PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan bidang pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah
bersa-sama dengan masyarakat dalam rangka upaya pengejawantahan salah
satu cita-cita yang sangat mulia dan luhur, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa sebagaimana termaktup dalam UUD 45.
Dalam upaya tersebut, masyarakat juga pemerintah bahu-membahu dalam
upaya mencerdaskan seluruh komponen bangsa dengan pendidikan baik
formal maupun non formal, baik melalui sekolah maupun luar sekolah,
sehingga diharapkan seluruh komponen bangsa bisa mengenyam dan
menikmati pendidikan sebagai kebutuhan primer masyarakat.
Disaat yang besamaan nampaknya sangat urgen dalam upaya adanya
peningkatan kualitas pendidikan untuk memberikan peningkatan mutu secara
signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia. Hal ini berlaku bagi
orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan, sehingga kualitas benar-
benar menjadi tujuan yang mendasar.
Dengan demikian, lembaga pendidikan harus diusahakan berupa langkah-
langkah adanya inovasi-inovasi pendidikan secara profesional dengan
manajemen yang handal, sehingga lembaga pendidikan tersebut bisa
mencetak kader-kader yang ready for yours di tengah-tengah masyarakat,
baik siap dalam intelektualnya, keterampilannya, maupun spiritualnya.
Pada zaman globalisasi ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) yang semakin canggih terus menggelobal dan berdampak
pada hampir smua sistem kehidupan umat manusia di muka bumi dewasa ini .
Lembaga pendidikan sebagai organisasi merupakan salah satu sistem juga
tidak dapat terhindar dampak dari kemajuan tersebut, dengan demikian maka
di setiap lembaga pendidikan dituntut untuk dapat mengantisipasi berbagai
perubahan-perubahan tersebut.
Keberadaan TQM yang digunakan dalam penerapan di dunia bisnis
menuai hasil yang sangat signifikan, sehingga TQM memiliki daya tarik
tersendiri, untuk bisa diaplikasikan pada objek-objek kelembagaan atau
organisasi yang lain, baik dalam bidang politik, sosial, termasuk dalam dunia
pendidikan. Hal ini dalam rangka efektivitas dan hasil yang baik sebagai
target yang diidam-idamkan.
Begitu banyak tokoh-tokoh yang membuat formulasi TQM guna
meningkatkan kualitas dalam berbagai bidang termasuk di dalamnya
pendidikan. Salah satu tokoh TQM yang akan penulis bahas adalah Josep M.
Juran. Dia adalah salah tokoh yang mempelopori TQM yang berasal dari
Amerika Serikat. Untuk lebih jelasnya mengenai pemikiran dia dalam TQM
akan dibahas lebih lanjut pada bahasan berikutnya.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat
dikemukakan rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
CONTOH KASSUSNYA
Dalam salah satu tulisannya tentang Quality Assurance in
Hospital,Donabedian mengatakan bahwa pada waktu yang lalu pertanyaan
"Bagaimana mutu pelayanan kesehatan dapat dinilai" tidak dapat diajukan. Hal itu
terjadikarena mutu pelayanan kesehatan disamakan dengan suatu misteri: nyata,
dapatdirasakan dan dihargai, tetapi bukan subjek yang dapat diukur. Bahkan,
sebelumnya usaha ke arah itu sering dianggap remeh. Tetapi, selanjutnya
Donabedian mengatakan bahwa sekarang kita berada pada arah yang sebaliknya.
Artinya, penilaian terhadap mutu pelayanan kesehatan semakin
menjadituntutan berbagai pihak. Baik dari provider 'pemberi ' pelayanan
kesehatan,perusahaan asuransi kesehatan (pihak ketiga), maupun pihak
masyarakat selaku. Selain menjadi tuntutan semua pihak, ternyata menilai
mutu pelayanan kesehatan pun bukan suatu yang mustahil. Sebenarnya, berbagai
topik yang dibicarakan saat ini bukan merupakan hal yang baru, termasuk masalah
mutu pelayanan kesehatan. Bila kita cermati catatan sejarah, kita akan melihat
betapa pada masa lalu tenaga-tenaga kesehatan telah peduli terhadap masalah
yang satu ini. Pada 1860, Florence Nightingale telah meletakkan dasar mutu
pelayanan kesehatan dengan
menyeragamkan sistem pengumpulan data statistik rumah sakit dan
evaluasinya.Data yang dikumpulkan oleh Nightingale tersebut menunjukkan
angka kematianyang bervariasi antar rumah sakit. Di Amerika Serikat, saat terjadi
perkembangan pelayanan kesehatan yang pesat, banyak bermunculan pihak
pemberi layanan kesehatan dan perusahaan asuransi sebagai jembatan antara
provider dengan konsumen. Oleh karena itu, pada saat itu bermunculanlah
berbagai kepentingan yang tak lepas dari masalah politik, ekonomi, sosial, dan
aspek hukum. Perhatian terhadap mutu pelayanan kesehatan muncul meskipun
pada saat itu orang-orang yang memperhatikan masalah tersebut baru memiliki
kemampuan yang terbatas.
Selanjutnya, pada 1955, Komisi Gabungan mulai menekankan tentang
artipenting audit medik. Hasilnya, pada Januari 1981 audit medik
ditetapkansebagai bagian dari Quality Assessment Standard 'Standar Penilaian
Mutu'.Standar ini mengharuskan rumah sakit memperhatikan seluruh data
statistik,medical record, komite antibiotik dalam suatu sistem audit medik,
bersamaanpula dengan pengawasan praktik klinik, laporan insiden, dan lain-lain.
Pada akhir 1986, Komisi Gabungan tersebut meluncurkan proyek baru
yangberjudul The Agenda for Change 'Agenda untuk Perubahan'. Tujuan program
tersebut adalah untuk membangun suatu pengawasan yang berorientasi pada
outcome 'hasil' dan evaluasi terhadap proses yang dapat membantu suatu rumah
sakit atau pihak pemberi layanan kesehatan lainnya dalam meningkatkan mutu
pelayanan. Program tersebut didesain untuk meningkatkan kemudahan dalam
proses akreditasi dan memberi tekanan pada pentingnya hasil klinis serta
administrasi. Dalam perkembangannya, Komisi Gabungan tersebut
mengubahnamanya menjadi Joint Commision on Accreditation of Healthcare
Organization'Komisi Gabungan untuk Akreditasi Organisasi Pelayanan
Kesehatan'.Penambahan nama tersebut merefleksikan jangkauan yang luas dari
pelayanankesehatan yang unik, yang berbeda dengan organisasi
lainnya. Biasanya, ada 2 pertanyaan mendasar yang muncul sehubungan dengan
penilaian
medik. Pertama, apa yang dimaksud dengan mutu medik dan pelayanan
kesehatan? Kedua, bagaimana cara mengukur yang tepat?
Definisi 'mutu' dalam pelayanan kesehatan memang sulit ditunjukkan
dengan tepat bila diharapkan dapat memenuhi semua dimensi. Definisinya
akantergantung dari perspektif mana kita melihat. Konsumen dapat
mengatakanbahwa yang dimaksud dengan 'mutu' pelayanan kesehatan adalah
kemampuandokter dalam melakukan diagnosis dan pengobatan yang tepat. Pihak
manajemen rumah sakit dapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mutu
pelayanan kesehatan adalah kemampuan rumah sakit dalam memberikan sejumlah
pelayanan dengan biaya yang cukup rendah. Contoh berikut dapat memberikan
gambaran tentang betapa ada sedikit bias dalam pengartian mutu pelayanan
kesehatan.
Seorang pasien datang ke suatu pusat pelayanan kesehatan dengan
infeksisaluran pernapasan atas. Melalui berbagai tes, dokter yang
menanganimengetahui bahwa pasien tersebut mengalami tekanan darah tinggi
yang tidakbiasa. Dokter tersebut kemudian memutuskan agar pasien melakukan
kunjunganlanjutan untuk memantau hipertensinya. Namun, pasien tersebut
merasa baik-baik saja. Pasien hanya merasa sedikit demam dan
membutuhkan antibiotik. Dokter menjelaskan bahwa antibiotik tidak efektif
melawan virus. Namun, pertemuan ke-2 dan seterusnya tidak pernah terjadi
karena pasien kecewa. Kekecewaan pasien terjadi karena ia merasa tidak
berhasil mendapatkan antibiotik. Sementara itu, dokter tersebut juga frustasi
karena pasiennya tidak datang pada kunjungan berikutnya untuk
penanganan hipertensi. Di lain pihak, rumah sakit lebih melihat pada tingginya
angka kegagalan pertemuan lanjutan yang berkaitan dengan penggunaan berbagai
fasilitas rumah sakit.
Menurut Nancy O. Graham, definisi mutu pelayanan kesehatan meliputi
masalah teknis, aspek saintifik, dan art 'seni' dalam memberikan pelayanan.
Senidalam memberikan pelayanan kesehatan berkaitan dengan cara yang
dilakukandokter dalam melakukan tindakan medis dan komunikasi terhadap
pasien. Lebihlanjut, Graham mengatakan bahwa suatu hal yang mustahil
mendiskusikan artimutu tanpa melihat pada nilai-nilai yang ada pada tenaga
medis, pasien, daninstitusi. Karena, artinya akan sangat tergantung pada nilai-nilai
yang ada
pada ketiga komponen tersebut. Bukan hal yang mustahil bila artinya akanberubah
seiring dengan perubahan nilai yang ada pada masyarakat, perubahanilmu
pengetahuan, dan sumber daya yang ada.
Tak pelak lagi bahwa melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan
adalah sesuatu yang harus dilakukan, termasuk di Indonesia. Audit medik
merupakan metode yang digunakan oleh profesi kedokteran/kesehatan untuk
mengevaluasi dan memperbaiki pelayanan mereka kepada pasien secara
sistematik. Idealnya, setiap tenaga medis harus terbiasa mempertanyakan kepada
diri mereka sendiri tentang pelayanan yang mereka berikan kepada pasien
dalam tiga hal. Pertama, adakah tindakan saya yang keliru, dan jika ada di
mana letak kekeliruan tersebut. Kedua, dapatkah kami memberikan pelayanan
yang lebih baik.
Ketiga, apa makna kualitas pelayanan bagi pasien. Dr. Agus Purwadianto,
SpF, Ketua IDI wilayah DKI Jakarta, mengatakan bahwa audit medik harus
dilakukan pada setiap level pelayanan kesehatan dari tingkat yang paling bawah,
yaitu Puskesmas. Sebagai pusat kesehatan yang berada pada lini yang paling
depan, Puskesmas juga harus menempatkan dirinya pada jajaran institusi
pelayanan kesehatan yang profesional. Namun, masalahnya, mampukah
Puskesmas dalam sistem yang ada saat ini melakukan manajemen yang baik?
Banyak kalangan yang menilai bahwa banyak hal yang harus diperbaiki terlebih
dahulu. Dr. Arend Karel Ponggawa, misalnya. Beliau mengatakan bahwa harus
ada kejelasan pada tugas profesi dokter di Puskesmas. Arend menilai bahwa tugas
dokter di Puskesmas saat ini tidak cocok dengan apa yang seharusnya dilakukan
seorang dokter. Karena, dokterjadi lebih disibukkan oleh tugas manajerial dan
jabatannya sebagai pejabatkecamatan. Ketidakjelasan tugas tersebut jelas akan
mempengaruhi kinerjadokter Puskesmas. Beberapa studi tentang hal ini telah
dilakukan dan hasilnya menunjukkan hal yang sama. Tingkat kehadiran dokter
yang rendah, program Puskesmas yang tidak jalan, dll.
Meskipun demikian, di lain pihak kita tidak dapat menutup mata terhadap
kinerja dokter Puskesmas yang tinggi di beberapa tempat. Namun, agaknya kita
perlu mengajukan pertanyaan, "Apakah Kepala Puskesmas harus seorang dokter?"
Bukankah pada kenyataannya bila keadaan terusdibiarkan akan memberikan
dampak buruk baik bagi dokter, pemerintah, danmasyarakat. Karena, pada
kenyataannya, banyak dokter yang mengeluhkan masalah ini. Salah satunya
adalah Dr. Fitri, dokter muda yang baru menyelesaikan tugas PTT-nya di
Kabupaten Banjarnegara. Fitri mengusulkanagar dokter Puskesmas tidak usah
memegang jabatan struktural di Puskesmas,tetapi cukup tugas fungsional saja
sebagai tenaga medis. Karena, menurut Fitri, waktu yang hanya 3 tahun di
Puskesmas terlalu singkat untuk programPuskesmas dan masyarakat sekitar.
"Tugas struktural tersebut sangatmenghambat kerja dokter, karena akhirnya
dokter disibukkan dengan tugas-tugas tetek bengek yang merepotkan, dan
melalaikan tugas utamanya," ujar Fitri. Permasalahan dokter Puskesmas baru
sekelumit dari sekian banyak peliknyapermasalahan manajerial kesehatan di
Indonesia. Masih banyak masalah lain yang harus diperbaiki. Paradigma ekonomi
yang masih mendominasi sebagian besar institusi pelayanan kesehatan, kesiapan
sumber daya kesehatan menjalankan manajerialnya, ditambah lagi dengan situasi
krisis ekonomi yang masih menghantam kita. Namun, bila kita tidak mau beranjak
dan berbenah diri, tentu kita akan semakin tenggelam dalam keterpurukan.
Kuncinya sebenarnya adalah pada diri kita, maukah kita melakukan perbaikan?
Ada kesenjangan antara kebutuhan dan permintaan terhadap pelayanan
rumah sakit. Dibandingkan negara-negara tetangga, jumlah tempat tidur rumah
sakit di Indonesia relatif masih rendah, yaitu 60 tempat tidur RS per 100.000
penduduk, atau ke-8 paling rendah di dunia dalam rasio tempat tidur dibandingkan
jumlah penduduk. Angka ini di Indonesia hampir relatif tak berubah sejak 10
tahun terakhir. Sebenarnya kebutuhan riil akan pelayanan kesehatan di Indonesia
sangat besar. Ini tercermin dari derajat kesehatan yang relatif lebih rendah
dibandingkan negara-negara tetangga. Angaka kematian ibu masih sekitar 390 per
100.000 kelahiran hidup. Walaupun pasokan tempat tudur rumah sakit masih
sangat rendah, ternyata pemakaian tempat tidur juga masih rendah. Bed
Occupancy Rate (BOR) hanya sekitar 55-57 persen selama 10 tahun terakhir.
Rata-rata tiap hari dari 100.000 penduduk hanya 30 orang yang sedang dirawat di
rumah sakit. Data di atas menunjukkan bahwa kebutuhan yang tinggi ini tak
diiringi dengan permintaan yang tinggi.
No Konsep Mutu Konsep Mutu Di Indonesia Kesenjangan
Joseph M Juran
1 Perencanaan Banyak mengabdikan dedikasinya Dibandingkan negara-negara
Kualitas (quality pada bidang manajemen kualitas dan tetangga, jumlah tempat tidur rumah
planning) mempunyai kontribusi penting dalam sakit di Indonesia relatif masih rendah,
perkembangan dan kemajuan quality yaitu 60 tempat tidur RS per 100.000
management khususnya di bidang penduduk, atau ke-8 paling rendah di
industri manufaktur. dunia dalam rasio tempat tidur
Dengan adanya perencanaan kualitas dibandingkan jumlah penduduk.
yang baik akan sangat bermanfaat Angka ini di Indonesia hampir relatif
bagi dunia industri dalam tak berubah sejak 10 tahun
menetapkan serta membuat langkah terakhir. Sebenarnya kebutuhan riil
strategis agar para konsumen akan pelayanan kesehatan di Indonesia
terpuaskan melalui ketersediaan dan sangat besar. Ini tercermin dari derajat
pemakaian produk yang berkualitas. kesehatan yang relatif lebih rendah
dibandingkan negara-negara tetangga.
Angaka kematian ibu masih sekitar
390 per 100.000 kelahiran
hidup. Walaupun pasokan tempat
tudur rumah sakit masih sangat
rendah, ternyata pemakaian tempat
tidur juga masih rendah. Bed
Occupancy Rate (BOR) hanya sekitar
55-57 persen selama 10 tahun terakhir.
Rata-rata tiap hari dari 100.000
penduduk hanya 30 orang yang sedang
dirawat di rumah sakit. Data di atas
menunjukkan bahwa kebutuhan yang
tinggi ini tak diiringi dengan
permintaan yang tinggi.