Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis adalah infeksi pada saluran nafas atas yang sangat menular dan
menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri dengan suara nafas
(melengking/whoop). Batuk akan berhenti setelah ada suara melengking pada
waktu menarik nafas, kemudian akan tampak letih dengan wajah yang lesu. Batuk
semacam ini terutama terjadi pada malam hari. Pertusis disebabkan oleh infeksi
bakteri Bordatella pertusis yaitu suatu kokobasilus gram negatif yang tidak
berspora. Bakteri ini mampu bertahan pada suhu 0 100c, dan mati pada
pemanasan suhu 500c selama setengah jam. Organisme ini menghasilkan toksin
yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistematik berupa
sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai mengi
karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk
disertai bunyi yang khas.

Centers of Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2010,


melaporkan kasus pertusis di Amerika Serikat adalah 27.550 kasus dan 27 kasus
kematian. Sedangkan pada tahun 2011, kasus pertusis terbanyak pada usia 11
sampai 19 tahun yaitu sebanyak 47% dan pada anak-anak usia 7-10 tahun sekitar
18% kasus.

Pertusis ditularkan melalui udara lewat partikel yang keluar dari saluran
pernapasan ketika batuk atau bersin, atau kontak langsung dengan orang yang
terinfeksi melalui cairan (sekret) yang dihasilkaan oleh nasofaring (saluran antar
hidung dan tenggorokan). Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bardotella
pertussis terjadi melalui empat tahap yaitu perlekatan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, ddan akhirnya timbul penyakit
sistematik. Bakteri ini menginvasi sel epitel bersilia saluran nafas, kemudian
bermultiplikasi dan menghasilkan toxin sehingga menyebabkan inflamasi dan
nekrosis trakea dan bronkus. Terjadi pembengkakan kelenjar limfoid peribronkial
dan nekrose sel epitel basal pada bronkus.

1
Perjalanan kinis penyakit ini dpat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu
stadium kataralis (prodromal, pra paroksismal), stadium akut paroksismal
(spasmodik), dan stadium konvalesens.untuk menegakkan diagnosa selain dari
anamnesa, pemeriksaan fisik, dokter biasanya juga akan melakukan pemeriksaan
darah lengkap, kultur secret nasofaring, tes serologi, ELISA (enzyme linked
immunosorbent assay) dan foto thoraks.

Komplikasi terparah biasanya terjadi pada bayi berupa : pneumonia


(peradangan jaringan paru), atelektase (kolaps jaringan paru), bronkiektasis
(infeksi kantong saluran nafas kecil) dan apnoe (henti nafas). Yang biasa
menyebabkan kematian adalah pneumonia dan apnoe.

Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal.


Pencegahan dapat dikalukan melalui imunisasi aktif dan pasif. Komplikasi
terutama terjadi pada sistem pernafasan dan saraf pusat. Prognosis tergantung usia
anak, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik.

Diare adalah perubahan pola defekasi dan frekuensi lebih dari tiga kali
sehari dengan perubahan konsistensi tinja menjadi lebih lunak sampai cair.

Infeksi saluran pencernaan disebabkan oleh berbagai enteropatogen,


termasuk bakteri,virus dan parsit. Dua tipe dasar diare infeksi akut adalah radang
dan non rdang. Pemeriksaan laboratorium untuk mengenali pathogen diare sering
tidak diperlukan, karena kebanyakan episode sembuh sendiri. Semua penderita
dengan diare memerlukan dukungan nonspesifik lain dan beberapa mendapat
manfaat dari terapi antimikroba.

Komplikasi tersering yang dapat timbul dari gastroenteritis adalah


terjadinya dehidrasi yang jika tidak ditangani dengan cepat dapat mengakibatkan
keadan yang lebih buruk bahkan kematian, komplikasi yang lain adalah adanya
asidosis metabolik yang dapat terjadi akibat peningkatan kehilangan basa.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

KASUS

Dokter Ruangan : dr. Virani


Dokter Muda : Nurholis Majid, S.Ked

IDENTITAS PASIEN :
Nama : By. H
Usia : 11 bulan
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Suku Bangsa : Kaili
Nama Ayah : Tn. Ma Usia : 32 tahun Perkawinan I
Pekerjaan : wiraswasta
Pendidikan : Tsanawiyah
Nama Ibu : Ny. Ro Usia : 30 tahun Perkawinan I
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Kartini no.14, Palu
Tanggal masuk ruangan /jam : 21 Februari 2015/ 16.10 (Nuri Bawah)
Tanggal keluar ruangan /jam : 6 Maret 2015/ 13.40
Jumlah hari perawatan : 14 hari
Diagnosis : Pertusis + diare akut
Anamnesis diberikan oleh : Ibu pasien
Anak pertama/ tunggal
Anak Kandung

3
Family Tree :

ayah
ibu

By. H

ANAMNESIS :
Keluhan utama : Batuk-batuk
Riwayat penyakit sekarang :
Batuk dialami sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, batuk berlendir
warna putih. Pada saat sekali batuk, suara batuk dapat terdengar berulang dan
terus menerus lebih dari 6x dan di akhiri dengan suara yang melengking, setelah
batuk wajah tampak merah sampai biru dan anak seperti menarik napas panjang
lalu mengeluarkan lendir dari mulutnya kemudian menangis. Panas dialami sejak
2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien nampak sesak napas, perut
kembung (-), BAK lancar, BAB lancar.

Riwayat Antenatal Care :


Riwayat kehamilan ibu yakni G1P0A0 dengan riwayat Ante Natal Care
(ANC) yang tidak rutin di puskesmas. Pasien merupakan Anak pertam/tunggal.
Lahir normal di rumah sakit, langsung menangis. Berat badan lahir 2.800 gram,
panjang badan lahir 47 cm.

Riwayat Penyakit dahulu :


a. Morbili : Belum pernah

4
b. Varicella : Belum pernah
c. Pertusis : Belum pernah
d. Diare : Belum pernah
e. Cacing : Belum pernah
f. Batuk/pilek : Belum pernah
g. Lain-lain : Demam yang hilang timbul

Riwayat Tumbuh kembang :


- Membalik : 3 bulan
- Tengkurap : 3 bulan
- Duduk : 8 bulan
- Merangkak : 11 bulan
- Berdiri : -
- Berjalan : -
- Tertawa : 4 bulan
- Berceloteh : 7 bulan
- Memanggil papa mama : 9 bulan

Anamnesis Makanan :
- Usia 0-6 bulan : ASI
- Usia 7-8 bulan : ASI + susu formula
- Usia 9-10 bulan : ASI + susu formula + bubur sun
- Usia 11 (sekarang): Bubur
Riwayat Imunisasi :
Pasien tidak pernah mendapat imunisasi apapun sejak lahir.

5
Anamnesis Keluarga
Ikhtisar keturunan : Pasien merupakan anak pertama dan belum
memiliki saudara

Riwayat penyakit dalam keluarga :


Tidak ada keluarga dirumah yang sakit serupa. Tidak ada keluarga yang
memiliki riwayat alergi, hipertensi, asma atau diabetes.

Riwayat kebiasaan dan lingkungan :


Di dalam rumah pasien, juga tinggal kakek nya, yang setiap harinya memiliki
kebiasaan merokok. Tetangga pasien juga merupakan perokok aktif.
Ikhtisar perjalanan penyakit :
Seorang bayi perempuan umur 11 bulan masuk RS. ANUTAPURA PALU
dengan keluhan Batuk dialami sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, batuk
berlendir warna putih. Pada saat sekali batuk, suara batuk dapat terdengar
berulang dan terus menerus lebih dari 6x dan di akhiri dengan suara yang
melengking, setelah batuk wajah tampak merah sampai biru dan anak seperti
menarik napas panjang lalu mengeluarkan lendir dari mulutnya kemudian

6
menangis. Panas dialami sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien
nampak sesak napas, perut kembung (-), BAK lancar, BAB lancar.
Riwayat kehamilan ibu yakni G1P0A0 dengan riwayat Ante Natal Care
(ANC) yang tidak rutin di puskesmas. Pasien merupakan Anak pertam/tunggal.
Lahir normal di rumah sakit, langsung menangis. Berat badan lahir 2.800 gram,
panjang badan lahir 47 cm.
Riwayat penyakit dahulu pasien menderita demam yang hilang timbul.
Riwayat tumbuh kembang Lahir - 3 bulan mulai angkat kepala, reaksi
terhadap bunyi, dan mengoceh spontan. 3 - 6 bulan mulai meraih benda-benda di
dalam atau luar jangkauan. 6 9 bulan mulai duduk tanpa dibantu, tengkurap, &
balik sendiri, merangkak, memindahkan benda antar tangan. 9 - 11 bulan mulai
meniru suara, mengulang bunyi, belajar 1-2 kata.
Anamnesis makanan usia 0-5 bulan diberi ASI. Usia 6-8 bulan diberi ASI dan
susu formula serta bubur sun. Usia 9-10 bulan di beri ASI, susu formula, bubur
sun. Usia 11 bulan di beri bubur.
Riwayat imunisasi Pasien tidak pernah mendapat imunisasi apapun sejak
lahir. Pasien merupakan anak pertama dan belum memiliki saudara. Tidak ada
keluarga dirumah yang sakit serupa. Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat
alergi, hipertensi, asma atau diabetes.

PEMERIKSAAN FISIS PERTAMA : 23 februari 2015


Keadaan Umum :
BB : 7 kg
TB/PB : 72 cm
Status gizi : (Z-score = Gizi Baik, diantara garis -2 dan 0 SD)
Sianosis : Tidak ada
Anemia : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Kesadaran : Kompos mentis
Keadaan mental : Normal
Suhu : 38.10C

7
Respirasi : 66 kali/menit
Nadi : 128 kali/menit
Tensi : mmHg

Kejang : Tidak ada


- Tipe :-
- Lamanya :-

Kulit
- Warna : kuning langsat
- Efloresensi : Normal
- Pigmentasi : Normal
- Jaringan parut : Tidak ada
- Lapisan lemak : Tidak ada
- Turgor : Baik, kembali cepat
- Tonus : Baik
- Edema : Tidak ada
- Susunan kelainan : Tidak ada kelainan
- Bentuk lesi : Tidak ada

8
- Penyebaran & lokalisasi : Tidak ada

Kepala
- Wajah : Pucat (-)
- Bentuk : Normochepal Ubun-ubun besar : Menutup
- Rambut : Hitam lurus
- Mata : Exophtalmus : Tidak ada
Enopthalmus : Tidak ada
Tekanan bola mata : Ketidak sediaan alat (tidak
dilakukan pemeriksaan)
Conjunctiva : Anemis -/-
Sclera : ikterik -/-
Corneal Reflex : Positif +/+
Pupil : Isokor kedua mata
Lensa : Tidak diperiksa
Fundus : Tidak diperiksa
Visus : Tidak diperiksa
Gerakan : Nistagmus (-)

Telinga
- Sekret : Tidak ada
- Nyeri : Tidak ada

Hidung
- Pernafasan cuping hidung : (+/+)
- Epistaksis : Tidak ada
- Sekret : Tidak ada

Mulut
- Bibir : Mukosa bibir kering dan tidak sianosis
- Lidah : Tremor tidak ada

9
Lidah kotor ditemukan,
Tepi kemerahan (+)
- Selaput mulut : Normal
- Gusi : Normal
- Bau pernafasan : Normal

Tonsil
- Disfagia : Tidak ada
- Tonsil : T1-T1
- Pharynx : tidak dilakukan pemeriksaan

Leher
- Trachea : Normal
- Kelenjar : Normal
- Kaku kuduk : Negatif
- Lain-lain : Meningismus (-)
- Pembesaran kelenjar getah bening (-)
- Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax :
Inspeksi : simetris bilateral, Nampak retraksi subcostal
Palpasi : Vokal fremitus sama kiri &kanan
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Suara napas dasar : Bronchovesikuler (+/+)
Suara napas tambahan: Rh(+/+), Wh (-/-)

10
Jantung
Detak jantung : Ictus cordis tidak terlihat
Ictus Cordis : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midklavikula
sinistra
Batas atas : ICS II parasternal dextra et sinistra
Batas kiri bawah : ICS V midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS IV parasternal dextra
Bunyi jantung Apex : Reguler, Murmur dan gallop tidak terdengar
Bunyi jantung Aorta : Reguler, Murmur dan gallop tidak terdengar
Bunyi jantung pulmo : Reguler, Murmur dan gallop tidak terdengar
Bising : Negatif

Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-)
Nyeri tekan hipokondrium dextra et sinistra (-)
Nyeri tekan umbilicus (-)
Nyeri tekan iliaca dextra et sinistra (-)
Nyeri tekan suprapubik (-)
Nyeri tekan inguinal dextra et sinistra (-)
Nyeri tekan MC Burney (-)
Nyeri tekan Rovsing sign (-)
Organomegali (-) : Hepar/lien tidak teraba

Genitalia : Normal

Kelenjar : Tidak ada pembesaran

11
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edema tidak ada, deformitas tidak
ada
Bawah : Akral hangat, edema pretibial (-/-), deformitas
tidak ada
- Bentuk : Tungkai bentuk X (-)

Tulang Belulang : Normal

Otot-otot
Atrofi (-)

Refleks-refleks
- Fisiologis : N/N/N/N
- Patologis : -/-/-/-

Pemeriksaan Penunjang : Darah lengkap

Laboratorium :
Darah Lengkap :
RBC = 4,7 x106 /m2 Nilai rujukan 4,7 6,1
WBC = 80.9 x103/ m2 Nilai rujukan 4,8 10,8
HGB = 10,5 g/dl Nilai rujukan 14 18
HCT = 33,6 % Nilai rujukan 42 - 52
MCV = 70,9 Nilai rujukan 80 - 99
MCH = 22,2 Nilai rujukan 27 - 31
MCHC = 31,3 Nilai rujukan 33 37
PLT = 664x103/ m2 Nilai rujukan 150-450 x 103/uL

12
RESUME

Pasien bayi perempuan berusia 11 bulan, diantar oleh ibunya dengan


keluhan batuk sejak 1 bulan yang lalu. Batuk berlendir berwarna putih, pada
sekali batuk dapat terdengar berulang dan terus menerus dan diakhiri dengan suara
napas yang melengking, setelah batuk wajah tampak memerah sampai berwarna
biru, dan pasien menarik napas panjang lalu mengeluarkan lender. Panas sejak 2
minggu yang lalu, pasien Nampak sesak napas.
Riwayat imunisasi: pasien belum pernah mendapat imunisasi apapun sejak
lahir.
Status gizi: BB: 7 Kg, PB: 72 cm.
Tanda vital: N:128x/m. R: 66x/m. S: 38.1c.
Pemeriksaan fisis: thoraks: inspeksi: pergerakan simetris, retraksi
subcostal (+). Auskultasi: ronkhi (+/+).

Laboratorium:
WBC : 80,9 x 10/L
RCB : 4,7 x 10/L
HGB : 10.5 g/dL
PLT : 664 x 10/L
HCT : 33.6 %
MCV : 70,9 fl
MHC : 22,2 pg
MCHC : 31,3 g/dL

DIAGNOSA KERJA

Pertusis

TERAPI

IVFD Dextrosa 5% 20 tpm (mikrodrips)


Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV

13
Inj. Gentamicin 20 mg/12 jam
Inj. Dexametasone 1 mg/8 jam
Novalgin 50 mg/IV
Puyer batuk
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
3x 1 pulv

ANJURAN PEMERIKSAAN

FOTO Thorax

FOLLOW UP

No. Tanggal & jam Vital sign Follow Up


1. 22 februari 2015 N : 120 S : Panas (+), batuk paroksismal
Hari ke 2 x/menit (+) berlendir, beringus (+), sesak
P : 50 (+), sakit perut (-), BAK lancar,
x/menit BAB (+), lendir (-), darah (-),
S : 38,7C warna kuning biasa.
O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : lidah kotor (-),
Thorax : retraksi (+), Rh +/+, Wh -
/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Dexametason 1 mg/8j

14
Inj. Gentamicin 20mg/12j
Novalgin 50mg/8j (KP)
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
Dipuasakan

2. 23 februari 2015 N : 124 S : Panas (+), batuk (+) berlendir,


Hari ke 3 x/menit beringus (+), sesak (+), sakit perut
P : 48 (-), BAK lancar, BAB (+), lendir (-
x/menit ), darah (-), warna kuning biasa.
S : 39,5C O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (+),
Thorax : retraksi (-), Rh +/+, Wh -
/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Dexametason 1 mg/8j
Inj. Gentamicin 20mg/12j
Novalgin 50mg/8j (KP)
Gentian Violet
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg

15
3. 24 februari 2015 N : 128 S : Panas (+), batuk (+) berlendir,
Hari ke 4 x/menit beringus (+), sakit perut (-), BAK
P : 50 lancar, BAB encer 1x (+), lendir (-
x/menit ), darah (-), warna kuning biasa.
S : 38,4C O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (+),
Thorax : retraksi (-), Rh +/+, Wh -
/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Dexametason 1 mg/8j
Inj. Gentamicin 20mg/12j
Novalgin 50mg/8j (KP)
PCT drops 3x0.7ml
Gentian Violet
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg

4. 25 februari 2015 N : 120 S : Panas (+), batuk (+) berlendir,


Hari ke 5 x/menit beringus (+), sakit perut (-), BAK
P : 50 lancar, BAB biasa, lendir (-), darah
x/menit (-), warna kuning biasa.

16
S : 37,5C O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (+),
Thorax : retraksi (+), Rh +/+, Wh -
/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Susp. Pertusis
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Dexametason 1 mg/8j
Inj. Gentamicin 20mg/12j
PCT drops 3x0.7ml
Gentian Violet
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg

5. 26 februari 2015 N : 120 S : Panas (+), batuk (+), berlendir


Hari ke 6 x/menit (-), beringus (+), sakit perut (-),
P : 38 BAK lancar, BAB encer 2x (+),
x/menit lendir (-), darah (-), warna kuning
S : 38,0C biasa.
O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (+),
Thorax : retraksi (-), Rh +/+, Wh -
/-
Jantung : dalam batas normal.

17
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis + diare akut
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Gentamicin 20mg/12j
Inj. Dexametason 1 mg/8j
PCT drops 3x0.7ml
Zink 1x1 tab
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg

6. 27 februari 2015 N : 118 S : Panas (+), batuk (+), berlendir


Hari ke 7 x/menit (+), beringus (+), sakit perut (-),
P : 32 BAK lancar, BAB ampas 2x (+),
x/menit lendir (-), darah (-), warna kuning
S : 37,5C biasa.
O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (-),
Thorax : retraksi (-), Rh +/+, Wh -
/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis + diare akut
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Gentamicin 20mg/12j

18
PCT drops 3x0.7ml
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
L-bio 2x1/2 sachet
Nifural 3x1/2 cth
7. 28 februari 2015 N : 124 S : Panas (+), batuk (+), berlendir
Hari ke 8 x/menit (+), beringus (+), sakit perut (-),
P : 32 BAK lancar, BAB encer 2x (+),
x/menit lendir (+), darah (-), warna kuning
S : 39,2C biasa.
O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Lab: Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Wbc: 53.5 Mulut : monoliasis (-),
x10 Thorax : retraksi (-), Rh +/+, Wh -
Rbc: 4.9 /-
x10 Jantung : dalam batas normal.
Hb: 10.8 Abdomen : Organomegali (-)
g/dL Ekstremitas : akral hangat.
Hct: 35.5% A : Pertusis + diare akut
Plt: 656 P : IVFD Dex 5% 14 tpm
x10 Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Limf: 26.8 Inj. Gentamicin 20mg/12j
x10 PCT drops 3x0.7ml
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
L-bio 2x1/2 sachet
Nifural 3x1/2 cth

19
8. 1 maret 2015 N : 118 S : Panas (-), batuk (+), berlendir
Hari ke 9 x/menit (+), beringus (+), sakit perut (-),
P : 32 BAK lancar, BAB ampas 2x (+),
x/menit lendir (-), darah (-), warna kuning
S : 36,8C biasa.
O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (-),
Thorax : retraksi (-), Rh +/+, Wh -
/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis + diare akut
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Gentamicin 20mg/12j
PCT drops 3x0.7ml
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
L-bio 2x1/2 sachet
Nifural 3x1/2 cth
9. 2 maret 2015 N : 120 S : Panas (-), batuk (+), berlendir
Hari ke 10 x/menit (+), beringus (+), sakit perut (-),
P : 32 BAK lancar, BAB biasa, lendir (-),
x/menit darah (-), warna kuning biasa.
S : 37,3C O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (-),

20
Thorax : retraksi (-), Rh +/+, Wh -
/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Gentamicin 20mg/12j
PCT drops 3x0.7ml
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
L-bio 2x1/2 sachet
10. 3 maret 2015 N : 116 S : Panas (-), batuk (+), berlendir
Hari ke 11 x/menit (+), beringus (-), sakit perut (-),
P : 30 BAK lancar, BAB biasa, lendir (-),
x/menit darah (-), warna kuning biasa.
S : 36,8C O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (-),
Thorax : retraksi (-), Rh -/-, Wh -/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Inj. Gentamicin 20mg/12j
PCT drops 3x0.7ml (jika panas)

21
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
12. 4 maret 2015 N : 116 S : Panas (-), batuk (+), berlendir
Hari ke 12 x/menit (-), beringus (-), sakit perut (-),
P : 30 BAK lancar, BAB biasa, lendir (-),
x/menit darah (-), warna kuning biasa.
S : 37,0C O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Lab: Mulut : monoliasis (-),
Wbc: 20.7 Thorax : retraksi (-), Rh -/-, Wh -/-
x10 Jantung : dalam batas normal.
Rbc: 4.97 Abdomen : Organomegali (-)
x10 Ekstremitas : akral hangat.
Hb: 10.6 A : Pertusis
g/dL P : IVFD Dex 5% 14 tpm
Hct: 36.5% Inj. Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV
Plt: 447 Inj. Gentamicin 20mg/12j
x10 PCT drops 3x0.7ml (jika panas)
Limf: 8.9 Puyer batuk 3x1 pulv
x10 o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
13. 5 maret 2015 N : 118 S : Panas (-), batuk (+), berlendir
Hari ke 13 x/menit (-), beringus (-), sakit perut (-),
P : 30 BAK lancar, BAB biasa, lendir (-),
x/menit darah (-), warna kuning biasa.
S : 36,8C O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),

22
Mulut : monoliasis (-),
Thorax : retraksi (-), Rh -/-, Wh -/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
PCT drops 3x0.7ml (jika panas)
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg
14. 6 maret 2015 N : 118 S : Panas (-), batuk (+), berlendir
Hari ke 14 x/menit (-), beringus (-), sakit perut (-),
P : 30 BAK lancar, BAB biasa, lendir (-),
x/menit darah (-), warna kuning biasa.
S : 36,8C O : KU sakit sedang, CM. Wajah :
Anemis (-/-), sklera ikterus (-),
Mulut : monoliasis (-),
Thorax : retraksi (-), Rh -/-, Wh -/-
Jantung : dalam batas normal.
Abdomen : Organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat.
A : Pertusis
P : IVFD Dex 5% 14 tpm
PCT drops 3x0.7ml (jika panas)
Puyer batuk 3x1 pulv
o Ambroxol 3,5 mg
o Salbutamol 0,7 mg
o Interhistin 8 mg

23
BAB III
DISKUSI

Dari anamnesis didapatkan pasien bayi usia 11 bulan masuk dengan


keluhan batuk-batuk yang dialami sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit,
batuk berlendir warna putih. Pada saat batuk, suara batuk dapat terdengar berulang
dan terus menerus lebih dari 6x dan di akhiri dengan suara napas yang
melengking, setelah batuk wajah tampak merah sampai biru dan anak seperti
menarik napas panjang lalu mengeluarkan lendir dari mulutnya kemudian
menangis. Padas dialami sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien
terlihat sesak napas, perut kembung (-), BAK lancar, BAB lancar.
Berdasarkan anamnesis, maka pasien tersebut dapat didiagnosis dengan
pertusis, sesuai definisi dan gambaran klinis dari pertusis (batuk rejan) disebut
juga whooping cough (melengking) dan di Cina disebut batuk seratus hari.
Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan
yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk
kokobasilus, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 dan diameter 0,2-0,3 m, tidak
bergerak,tidak berspora dengan pewarnaan toloidin biru, dapat dilihat granul
bipolar makromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan Bordetella
pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet genggou
(Potato-blood glycerol agar) yang ditambah penicilin G 0,5 g/ml untuk
menghambat organisme lain.

Gambar 1. Bordetella pertusis

24
Masa inkubasi pertusis adalah 6 sampai 20 hari, rata-rata 7 hati, sedangkan
perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 sampai 8 minggu atau lebih.
Perjalanan klinis penyakit ini dpat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium
kataralis (prodromal, pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik),
dan stadium konvalesens. Manisfestasi klinis tergantung dari etiolofi spesifik,
usia, dan status imunisasi. Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala
sebagai berikut : 72-100% batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70%
muntah setelah batuk, 30-65% mengalami whoop (melengking), 1-2% rawat inap
karena pneumonia dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran.
a. Stadium Kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas bagian atas yaitu
timbulnya rinore dengan lendir yang cairan dan jernih, infeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena
sukar dibedakan dengan common cold (flu ringan). Sejumlah besar
organisme tersebar dalam droplet dan anak snagat infeksius, pada tahap ini
kuman mudah diisolasi.
b. Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbukan bunyi melengking (whoop), udara yang
dihisap melalui glotis yang menyempit. Selama serangan wajah merah dan
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi
vena leher bahkan sampai terjadi patekia di wajah (terutama di konungtiva
bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mocus plug
pada saluran nafas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup
khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita
pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.

25
Gambar 2. Gambaran klinik stadium paroksismal
c. Stadium konvalesens (1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun.
Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan
menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul
serangan baruk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang
untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran
nafas bagian atas yang berulang.
Pada pasien, keluhan yang dialami yaitu batuk berlendir warna putih. Pada
saat batuk, suara dapat terdengar berulang dan terus menerus lebih dari 6x, setelah
batuk wajah tampak merah sampai biru dan anak seperti menarik nafas panjang
lalu mengeluarkan lendir dari mulutnya kemudian menangis. Sehingga pada saat
masuk rumah sakit, pasien berada pada stadium paroksismal, tetapi untuk lama
batuk yang dialami selama 1 bulan menurut Ibu pasien perlu dilakukan
anamnesis yang lebih rinci lagi mengenai perjalanan penyakitnya.
Dari anamnesis kepada Ibu pasien, didapatkan keterangan bahwa pasien
belum pernah mendapatkan imunisasi dasar sejak lahir. Keluarga pasien tidak ada
yang menderita keluhan yang sama dengan pasien, Pertsis dapat ditularkan
memalaui udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita
selama batuk. Pertusis adalah penyakit endemik. Penyebaran pertusis di seluruh

26
dunia dapat menyerang semua golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur
dibawah 1 tahun. Makin muda usianya, makin berbahaya penyakitnya.
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis
dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan
melalui imunisasi aktif dan pasif.
1. Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
2. Imunisasi aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman Bordetella pertusis yang telah
dimatikan untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis
diberikan bersama-sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis
imunisasi dasar yang dianjurkan 12 UI (unit internasional) dan diberika
tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Vaksin pertusis
monovalen 90,25 ml, i.m telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara
orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek samping imunisasi adalah
demam. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap
komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari
pemberian vaksin pertusis, kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum
imunisasi, menangis > 3 jam, kolaps atau hipotensi hiporesponsif dalam
dua hari, suhu yang tidak dapat diterangkan > 40,5c dalam 2 hari.
Pencegahan penyebaran luasan penyakit dilakukan dengan cara :
Isolasi : mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan
bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan
antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara
lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien
tidak mendapatkan antibiotik.
Karantina : Kasus konteak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun,
tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada

27
ditempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotik
eritromisin selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/L
dengan limfosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada pasien didapatkan jumlah leukosit sekitar 80.000/L, hal ini
sesuai demgam leukositosis pada pertusis, namun pada bayi jumlah leukositosis
tidak menunjang untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain. Isolasi B. Pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk
membuat diagnosis pertusis paa media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada
stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan
menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) yang lebih sensitif
dibanding pemeriksaan kultur untuk mendeteksi B. Pertussis, terutama setelah 3-4
minggu setelah batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR
(Polymerase Chain Reaction) pada saat ini merupakan pilihan yang paling tepat
karena nilai sensitivitas yang tinggi, namun belum tersedia. Tes serologi berguna
pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu
dengan biakan. Cara ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) dapat dipakai
untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA (Filamentous
hemaglutinin) dan PT (Pertusis toxin). Nilai IgM seerum FHA (Filamentous
hemaglutinin) dan PT (Pertusis toxin) menggambarkan respon imun primer baik
disebabkan oleh penyakit atau vaksin, IgG toksin pertusis merupakan tes yang
paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak
setelah imunisasi pertusis. Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian
pertusis pada bayi, usia 11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi
pertusis rutin yang luas. Di Amerika Serikat kurang lebih 355 kasus terjadi pada
usia <6 bulan, termasuk bayi yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit
terjadi pada usia < 1 tahun dan 66% <5 tahun. Kematian dan jumlah kasus dirawat
tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Centers of Disease Control
and Prefention (CDC) pada tahun 2010, melaporkan kasus pertusis di Amerika
Serikat adalah 27.550 kasus dan 27 kasus kematian. Sedangkan pada tahun 2011,

28
kasus pertusis terbanyak pada usia 11 sampai 19 tahun yaitu sebanyak 47% dan
pada anak-anak usia 7-10 tahun sekitar 18% kasus.
Patomekanisme dari penyakit ini adalah, Bordetella pertussis ditularkan
melalui sekresi udara pernapasan, dan kemudian melekat pada silia epitel saluran
pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi
melalui 4 tahap yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan
pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistematik.
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/
pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd perperan dalam perlekatan Bordetella
pertussis pada silia. Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertussis, kemudian
bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran perna[asan.
Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whoopingcough (batuk
melengking). Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan
oleh karena pertussin toxin. Toksin pertussis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan
B. Toksin sub unit B selanjutnya berikaan dengan reseptor sel target, kemudian
menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek
Lymphositosis promotingfactor (LPF) menghambat migrasi limfosit dan magrofag
ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine disphospate (ADP) mempunyai efek pengatur
sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fingsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamin, dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsengtrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneuminiae, H. Influenza dan Staphylococcus
aureus). Penumpukan mukos akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan

29
obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan
pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue saat terserang
batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat,
apakah akibat pengaruh toksin langsung ataukah sekunder akibat anoksia. Terjadi
perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami
regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit.
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan
kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan
iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,
menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis
lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis
penyakit ini. Kadang-kadang Bordetella pertussis hanya menyebabkan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

Gambar 3. Perlekatan Bordetella pertussis pada silia traktus respiratorius

30
Gambar 4. Pathogenesis pertussis

Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal.


Pemberian eritromisin, klaritromisin, atau azittromisin telah menjadi pilihan
pertama untuk pengobatan dan profilaksis. Eritromisin (40-50 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 4 dosis peroral, maksimum 2 gram per hari) dapat mengeleminasi
organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat mengeleminasi
pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga
memperpendek periode penularan. Penelitian membuktikan bahwa golongan
makrolid terbatu yaitu azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali sehari selama lima
hari, maksimal 500 mg/hari) atau klaritromisin (15-20 mg/kgbb,hari dibagi dalam
dua dosis peroral, maksimum 1 gram perhari selama 7 hari) sama efektif dengan
eritromisin, namun memiliki efek samping lebih sedikit. Pada pasien ini diberikan

31
antibiotik golongan sefalosporin (Ceftriaxone 200 mg/12 jam/IV), antibiotik
spektrum luas ini diberikan dengan upaya untuk mengurangi infeksi yang dialami
karena diagnosis untuk pertusis sendiri belum dapat ditegakkan secara pasti
karena belum ada pemeriksaan baku untuk mengetahui jenis infeksi yang dialami.
Beberapa penelitian menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap pertusis
dengan lama kerja sebagai berikut : mengurangi paroksismal, mengurangi
frekuensi dan lamanya whoop (melengking) dan mengurangi frekuensi apneu.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,3-0,5 mg/kgbb/hari dibagi dalam tiga dosis.
Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan
serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada
distres pernapasan yang akut dan kronik.
Saat perawatan hari keempat, pasien mengalami BAB cair 2x, tidak ada lendir,
tidak ada darah, warna kuning biasa. Sehingga dapat dikatakan pasien pada kasus
mengalami diare akut. Diare akut atau gastroenteritis akut (GEA) adalah buang air
besar pada bayi dan anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi
tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang
dari satu minggu. Faktor resiko terjadinya diare akut pada anak antara lain : tidak
memberikan ASI secara penuh untuk waktu 4-6 bulan pertama kehidupan bayi,
tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kebersihan
lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang
tidak higenis. Mekanisme dasar yang dapat menyebabkan timbulnya diare pada
anak adalah :
1. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam osmotik dalam rongga usus
meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolis ke dalam rongga
usus.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin dari virus atau bakteri) pada
dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolir ke dalam
rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat isi rongga usus.

32
3. Gangguan motilitis usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus
menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan.
Pada kasus ini, kemungkinan diare terjadi akibat gangguan sekresi,
terutama berkaitan dengan infeksi. Hal ini didukung dengan adanya jumlah
leukosit yang meningkat.
Pada pasien diberikan zink 1x1 tab, dan nifural 3x 1/2cth, sebagai indikasi
untuk gastroenteritis pada anak-anak.
Komplikasi terutama terjadi pada sistem nafas dan saraf pusat. Pneumonia
adalah komplikasi paling sering ditemukan, menyebabkan 90% kematian pada
anak < 3 tahun. Pneumonia dapat disebabkan karena Bordetella pertusis tetapi
lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder (Haemophilus influenzae, S.
pneumonia, S.aureus dan S. pyogenes). Tuberculosis laten dapat menjadi aktif.
Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mucus yang kental. Aspirasi
mucus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi merupakan
tanda infeksi sekunder dari bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat
menimbulkan ruptur alveoli, emfisema, interstisiel/subkutan dan pneumotoraks,
termasuk perdarahan subkonjungtiva.
Komplikasi pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,
hiponatremia sekunder terhadap SIADH (Syndrome of inappropriate
diuretichormon).kejang tetanik dihubungkan dengan alkalosis yang disebabkan
muntah persisten.
Prognosis pada pasien dapat mengalami komplikasi seperti yang
disebutkan diatas, karena faktor resiko untuk pasien kasus adalah umur pasien
yang < 3 tahun, tidak pernah mendapat imunisasi sejak lahir, tidak mendapat ASI
eksklusif, faktor resiko tersebut juga dapat menyebabkan prognosis yang lebih
baik. Pada pasien mengalami prognosis buruk karena usianya kurang dari 3 tahun,
dan belum pernah mendapat imunisasi sejak lahir. Pada bayi risiko kematian (0,5-
1%) disebabkan ensefalopati. Pada penelitian jangka panjang, apnea atau kejang
akan menyebabkan gangguan intelektual di kemudian hari.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Ed.2.
Badan penerbit IDAI; Jakarta 2010
2. Wertheim H, Horby P, Woodall PJ. Atlas of human infectious disease.
Wiley Blackwell; USA: 2012.
3. Central for disease control and prevention. Pertussis (whooping cough). 8
agustus 2013. (serial online). Diakses dari URL:
http://www/cdc/goov/pertussis/clinical/disease-spesifics.html
4. Bocka J. Pertussis. 28 april 2014. (serial online). Diakses dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/967268-overview
5. World health organization. Country office for indonesia. Dalam pedoman
pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama
kabupaten/kota. Ed.1 bahasa indonesia; jakarta: 2009.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
Edisi pertama, jakarta : Badan penerbit IDAI, 2012.

34

Anda mungkin juga menyukai