirumuskan lebih lebih tegas, maka dilakukan proses pengamatan dan pengamatan
dan pengukuran ditarik kesimpulan yang boleh jadi berbentuk pengujian teori. Bila
teori ini digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis atau membimbing
kegiatan operasional,maka berarti kita sudah masuk ke dalam penerapan ilmu,kita
akan melihat bahwa dalam seluruh tahap ini etika tidak dapat diabaikan atau
dipinggirkan. Dengan rumusan ruang lingkup filsafat sebagaimana diuraikan di atas,
menjelaskan bahwa salah satu kajian besar dalam filsafat adalah persoalan etika dan
juga estetika yang tertuang dengan kesopanan dan kesatunan.
Kelebihan seorang ilmuwan adalah bahwa ia bisa berpikir secara teratur dan
cermat sehingga dengan kemampuan inilah, ia sekaligus memiliki tanggung jawab
social untuk memperbaiki dan meluruskan pikiran masyarakat yang keliru.
Kebenaran epistemologis dalam hubungannya dengan tanggungjawabnya sosialnya,
bukan saja berfungsi sebagai jalan pikiran yang tertata secara epsitemologis, namun
seluruh hidup dan kehidupan ilmuwan merupakan prototype kebenaran itu sendiri.
Khusus dalam bidang etika, ilmuwan bertanggungjawab untuk mengarahkan
kehidupan yang lebih objektif, terbuka, dan menerima kritik, menerima pendapat
orang lain, kukuh dalam memperjuangkan kebenaran, kalau perlu mengakui
kesalahannya secara terbuka didepan masyarakat (Watloly, Aholiab: 2001).
KESIMPULAN
Ada hubungan yang sangat erat antara filsafat, etika dan ilmu. Landasan
filosofis ini menjadikan ilmu masih tetap pada hakekat keilmuannya. Ilmu sebabagi
bidang yang otonom tidak bebas nilai. Ia selalu berkaitan dengan nilai-nilai etika
terutama dalam penerapan ilmu. Etika sebagai salah satu cabang dalam filsafat akan
memberikan arahan (guiedence) bagi gerak ilmu, sehingga membawa kemanfaatan
bagi manusia. Jadi bisa disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu moral/ilmu akhlaq
yang mengindikasikan hal-hal pra tindakan yang berupa pengetahuan serta pemikiran
tentang hal/tindakan baik dan buruk.
DAFTAR PUSTAKA