Anda di halaman 1dari 32

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Nor Fatehah binti Hamdan

NIM : 030.08.292

Judul Case : ANESTESI UMUM PADA TONSILITIS KRONIS


HIPERTROFI DAN SNORING

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Dr. Satriyo Y. Sasono, SpAn pada :

Hari : Senin

Tanggal : 1 Oktober 2012

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Anestesi

Di Rumah Sakit Otorita Batam

Batam ,

Dr. Satriyo Y.Sasono, SpAn.


KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan anugrah-
Nya, pembahasan case dengan judul Anestesi Umum pada Tonsilitis Kronis Hipertrofi daan
Snoring dapat di selesaikan.

Pembahasan case ini disusun sebagai salah satu tugas dalam pelaksanaan kepaniteraan
klinik bagian anastesi RS otorita batam periode 8 Oktober- 10 November 2012.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Satriyo
Y.Sasono, Sp.An selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini serta seluruh pihak yang
telah membantu, sehingga case ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu sangat diharapkan
kritik dan saran untuk perbaikan pembuatan case ini

Batam, 1 Oktober 2012

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan

kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Untuk seluruh kasus,

prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75%

dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar

sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi. TKH, dapat menyebabkan berbagai

gangguan tidur seperti mendengkur sampai terjadinya apnea pbstruktif sewaktu tidur

( Obstructive Sleep Apnea). OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan

episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya

asupan oksigen secara periodic. Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka TKH yang

disertai sleep apnea harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif. Secara umum,

penatalaksanaan TK dibagi dua, yaitu konservatif dan operatif. Bila tonsil membesar dan

menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses, atau

tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan.

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,

kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,

dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah

anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan

dengan tujuan untuk pendidikan.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan untuk

tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan

untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak

menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan

untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang dewasa.
Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan

mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang bersangkutan sehingga pasien

dinilai dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.


BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny N

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 36 Tahun

Agama : Islam

Alamat : Bida Asri

Status Pernikahan : Menikah

Pekerjaan : Tidak bekerja

Tanggal masuk rumah sakit : 22/10/2012

II. ANAMNESA
Telah dilakukan Autoanamnesa pada 22 Oktober 2012 pada pukul 12.30 WIB
1. Keluhan Utama

Sesak napas dan tidur ngorok sejak 3 minggu SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang dengan keluhan sesak napas dan tidur ngorok sejak 3 minggu SMRS.

Sejak 2 tahun SMRS, Os sering mengalami sesak napas yang hilang timbul dan tidur

ngorok.

3 minggu SMRS, Os sering merasa cepat lelah dan sesak napas nya semakin

memberat yang bersifat hilang timbul. Nyeri dada tidak ada.

2 minggu SMRS, Os mengalami nyeri sewaktu menelan dan disertai dengan

demam, batuk dan pilek. Mual muntah tidak didapatkan. Pusing tidak ada. Bengkak di

kaki, perut dan kelopak mata tidak ada.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat sakit gula : disangkal
c. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
d. Riwayat asma : Ada
e. Riwayat sakit jantung : disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat batuk lama : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat sakit gula : disangkal
c. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
d. Riwayat asma : Ada
e. Riwayat sakit jantung : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku belum menggunakan obat-obatan untuk mengobati sakitnya
6. Anamnesa sistemik
a. Kepala : rontok (-), wajah bengkak (-), nyeri (-)
b. Mulut : sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), gusi
berdarah (-), mulut kering (-), nyeri(-)
c. Tenggorokan : sakit menelan (+), suara serak (-), gatal (-)
d. Sistem respirasi : sesak nafas (+), batuk (+), batuk darah (-),
mengi (-) pilek (+)
e. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-)
f. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), susah BAB
(-), kembung (-).
g. Sistem muskuloskeletal : nyeri (-), bengkak tungkai (-), badan lemas
(-),kaku (-).
h. Sistem genitourinaria : BAK berwarna merah (-), nyeri saat kencing (-),
keluar darah (-), kencing nanah (-)
i. Ekstremitas atas : luka (-), tremor (-), ujung jari terasa
dingin (-), kesemutan (-), sakit sendi (-),
nyeri (-)
j. Ekstremitas bawah : bengkak (-), nyeri (-), luka (-), tremor (-), ujung
jari terasa dingin (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital : Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 89 x/mnt

Suhu : 38,2 0 C

Pernapasan : 22 x/mnt


Keadaan gizi : obesity , TB = 165 cm, BB = 89kg, BMI = 32,96 kg/m2

Kulit : Warna kuning langsat, sianosis (-), ikterik (-), turgor normal,

Kepala : Normocephali

Wajah : Ekspresi lemah, bentuk simetris

Mata : Conjunctiva Pucat (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Pupil bulat isokor, RCL (+/

+), RCTL (+/+)

Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-)


Membran tympani intak

Hidung : Deviasi septum (-/-), sekret (-/-), mucosa hiperemis (-/-)

Mulut : Lidah kotor (-)

Tenggorokan : dinding faring posterior hiperemis, T3-T3, detritus (+/+), kripte (-/-)

Leher : KGB posterior cervical teraba membesar,lunak,mobile, tidak nyeri

tekan, kelenjar thyroid tidak teraba membesar. JVP 5+2 cm H2O

Thorax : Cor : Inspeksi : Pulsasi Ictus cordis terlihat di ICS V, 1cm

medial midklavikularis kiri

Palpasi : Teraba pulsasi Ictus cordis di ICS V, 1cm

medial midklavikularis kiri

Perkusi : Batas atas (ICS III linea parasternalis kiri

dengan suara redup), batas kiri (ICS V, 1 jari

medial linea midklavikula kiri dengan suara

redup), batas kanan (ICS IV linea sternalis

kanan dengan suara redup)

Auskultasi : S1 normal, S2 normal, reguler, murmur (-)

gallop(-)
Pulmo : Inspeksi : Pergerakan simetris saat inspirasi dan ekspirasi.

Tidak ada yang tertinggal

Palpasi : Vocal fremitus simetris pada kedua lapang paru.

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-),

wheezing (-/-).

Abdomen : Inspeksi : Datar

Palpasi : Supel, nyeri tekan ulu hati, nyeri lepas (-)

Hepar & Lien tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal (3x/menit)

Extremitas : Atas : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-)

Bawah : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-)

IV PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Darah, 22 Oktober 2012

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Leukosit 9,900 3500-10000

Hb 13,2 11.0-14.5
Ht 41,4 % 35.0-50.0%

Trombosit 311 000 150000-390000

LED 28 mm/jam <10 mm/jam

Clotting Time 7 6-11

Bleeding time 2 30 1-6

GDS 122 70-140

T4 101,52 60-120 nmol/L

TSH 0,76 0,25-5

V. DIAGNOSA

Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Snoring

VI. TINDAKAN

Rencana dilakukan terapi konvensional : operasi

BAB III

LAPORAN ANESTESI

Pasien, Ny Nia ,36 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi tonsilektomi
dengan diagnosis pre operatif Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Snoring yang dilakukan pada
tanggal 23 Oktober 2012 pada pukul 09:13 WIB dengan menggunakan General Anestesi.
Dengan status fisik ASA II. Pasien datang dengan kondisi sakit sedang dan kesadaran
compos mentis. Posisi pasien saat operasi dalam posisi terlentang, dengan leher
diekstensikan di atas meja operasi. Dengan dokter anestesi adalah dr. Gusno Rekozar, Sp.An
dan sebagai operator adalah dr. Teppy, Sp.THT. Operasi berlangsung mulai dari jam 09:13-
10:25 dengan lama operasi selama 73 menit. Anestesi menggunakan jenis Anestesi Umum
TIVA (total intravena anesthesia), recofol dengan relaksasi menggunakan Antacurium
bromide (Tramus).
Dilakukan pemasangan alat-alat penunjang tanda vital anestesi seperti tensimeter, elektroda
EKG, oksimetri dan pada pasien ini telah dilakukan pemasangan IV line. Keadaan umum
pasien sebelum operasi compos mentis, dengan tekanan darah 130/90 mmHg , nadi
89x/menit, saturasi 98%, suhu : 38,2 C febris dan berat badan 89 kg (obesitas). Pada
pemeriksaan laboratorium pada tanggal 22 Oktober 2012 jam 17.00 wib LED pasien
meningkat, dan tidak ada hasil lab lain yang abnormal. Sebelum operasi dimulai, di berikan
premedikasi sambil menyiapkan alat- alat lainnya sebagai persiapan. Setelah semuanya siap,
Premedikasi dimasukkan pada pukul 08:43 WIB berupa:
Kliran 8mg
Kalnex 1000mg
Sulfas Atropin 0,25mg
Fentanyl 75mcg
Sedacum 5mg
Kliran diberikan untuk mengurangi rasa mual muntah setelah operasi selesai. Kalnex
berfungsi untuk mengatasi perdarahan hebat sepanjang operasi dijalankan. Sulfas Atropin
diberikan bertujuan untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus. Fentanyl 75mcq
yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesic dan bisa bersifat induksi. Serta di
berikan sedacum 5mg agar pasien tenang dan dalam keadaan tidur. Penggunaan premedikasi
pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian
analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.
Pada jam 08:55 WIB, pasien ini diberikan recofol 150mg dan pelemas otot berupa
Atracurium bromide (Tramus) 50 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan. Karena
dilakukan operasi tonsilektomi, maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi
nasotrakeal kendali agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya
pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.
Pada jam 08:57 WIB, pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah
terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 8vol%
dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang
lebih 3 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot
sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan nasotrakheal tube. Penggunaan
sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang
jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek
terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan nasotrakheal tube, maka dialirkan
sevofluran 3 vol%, oksigen sekitar 1000 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi
dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Setelah beberapa saat setelah
induksi, tekanan darah pasien mulai turun oleh karena obat-obat induksi anestesi ini
menandakan anestesi yang dijalankan sudah dalam.
Pada jam 09:28 WIB, gas sevofluran diturunkan menjadi 2 vol% lalu ditambah
Fentanyl 50mg untuk menambah efek analgetik karena operasi masih belum selesai.
Diberikan juga Trolac ( Ketorolac tromethamine) 30mg golongan NSAID juga bertindak
untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien. Pasien diberikan juga Dexamethason 5mg.
Gunanya disini untuk mengurangi edema pada laring dan ia juga mempunyai efek
mengurangi hipersaliva selain SA yang diberikan waktu premedikasi tadi.
Jam 09:50 WIB, ditambah lagi Fentanyl 25mg dan Dexamethason 5mg mengingat
operasi masih berlangsung agar pasien lebih nyaman dan sekresi kelenjar ludahnya juga dapat
dikurangi.
Oleh karena operator sudah selesai mengangkat tonsil pada pasien dan sudah mulai
menjahit, maka gas sevofluran mulai diturunkan menjadi 1,5 vol% pada jam 10:22 WIB. Gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan
menjelang operasi hampir selesai.

Operasi selesai tepat jam 10:25 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan jam 10:30 WIB karena pasien
sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi nasotracheal secara cepat
untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 500cc berupa 1 x 500cc Ringer
Astat. Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 100cc.

Recovery
Setelah operasi selesai dan pasien dalam keadaan sadar, pasien dipindahkan ke dalam
ruangan recovery dan diobservasi berdasarkan Alderete score. Jika Alderete score 8 dan
tanpa adanya nilai 0, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini didapatkan
Alderete score 10.

Program Post Operasi

a. Awasi tensi, nadi,dan pernafasan tiap setengah jam

b. oksigenasi sungkup

c. Posisi supine, dengan ekstensi kepala sampai pasien sadar

d. Sadar penuh, peristaltik (+), muntah (-) boleh minum

e. Lain-lain sesuai terapi dr. THT

f. Emergency lapor dr. Anestesi

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi anestesi:

Peristiwa ilangnya sensasi, perasaan ( panas, raba, posture ) dan nyeri bahkan hilangnya
kesadaran, sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan pembedahan

Trias Anestesi :

1. Analgesia ( Hilangnya nyeri )


2. Hipnotik ( Hilang kesadaran )

3. Relaksasi otot ( Muscle Relaxan )

MEDIKASI PRA-ANESTETIK

Tujuan medikasi pra-anestetik ialah mengurangi kecemasan menjelang pembedahan,


memperlancar induksi, mengurangi kegawatan akibat anestesi. Selain itu, obat-obat ini akan
mengurangi hipersalivasi, bradikardia, dan muntah yang timbul sesudah maupun selama
anestesi.

Ada 5 golongan obat yang diberikan sebagai medikasi pra-anestetik yaitu analgesic
narkotik, sedative barbiturate, benzodiazepine, antikolinergik, dan neuroleptik.

I. Analgesik Narkotik

Morfin adalah analgesic narkotik yang digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan
pasien menghadapi pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anesthesia
dengan trikloretilen, dan membantu agar anesthesia berlangsung baik. Diberikan dalam dosis
8-10 mg IM untuk tujuan di atas, sedangkan dosis 0,01-0,2 mg/KgBB IV cukup untuk
menimbulkan efek analgesia.

Opioid lain yang digunakan sebagai premedikasi, sesuai dengan urutan kekuatannya ialah
sulfentanil (1000 x) > remifentanil (300x) > fentanil (100x) > alfentanil (15x) > morfin (1x) >
meperidin (0,1x). Dosis fentanil biasanya 0,05-0,1 mg/KgBB, dengan masa kerja kurang
lebih 30 menit.

II. Barbiturat

Golongan barbiturate biasa digunakan untuk memberikan sedasi. Keuntungan menggunakan


barbiturate ialah tidak memperpanjang masa pemulihan dan mengurangi reaksi yang tidak
diingikan. Golongan barbiturate jarang menyebabkan mual dan muntah, dan hanya sedikit
menghambat pernapasan dan sirkulasi dibandingan morfin.
Biasa digunakan pentobarbital dan sekobarbital secara oral atau IM dengan dosis 100-150 mg
pada dewasa dan 1 mg/KgBB pada anak di atas 6 bulan.

III. Sedatif Nonbarbiturat

Digunakan apabila pasien alergi dengan barbiturate, seperti etinamat, glutetimid, dan
kloralhidrat.

IV. Benzodiazepin

Lebih dianjurkan disbanding morfin dan barbiturat, karena pada dosis biasa tidak menambah
depresi napas akibat opioid. Selain menyebabkan tidur juga menimbulkan amnesia retrogard
dan dapat mengurangi rasa cemas.

Midazolam IV disuntikkan 15-60 menit prabedah memberikan amnesia dengan masa kerja
lebih singkat dan lebih sedikit efek samping.

V. Neuroleptik

Kelompok obat ini digunakan untuk mengurangi mual dan muntah akibat anestetik pada masa
induksi maupun pemulihan. Kualitas sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang
ditimbulkan oleh morfin saja

VI. Antimuskarinik

Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan anestetik inhalasi dapat
mengganggu pernapasan selama anestesi. Atropin 0,4-0,6 mg IM mencegah hipersekresi ini
10-15 menit setelah penyuntikkan. Efek ini berlangsung 90 menit.

Tehnik Anestesi :

1. Umum ( Narkose Umum )

2. Lokal / Regional Anestesi


BERBAGAI TEKNIK ANESTESI UMUM

1. INHALASI dengan Respirasi Spontan

a. Sungkup wajah

b. Intubasi endotrakeal

c. Laryngeal mask airway (LMA)

2. INHALASI dengan Respirasi kendali

a. Intubasi endotrakeal

b. Laryngeal mask airway

1. ANESTESI INTRAVENA TOTAL (TIVA)

a. Tanpa intubasi endotrakeal

b. Dengan intubasi endotrakeal

Anestesi Umum

Anestesi umum merupakan keadaan tidak terdapatnya sensasi yang berhubungan dengan
hilangnya kesadaran yang reversibel. Anestetik menekan semua jaringan yang dapat
dieksitasi termasuk neuron sentral, otot jantung, otot polos, maupun otot lurik. Akan tetapi
jaringan-jaringan ini mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap anestetik dan daerah otak
yang bertanggungjawab untuk kesadaran adalah yang paling sensitive dibandingkan yang
lain. Hal tersebut memungkinkan pemberian obat anestetik pada konsentrasi yang
menghasilkan hilangnya kesadaran tanpa menekan secara nyata pusat kardiovaskular dan
respirasi atau miokard.

Daerah otak yang bertanggungjawab terhadap kesadaran disebut system aktivasi reticular.
System ini merupakan jalur polisinaps kompleks pada formasio retikularis batang otak yang
secara difus menonjol ke korteks. Aktivasi pada RAS berkaitan dengan mempertahankan
kesadaran dan, karena sensitive khususnya terhadap efek depresan dari anestetik diduga RAS
merupakan tempat kerja primer anestetik.
Obat anestetik umum dapat dibagi kepada dua :

1. Inhalasi

2. Intravena

Indikasi anestesi umum

1. Infant & anak usia muda

2. Dewasa yang memilih anestesi umum

3. Pembedahannya luas / eskstensif

4. Penderita sakit mental

5. Pembedahan lama

6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan

7. Riwayat penderita tksik / alergi obat anestesi local

8. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia

Obat obat intravena anestesi umum

Obat intravena anesthesia bisa digunakan sebagai :

1. Obat induksi untuk anesthesia umum

2. Obat tunggal untuk aestesia pada pembedahan-pembedahan yang singkat

3. Tambahan untuk obat inhalasi untuk anesthesia regional

4. Obat untuk anestesi regional

Obat intravena ini dapat diberikan dengan cara :

1. Sekali suntuk : untuk operasi singkat


2. Suntikan berulang : jika tidak menggunakan anestesi inhalasi dan dosis ulangan lebih
kecil dari suntukan pertama

3. Lewat infuse (drip) untuk tambah daya anestesi inhalasi

Obat anestesi intravena terbagi kepada:

1. Golongan barbiturat

Tiopental yang disuntikan intravena menginduksi anestesi dalam waktu kurang dari 30 detik
karena obat ini sangat larut dalam lemak dan menyebabkan cepat terlarut dalam otak yang
mendapat perfusi cepat. Pemulihan dari thiopental cepat karena adanya redistribusi ke dalam
jaringan yang kurang perfusinya. Selanjutnya hati memetabolisme thiopental. Dosis
thiopental hanya sedikit di atas dosis tiduryang menekan miokard dan pusat napas. Sangat
jarang terjadi anafilaksis.

2. Golongan Nonbarbiturat

Banyak obat dengan keuntungan yang lebih potensial daripada barbiturate (misalnya kurang
mendepresi miokard, eleminasi yang lebih cepat) telah diperkenalkan, namun sedikit yang
banyak berguna untuk jangka panjang. Propofol (2,6-diisopropilfenol) berkaitan dengan
pemulihan cepat tanpa mual atau rasa seperti melayang dan untuk alasan ini propofol banyak
digunakan. Akan tetapi propofol kadang-kadang bisa menyebabkan konvulsi, dan sangat
jarang terjadi anafilaksis. Ketamin bisa diberikan melalui suntikan intramuscular atau
intravena. Ketmin merupakan analgesic pada dosis subanestetik, namun sering menyebabkan
halusinasi. Kegunaan utamanya adalah pada anestetik pediatrik.

Anestesi inhalasi

Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam
farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran
yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi.

Hiperventilasi akan menaikan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan


ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang
penting dalam menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya. Induksi dan pemulihan
berlansung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada yang larut
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh :

1. Konsentrasi inspirasi

Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh, maka ambilan paru
berhenti dan konsentrasi uap inspirasi sama dengan alveoli. Hal ini dalam praktek tak pernah
terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas
atau kejang laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).

2. Ventilasi alveolar

Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi dan sebaliknya.

3. Koefesien darah/gas

Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah konsentrasi dalam
alveoli dan sebagainya

4. Curah jantung atau aliran darah paru

Makin tinggi curah jantung, makin cepat uap diambil darah

5. Hubungan ventilasi-perfusi

Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik

Obat-obat anestesi inhalasi

Obat-obat anestesi inhalasi terdiri antara lain : N2O, Halaton, Enfluran, Isofluran, Desfluran
dan Sevofluran.

N2O

Juga disebut sebagai gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, atau dinitrogen monoksida. Gas
ini diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240C

N2O dalam ruangan berbentuk gas tidak berwarna,bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalam silinder warna
biru 9000liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm.
N2O tidak cukup poten untuk digunakan sebagai obat anestetik tunggal, tetapi
biasanya digunakan sebagai pembawa yang tidak mudah terbakar untuk obat-obat volatile,
yang memugkinkan konsentrasinya untuk dikurangi secara signifikan. N2O merupakan suatu
analgesic yang baik dan 50% zat tersebut dalam oksigen digunakan bila membutuhkan
analgesia (misalnya pada kelahiran bayi, kecelakaan lalu lintas). N2O mempunyai sedikit efek
pada system kardiovaskular dan respirasi.

Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat
anestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anesthesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada
akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran O2dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya
hipoksia difusi; berikan O2100% selama 5-10 menit.

Halotan

Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan
tidak meransang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi anesthesia kombinasi
dengan N2O. halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh
cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.

Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesia semprot lidokain 4% atau 10 %
sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskopi intubasi
dapat dikerjakan dengan mudah, karendikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup
baik.

Pada napas spontan rumatan anesthesia sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendali
sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan respons klinis pasien. Halotan menyebabkan
vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anesthesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai oleh bedah otak.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi


hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi
reflex baroreceptor. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada sepanjang tidak ada indikasi kontra.

Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan disaritmia, sehingga penggunaan


adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan pengenceran 1;200000 (5ug/ml) dan
maksimal penggunaannya 2 ug/kg.

Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterus akan
menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat perlepasan insulin, meningkatkan kadar gula
darah.

Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidasi menjadi


komponen bromine, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi komponen
fluoride dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolism reduktif ini
menyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan indikasi kontra pada penderita
gangguan hepar pernah dapat halotan tiga bulan atau pada pasien kegemukan. Pasca
pemberian halotan sering menyebabkan pasien menggigil.

Sevofluran

Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat atau meransang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek


terhadap system saraf pusat seperrti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar .
setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.

Walaupun dirosak oleh kapur soda (soda lime, baraline) tetapi belum ada laporan
membahayakan terhadap tubuh manusia.

Intubasi ( ETT )

Intubasi (ETT) ada dua :

a. Spontan : Nafas sendiri tanpa muscle relaxan


b. Kontrol : Dengan muscle relaxan

Indikasi Intubasi :

- Pasien operasi

- Pasien bukan operasi ( Cth : Stroke, gagal nafas, koma )

Komplikasi Intubasi :

a. Pada saat intubasi

Sudah terjadi kompilkasi

b. Selama Intubasi

- Aspirasi

- Trauma ggigi geligi

- Laserasi bibir, gusi, laring

- Hipertensi, takikardi

- Spasme Bronchus

c. Setelah Intubasi :

- Spasme laring

- Aspirasi

- Gangguan fonasi

- Edema glotis sunglotis

- Infeksi larinng, faring, trakhea

Sebelum dilakuan sungkup atau intubasi ada :

Induksi :
- Inhalasi

- Parenteral ( IV & IM )

Selama operasi harus ada pemantauan ( Tanda tanda vital : yaitu : Tensi, suhu, respirasi,
nadi). Tujuannya adalah untuk mengurangi terjadinya komplikasi anestesi operasi.

Intubasi ( ETT )

A. Definisi

Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya,
Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim,
2002).

B. Tujuan

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran


trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan
intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Intubasi (ETT) ada dua :
a. Spontan : Nafas sendiri tanpa muscle relaxan
b. Kontrol : Dengan muscle relaxan dan ventilator
Indikasi Intubasi :
- Pasien operasi
- Pasien bukan operasi ( Cth : Stroke, gagal nafas, koma )
Komplikasi Intubasi :
a. Pada saat intubasi
Sudah terjadi kompilkasi
b. Selama Intubasi
- Aspirasi
- Trauma ggigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Hipertensi, takikardi
- Spasme Bronchus
c. Setelah Intubasi :
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glotis sunglotis
- Infeksi larinng, faring, trachea
Sebelum dilakuan sungkup atau intubasi sebaiknya dilakukan :
Induksi :
- Inhalasi
- Parenteral ( IV & IM )
Selama operasi harus ada pemantauan ( Tanda tanda vital : yaitu : Tensi, suhu, respirasi,
nadi). Tujuannya adalah untuk mengurangi terjadinya komplikasi anestesi operasi.

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun


2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen
melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.Menurut Gisele, 2002 ada beberapa
kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b.Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

H. Kesulitan intubasi
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000)
biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
h. Fraktur servical
i. Rahang bawah kecil
j. Osteoarthritis temporo mandibula joint
k.Trismus.
l. Ada masa di pharing dan laring

G. Kegagalan intubasi
Hal yang perlu dilakukan apabila terjadi keadaan gagal intubasi adalah mengunakan
alat-alat anestesi lain yang kemungkinan dapat berguna. Salah satu yang dapat dan sangat
sering digunakan serta menunjukkan angka keberhasilan cukup tinggi adalah laryngeal mask
airway (LMA) atau sungkup laring. Selain itu pada keadaan yang sangat gawat, tindakan
krikotiroidotomi dengan menggunakan jarum yang besar dapat dilakukan 4

Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita dapatkan. Informasi
ini penting, apabila di kemudian hari dilakukan kembali tindakan manajemen jalan napas.
Gambaran standart yang digunakan adalah klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984):

1. Grade 1 : seluruh laring dapat terlihat

2. Grade 2 : bagian posterior dari laring saja yang dapat terlihat

3. Grade 3 : hanya epiglotis saja yang dapat terlihat

4. Grade 4 : tidak ada bagian laring yang dapat terlihat

Intubasi Orotrakeal

Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua jenis blade yang
paling umum digunakan, yaitu Macintosh dan Miller. Blade Macintosh berbentuk
lengkung. Ujungnya dimasukkan ke dalam Valekula (celah antara pangkal lidah dan
permukaan faring dari epiglotis). Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan
insersi pipa endotrakeal lebih mudah dan dengan risiko trauma minimal pada
epiglotis. Ukuran pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1 hingga nomor 4.
Untuk dewasa, pada umumnya digunakan ukuran nomor 3.

Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di bawah
permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk melihat pita
suara. Kelebihan dari bladeMiller ini adalah anestesiologis dapat melihat dengan jelas
terbukanya epoglotis, namun di sisi lain jalur oro-hipofaring lebih sempit. Ukuran
bervariasi dari nomor 0 hingga nomor 4, dengan ukuran yang paling umum digunakan
untuk dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3.
Pasien diposisikan dalam posisi sniffing, dimana oksiput diangkat atau dielevasi
dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam posisi ekstensi.
Biasanya posisi seperti ini akan memperluas pandangan laringoskopik. Sedangkan
posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien membuka mulut.

Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan antarahandle dan blade. Setelah
memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik cross finger dari jari tangan kanan,
laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut pasien sambil menyingkirkan lidah ke
sisi kiri. Bibir dan gigi pasien tidak boleh terjepit oleh blade. Blade kemudian
diangkat sehingga terlihat epiglotis terbuka. Laringoskop harus diangkat, bukan
didorong ke depan agar kerusakan pada gigi maupun gusi pada rahang atas dapat
dihindari.

Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia pasien,
bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran 7.0 mm
digunakan untuk hampir seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada umumnya
digunkan pada pria. ETT dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil lalu
dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian masuk ke pita suara. Bila
epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting untuk menjadikan epiglotis
sebagai landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea.
Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu memperjelas
pandangan anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT ditempatkan di bawah
pita suara, lalu balon dikembangkan dengan udara positif dengan tekanan 20-30
cmH2O.

Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area, yaitu kedua
apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas terdengar hanya pada
salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan telah terjadi intubasi endobronkial dan
ETT harus ditarik perlahan hingga suara napas terdengar simetris di lapangan paru
kanan dan kiri. ETT kemudian difiksasi segera dengan menggunakan plester.

Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi maupun
tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang
digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas
menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan
untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya
sinusitis. Anestesia topikal dan vasokonstriksi pada mukosa hidung dapat diperoleh dengan
mengaplikasikan campuran antara 3% lidokain dan 0.25% phenylephrine. Pada umumnya,
ukuran ETT 6.0 hingga 6.5 mm digunakan pada hampir semua wanita, sedangkan untuk laki-
laki digunakan ETT dengan ukuran 7.0 hingga 7.5 mm. Setelah ETT melewati rongga hidung
kemudian ke faring, pipa ETT masuk ke glotis yang telah membuka. Intubasi dapat dilakukan
dengan bantuan laringoskop atau fiberoptik bronkoskop, atau dengan forsep Magill.

Komplikasi yang dapat terjadi hampir sama seperti yang terjadi pada intubasi orotrakeal.
Namun ada sedikit penambahan seperti terjadinya epistaksis dan diseksi submukosa. Bila
dibandingkan dengan intubasi orotrakeal, intubasi nasotrakeal dihubungkan dengan
peningkatan insidensi dari sinusitis dan bakteremia.

Kontraindikasi dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya
pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.

Setelah operasi dilakukan :

Ekstubasi :

RR ( Recovery Room ) Bisa terjadi komplikasi juga. EX : Muntah, tensi


tinggi, dll
Di RR : Setelah 2 jam atau kurang dihitung ALDRETE SCORE ( Sadar, tensi
stabil, nafas lagi )

Jika ALDRETE SCORE :

- > 8 : Masuk ruang perawatan


- < 7 : ICU
Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Snoring
Definisi
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan setelah serangan
akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Terjadinya perubahan histologi pada
tonsil dan terdapatnya jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh
zona sel-sel radang.
Mikroabses pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi
organ-organ lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber
bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar jauh ke
tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit. Kelainan ini hanya
menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan
menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada prgan lain yang jauh dari sumber infeksi.
Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan
apabila tonsil ditekan keluar detritus.
Etiologi
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering menderita
infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat atau
dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama terdapat pada tonsilitis
akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif. Staphylococcus alfa merupakan
penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus, Streptococcus beta hemolyticus group A.
Faktor predisposisi
Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :
Rangsangan kronis (rokok, makanan)
Hygiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
Alergi (iritasi kronis dari alergen)
Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
Patofisiologi
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh kita baik melalui
hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh makrofag yang
merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari
penjagaan hygiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-faktor lain,maka pada
suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh semua kuman kumannya, akibatnya kuman yang
yang bersarang di tonsil akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik.pada keadaan
inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses radang berulang,
maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta
akan melebar. Secara klinis kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat bewarna putih
kekuningan). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan
dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh
tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.
Manifestasi klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang berulang,
adanya rasa sakit terus menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan dan
adanya sesuatu yang mengganjal di tenggorokan bila menelan, terasa kering dan pernafasan
berbau.
Tonsila akan memperlihatkan beberapa derajat hipertrofi dan dapat bertemu di garis tengah.
Nafas penderita bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi hebat, mungkin terdapat
obstruksi yang cukup besar pada saluran pernafasan bagian atas.

Penatalaksanaan
Medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika
yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis adalah Cephalexin ditambah
Metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses).
Amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleasis).
Operatif dengan tindakan tonsilektomi.

Indikasi tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas
relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan
untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head
and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a)Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia berat, gangguan
tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b)abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika
dilakukan fase akut
c)tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d)tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

2. Indikasi relatif
a)Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan
medik yang adekuat
b)halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
c)tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaikdengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap B-laktamase

Komplikasi tonsilektomi
Komplikasi anestesi terkait dengan kondisi kesehatan pasien. Komplikasi yang ditemukan
berupa:

Laringospasme

Gelisah pasca operasi

Mual muntah

Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi
1. Komplikasi bedah
Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering. Perdarahan dapat terjadi selama operasi,
segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada
1: 35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glossofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali
oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorlands Illustrated medical dictionary, 27th ed., WB Saunders Co.,
Philadelpia, 1988
2. Davidson,J.K.,Eckhardt III William F., Perese Deniz A., Clinical anesthesia
Procedures of the Massachusetts General Hospital. 4 th edition. Boston, Little, Brown
and Company, 1993
3. G. Edward Morgan, dkk., Clinical Anesthesiology, London,McGraw-Hill,2006
4. Latief said A., Suryadi kartini A., Daehlan M. Ruswan, Petunjuk praktis
anestesiologi. 2nd edition, Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
5. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan Saluran Nafas
Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala
dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara ; 1994 : 194-
224
6. Jackson C, Jackson CL.Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 nd ed..
Philadelphia : WB Saunders Co; 1959 : 239-57.
7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome :
http://www.emedicine.com/ped/topic1630.htm.2002

Anda mungkin juga menyukai