Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dokter keluarga adalah dokter praktik umum yang menyelenggarakan layanan


primer yang koprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif,
mempertimbangkan keluarga, komunitas, dan lingkungannya. Dokter keluarga juga harus
dilandasi keterampilan dan keilmuan yang mapan. Pelayanan dokter keluarga melibatkan
dokter keluarga sebagai penyaring ditingkat primer, suatu jaringan pelayanan kesehatan
terpadu yang melibatkan dokter spesialis ditingkat pelayanan sekunder dan rumah sakit
rujukan sebagai tempat pelayanan rawat inap.Pelayanan diberikan kepada semua pasien
tanpa memilah jenis kelamin, usia, faktor faktor lainnya.(PDKI, 2007)

Pada tahun 2014,di dunia terdapat 9,4 juta kasus Tuberkulosis (TB) dan 1,5 juta
meninggal karena penyakit TB.Asia diestimasikan sebagai lokasi terbanyak kasus TB di
tahun 2014. TB terjadi di setiap bagian di dunia. Angka terbesar kasus TB baru terjadi di
wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat, yaitu sekitar 58% kasus secara global.Afrika
merupakan negara yang paling parah, dengan 281 kasus per 100.000 populasi di tahun
2014.Enam negara yang dianggap sebagai negara dengan kasus TB terbanyak adalah
India (1.683.915), China (826.155), Indonesia (324.539), Afrika Selatan (318.193),
Pakistan (316.577) dan Filipina (267.436).(WHO, 2015)

Jumlah kasusTB Parudi Indonesia pada tahun 2014 didapatkan 324.539 kasus di
seluruh provinsi.(WHO,2015)Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 yang di buat Suku Dinas
Kesehatan DKI Jakarta yaitu sebanyak 24.500 ribu kasus, terdapat 256 kasus TB paru per
100.000 penduduk. Di kotamadya Jakarta Barat didapatkan kasus baru dan lama
berjumlah 4154 orang dan kematian akibat TB paru 22 orang. (Kementerian Kesehatan,
2012)Di Puskesmas Kembangan Selatan pada tahun 2014 berjumlah 24 orang, dan pada
tahun 2015 dari bulan Januari sampai Oktober berjumlah 14 orang penderita TB Paru
baru.(Puskesmas Kembangan Selatan, 2015)

Kami memilih pasien Tn. H26 tahun sebagai kunjungan kasus karena Tn. H
menderita penyakit TB yang putus berobat selama 2 bulan.Kunjungan ini perlu dilakukan
untuk memantau perkembangan penyakit dan mencegah terjadinya penularan.Apabila Tn.

1
H tidak dikunjungi maka dikhawatirkanTn. H tidak melanjutkan pengobatan dan menjadi
sumber penularan di lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja, serta dapat terjadi
resistensi OAT kategori I pada Tn.H.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah gambaran tingkat pengetahuan warga dusun pala pasang mengenai
penyakit TBC paru?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan warga dusun pala pasang
mengenai gambaran klinis penyakit TBC

1.4 Manfaat Penelitian


a) Bagi peneliti sendiri, untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
penulisan dalam penelitian ilmiah dibidang kesehatan.
b) Bagi tenaga kesehata di puskesmas entikong, hasil penelitian ini diharapkan
menjadi pemacu untuk lebih dapat memberikan informasi dan pengetahuan
mengenai penyakit TBC paru kepada warga
c) Bagi puskesmas entikong, dapat menjadi bahan evaluasi dan dapat memacu
puskesmas untuk terus memberikan program yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan kinerja tenaga kesehatan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium


TB). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
(Kementrian Kesahatan RI, 2013)

2.2 Etiologi

TB adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok
Mycobacterium yaitu Mycobacterium TB. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium,
antara lain: M.Tuberkulosis, M. Africanum, M. Bovis, M Leprae, yang juga dikenal
sebagai bakteri tahan asam. (Kementrian Kesahatan RI, 2014)

Secara umum sifat kuman TB antara lain adalah sebagai berikut (Kementrian
Kesahatan RI, 2014):

Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 0,6 mikron
Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen
Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.
Kuman tampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan di bawah
mikroskop
Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu
lama pada suhu antara 4oC sampai minus 70 oC.
Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.
Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati
dalam waktu beberapa menit.
Dalam dahak pada suhu antara 30 37 oC akan mati dalam waktu lebih kurang 1
minggu.
Kuman bersifat dormant (tidur / tidak berkembang)

3
2.3 Epidemiologi

Pada tahun 2014, TB membunuh 1,5 juta orang (1,1 juta HIV-negatif dan 0,4 juta
HIV-positif). Terdiri dari 890.000 laki-laki, 480.000 perempuan dan 140.000 anak-
anak.Sekarang peringkat TB bersama HIV merupakan penyebab utama kematian di
seluruh dunia.(WHO,2015)

Di seluruh dunia, 9,6 juta orang diperkirakan sakit TB pada tahun 2014 dengan
5,4 juta laki-laki, 3,2 juta perempuan dan 1 juta anak. Secara global, 12% dari 9,6 juta
kasus TB baru pada tahun 2014 adalah HIV-positif. Untuk mengurangi masalah ini,
deteksi dan pengobatan harus dibenahi.(WHO,2015)

Pada tahun 2014, WHO melaporkan terdapat 6 juta kasus baru TB ataukurang
dari dua pertiga (63%) dari 9,6 juta orang diperkirakan sakit TB. Ini berarti bahwa di
seluruh dunia, 37% dari kasus baru tidak terdiagnosis atau tidak dilaporkan.(WHO,2015)

Gambar 2.1 Case Notification Rate (CNR) semua kasus TB antar profinsi, 2014
(Kementerian Kesehatan,2015)

4
Catatan
CNR adalah angka yang menunjukan seluruh pasien TB yang ditemukan dan
tercatat diantara 100.000 penduduk disuatu wilayah.

CNR semua kasus TB yang terendah di Provinsi DI Yogyakarta (74


kasus/100.000 penduduk). Apabila pada tahun 2014 jumlah penduduk DIY sebanyak
3.679.200 jiwa, maka dapat dikatakan pada tahun 2014 ditemukan 2.733 kasus di
provinsi DIY. CNR tertinggi di Provinsi Papua (302 kasus/100.000 penduduk) atau dapat
dikatakan telah di temukan 9.511 kasus TB di provinsi Papua pada tahun 2014.

2.4 Cara Penularan


Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA
negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh
karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji dari 5.000 kuman/cc dahak
sehingga sulit dideteksimelalui pemeriksaan mikroskopis langsung. (Kementrian
Kesahatan RI, 2014)

Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan


penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur
negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.(Kementrian Kesahatan RI, 2013)

Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik
renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/ percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. (Kementrian Kesahatan RI, 2013)

2.5 Patogenesis

Paru merupakan jalur masuk lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan terhirup dan
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya
oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag

5
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di
dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon. (Kementrian
Kesahatan RI, 2013 )

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak
di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex). (Kementrian Kesahatan RI,
2013 )

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama
212 minggu, biasanya berlangsung selama 48 minggu. Selama masa inkubasi tersebut,
kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas selular. (Kementrian Kesahatan RI, 2013 )

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.


Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imunyang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru
yangmasuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik
(cellular mediated immunity, CMI). (Kementrian Kesahatan RI, 2013 )

6
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami
fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. (Kementrian
Kesahatan RI, 2013 )

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas). (Kementrian Kesahatan RI, 2013 )

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. (Kementrian
Kesahatan RI, 2013)

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman
TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh,
bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,
limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang
di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. (Kementrian Kesahatan RI, 2013 )

7
Gambar2.2 Patofisiologi TB (Kementrian Kesahatan RI, 2013)

*Catatan : (Kementrian Kesahatan RI, 2013)

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic


spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian
hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis
regional (3).

3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.

4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen)


atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut
TB tipe dewasa.
8
2.6 Klasifikasi
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut diatas, pasien juga
diklasifikasikan menurut : (PDPI, 2011)
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

TB paru adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB


dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB
dirongga dada (hilusdan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran
radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien
yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan
sebagai pasien TB paru.

TB ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis
TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis.Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium
TB. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan ( dari
28 dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih ( dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a. Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
9
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
d. Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan


pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium
TBterhadap OAT dan dapat berupa :
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
Poli resistan(TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) : adalah pasien TB
dengan :
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
Hasil tes HIV positif pada saat diagnosa TB
2. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan :
Hasil HIV negatif sebelumnya
Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosa TB
10
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui : adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan

2.7 GejalaTB

Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut: (Kementrian Kesahatan RI, 2013 )

a. Batuk lama 2 minggu, batuk bersifat non-remitting(intensitas semakin lama


semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

b. Demam lama 3 minggu dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

c. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.

d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah
sebagai berikut:

a. TB kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regiocolli): Pembesaran KGB


multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang
saling melekat atau konfluens.

b. TB otak dan selaput otak:

Meningitis TB : Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat


keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.

Tuberkuloma otak : Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

c. TB sistem skeletal :

11
Tulang belakang (spondilitis) : Penonjolan tulang belakang (gibbus).

Tulang panggul (koksitis) : Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di


daerah panggul.

Tulang lutut (gonitis) : Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.

Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

d. Skrofuloderma:

Ditandaiadanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).

e. TB mata:

Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

Tuberkelkoroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

f. TB organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila


ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

12
2.8 Diagnosis

Dignosis TB dapat di tegakkan berdasarkan dari gambaran klinis, pemeriksaan


bakteriologis, hasil radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya (PDPI, 2011)

a. Anamnesis
Gejala lokal respiratorik yaitu batuk 2 minggu, batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
dan nyeri di dada
Gejala sistemik yaitu demam lebih dari 3 minggu, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, badan terasa lemas, nafsu makan menurun, malaise, dan
berat badan menurun.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan.Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex
lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura.Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerahketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess
c. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman TB mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, cairan cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskopik

13
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen, pewarnaan Kinyoun Gabbett
Mikroskopik fluoresens : pewarnaan Auramin-Rhodamin (khususnya untuk
screening)

Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan


skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease(IUATLD)

Skala IUATLD (PDPI, 2011) :

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif


Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan M.TB dengan metode konvensional ialah dengan cara :

Egg base media : Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh


Agar base media : Middle brook
Media cair : Kolorometrik

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, menilai


adanya resistensi obat serta dapat mendeteksi Mycobacterium TB
danMycobacterium other than TB (MOTT).

d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :


Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah

14
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas


Kalsifikasi atau fibrotik
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim parudan atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :

Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction
dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis5 (sela iga2) dan tidak dijumpai kavitas
Lesi luas bila proses lebih luas dari lesi minimal. (PDPI, 2011)

e. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti TB adalah lamanya waktu


yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman TB secara konvensional.Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman
TB secara lebih cepat.

1. Polymerase chain reaction (PCR):

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,


termasuk DNA M.TB. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

15
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar seperti Gene Xpert MTB/RIF.

2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antata lain:


a. Enzym linked immunosorbent assay(ELISA)
b. Mycodot
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
d. ICT (Uji Immunochromatographic TB)
3. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode


radiometrik.TB memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2
yang akan dideteksi oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.

4. Pemeriksaan Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis.Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis TB adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

5. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan


trans bronchial lung biopsy (TBLB), transthoracal biopsy(TTB), biopsi paru
terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar
paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH).Pemeriksaan
biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada TB
ekstra paru.Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi
pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma
dengan perkijuan. (PDPI, 2011)

16
Gambar 2.3. Diagnosis TB Dewasa (PDPI, 2011)
Dimodifikasi dari : treatment of TB, Guidelines for national Programme, WHO, 2003)

17
Keterangan :
1. Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya di catat sebagai data daar kondisi
pasien dalam rekam medis. Untuk fasilitas kesahatan yang memiliki alat tes cepat,
pemeriksaan mikroskopis langsung tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa
kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT.
2. Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan tes cepat dan biakan.
3. Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi
4. Pemberian antibiotic non-OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB
termasuk Kuinolon
5. Untuk memastikan diagnosis TB
6. Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling)
7. Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan terapi
lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang mengarah ke TB.

2.9 Pengobatan

2.9.1. Tujuan pengobatan TB adalah : (PDPI, 2011)

Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup


Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutnya
Mencegah kekambuhan
Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain
Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya

2.9.2. Prinsip pengobatan TB ( Kemenkes 2014):

Obat Anti TB (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan


TB.Pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yang Adekuat harus memenuhi prinsip :
Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
18
Diberikan dalam dosis yang tepat
Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO sampai selesai
pengobatan
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

2.9.3. Tahapan pengobatan TB

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap


lanjutan dengan: (PDPI,2011)

Tahap Awal : pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman
yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapat pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru harus diberikan selama 2
bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya
penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu.
Tahap Lanjutan : merupakan tahap yang paling penting untuk membunuh sisa-
sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persistensehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

2.9.4 Obat anti TB (OAT)

Tabel 2.1 Obat Anti TB

Jenis Sifat Efek Samping

Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan


Isoniazid (H) Bakterisidal fungsi hati, kejang

Flu syndrome, gangguan GIT, urin berwarna

Rifampisin (R) Bakterisidal merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni,


demam, skin rash, anemia hemolitik

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan GIT, gangguan fungsi hati, gout

19
arthritis

Nyeri di tempat suntikan, gangguan


keseimbangan dan pendengaran, rejatan
Streptomisin (S) Bakterisidal anafilatik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni

Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis


Etambutol (E) Bakteriostatik perifer

Tabel 2.2 : Kisaran dosis OAT lini pertama pasien dewasa

Dosis

Harian 3 x / minggu
OAT
Kisaran dosis Kisaran dosis Maksimum /
Maksimum hari( mg)
(mg/kg BB) (mg/kg BB)

Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

20
Catatatan :

Pemberian streptomisin untuk pasien yang baru berumur > 60 tahun atau pasien dengan
berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis > 500mg/hari, beberapa buku
rujukan menganjurkan penuruna dosis menjadi 10mg/kgBB/hari.

2.9.5. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia

Panduan Oat yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian TB di


Indonesia adalah :(PDPI,2011)

Kategori I : 2 (HRZE)/ 4(HR)3.

Kategori II : 2 (HRZE)S/ (HRZE) / 5(HR)3E3

Kategori Anak : 2 (HRZ)/4(HR) atau 2HRZ(S)/4-10HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di


Indonesia terdiri dari OAT lini ke 2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamid, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini 1,
yaitu Pirazinamid dan Etambutol.

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket


obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek
samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya. Paduan OAT kategori
Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-
KDT).Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu
tablet.Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.

a. Kategori -1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Tabel 2.3 Dosis panduan OAT KDT kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3


21
Tahap intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
Berat
selama 56 hari RHZE selama 16 minggu RH
Badan
(150/75/400/275) (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT

38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

71kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

b.Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
Pasien kambuh
Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel2.4 Dosis panduan OAT KDT kategori 2 :2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3


Tahap Lanjutan 3
Tahap Intensif tiap hari RHZE
kali seminggu RH
Berat Badan (150/75/400/275) + S
(150/150) + E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

2 tab 4KDT 2 tab 2KDT


30-37 kg 2 tab 4KDT
+ 500mg Streptomisin Inj. + 2 tab Etambutol

3 tab 4KDT 3 tab 2KDT


38-54 kg 3 tab 4KDT
+ 750mg Streptomisin Inj. + 3 tab Etambutol

4 tab 4KDT 4 tab 2KDT


55-70 kg 4 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin Inj. + 4 tab Etambutol

22
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
71kg 5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin Inj. + 5 tab Etambutol

Tabel 2.5 Hasil pengobatan pasien TB (Kementrian Kesahatan RI, 2014)


Hasil Pengobatan Definisi

Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada


awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.

Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana


Lengkap pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif
namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan.

Gagal Pasien yang hasil pemeriksaandahaknya tetap positif atau kembali


menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau
kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT

Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau
sedang dalam pengobatan.

Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya
(loss to follow up) terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

Tidak Dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk
dalam kriteria ini adalah pasien pindah (transfer out) ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui
oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

23
2.9.6. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat,serta evaluasi keteraturan berobat. (PDPI,2011)
1. Evaluasi klinik
Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan.Evaluasi respons pengobatan dan ada tidaknya
efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinik
meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
2. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 - 6/9)
3. Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan (0 bulan), setelah 2 bulan pengobatan
Pada akhir pengobatan (6/9 bulan)
4. Evaluasi efek samping secara klinik
o Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
o Fungsi hati (SGOT,SGPT, bilirubin), fungsi ginjal (ureum, kreatinin) dan
gula darah untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
o Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
o Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
o Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan
dan audiometri
o Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi
efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek
samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
24
5. Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan
adalah keteraturan berobat.Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal
ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikanmengenai penyakit
dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan
lingkungan. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya
masalah resistensi.
6. Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya
kekambuhan.Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto
toraks.Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

2.9.7 Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Tindakan pada pasien yang putus berobat selama kurang dari 1 bulan.(Kementerian
Kesehatan RI, 2014)
Dilakukan pelacakan pasien
Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus berobat
Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan
terpenuhi*

25
Tabel 2.6 Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2bulan(Kementerian
Kesehatan RI, 2014)
Tindakan Pertama Tindakan Kedua
Apabila hasilnya BTA
negatif atau pada awal Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa
pengobatan adalah sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhin*
pasien TB ektra paru
Total dosis Lanjutkan pengobatan
pengobatan dosis tersisa sampai
1. Lacak pasien
sebelumnya 5 seluruh dosis
2. Diskusikan dengan pasien
bulan pengobatan terpenuhi*
untuk mencari faktor
Kategori 1:
penyebab putus berobat
1.Lanjutkan
3. Periksan dahak SPS dan
Apabila salah satu pemeriksaan tes cepat
melanjutkan pengobatan
atau lebih hasilnya 2. Berikan Kategori 2
sementara menunggu Total dosis
BTA positif mulai dari pengobatan
hasilnya pengobatan
awal**
sebelumnya 5
Kategori 2:
bulan
Lakukan tes cepat atau
di rujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR***

Tabel 2.7 Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow-up)
(Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Tindakan Pertama Tindakan Kedua
Keputusan pengobatan selanjutnya ditetapkan
oleh dokter tergantung pada kondisi klinis
pasien, apabila :
Apabila hasilnya
1.Sudah ada perbaikan nyata: hentikan
BTA negatif atau
pengobatan dan pasien tetap diobservasi, apabila
pada awal
terjadi perburukan klinis pasien diminta untuk
pengobatan adalah
pemeriksaan kembali atau
TB ektra paru
2.Belum ada perbaikan nyata: lanjutkan
1.Lacak pasien pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh
2.Diskusikan dengan dosis pengobatan terpenuhi*
pasien untuk mencari Kategori I
faktor penyebab putus
Dosis pengobatan Berikan pengobatan
berobat
sebelumnya <1bulan Kat I mulai dari awal
3.Periksan dahak SPS
Dosis pengobatan Berikan pengobatan
atau tes cepat
sebelumnya >1bulan Kat II mulai dari awal
4.Hentikan pengobatan Apabila salah satu
Kategori II
sementara menunggu atau lebih hasil BTA
hasilnya positif dan tidak Dosis pengobatan Berikan pengobatan
terbukti resistensi sebelumnya < 1bulan Kat II mulai dari awal
Dirujuk ke layanan
Dosis pengobatan spesialistik untuk
sebelumnya >1bulan pemeriksaan lebih
lanjut

Apabila salah satu Kategori I maupun II dirujuk ke RS pusat

26
atau lebih hasilnya rujukan TB MDR
BTA positif dan ada
bukti resistensi
Keterangan :
* Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan
terpenuhidan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah menyelesaikan dosis
pengobatan pada bulan ke 5 dan AP
** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan
pengobatan OAT kategori II
*** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan
pengobatan panduan OAT

2.10 Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah TB adalah mendiagnosa, mengisolasi kasus menular
dengan cepat dan mengelolah pengobatan yang tepat sampai kuman tidak infeksius
(biasanya 2-4 minggu setelah dimulainya pengobatan yang tepat) dan penyakitnya
sembuh. Strategi tambahan mencakup vaksinasi BCG dan pengobatan orang dengan
infeksi TB laten yang berisiko tinggi menjadi aktif.(Harrison, 2012)
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi :
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat
miskin serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah
dan Swasta (Public Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar
Internasional Penatalaksanaan TB (International Standards for TB Care).
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

27
2.11 Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM)

Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan diabetes melitus:

Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila terjadi
kekambuhan kelompok. (PDPI, 2011)

2.12 DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE(DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan


program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah
dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang
sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik. (PDPI, 2011)

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional

2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik

3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah
DOT (Directly Observed Therapy)

4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan

5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku/standar.

28
A. Tujuan DOTS :
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Mencegah resistensi
B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas
sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Rumah PMO harus dekat dengan rumah
pasien TB untuk melaksanakan DOT ini.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, kader,
tokoh masyarakat, suami/ istri, dan orang serumah.
Pasien di rawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas
rumah sakit, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan
berobat jalan.
C. Langkah Pelaksanaan DOT
Langkah pelaksanaan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien
diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut
hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan tentang DOT.
D. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu penderita TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS. PMO dapat
berasal dari kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani
penderita.
E. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesaui jadwal yang di
tentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai

29
Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat
Merujuk pasien jika efek samping semakin berat
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila di temuai gejala TB
F. Penyuluhan

Penyuluhan tentang TB sangat penting, dan dapat dilakukan secara :

Penyuluhan terhadap perorangan (penderita maupun keluarga) dapat dilakukan


di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dan lain lain.
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok penderita, kelompok
keluarga penderita, masyarakat pengunjung RS dan lain-lain

2.13 Status Pencapaian Millennium Development Goals di Indonesia (Sekretariat MDGs,


2013)

MDG 1: Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan

MDG 2: Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua

MDG 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

MDG 4: Menurunkan Angka Kematian Anak

MDG 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu

MDG 6: Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

MDG 7: Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

MDG 8: Membangun Kemitraan Global Untuk Pembangunan

30
31
BAB III

METODE PENETILITAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan deskriptif. Rancangan yang


digunakan adalah cross sectional. Penelitian yang akna dilakukan oleh peneliti yaitu ingin
mengukur tingkat pengetahuan warga dsn. Pala pasang kec. Entikong mengenai penyakit
TBC paru.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat : dsn. Pala Pasang

Waktu : selasa, 26 sept 2017

Tabel 1. Jadwal Penelitian

Bulan
Kegiatan
Juli Agustus September Oktober November
Penyusunan Proposal
Pengumpulan Data
Pengolahan dan
Analisis
Penyusunan Laporan
Pelaporan Hasil

3.3 Populasi dan Sample

3.3.1 Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah warga dsn. Pala pasang yang datang pada
saat pelayanan di dsn. Pala pasang.

32
3.3.2 Sample

Subjek terpilih atau sample yang dikehendaki dalam penelitian ini adalah warga dsn
pala pasang yang datang pada saat pelayanan yang aktif berkerja dan berusia diatas 20 tahun
dan yang memenuhi criteria inklusi.

3.3.3 Cara Pemilihan Sample Penelitian

Cara pengambilan sample pada penelitian ini adalah dengan cara random sampling
dengan jumlah sample sebanyak 20 orang dipilih secara acak.

3.3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

1. Kriteria Inklusi dalam penelitian ini yaitu :

a. warga dsn. Pala pasang

b. berusia 20 tahun keatas

c. aktif berkerja

2. Kriteria Ekslusi dalam penelitian ini yaitu :

a. warga yang tidak bersedia mengisi kuisioner

b. warga yang tidak hadir

3.4 Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan warga dsn. Pala
pasang

2. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah penyakit tuberculosis paru


berdasarkan gambaran klinis

3.5 Definisi Operasional

1. Tingkat pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tingkat pengetahuan yang diukur mengenai

33
gambaran klinis penyakit TBC. Cara pegukuran dengan kuisioner. Skala pengukuran adalah
skala ordinal dengan kategori :

a. Baik :76 100 %

b. Cukup : 56 75 %

c. Kurang : < 56 %

2. Penyakit TBC berdasarkan gambaran klinis adalah penyakit TBC yang ditinjau dari
tanda dan gejala pada penyakit TBC. Cara pengukuruan dengan kuisioner. Skala pengukuran
adalah skala ordinal.

3.6 Instrumen Penelitian

Instrument merupakan cara/alat untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian.


Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berasal dari data primer berupa hasil pengisian
kuisioner oleh peneliti dengan instrument penelitian.

3.7 Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisa Data

3.7.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari pengisian kuisioner. Warga mengisi kuisioner


pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit TBC.

3.7.2 Pengolahan Data

Penilaian pada penelitian ini dengan cara memberikan nilai terhadap jawaban
kuisioner yang diberikan. Teknik penilaian pengetahuan menggunakan perhitungan sebagai
berikut : dari 10 pertanyaan, jika menjawab dengan benar diberi nilai 1, jika salah diberi nilai
0. Jadi, nilai total adalah 10. Kemudian dihitung peresntase nilai jawaban pengetahuan
mahasiswa terhadap nilai total jawaban benar dengan rumus sebagai berikut :

P = X/N x 100%

P : Persentase jawaban warga


34
X : Nilai jawaban warga

N : Nilai total jawaban benar, yakni 10

3.7.3 Teknik analisis data

Anlisis data disesuaikan dengan tujuan dan skala data dari variable yang akan diuji.
Alaisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari variable yang
diteliti yang disajikan dalam bentuk persentase (%).

3.8 Penyajian Data

Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk yaitu :

1. Bentuk Tabel dan diagram


2. Bentuk teks atau narasi

3.9 Etika Penelitian

Sebelum pengambilan data dimulai dilakukan informed consent kepada subjek


penelitian. Seluruh data pribadi subjek penelitian yang didapat akan dijamin kerahasiaannya.

35
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Populasi Penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah warga dsn. Pala pasang yang datang pada
saat pelayanan. Secara keseluruhan populasi penelitian yang didapat adalah 20 orang dengan
15 orang perempuan dan 5 orang laki laki .

Populasi Sample

25%
Laki - Laki
Perempuan

75%

Gambar 4.1 Klasifikasi Jenis Kelamin

Berdasarkan umur, warga sample yang datang sebagian besar berusia 30 40 tahun,
sebagian kecil berusia 20 30 tahun dan diatas 40 tahun. Sebanyak 60 % ( 12 orang ) warga
sample berusia 30 40 tahun. Sebanyak 10% ( 2 orang ) berusia 20 30 tahun dan sebanyak
30% ( 6 orang ) berusia diatas 40 tahun.

36
Usia Populasi

10%

30%

20 - 30 tahun
30 - 40 tahun
diatas 40 tahun

60%

Gambar 4.2 Kasifikasi berdasarkan usia

Warga dsn. Pala pasang sebagian besar berkerja sebagai petani di kebun, sebagian
kecil adalah ibu rumah tangga. Sebanyak 80% ( 16 orang ) warga adalah petani dan 20% ( 4
orang ) adalah ibu rumah tangga.

Perkerjaan Populasi

20%

Petani
Ibu Rumah Tangga

80%

Gambar 4.3 Distribusi pekerjaan sample

37
Klasifikasi Pengetahuan
0

15%

Baik
Cukup
Kurang

1.4

Gambar 4.3 Distribusi Tingkat pengetahuan sample

Pada penelitian ini didapatkan tingkat pengetahuan warga dsn. Pala Pasang
sebagian besar berada di kategori kurang, yaitu sebanyak 85% ( 17 orang ) dan sebanyak 15%
( 3 orang ) berpengetahuan cukup.

4.2 Pembahasan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk


terbentuknya suatu perilaku seseorang karena dari pengalaman dan penelitian ternyata
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan. Warga diharapkan mampu mengenali gejala dan tanda awal
penyakit TBC hal tersebut guna memberantas penyebaran yang semakin luas.

Pada tahun 2014, TB membunuh 1,5 juta orang (1,1 juta HIV-negatif dan 0,4 juta
HIV-positif). Terdiri dari 890.000 laki-laki, 480.000 perempuan dan 140.000 anak-anak.
Sekarang peringkat TB bersama HIV merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia.
CNR semua kasus TB yang terendah di Provinsi DI Yogyakarta (74 kasus/100.000

38
penduduk). Apabila pada tahun 2014 jumlah penduduk DIY sebanyak 3.679.200 jiwa, maka
dapat dikatakan pada tahun 2014 ditemukan 2.733 kasus di provinsi DIY. CNR tertinggi di
Provinsi Papua (302 kasus/100.000 penduduk) atau dapat dikatakan telah di temukan 9.511
kasus TB di provinsi Papua pada tahun 2014.

Kejadian ini sepatutnya member stimulasi bagi tenaga kesehatan untuk


memberikan informasi dan pengetahuan mengenai penyakit TBC kepada warga. Dengan
pengetahuan dan informasi yang didapatkan warga diharapkan terbentuknya suatu perilaku
yang awas dan waspada terhadap penyakit TBC. Tahap yang sangat berperan dalam
membentuk tindakan sesorang adalah tahap awal yaitu membentuk kesadaran yang terjadi
pada individu. Kesadaran akan memotivasi warga dalam rasa ingin tahun terhadap hal yang
mereka anggap penting.

Hasil penelitian tingkat pengetahuan warga dsn pala pasang mengenai penyakit
TBC didapatkan bahwa sebanyak 17 orang sampel atau 85% memiliki pengetahuan kurang, 3
orang atau 15% memiliki pengetahuan cukup dan 0 yang memiliki pengetahuan baik terhadap
penyakit TBC. Tingkat pengetahuan yang kurang dari warga dapat disebabkan oleh beberapa
factor, diantaranya adalah tingkat pengetahuan warga yang kurang, sosial ekonomi yang
rendah dan sulitnya akses kepada warga sehingga para tenaga kesehatan kesulitan
memberikan informasi yang cukup. Dari penelitian ini diharapkan terjadi perbaikan dari
pengetahuan warga sehingga warga bias lebih waspada dan dapat mencegah menularnya
penyakit TBC.

39
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Sebagian besar pekerjaan warga dusun pala pasang adalah petani / berkebun
2. Tingkat pengetahuan warga dusun pala pasang mengenai penyakit TBC adalah
sebanyak 85% berkategori kurang, 15% berkategori cukup dan 0% berkategori baik.

5.2 Saran

1. Bagi puskesmas entikong untuk dapat meningkatkan pengetahuan warga mengenai


penyakit TBC sebaiknya di berikan pelatihan kepada kader sehingga para kader
diharapkan dapat meneruskan informasi yang didapat kepada warga secara rutin.
2. Puskesmas dapat membuat banner atau poster mengenai TBC dan dipasang di tempat
dimana warga berkumpul ( balai dusun ).

40
DAFTAR PUSTAKA

Amin Z, Bahar A. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi IV, Internapublishing,
Jakarta: pp. 870-1

Kementrian Kesehatan RI. (2012). Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Jakarta
diakses 7 Nov 2015,
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2
012/11%20Profil_Kes.Prov.DKIJakarta_2012.pdf

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kementrian Kesehatan RI). (2013). Petunjuk


Teknis Manajemen TB anak, Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kementrian Kesehatan RI). (2014). Pedoman


Nasional Pengendalian TB, Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kementrian Kesehatan RI).(2015). Pusat


data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, diakses 7 Nov 2015,
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_TB.pdf

Sekretariat Millenium Development Goals(Sekretariat MDGs). (2013).Status Pencapaian


MDGs di Indonesia, Jakarta, http://sekretariatmdgs.or.id/?lang=id&page_id=1087

Munoz FM, Starke JR. (2007). Nelson Text Book of Pediatrics, edisi 18th, Saunder
Elsevier, USA : pp1242

OBrien RJ, Raviglione MC. (2012). Harrison Principles of Internal Medicine, edisi 18th,
MCGraw Hill Companies, USA : pp 1356

Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia(PDKI).(2007). Standar Profesi Dokter


Keluarga, Depok

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia(PDPI).(2011). TB Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta

Puskesmas Kembangan Selatan. (2015). Register Balai Pengobatan Umum 2014, Jakarta

41
World Health Organization (WHO). (2009).Treatment of TBGuidelines, 4th ed, WHO,
Geneva,
www.who.int/TB/publications/2009/who_htm_TB_2009_420_beforeprint.pdf

World Health Organization (WHO). (2015). Global TB Report, diakses 8 Nov 2015,
http://www.who.int/TB/publications/global_report/gTBr15_annex02.pdf

World Health Organization (WHO). (2015). Indonesian TB Report, diakses 8 Nov 2015,

https://extranet.who.int/sree/Reports?op=Replet&name=/WHO_HQ_Reports/G2/PROD/
EXT/TBCountryProfile&ISO2=ID&outtype=html

42

Anda mungkin juga menyukai