Anda di halaman 1dari 19

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Dari hasil penelitian didapatkan 110 orang subjek penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi memiliki karakteristik meliputi usia, tingkat
pendidikan, dan status sosioekonomi berdasarkan pekerjaan sebagaimana terdapat
pada tabel 4.1 dibawah ini. Dimana jumlah perokok dengan kategori derajat
ringan-sedang berjumlah 58 orang, perokok dengan kategori derajat berat
berjumlah 20 orang serta subjek penelitian non-perokok berjumlah 32 orang.

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian (n=110)


Perokok Ringan-
Perokok Berat Non-Perokok
Karakteristik Sedang
N=58 (100%) N=20 (100%) N=32 (100%)
Usia
20-24 tahun 1 (1,7%) 0 (0%) 3 (9,4%)
25-34 tahun 13 (22,4%) 0 (0%) 8 (25,0%)
35-44 tahun 21 (36,2%) 7 (35,0%) 10 (31,3%)
45-55 tahun 22 (37,9%) 11 (55,0%) 11 (34,4%)
>55 tahun 1 (1,7%) 2 (10,0%) 0 (0%)
Rerata SD 40,60 8,47 46,85 5,80 37,88 10,03
Tingkat Pendidikan
Pendidikan Rendah 18 (32,0%) 3 (15,0%) 2 (6,3%)
Pendidikan Tinggi 40 (69,0%) 17 (85,0%) 30 (93,8%)
Status Sosioekonomi
Tingkat Rendah 20 (34,5%) 5 (25,0%) 3 (12,5%)
Tingkat Menengah Keatas 38 (65,5%) 15 (75,0%) 21 (87,5%)

Dari tabel hasil penelitian tersebut dapat terlihat karakteristik subjek


penelitian yang telah didapatkan bahwa subjek penelitian berusia antara 20 hingga
diatas 55 tahun. Berdasarkan hasil olah data statistik didapatkan nilai rerata usia
dari subjek perokok dengan derajat merokok ringan-sedang adalah 40,60 tahun,
sedangkan nilai rerata usia subjek perokok dengan derajat merokok berat adalah

27
38

46,85 tahun sementara rerata usia subjek non-perokok adalah 37,88 tahun.
Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan dari subjek penelitian didapatkan
subjek perokok dengan tingkat merokok ringan-sedang terbanyak berpendidikan
tinggi yaitu sebanyak 40 orang (69,0%), sama halnya dengan subjek perokok
dengan tingkat merokok berat sebanyak 17 orang (85,0%) dan juga pada subjek
non-perokok didapatkan terbanyak memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu
sebanyak 30 orang (93%). Subjek penelitian perokok dengan tingkat merokok
ringan-sedang terbanyak memiliki status sosioekonomi menengah keatas yaitu
sebanyak 38 orang (65,5%) sama dengan kelompok subjek penelitian dengan
tingkat perokok berat yaitu sebanyak 15 orang (74,0%) dan pada kelompok subjek
non-perokok juga memiliki status sosioekonomi terbanyak menengah-keatas
sebanyak 21 orang (87,5%). Dari hasil tabel karakteristik subjek penelitian
tersebut dapat terlihat kesamaan karakteristik diantara kelompok-kelompok subjek
penelitian.
39

4.1.2 Karakteristik Kebiasaan Merokok Subjek Penelitian


Karakteristik kebiasaan merokok 80 orang subjek penelitian berdasarkan
jenis rokok, jumlah rokok perhari, lama merokok, dan juga tingkat adiksi terhadap
nikotin tercantum di dalam tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2 Karakteristik Perokok Subjek Penelitian (n=78)


Perokok Ringan-Sedang Perokok Berat
Karakteristik
N=58 (100%) N=20 (100%)
Jenis Rokok
Kretek 21 (36,2%) 10 (50%)
Non-Kretek 37 (63,8%) 10 (50%)
Jumlah Rokok
Perhari
<11 Batang 17 (29,3%) 0 (0%)
11-20 Batang 28 (65,5%) 5 (25,0%)
>20 Batang 3 (5,2%) 15 (75,0%)
Median (Min-Maks) 12 (2-24) 24 (15-40
Lama Merokok
<6 Tahun 5 (8,6%) 0 (0%)
6-10 Tahun 11 (19,0%) 0 (0%)
>10 Tahun 42 (72,4%) 20 (100%)
Rerata SD 18,24 9,5 31,5 7,18
Status Adiksi
Tidak Adiksi 4 (6,9%) 0 (0%)
Adiksi Rendah 27 (46,6%) 3 (15,0%)
Adiksi Rendah-Sedang 18 (31,0%) 5 (25,0%)
Adiksi Sedang 9 (15,5%) 8 (40,0%)
Adiksi Tinggi 0 (0%) 4 (20,0%)
40

Dari tabel hasil penelitian diatas mengenai karakteristik kebiasaan


merokok subjek penelitian didapatkan baik subjek perokok derajat ringan-sedang
maupun subjek perokok derajat paling banyak mengkonsumsi rokok berjenis non-
kretek, yaitu sebanyak 37 orang (63,8%) pada subjek perokok derajat ringan
sedang sedangkan pada kelompok subjek perokok berat memiliki jumlah yang
sama antara perokok kretek dan non-kretek yaitu sebanyak 10 orang (50,0%)
Kebanyakan dari subjek perokok derajat ringan-sedang mengkonsumsi jumlah
rokok perhari sebanyak 11-20 batang per harinya sebanyak 38 orang (65,5%)
dengan nilai median 12 batang per hari sedangkan pada subjek perokok berat
mengkonsumsi jumlah rokok per harinya paling banyak >20 batang per harinya
yaitu sebanyak 15 orang (75,0%) dengan nilai median 24 batang per hari.
Berdasarkan waktu lama merokok baik subjek perokok ringan-sedang dan
perokok berat paling banyak telah merokok selama >10 tahun dengan nilai rerata
pada kelompok perokok ringan sedang 18,24 tahun dan nilai rerata pada
kelompok perokok berat 31,5 tahun. Status adiksi nikotin subjek penelitian pada
kelompok perokok ringan-sedang terbanyak mengalami adiksi rendah yaitu
sebanyak 27 orang (46,6%) dan pada kelompok perokok berat terbanyak
mengalami adiksi sedang yaitu sebanyak 8 orang (40,0%).

4.1.3 Karakteristik Status Kesehatan Gigi dan Mulut Pada Subjek Penelitian
Karakteristik status kesehatan gigi dan mulut pada subjek penelitian dibagi
berdasarkan nilai Debris Index (DI), Calculus Index (CI), Gingiva Index (GI), dan
OHIS Score tercantum di dalam tabel 4.3 berikut

Tabel 4.3 Karakteristik Status Kesehatan Gigi dan Mulut (OHIS) Pada Subjek
Penelitian
Karakteristik Perokok Ringan-Sedang Perokok Berat Non-Perokok p value
Debris Index (DI) 1 (0,33-2)* 1,06 0,39 0,8 (0,17-1,5)* p = 0,012**
Calculus Index (CI) 1,66 (0,66-2,1)* 1,78 0,51 1,66 (0,33-2,3)* p = 0,031**
Gingiva Index (GI) 1,16 (0,33-2,1)* 1,27 0,47 1,17 (0,17-2,1)* p = 0,51
OHIS Score 2,57 0,55 2,85 0,86 2,26 0,80 p = 0,01**
*Median (Min-Maks)
**Hasil Bermakna
41

Dari tabel hasil penelitian diatas mengenai karakteristik kesehatan gigi dan
mulut menggunakan Jonckheere-Terpstra didapatkan hasil perbedaan status
kesehatan gigi yang mulut (OHIS Score) yang bermakna antara kelompok non-
perokok (2,26 0,80) dengan kelompok perokok ringan-sedang (2,57 0,55) dan
kelompok perokok berat (2,85 0,55) dengan nilai p = 0,01 dimana terlihat nilai
OHIS yang lebih tinggi pada kelompok perokok berat dibandingkan dengan
kelompok perokok ringan-sedang dan kelompok non-perokok. Terdapat perbedaan
yang bermakna pula pada nilai median Calculus Index (CI) antara kelompok non-
perokok 1,66 (0,33-2,3), kelompok perokok ringan-sedang 1,66 (0,66-2,1), dan
kelompok perokok berat (1,78 0,51) dengan p value = 0,031. Pada hasil olah
data statisik nilai Debris Index juga diperoleh hasil perbedaan yang bermakna
antara kelompok non-perokok (0,8 (0,17-1,5)), kelompok perokok ringan-sedang
(1 (0,33-2)), dan kelompok perokok berat (1,06 0,39) dengan p value sebesar
0,012. Sementara pada hasil olah data nilai Gingiva Index tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna anatara kelompok non-perokok, perokok ringan-
sedang, dan perokok berat (p value = 0,51).

4.1.4 Perbandingan Karakteritik Merokok dengan Kadar Salivary Calcium


pada Subjek Perokok Derajat Ringan-Sedang dengan Subjek Perokok
Derajat Berat
Hasil pengolahan data statistik mengenai perbandingan antara karakteristik
merokok dengan kadar salivary calcium pada subjek perokok derajat ringan-
sedang dengan subjek perokok derajat berat dapat dilihat pada tabel 4.3 dan
gambar 4.1 sebagai berikut.

Tabel 4.4 Perbandingan Karakteristik Merokok dengan Kadar Salivary Calcium


pada Subjek Perokok Jenis Kretek dengan Subjek Perokok Jenis Non-Kretek

Salivary Calcium (mmol/L)


Karakteristik Mean Difference p value
Mean SD
Jenis Rokok
Kretek 0,86 0,29
0,7686 p = 0,228
Non-Kretek 0,79 0,25
42

Dari tabel diatas didapatkan nilai rerata kadar salivary calcium pada
perokok dengan jenis rokok kretek lebih tinggi yaitu 0,86 0,29 mmol/L
dibandingkan dengan perokok dengan jenis rokok non-kretek yaitu 0,79 0,25
mmol/L. Namun setelah dilakukan uji statistik menggunakan uji unpaired t-test
didapatkan nilai p value sebesar 0,228 (p > 0,05). Hal tersebut menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara nilai rerata
salivary calcium pada perokok yang menggunakan rokok jenis kretek maupun
perokok yang menggunakan rokok jenis non-kretek.

Gambar 4.1 Perbandingan Karakteristik Merokok dengan Kadar Sailvary Calcium


pada Subjek Perokok Ringan-Sedang dengan Subjek Perokok Berat
43

Berdasarkan derajat merokok yang diklasifikasikan menggunakan indeks


Brinkman didapatkan hasil nilai rerata salivary calcium pada subjek non-perokok,
perokok ringan-sedang, dan perokok berat. Perokok dengan derajat berat lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai rerata salivary calcium pada subjek perokok
dengan derajat ringan-sedang, yaitu 0,95 0,23 mmol/L pada perokok derajat
berat dan 0,76 0,26 mmol/L pada perokok derajat ringan-sedang sementara pada
subjek non-perokok memiliki kadar rerata salivary calcium yang lebih rendah
yaitu 0,55 0,18 mmol/L. Hasil pengujian nilai statistik menggunakan uji ONE
Way ANOVA antara kelompok subjek non-perokok, perokok derajat ringan-
sedang, dan dengan kelompok subjek perokok derajat berat menunjukkan nilai p
value sebesar 0,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna secara statistik antara nilai rerata salivary calcium antara non-perokok,
perokok derajat ringan-sedang dengan perokok derajat berat. Hasil uji statistic
lanjutan Post-Hoc menunjukkan hasil bermakna antara kelompok non-perokok
dengan perokok ringan-sedang (p value < 0,001) dengan nilai mean difference
0,211, antara kelompok non-perokok dengan perokok berat (p value < 0,001)
dengan nilai mean difference 0,396, dan antara kelompok perokok ringan-sedang
dengan perokok berat (p value = 0,009) dengan nilai mean difference sebesar
0,184.
Berdasarkan hasil data tersebut didapati bahwa kadar salivary calcium
dipengaruhi oleh besarnya derajat merokok, dimana semakin berat derajat
merokok seseorang maka akan semakin tinggi kadar salivary calcium yang
dimiliki namun tidak ada pengaruh yang bermakna dengan jenis rokok yang
dikonsumsi.

4.2 Pembahasan
44

Penelitian ini diikuti oleh 80 orang subjek penelitian yang merupakan


perokok aktif dengan usia diatas 20 tahun, dengan jumlah perokok dengan derajat
merokok ringan-sedang sebanyak 59 orang dan jumlah perokok dengan derajat
merokok berat sebanyak 21 orang. Mengacu kepada data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada tahun 2013 cukup didapatkan kesesuaian data mengenai
karakteristik subjek penelitian yang dilakukan pada penelitian ini. Berdasarkan
rentang usia terbanyak yaitu sebanyak 35 orang (43,75%) terdapat pada rentang
usia 45-55 tahun, data Riskesdas 2013 menunjukkan kelompok usia 45-49 tahun
dan kelompok usia 50-54 tahun memiliki prevalensi yang sama yaitu 31,4% dan
menempati urutan ke-tiga terbanyak dari seluruh kelompok usia. Berdasarkan
karakteristik pendidikan tercatat masing-masing kelompok perokok terbanyak
berpendidikan tinggi yaitu tingkat SMA/sederajat atau lebih tinggi dengan jumlah
40 orang (69,0%) pada kelompok perokok ringan sedang dan 17 orang (85,0%)
pada kelompok perokok berat. Perhitungan data lanjutan didapatkan jumlah
terbanyak memiliki pendidikan terakhir SMA yaitu sebanyak 39 orang (48,75%),
hal tersebut sesuai dengan data Riskesdas tahun 2013 yang mencatat karakteristik
persentase perokok terbanyak yang memiliki pendidikan terakhir SMA yaitu
sebesar 28,7%.2 Sementara berdasarkan status sosioekonomi masing-masing
kelompok dibagi kedalam status sosioekonomi tingkat rendah dan menengah-
keadas berdasarkan pekerjaan dari subjek penelitian. Pekerjaan terbanyak pada
subjek penelitian didapatkan paling banyak bekerja sebagai wiraswasta yaitu
sebanyak 32 orang (40%), hal tersebut berlainan dengan hasil Riskesdas 2013
yaitu perokok yang bekerja sebagai wiraswasta menempati posisi terbanyak ke-
dua (39,8%) sebagai karakteristik perokok dibandingkan dengan perokok yang
bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (44,5%) namun pada hasil Global Adults
Tobacco Survey (GATS) yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2011 menyatakan
bahwa perokok yang bekerja sebagai wiraswasta memiliki persentase terbanyak
diantara subjek perokok (44,3%).1,2 Data dari Health and Social Care Information
Centre (hscic) Inggris tahun 2015 menyebutkan bahwa adanya hubungan usia,
pendidikan dan status sosioekonomi dengan karakteristik dari perokok di Inggris,
dimana subjek perokok terbanyak didominasi oleh masyarakat dengan pendidikan
yang lebih rendah dan tinggal pada daerah kumuh. Sementara perokok dengan
45

tingkat pendidikan tinggi dengan status ekonomi yang tinggi memiliki jumlah
prevalensi perokok yang lebih sedikit.31
Dari hasil pengolahan data mengenai hubungan antara karakteristik
merokok dengan kadar salivary calcium pada subjek perokok ringan-sedang
dengan subjek perokok berat, secara bermakna didapatkan hasil nilai rerata kadar
salivary calcium yang lebih tinggi pada subjek dengan derajat merokok berat
yaitu 0,95 0,22 mmol/L dibandingkan dengan nilai rerata salivary calcium
subjek dengan derajat merokok ringan-sedang yaitu 0,77 0,25 mmol/L (p <
0,05). Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa zat-zat yang terkandung di dalam
rokok terutama nikotin akan menyebabkan perubahan komposisi dalam saliva
sehingga menurunkan derajat keasaman (pH) rongga mulut.18 Ketika derajat
keasaman (pH) rongga mulut turun dibawah tingkat tertentu maka akan terjadi
pemecahan mineral gigi (Kristal hiroksiapatit) yang disebut sebagai proses
demineralisasi gigi dan melepaskan ion kalsium ke dalam saliva sehingga terjadi
peningkatan kadar ion kalsium di dalam saliva. 19,20 Alharbi tahun 2012 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa paparan terhadap nikotin dalam rokok dalam
jangka waktu yang lama (kronik) menyebabkan anergi pada sel-T dengan
menggangu transduksi sinyal antigen receptor-mediated yang menyebabkan
pengeluaran simpanan Ca2+ serta mengakibatkan peningkatan Ca2+ intrasel yang
dapat menyebabkan kerusakan selular.21
Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya yang telah dilakukan mengenai
kadar salivary calcium pada perokok dan non-perokok. Al-Obaidi dalam
penelitiannya pada tahun 2006 menyatakan bahwa kadar salivary calcium pada
perokok lebih tinggi dibandingkan dengan non-perokok.22 Abed et al. tahun 2012
juga menyebutkan dalam penelitiannya bahwa kadar salivary calcium pada
perokok secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan non-perokok. 23 Khan
GJ et al. tahun 2005 pada penelitiannya juga menyebutkan bahwa ditemukan
kadar salivary calcium yang lebih tinggi secara signifikan pada perokok
dibandingkan dengan non-perokok.24 Namun pada semua penelitian tersebut tidak
dijelaskan hubungannya dengan tingkat keparahan merokok pada perokok dengan
kadar salivary calcium.
46

Penelitian lain yang dilakukan oleh Syahli MR tahun 2015 menyatakan


bahwa terdapat peningkatan rerata kadar salivary calcium yang bermakna pada
perokok berdasarkan derajat keparahan merokok, yaitu 0,74 0,25 mmol/L pada
perokok ringan; 0,86 0,23 pada perokok sedang; dan 1,07 0,14 pada perokok
berat.25 Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Alharbi WD tahun 2012
bahwa terjadi penurunan kadar salivary calcium yang signifikan pada perokok
berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi setiap harinya, yaitu 2,38 0,09
mmol/L (kelompok perokok yang mengkonsumsi 1-5 dan 6-10 batang/hari), 2,34
0,12 mmol/L (kelompok perokok yang mengkonsumsi 10-15 batang/hari), dan
1,21 0,13 (kelompok perokok yang mengkonsumsi >15 batang/hari). Terjadinya
perbedaan pada hasil dari kedua penelitian tersebut mungkin disebabkan oleh
perbedaan pemilihan subjek perokok dan metode pengambilan data yang
digunakan dalam penelitian masing-masing.
47

Berdasarkan hasil olah data karakteristik status kesehatan gigi dan mulut
antara non-perokok, perokok ringan-sedang, dan perokok berat menggunakan uji
Jonckheere-Terpstra didapatkan hasil perbedaan status kesehatan gigi yang mulut
(OHIS Score) yang bermakna antara kelompok non-perokok (2,26 0,80) dengan
kelompok perokok ringan-sedang (2,57 0,55) dan kelompok perokok berat (2,85
0,55) dengan nilai p = 0,01 dimana terlihat nilai OHIS yang lebih tinggi pada
kelompok perokok berat dibandingkan dengan kelompok perokok ringan-sedang
dan kelompok non-perokok. Terdapat perbedaan yang bermakna pula pada nilai
median Calculus Index (CI) antara kelompok non-perokok 1,66 (0,33-2,3),
kelompok perokok ringan-sedang 1,66 (0,66-2,1), dan kelompok perokok berat
(1,78 0,51) dengan p value = 0,031. Pada hasil olah data statisik nilai Debris
Index juga diperoleh hasil perbedaan yang bermakna antara kelompok non-
perokok (0,8 (0,17-1,5)), kelompok perokok ringan-sedang (1 (0,33-2)), dan
kelompok perokok berat (1,06 0,39) dengan p value sebesar 0,012. Sementara
pada hasil olah data nilai Gingiva Index tidak didapatkan perbedaan yang
bermakna anatara kelompok non-perokok, perokok ringan-sedang, dan perokok
berat (p value = 0,51). Hasil analisis statistik tersebut menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat merokok maka akan semakin buruk tingkat kesehatan gigi
dan mulut. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa merokok dapat membuat
tingginya pembentukan plak pada gigi yang disebabkan oleh tingginya kandungan
mineral baik kalsium, fosfat, dan mineral lainnya dalam di dalam rongga mulut
yang dapat membuat kalkulus dan menurunkan tingkat kesehatan gigi dan
mulut.29,30
48

Berdasarkan jenis rokok yang dikonsumsi dengan kadar salivary calcium


pada perokok kretek dan non-kretek, didapatkan hasil nilai rerata kadar salivary
calcium pada perokok kretek lebih tinggi yaitu 0,86 0,28 dibandingkan dengan
nilai rerata salivary calcium pada perokok non-kretek yaitu 0,79 0,24 mesikpun
hasil uji statistik lanjutan menggunakan uji unpaired t-test menunjukkan hasil
yang tidak signifikan (p value > 0,05). Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa
pada rokok kretek pada umumnya mengandung kadar nikotin yang lebih tinggi
karena perbedaan dalam proses produksi dan penggunaan filter yang terdapat pada
rokok putih.26 Semakin tinggi kadar nikotin yang terpapar pada rongga mulut
mempengaruhi tingginya proses demineralisasi gigi yang selanjutnya akan
meningkatkan konstentrasi kadar salivary calcium.19,20 Namun penelitian lainnya
yang dilakukan oleh Roemer E, et al. menyatakan bahwa toksisitas yang
dihasilkan oleh rokok kretek tidak jauh berbeda dengan rokok American-blended
(rokok putih) sehingga tidak membuktikan bahwa rokok kretek memiliki efek
terhadap kerusakan jaringan di rongga mulut yang lebih tinggi dibandingkan
dengan rokok putih.27

4.3 Aspek Keislaman


Tingginya kadar salivary calcium pada perokok menunjukkan kerusakan
yang terjadi pada rongga mulut akibat konsumsi rokok jangka panjang. Paparan
zat-zat toksik yang terkandung di dalam rokok menyebabkan kerusakan jaringan-
jaringan di dalam rongga mulut dan menyebabkan perubahan komposisi saliva
yang dibutuhkan dalam proses fisiologis tubuh serta merupakan salah satu barrier
tubuh terhadap patogen. Dari penelitian ini telah dibuktikan bahwa semakin
banyak rokok yang dikonsumsi akan semakin parah kerusakan yang terjadi di
dalam rongga mulut.
49

Ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2009 telah menyatakan


sepakat mengenai hokum merokok yaitu khilaf ma baiyna al-makruh wa al-
haram atau antara makruh dan haram, serta merokok haram hukumnya apabila
dilakukan di tempat umum, dilakukan oleh anak-anak, dan apabila dilakukan oleh
wanita hamil.28 Dengan banyaknya hal-hal negatif yang ditimbulkan dari
merokok, penulis menyarankan bagi para perokok khususnya untuk berhenti atau
mengurangi konsumsi rokok agar dapat mengurangi dampak buruk yang
ditimbulkannya kepada kesehatan tubuh. Di dalam al-Quran Allah SWT
berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 192:

Artinya:
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah
(2) : 195)

Dan juga di dalam surat al-Araf (7) ayat 157 Allah SWT berfirman:

Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
50

menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari


mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang
yang beruntung. (QS. Al-Araf (7) : 157)
Dan juga hadist Nabi Muhammad SAW:

Artinya:
Tidak boleh membuat mudlarat kepada diri sendiri dan tidak boleh membuat
mudlarat kepada orang lain (HR. Ibnu Majah)
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini adalah didapatkan kadar
kalsium saliva pada perokok dengan indeks Brinkman ringan-sedang (0,76 0,26
mmol/L) secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan perokok dengan
indeks Brinkman berat (0,95 0,23 mmol/L) dengan beda rerata (mean
difference) sebesar 0,07 dan kebermaknaan nilai p < 0,05.

5.2 Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa saran untuk peneliti
selanjutnya:
1. Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti hubungan antara
pengaruh rokok dengan komponen anorganik lain yang terdapat pada
saliva dan hubungannya dengan derajat kesehatan gigi dan mulut
2. Pada penelitian selanjutnya apabila meneliti mengenai peran rokok
terhadap salivary calcium dapat meneliti perbedaan pengaruh jenis
rokok elektrik (VAPE) terhadap salivary calcium dibandingkan dengan
jenis rokok biasa

28
39

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Global Adult Tobacco Survey (GATS): Indonesia report 2011.


Jakarta: World Health Organization, Regional Office for South-East Asia;
2012
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI. Riset
kesehatan dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2013
3. American Dental Hygienists Association (ADHA) [Internet]. Tobacco Use,
Periodontal Disease dalam: Access Magazine 16 July 2010.
(https://www.adha.org/sites/default/files/7232_Tobacco_Use_Periodontal_
Disease_1.pdf)
4. Gautam, DK et al. Effect of Cigarette Smoking on the periodontal status: A
comparative, cross sectional study. J Indian Soc Periodontol. 2011 Oct-
Dec; 15(4): 383-387.
5. Almeida de, Patricia Del Vigna, et al. Saliva Composition and Functions:
A comprehensive review. March 2008. The Journal of Contemporary
Dental Practice Vol. 9 Number 3.
6. Saladin KS, Porth CM. Salivary Glands, in: Anatomy and Physiology: The
Unit of Form and Function. 6th Ed. Oxford University Press, New York.
1998.
7. Margaret J. Fehrenbach, and Jane Weiner [ebook]. Saunders Review of
Dental Hygiene [December 2008; cited 22 October 2015]. Saunders:
Elsevier Health Sciences.
8. National Institute of Dental and Craniofacial Research [Internet].
Periodontal (Gum) Disease: Causes, Symptoms, and Treatments [Updated
2013; cited 2015 October 15]. NIH Publication No. 13-1142 September
2013. Available from:
http://www.nidcr.nih.gov/oralhealth/Topics/GumDiseases/PeriodontalGum
Disease.htm
9. Sintawati P. X. dan Indirawati Tjahja N [Internet]. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kebersihan gigi dan mulut masyarakat DKI Jakarta Tahun
40

2007 [Updated 2008; cited 2015 October 15]. Jurnal Ekologi Kesehatan
Vol. 8 No. I, Maret 2008: 860-873. Available from:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/view/1664/969
10. Grays JA. Kinetics dissolution of human dental enamel in acid. J Dent
Res.1982; 41(8): 633-645.
11. Friskopp J, Isacsson G. Mineral content of supragingival and subgingival
dental calculus. A quantitative microradiographic study. Scand J Dent Res.
1984; 92: 417-423.
12. Shata A. Hassan, and Tahani A Al-Sandook [Internet]. Salivary Calcium
Concentration in Patients with High Incidence of Calculus Formation
[Updated 2005; cited 22 October 2015]. Al-Rafidain Dent J. Vol. 5, No. 1,
ISSN: 1812-1217
13. Greene and Vermilion [Internet]. Simplified Oral Hygiene Index | OHI-S
[cited 2015 October 15]. Available from:
https://www.mah.se/CAPP/Methods-and-Indices/Oral-Hygiene-
Indices/Simplified-Oral-Hygiene-Index--OHI-S/
14. Samsuri Tirtosastro, dan A.S. Murdiyati [Internet]. Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri 2(1), April 2010:33-43 [Updated
2009; cited 2015 October 15]. Available from:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=185619
15. Adriana de Fatima Vasconcelos Pereira, et al. [Internet]. Effects of
Cigarette Smoking on Oral Hygiene Status [Updated 2013; cited 22
October 2015] Journal of Dental Science. Rev Odonto Cienc 2013; 28(1):
4-7. Available from:
http://revistaseletronicas.pucrs.br/ojs/index.php/fo/article/view/9480
16. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) di Indonesia [Internet]. [Cited 2015 October 15]. Available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/konsensus-ppok-
isi1.html
17. Singh N, Aggarwal Ashutosh N, Gupta D, Behera D, Jindal Surinder K
[Internet]. Quantified Smoking status and non-small cell lung cancer stage
at presentation: analysis of a North Indian cohort and a systematic review
41

of literature [Updated 2012; cited 2015 October 15]. J Thorac Dis


2012;4(5):474-484. DOI:10.3987/j.issn.2072-1439.2012.05.11. Available
from: http://www.jthoracdis.com/article/view/439/html
18. Grover, Neeraj, et.al. Long-term effect of tobacco on unstimulated salivary
pH. Journal of Oral and Maxillofacial Pathology. Vol.20 Issue 1 Jan Apr
2016.
19. Dawes, C.( 2004). Factors influencing salivary flow rate and composition.
In Saliva and oral health 3rd edition. Edited by: Edgar M, Dawes C,
O'Mullane D. London: British Dental Association;32-49.
20. Koenigs, Paula M. and Robert V. Faller [Internet]. Fundamental of
Dentrifice: Oral Health Benefits in a Tube. Diakses 4 Agustus 2016
(http://www.dentalcare.com/en-US/dental-education/continuing-
education/ce410/ce410.aspx?
ModuleName=coursecontent&PartID=2&SectionID=1)
21. Alharbi, Waheeb DM. Electrolyte Changes in Cigarette Smoking. Pakistan
Journal of Phamacology. Vol. 29, No. 1, January 2012.
22. Al-obaidi, W. Salivary calcium, potassium and oral health status among
smokers and non-smokers (a comparative study). J Bagh Coll Dentistry.
2006; 18(2): 89-91.
23. Abed, Hamed Hayder, et al. Evaluation of calcium concentration in saliva
of Iraqi male smokers. AJPS, 2012, vol. 11, No.1.
24. Khan GJ, Mehmood R, Salahuddin, Marwat FM, Haq I, Rehman J.
Secretion of calcium in the saliva of long term tobacco users. J Ayub Med
Col Abbottabad. 2005; 17(4): 1-3.
25. Syahli, Muhammad Reza. Peran Rokok Terhadap Kadar Kalsium Saliva.
2015. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
26. Susanna D, Hartono B, Fauzan H. Penentuan kadar nikotin dalam asap
rokok. Makara Kesehatan. 2003 December; 7(2): 38-41.
27. Roemer E, et al. Toxicological assessment of kretek cigarettes Part 1:
Background, assessment approach, and summary of findings. Regulatory
Toxicology and Pharmacology 70 (2014) S2-S14. Elsevier.
42

28. Majelis Ulama Indonesia. Keputusan ijtima ulama komisi fatwa se-
Indonesia. Bagian ketiga. 2009.
29. Nwhator SO, Ayanbadejo P, Savage KO, et al. Oral hygiene status and
periodontal treatment needs of Nigerian male smokers. TAF Prev Med
Bull. 2010; 9: 107-12.
30. Arowojolu MO, Fawole OI, Dosumu EB, et al. A comparative study of the
oral hygiene status of smokers and non-smokers in Ibadan, Oyo State.
Niger Med J. 2013 July; 54(4): 240-3.
31. Lifestyles Statistics team, Health & Social Care Information Centre.
Statistics on Smoking. V.1.0. England: 29 May 2015.

Anda mungkin juga menyukai