Anda di halaman 1dari 7

KEBIJAKAN SAPU JOKOWI-JK1

oleh Dr. Erdi, M.Si


Dosen Nasional MK Anti Korupsi; mengajar di FISIP UNTAN,
IPDN Kampus Kalbar, UPBJJ-UT dan FH-UPB

Hingga artikel ini diturunkan, paling tidak sudah


ada 2 (dua) kebijakan yang berbau sapu yang telah
diluncurkan oleh pemerintahan Jokowi-JK; pertama adalah
Kebijakan Sapu Jagad Listrik Nasional (lihat tulisan
Erdi di Pontianak Post, Minggu 17 April 2016) dan kedua
adalah Kebijakan Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber
Pungli). Kedua kebijakan ini sedang berjalan dan akan
berakhir tahun 2019 di saat pemerintahan Kerja Kerja
Kerja ini berakhir. Dengan dua kebijakan ini, publik
kemudian memberi gelar pada pemerintahan Jokowi-JK
sebagai pemerintahan sapu. Sesungguhnya tidak ada yang
salah dengan kebijakan ini, cuma dianggap terlalu kecil
dan kurang bergigi bagi seorang presiden seperti yang
dituliskan oleh Amin Rais dalam Republika yang sampai ke
penulis melalui pesan WA dari beberapa sahabat.
Semestinya, gebrakan seorang presiden adalah lebih
besar karena kebijakan sapu yang kedua ini lahir dari
sebuah gerakan moral yang disebut Revolusi Mental. Bagi
saya, tak apalah kebijakan sapu kedua ini ada, dari pada
tidak memiliki gerakan sama sekali dalam kontek
penanggulangan korupsi dan upaya mewujudkan pemerintahan
bersih. Bagi saya, sebagaimana telah saya hipotesiskan
bahwa Jokowi-JK tidak akan berani menghukum mati
koruptor karena banyak pertimbangan; termasuk
kemungkinan senjata makan tuan. Kabinet kerja ini hanya
ingin meletakkan dasar pembersihan aparatur melalui
Saber Pungli yang nanti akan ditingkatkan menjadi Hukum
Mati Koruptor; yang kemungkinan ditetapkan oleh
pemerintahan pada fase berikutnya dan atau berikutnya
lagi. Pemerintah Negeri ini belum seberani Pemerintah

1
Telah dimuat pada harian Pontianak Post dengan judul yang sama pada hari Sabtu,
5.11.2016 halaman 12 Kolom Opini. Saat pemuatan, Tim Opini Pontianak Post
melakukan kesalahan dengan tidak mengubah template lay out sehingga terpublis
penulis artikel ini adalah Darmawansyah yang kemudian dibuat Info ralatnya pada Hari
Senin, 2.11.2016. Versi online dari artikel ini dapat dibaca melalui tautan:
http://www.pontianakpost.co.id/kebijakan-%E2%80%9Csapu%E2%80%9D-jokowi-jk

1|Page
Negeri Tiongkok atau Jepang dalam pemberantasan korupsi
(lihat Habir, 2005)
Pungli adalah pengenaan biaya yang tidak seharusnya
dipungut. Kebanyakan pelaku pungli adalah aparat dan
bahkan pejabat. Ketika bea, iuran, kutipan, pajak,
saweran dan tarif dikukuhkan dengan sebuah kebijakan,
maka ia tidak masuk dalam kelompok pungli; tetapi ketika
tidak ada dasar hukum pengenaannya, maka semua jenis
pungutan masuk sebagai pungli. Besaran pungli sangat
tergantung pada volume, nilai urusan dan waktu. Semakin
besar volume, nilai urusan dan mendesak; semakin besar
pula uang punglinya dan berlaku sebaliknya. Jadi, secara
umum pengertian pungli adalah kegiatan meminta sejumlah
uang atau barang yang dilakukan dengan tidak tertata,
tidak resmi, tanpa dasar hukum dan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi oleh aparat atau penegak hukum untuk
kepentingan sendiri dari layanan yang diberikan (BPKP,
2002). Jadi, pungli adalah segala bentuk pungutan yang
tidak resmi dan tidak juga mempunyai landasan hukum.
Pungli masuk ke dalam kejahatan jabatan karena tindakan
itu adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan menyalah-gunakan kekuasaan yang dapat
memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu atau
membayar atas suatu pekerjaan atau jasa. Istilah yang
sering dipergunakan masyarakat untuk menunjuk pungli
adalah konsumsi kering, uang makan, uang sogok, uang
pulsa, uang rokok, uang pelicin, salam tempel dan lain
lain. Pungutan liar pada hakekatnya adalah interaksi
antara petugas dengan masyarakat yang didorong oleh
berbagai kepentingan pribadi (Soedjono, 1983:15).
Ketika diibaratkan sebuah pohon korupsi, maka
pungli adalah bagian daun, dahan dan ranting yang
sebenarnya tidak memberi pengaruh berarti atas
pemberantasan korupsi di negeri ini tetapi hanya
meriuhkan atau bias juga mempercantik pohon. Saber
Pungli yang akan dilakukan dalam tiga tahun sisa
pemerintahan Jokowi-JK akan belum mampu menyentuh akar
dan pohon korupsi. Dengan logika ini, hipotesis saya
kedua adalah korupsi dengan segala bentuknya akan masih
tetap kokoh, tegap dan eksis hingga akhir masa
pemerintahan Jokowi-JK tahun 2019. Sebenarnya, saya
tidak ingin hipotesis kedua ini terbukti. Bahkan, ketika
pohon dipangkas pada bagian daun, dahan dan ranting;
justru tumbuh daun, ranting dan dahan baru di banyak
bagian pohon sehingga bias-bisa justru memperkokoh

2|Page
pondasi pohon itu sendiri. Oleh karena itu, yang benar
adalah memberantas akar dan pohon korupsi dengan hukuman
mati sebagaimana telah saya hipotesiskan pada tulisan di
koran ini Senin, 23 Februari 2015 silam (Erdi, 2015).
Apa akar dan pohon korupsi? Ibarat pohon tadi, akar
korupsi adalah sistem dan penguasa yang menjadi penentu
hidup atau matinya sebuah pohon. Ketika akan membunuh
pohon, maka batang (penguasa) harus ditebang hingga ke
tunggul terbawah, yakni dengan mencabut kekuasaan dari
tangan penguasa dan membongkar sistem yang menjadi
penentu hidup-matinya pohon, yaitu bagian akar. Dengan
analogi itu, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk
memberantas korupsi. Pertama, mencabut kekuasaan dari
tangan pelaku korupsi, lalu kemudian kedua; membongkar
sistem atau semua aturan yang diperkirakan memberi
peluang atau mendorong orang untuk melakukan tindakan
korupsi (lihat Iyer and Samociuk, 2006).
Dari aspek volume, pungli diibaratkan uang receh
tetapi mampu menghidupkan suasana atau mampu merbuat
suasana riuh di tempat kerja. Pungli tersebar dimana-
mana (diibaratkan ranting dan pohon) karena melibatkan
banyak pegawai atau petugas. Di satu sisi, pungli dapat
menggairahkan kantor dalam memberikan layanan kepada
pelanggan secara baik karena petugas menyertakan harapan
akan adanya kemurahan hati dari penerima layanan untuk
memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih; atau
paling tidak memperpanjang silaturahmi dan kenalan. Bagi
pegawai, dengan atau tanpa pungli pun; layanan tetap
diberikan sebaik mungkin karena itu sudah perintah
lembaga. Pungli juga tidak akan menggetarkan
pemerintahan karena volumenya yang kecil-kecil dan
sebagian besar tidak mengambil uang dari dalam kantor.
Karena sifatnya yang tidak baik, tetaplah diberantas;
tetapi cara berantasnya lebih baik dengan berbuat tanpa
bicara; tidak perlu dibesar-besarkan seperti saat ini.
Hukuman bagi pelaku pungli pun tergolong ringan;
pungli dengan kekerasan (pasal 368 KUHP) dihukum 9
tahun; pelaku penggelapan barang kantor sesuai Pasal 415
KUHP diganjar 7 tahun; menerima hadiah karena jabatan
diganjar denda uang Rp 4.500 dan penjara 6 bulan;
penyalah-gunaan kekuasaan dengan memaksa orang melakukan
atau menyerahkan sesuatu untuk kepentingan pribadi
sesuai Pasal 423 KUHP diganjar 6 tahun. Semua hukuman di
atas tidak mengerikan bagi pelaku pungli. Oleh karena
itu, ketika tidak langsung ke pohon dan akar korupsi,

3|Page
pergerakan pemberantasannya akan berjalan di tempat;
kalaupun berjalan maju, kemajuannya sangat lamban; lebih
lamban dari bocah yang barusan disunat. Pada sisi
lainnya, layanan public akan tidak bergairah dan kaku
karena petugas akan main undang-undang, peraturan dan
ketentuan (das sollen). Ketika syarat layanan public
tidak atau belum terpenuhi, petugas dapat saja
menghentikan layanan karena sesuai aturan, syarat dan
ketentuan tak terpenuhi. Hal seperti ini pun harus
diperhitungkan oleh pimpinan lembaga ketika Saber Pungli
hendak ditegakkan. Logika berfikir yang seharusnya
terbangun adalah berantas induk (korupsi); insya allah
anak-anak korupsi (diantaranya pungli) akan ikut mati
atau terberantas (Pelizzo, 2005). Tidak ada daun,
ranting dan dahan yang dapat hidup setelah pohon dan
akarnya ditebang/dibongkar.
Induk korupsi seperti yang telah terekam oleh KPK
berdasarkan identifikasi Campos dan Pradhan (2007) dan
juga Gospar (2008) antara lain adalah pemalsuan (fraud),
penyuapan (bribery), penggelapan (embezzlement), komisi
(commission), pemerasan (extortion), pilih kasih
(favoritism), penyalahgunaan kewenangan (abuse of
discretion), bisnis orang dalam (insider trading),
nepotisme (nepotism) dan sumbangan illegal (illegal
contribution).
Saya berharap Saber Pungli tidak hanya sebuah
pencitraan karena diperkirakan yang akan terkena imbas
adalah pegawai kecil yang tidak bermaksud memperkaya
diri. Kita semua tidak ingin saber pungli senasib dengan
pengawasan melekat (waskat) yang pernah top di era Orde
Baru dalam kontek penegakan disiplin PNS yang cenderung
menghasilkan laporan Asal Bapak Senang (ABS). Kalau
berani, mumpung sudah terikrar dan merasa bersih,
mengapa tidak sekalian menggulirkan Hukum Mati Koruptor!

4|Page
DAFTAR PUSTAKA
BPKP. 2002. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi
pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat. Jakarta:
Tim Pengkajian SPKN RI.
Campos, J. Edgardo dan Sanjay Pradhan (Edt.). 2007. The
Many Faces of Corruption: Tracling
Vulnerabilities at the Sector Level. World Bank.
Washington DC.
Erdi. 2015. Vonis Mati Koruptor di Indnesia,
Mungkinkah? Dimuat dalam Pontianak Post, Kolom
Opini. Senin 23 Februari Halaman 14.
------. 2016. Kebijakan Sapu Jagad Listrik Indonesia.
Dimuat dalam Pontianak Post, Minggu 17 April
2016 pada kolom Edukasi.
Gospar, Roger. 2007. Trackling International Crime:
Forward into the Third Era dalam Combating
International Crime: The Longer Arm of The Law.
Edt. Steven David Brown. Roudledge Cavendish.
London. Pp 8-28.
Habir, Ahmad D. 2005. Governance in Indonesia:
Developing Search Strategies dalam Nicolas
Tarling (Edt.). Corruption and Good Governance
in Asia. Routlegde. London. pp. 198-213.
Iyer, Nigel dan Martin Samociuk. 2006. Fraud and
Corruption: Prevention and Detection. Gower,
England.
Pelizzo, Riccardo. 2005. Political Parties dalam The
Role of Parliament in Curbing Corruption. Edited
by Risk Stapenhurs; Niall Johnston dan Riccardo
Pelizzo. World Bank; Development Studies.
Washington DC. pp. 175 - 184
Soedjono, Dirdjosisworo. 1983. Pungli: Analisa Hukum dan
Kriminologi, cetakan ke-2. Sinar Baru. Bandung.

5|Page
6|Page
7|Page

Anda mungkin juga menyukai