Tips Kasus
Tips Kasus
NIM : 030.08.292
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Dr. Satriyo Y. Sasono, SpAn pada :
Hari : Senin
Batam ,
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan anugrah-
Nya, pembahasan case dengan judul Anestesi Umum pada Tonsilitis Kronis Hipertrofi daan
Snoring dapat di selesaikan.
Pembahasan case ini disusun sebagai salah satu tugas dalam pelaksanaan kepaniteraan
klinik bagian anastesi RS otorita batam periode 8 Oktober- 10 November 2012.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Satriyo
Y.Sasono, Sp.An selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini serta seluruh pihak yang
telah membantu, sehingga case ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu sangat diharapkan
kritik dan saran untuk perbaikan pembuatan case ini
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Untuk seluruh kasus,
prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75%
dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar
sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi. TKH, dapat menyebabkan berbagai
gangguan tidur seperti mendengkur sampai terjadinya apnea pbstruktif sewaktu tidur
( Obstructive Sleep Apnea). OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan
episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya
asupan oksigen secara periodic. Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka TKH yang
disertai sleep apnea harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif. Secara umum,
penatalaksanaan TK dibagi dua, yaitu konservatif dan operatif. Bila tonsil membesar dan
menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses, atau
tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan.
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan
untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak
untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang dewasa.
Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny N
Umur : 36 Tahun
Agama : Islam
II. ANAMNESA
Telah dilakukan Autoanamnesa pada 22 Oktober 2012 pada pukul 12.30 WIB
1. Keluhan Utama
Os datang dengan keluhan sesak napas dan tidur ngorok sejak 3 minggu SMRS.
Sejak 2 tahun SMRS, Os sering mengalami sesak napas yang hilang timbul dan tidur
ngorok.
3 minggu SMRS, Os sering merasa cepat lelah dan sesak napas nya semakin
demam, batuk dan pilek. Mual muntah tidak didapatkan. Pusing tidak ada. Bengkak di
5. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku belum menggunakan obat-obatan untuk mengobati sakitnya
6. Anamnesa sistemik
a. Kepala : rontok (-), wajah bengkak (-), nyeri (-)
b. Mulut : sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), gusi
berdarah (-), mulut kering (-), nyeri(-)
c. Tenggorokan : sakit menelan (+), suara serak (-), gatal (-)
d. Sistem respirasi : sesak nafas (+), batuk (+), batuk darah (-),
mengi (-) pilek (+)
e. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-)
f. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), susah BAB
(-), kembung (-).
g. Sistem muskuloskeletal : nyeri (-), bengkak tungkai (-), badan lemas
(-),kaku (-).
h. Sistem genitourinaria : BAK berwarna merah (-), nyeri saat kencing (-),
keluar darah (-), kencing nanah (-)
i. Ekstremitas atas : luka (-), tremor (-), ujung jari terasa
dingin (-), kesemutan (-), sakit sendi (-),
nyeri (-)
j. Ekstremitas bawah : bengkak (-), nyeri (-), luka (-), tremor (-), ujung
jari terasa dingin (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Nadi : 89 x/mnt
Suhu : 38,2 0 C
Pernapasan : 22 x/mnt
Keadaan gizi : obesity , TB = 165 cm, BB = 89kg, BMI = 32,96 kg/m2
Kulit : Warna kuning langsat, sianosis (-), ikterik (-), turgor normal,
Kepala : Normocephali
Mata : Conjunctiva Pucat (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Pupil bulat isokor, RCL (+/
Tenggorokan : dinding faring posterior hiperemis, T3-T3, detritus (+/+), kripte (-/-)
gallop(-)
Pulmo : Inspeksi : Pergerakan simetris saat inspirasi dan ekspirasi.
wheezing (-/-).
IV PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hb 13,2 11.0-14.5
Ht 41,4 % 35.0-50.0%
V. DIAGNOSA
VI. TINDAKAN
BAB III
LAPORAN ANESTESI
Pasien, Ny Nia ,36 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi tonsilektomi
dengan diagnosis pre operatif Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Snoring yang dilakukan pada
tanggal 23 Oktober 2012 pada pukul 09:13 WIB dengan menggunakan General Anestesi.
Dengan status fisik ASA II. Pasien datang dengan kondisi sakit sedang dan kesadaran
compos mentis. Posisi pasien saat operasi dalam posisi terlentang, dengan leher
diekstensikan di atas meja operasi. Dengan dokter anestesi adalah dr. Gusno Rekozar, Sp.An
dan sebagai operator adalah dr. Teppy, Sp.THT. Operasi berlangsung mulai dari jam 09:13-
10:25 dengan lama operasi selama 73 menit. Anestesi menggunakan jenis Anestesi Umum
TIVA (total intravena anesthesia), recofol dengan relaksasi menggunakan Antacurium
bromide (Tramus).
Dilakukan pemasangan alat-alat penunjang tanda vital anestesi seperti tensimeter, elektroda
EKG, oksimetri dan pada pasien ini telah dilakukan pemasangan IV line. Keadaan umum
pasien sebelum operasi compos mentis, dengan tekanan darah 130/90 mmHg , nadi
89x/menit, saturasi 98%, suhu : 38,2 C febris dan berat badan 89 kg (obesitas). Pada
pemeriksaan laboratorium pada tanggal 22 Oktober 2012 jam 17.00 wib LED pasien
meningkat, dan tidak ada hasil lab lain yang abnormal. Sebelum operasi dimulai, di berikan
premedikasi sambil menyiapkan alat- alat lainnya sebagai persiapan. Setelah semuanya siap,
Premedikasi dimasukkan pada pukul 08:43 WIB berupa:
Kliran 8mg
Kalnex 1000mg
Sulfas Atropin 0,25mg
Fentanyl 75mcg
Sedacum 5mg
Kliran diberikan untuk mengurangi rasa mual muntah setelah operasi selesai. Kalnex
berfungsi untuk mengatasi perdarahan hebat sepanjang operasi dijalankan. Sulfas Atropin
diberikan bertujuan untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus. Fentanyl 75mcq
yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesic dan bisa bersifat induksi. Serta di
berikan sedacum 5mg agar pasien tenang dan dalam keadaan tidur. Penggunaan premedikasi
pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian
analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.
Pada jam 08:55 WIB, pasien ini diberikan recofol 150mg dan pelemas otot berupa
Atracurium bromide (Tramus) 50 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan. Karena
dilakukan operasi tonsilektomi, maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi
nasotrakeal kendali agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya
pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.
Pada jam 08:57 WIB, pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah
terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 8vol%
dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang
lebih 3 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot
sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan nasotrakheal tube. Penggunaan
sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang
jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek
terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan nasotrakheal tube, maka dialirkan
sevofluran 3 vol%, oksigen sekitar 1000 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi
dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Setelah beberapa saat setelah
induksi, tekanan darah pasien mulai turun oleh karena obat-obat induksi anestesi ini
menandakan anestesi yang dijalankan sudah dalam.
Pada jam 09:28 WIB, gas sevofluran diturunkan menjadi 2 vol% lalu ditambah
Fentanyl 50mg untuk menambah efek analgetik karena operasi masih belum selesai.
Diberikan juga Trolac ( Ketorolac tromethamine) 30mg golongan NSAID juga bertindak
untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien. Pasien diberikan juga Dexamethason 5mg.
Gunanya disini untuk mengurangi edema pada laring dan ia juga mempunyai efek
mengurangi hipersaliva selain SA yang diberikan waktu premedikasi tadi.
Jam 09:50 WIB, ditambah lagi Fentanyl 25mg dan Dexamethason 5mg mengingat
operasi masih berlangsung agar pasien lebih nyaman dan sekresi kelenjar ludahnya juga dapat
dikurangi.
Oleh karena operator sudah selesai mengangkat tonsil pada pasien dan sudah mulai
menjahit, maka gas sevofluran mulai diturunkan menjadi 1,5 vol% pada jam 10:22 WIB. Gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan
menjelang operasi hampir selesai.
Operasi selesai tepat jam 10:25 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan jam 10:30 WIB karena pasien
sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi nasotracheal secara cepat
untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 500cc berupa 1 x 500cc Ringer
Astat. Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 100cc.
Recovery
Setelah operasi selesai dan pasien dalam keadaan sadar, pasien dipindahkan ke dalam
ruangan recovery dan diobservasi berdasarkan Alderete score. Jika Alderete score 8 dan
tanpa adanya nilai 0, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini didapatkan
Alderete score 10.
b. oksigenasi sungkup
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi anestesi:
Peristiwa ilangnya sensasi, perasaan ( panas, raba, posture ) dan nyeri bahkan hilangnya
kesadaran, sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan pembedahan
Trias Anestesi :
MEDIKASI PRA-ANESTETIK
Ada 5 golongan obat yang diberikan sebagai medikasi pra-anestetik yaitu analgesic
narkotik, sedative barbiturate, benzodiazepine, antikolinergik, dan neuroleptik.
I. Analgesik Narkotik
Morfin adalah analgesic narkotik yang digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan
pasien menghadapi pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anesthesia
dengan trikloretilen, dan membantu agar anesthesia berlangsung baik. Diberikan dalam dosis
8-10 mg IM untuk tujuan di atas, sedangkan dosis 0,01-0,2 mg/KgBB IV cukup untuk
menimbulkan efek analgesia.
Opioid lain yang digunakan sebagai premedikasi, sesuai dengan urutan kekuatannya ialah
sulfentanil (1000 x) > remifentanil (300x) > fentanil (100x) > alfentanil (15x) > morfin (1x) >
meperidin (0,1x). Dosis fentanil biasanya 0,05-0,1 mg/KgBB, dengan masa kerja kurang
lebih 30 menit.
II. Barbiturat
Digunakan apabila pasien alergi dengan barbiturate, seperti etinamat, glutetimid, dan
kloralhidrat.
IV. Benzodiazepin
Lebih dianjurkan disbanding morfin dan barbiturat, karena pada dosis biasa tidak menambah
depresi napas akibat opioid. Selain menyebabkan tidur juga menimbulkan amnesia retrogard
dan dapat mengurangi rasa cemas.
Midazolam IV disuntikkan 15-60 menit prabedah memberikan amnesia dengan masa kerja
lebih singkat dan lebih sedikit efek samping.
V. Neuroleptik
Kelompok obat ini digunakan untuk mengurangi mual dan muntah akibat anestetik pada masa
induksi maupun pemulihan. Kualitas sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang
ditimbulkan oleh morfin saja
VI. Antimuskarinik
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan anestetik inhalasi dapat
mengganggu pernapasan selama anestesi. Atropin 0,4-0,6 mg IM mencegah hipersekresi ini
10-15 menit setelah penyuntikkan. Efek ini berlangsung 90 menit.
Tehnik Anestesi :
a. Sungkup wajah
b. Intubasi endotrakeal
a. Intubasi endotrakeal
Anestesi Umum
Anestesi umum merupakan keadaan tidak terdapatnya sensasi yang berhubungan dengan
hilangnya kesadaran yang reversibel. Anestetik menekan semua jaringan yang dapat
dieksitasi termasuk neuron sentral, otot jantung, otot polos, maupun otot lurik. Akan tetapi
jaringan-jaringan ini mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap anestetik dan daerah otak
yang bertanggungjawab untuk kesadaran adalah yang paling sensitive dibandingkan yang
lain. Hal tersebut memungkinkan pemberian obat anestetik pada konsentrasi yang
menghasilkan hilangnya kesadaran tanpa menekan secara nyata pusat kardiovaskular dan
respirasi atau miokard.
Daerah otak yang bertanggungjawab terhadap kesadaran disebut system aktivasi reticular.
System ini merupakan jalur polisinaps kompleks pada formasio retikularis batang otak yang
secara difus menonjol ke korteks. Aktivasi pada RAS berkaitan dengan mempertahankan
kesadaran dan, karena sensitive khususnya terhadap efek depresan dari anestetik diduga RAS
merupakan tempat kerja primer anestetik.
Obat anestetik umum dapat dibagi kepada dua :
1. Inhalasi
2. Intravena
5. Pembedahan lama
1. Golongan barbiturat
Tiopental yang disuntikan intravena menginduksi anestesi dalam waktu kurang dari 30 detik
karena obat ini sangat larut dalam lemak dan menyebabkan cepat terlarut dalam otak yang
mendapat perfusi cepat. Pemulihan dari thiopental cepat karena adanya redistribusi ke dalam
jaringan yang kurang perfusinya. Selanjutnya hati memetabolisme thiopental. Dosis
thiopental hanya sedikit di atas dosis tiduryang menekan miokard dan pusat napas. Sangat
jarang terjadi anafilaksis.
2. Golongan Nonbarbiturat
Banyak obat dengan keuntungan yang lebih potensial daripada barbiturate (misalnya kurang
mendepresi miokard, eleminasi yang lebih cepat) telah diperkenalkan, namun sedikit yang
banyak berguna untuk jangka panjang. Propofol (2,6-diisopropilfenol) berkaitan dengan
pemulihan cepat tanpa mual atau rasa seperti melayang dan untuk alasan ini propofol banyak
digunakan. Akan tetapi propofol kadang-kadang bisa menyebabkan konvulsi, dan sangat
jarang terjadi anafilaksis. Ketamin bisa diberikan melalui suntikan intramuscular atau
intravena. Ketmin merupakan analgesic pada dosis subanestetik, namun sering menyebabkan
halusinasi. Kegunaan utamanya adalah pada anestetik pediatrik.
Anestesi inhalasi
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam
farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran
yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi.
1. Konsentrasi inspirasi
Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh, maka ambilan paru
berhenti dan konsentrasi uap inspirasi sama dengan alveoli. Hal ini dalam praktek tak pernah
terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas
atau kejang laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilasi alveolar
3. Koefesien darah/gas
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah konsentrasi dalam
alveoli dan sebagainya
5. Hubungan ventilasi-perfusi
Obat-obat anestesi inhalasi terdiri antara lain : N2O, Halaton, Enfluran, Isofluran, Desfluran
dan Sevofluran.
N2O
Juga disebut sebagai gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, atau dinitrogen monoksida. Gas
ini diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240C
N2O dalam ruangan berbentuk gas tidak berwarna,bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalam silinder warna
biru 9000liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm.
N2O tidak cukup poten untuk digunakan sebagai obat anestetik tunggal, tetapi
biasanya digunakan sebagai pembawa yang tidak mudah terbakar untuk obat-obat volatile,
yang memugkinkan konsentrasinya untuk dikurangi secara signifikan. N2O merupakan suatu
analgesic yang baik dan 50% zat tersebut dalam oksigen digunakan bila membutuhkan
analgesia (misalnya pada kelahiran bayi, kecelakaan lalu lintas). N2O mempunyai sedikit efek
pada system kardiovaskular dan respirasi.
Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat
anestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anesthesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada
akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran O2dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya
hipoksia difusi; berikan O2100% selama 5-10 menit.
Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan
tidak meransang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi anesthesia kombinasi
dengan N2O. halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh
cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesia semprot lidokain 4% atau 10 %
sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskopi intubasi
dapat dikerjakan dengan mudah, karendikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup
baik.
Pada napas spontan rumatan anesthesia sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendali
sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan respons klinis pasien. Halotan menyebabkan
vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anesthesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai oleh bedah otak.
Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterus akan
menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat perlepasan insulin, meningkatkan kadar gula
darah.
Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat atau meransang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Walaupun dirosak oleh kapur soda (soda lime, baraline) tetapi belum ada laporan
membahayakan terhadap tubuh manusia.
Intubasi ( ETT )
Indikasi Intubasi :
- Pasien operasi
Komplikasi Intubasi :
b. Selama Intubasi
- Aspirasi
- Hipertensi, takikardi
- Spasme Bronchus
c. Setelah Intubasi :
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
Induksi :
- Inhalasi
- Parenteral ( IV & IM )
Selama operasi harus ada pemantauan ( Tanda tanda vital : yaitu : Tensi, suhu, respirasi,
nadi). Tujuannya adalah untuk mengurangi terjadinya komplikasi anestesi operasi.
Intubasi ( ETT )
A. Definisi
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya,
Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim,
2002).
B. Tujuan
H. Kesulitan intubasi
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000)
biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
h. Fraktur servical
i. Rahang bawah kecil
j. Osteoarthritis temporo mandibula joint
k.Trismus.
l. Ada masa di pharing dan laring
G. Kegagalan intubasi
Hal yang perlu dilakukan apabila terjadi keadaan gagal intubasi adalah mengunakan
alat-alat anestesi lain yang kemungkinan dapat berguna. Salah satu yang dapat dan sangat
sering digunakan serta menunjukkan angka keberhasilan cukup tinggi adalah laryngeal mask
airway (LMA) atau sungkup laring. Selain itu pada keadaan yang sangat gawat, tindakan
krikotiroidotomi dengan menggunakan jarum yang besar dapat dilakukan 4
Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita dapatkan. Informasi
ini penting, apabila di kemudian hari dilakukan kembali tindakan manajemen jalan napas.
Gambaran standart yang digunakan adalah klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984):
Intubasi Orotrakeal
Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua jenis blade yang
paling umum digunakan, yaitu Macintosh dan Miller. Blade Macintosh berbentuk
lengkung. Ujungnya dimasukkan ke dalam Valekula (celah antara pangkal lidah dan
permukaan faring dari epiglotis). Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan
insersi pipa endotrakeal lebih mudah dan dengan risiko trauma minimal pada
epiglotis. Ukuran pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1 hingga nomor 4.
Untuk dewasa, pada umumnya digunakan ukuran nomor 3.
Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di bawah
permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk melihat pita
suara. Kelebihan dari bladeMiller ini adalah anestesiologis dapat melihat dengan jelas
terbukanya epoglotis, namun di sisi lain jalur oro-hipofaring lebih sempit. Ukuran
bervariasi dari nomor 0 hingga nomor 4, dengan ukuran yang paling umum digunakan
untuk dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3.
Pasien diposisikan dalam posisi sniffing, dimana oksiput diangkat atau dielevasi
dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam posisi ekstensi.
Biasanya posisi seperti ini akan memperluas pandangan laringoskopik. Sedangkan
posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien membuka mulut.
Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan antarahandle dan blade. Setelah
memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik cross finger dari jari tangan kanan,
laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut pasien sambil menyingkirkan lidah ke
sisi kiri. Bibir dan gigi pasien tidak boleh terjepit oleh blade. Blade kemudian
diangkat sehingga terlihat epiglotis terbuka. Laringoskop harus diangkat, bukan
didorong ke depan agar kerusakan pada gigi maupun gusi pada rahang atas dapat
dihindari.
Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia pasien,
bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran 7.0 mm
digunakan untuk hampir seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada umumnya
digunkan pada pria. ETT dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil lalu
dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian masuk ke pita suara. Bila
epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting untuk menjadikan epiglotis
sebagai landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea.
Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu memperjelas
pandangan anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT ditempatkan di bawah
pita suara, lalu balon dikembangkan dengan udara positif dengan tekanan 20-30
cmH2O.
Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area, yaitu kedua
apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas terdengar hanya pada
salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan telah terjadi intubasi endobronkial dan
ETT harus ditarik perlahan hingga suara napas terdengar simetris di lapangan paru
kanan dan kiri. ETT kemudian difiksasi segera dengan menggunakan plester.
Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi maupun
tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang
digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas
menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan
untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya
sinusitis. Anestesia topikal dan vasokonstriksi pada mukosa hidung dapat diperoleh dengan
mengaplikasikan campuran antara 3% lidokain dan 0.25% phenylephrine. Pada umumnya,
ukuran ETT 6.0 hingga 6.5 mm digunakan pada hampir semua wanita, sedangkan untuk laki-
laki digunakan ETT dengan ukuran 7.0 hingga 7.5 mm. Setelah ETT melewati rongga hidung
kemudian ke faring, pipa ETT masuk ke glotis yang telah membuka. Intubasi dapat dilakukan
dengan bantuan laringoskop atau fiberoptik bronkoskop, atau dengan forsep Magill.
Komplikasi yang dapat terjadi hampir sama seperti yang terjadi pada intubasi orotrakeal.
Namun ada sedikit penambahan seperti terjadinya epistaksis dan diseksi submukosa. Bila
dibandingkan dengan intubasi orotrakeal, intubasi nasotrakeal dihubungkan dengan
peningkatan insidensi dari sinusitis dan bakteremia.
Kontraindikasi dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya
pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
Ekstubasi :
Penatalaksanaan
Medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika
yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis adalah Cephalexin ditambah
Metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses).
Amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleasis).
Operatif dengan tindakan tonsilektomi.
Indikasi tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas
relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan
untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head
and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a)Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia berat, gangguan
tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b)abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika
dilakukan fase akut
c)tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d)tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
a)Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan
medik yang adekuat
b)halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
c)tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaikdengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap B-laktamase
Komplikasi tonsilektomi
Komplikasi anestesi terkait dengan kondisi kesehatan pasien. Komplikasi yang ditemukan
berupa:
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi
1. Komplikasi bedah
Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering. Perdarahan dapat terjadi selama operasi,
segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada
1: 35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glossofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali
oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorlands Illustrated medical dictionary, 27th ed., WB Saunders Co.,
Philadelpia, 1988
2. Davidson,J.K.,Eckhardt III William F., Perese Deniz A., Clinical anesthesia
Procedures of the Massachusetts General Hospital. 4 th edition. Boston, Little, Brown
and Company, 1993
3. G. Edward Morgan, dkk., Clinical Anesthesiology, London,McGraw-Hill,2006
4. Latief said A., Suryadi kartini A., Daehlan M. Ruswan, Petunjuk praktis
anestesiologi. 2nd edition, Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
5. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan Saluran Nafas
Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala
dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara ; 1994 : 194-
224
6. Jackson C, Jackson CL.Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 nd ed..
Philadelphia : WB Saunders Co; 1959 : 239-57.
7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome :
http://www.emedicine.com/ped/topic1630.htm.2002