Anda di halaman 1dari 21

A.

Abstrak
Pendahuluan: Refluks laringofaringeal (LPR) merupakan penyakit dengan
prevalensi tinggi dan umum ditemui dalam praktik otolaringologi.
Tujuan: Untuk meninjau literatur mengenai diagnosis dan tatalaksana dari LPR
Sintesis Data: LPR berhubungan dengan gejala iritasi laringeal seperti
membersihkan tenggorokan, batuk, dan suara serak. Metode diagnostik utama yang
kini digunakan adalah laringoskopi dan pemantauan pH. Tanda laringoskopis yang
paling umum adalah kemerahan dan pembengakakan pada tenggorokan. Akan
tetapi, temuan ini tidak spesifik untuk LPR dan mungkin berhubungan dengan
penyebab lain atau bahkan dapat ditemukan pada orang yang sehat. Lebih lanjut,
peran pemantauan pH dalam diagnosis LPR masih kontroversial. Trial terapeutik
dengan penyekat pompa proton (Proton Pump Inhibitor/PPI) diketahui hemat biaya
dan berguna untuk diagnosis LPR. Namun, rekomendasi terapi PPI untuk pasien
dengan kecurigaan LPR didasarkan pada hasil dari studi yang tidak terkontrol, dan
angka respon plasebo yang tinggi mengindikasikan patofisiologi LPR yang lebih
kompleks dan multifaktorial alih-alih hanya refluks asam sederhana. Studi
molekuler telah dilakukan untuk mengidentifikasi biomarker dari refluks seperti
interleukin, anhidrase karbonik, E-cadherin, dan mucin.
Simpulan: laringoskopi dan pemantauan pH telah gagal menjadi uji yang reliabel
untuk mendiagnosis LPR. Terapi empiris dengan PPI telah diterima secara umum
sebagai uji diagnostik dan tatalaksana dari LPR. Namun, penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk mengembangkan uji diagnostik yang definitif untuk LPR.

B. Pendahuluan
Refluks laringofaringeal (LPR) didefinisikan sebagai aliran retrograd dari isi
lambung ke laring dan faring dimana zat ini berkontak dengan saluran aerodigestif
atas1. Sebaliknya, penyakit refluks gastroesofageal (GERD) merupakan aliran balik
dari asam lambung ke esophagus. Penyakit refluks asam lambung sering dijumpai
dan GERD serta LPR merupakan epidemi2,6. Berdasarkan El-Serag2, prevalensi
dari penyakit refluks (GERD dan LPR) telah meningkat sebesar 4% setiap tahun
sejak 1976, dan data dari National Cancer Institute of the United States
menunjukkan peningkatan prevalensi kanker esophageal sebesar 600% sejak
19755. Altman dkk melaporkan peningkatan sebesar 500% kunjungan ke ahli
otolaringologi karena LPR dari tahun 1990 sampai 20013. Lebih lanjut, LPR
diperkirakan ada pada 50% dari pasien dengan disfonia7.
LPR telah terlibat dalam etiologi dari banyak penyakit laryngeal seperti
laryngitis refluks, stenosis subglotis, karsinoma laring, granuloma, ulkus kontak,
dan nodul vokal8,9. Pasien dengan LPR dapat mengalami penderitaan yang
berkepanjangan dan melelahkan apabila dokter tidak bisa menegakkan diagnosis
karena gejala dan tanda dari penyakit tidaklah spesifik dan dapat menjadi
manifestasi dari etiologi lain seperti infeksi, vocal abuse, alergi, merokok, inhalasi
iritan, alkohol, atau perubahan nonpatologis. Namun, saat muncul bersamaan,
tanda dan gejala merupakan indikator yang kuat dari refluks1.

C. Tinjauan Pustaka
1. Kejadian Berbahaya
a. Sawar Fisiologis
Sawar fisiologis dari LPR termasuk sfingter esophageal bagian bawah,
klirens esophageal yang dipengaruhi oleh peristalsis esophagus, saliva, dan
gravitasi, serta sfingter esophageal bagian atas. Saat sawar ini gagal, isi
lambung dapat berkontak dengan jaringan laringofaringeal, menyebabkan
kerusakan pada epitel, disfungsi siliar, inflamasi, dan perubahan
sensitivitas. Dipercaya bahwa anhidrase karbonik tipe III memiliki fungsi
protektif yang penting terhadap epitel dari laring melalui sekresi aktif dari
bikarbonat, mengatur pH untuk merespon refluks asam. Hipotesis ini
didukung dengan tidak ditemukannya enzim ini pada 64% dari biopsy
jaringan pada pasien dengan LPR1.
b. Asam
pH faring adalah netral (pH 7), sementara asam lambung memiliki kisaran
pH antara 1,5 sampai 2. Kerusakan pada faring merupakan hasil dari
penurunan pH dan paparan terhadap komponen refluks seperti pepsin,
garam empedu, dan enzim pankreatik. Pada esophagus, 50 episode refluks
per hari dapat dianggap sebagai normal, sementara pad alaring tiga episode
refluks sudah dapat menyebabkan kerusakan11. Namun, efek dari asam
terhadap laring masih belum jelas dan beberapa studi menunjukkan bahwa
kombinasi dari pepsin dan asam dibutuhkan untuk membuat kerusakan
laring12.

c. Pepsin
Refluks nonasam berhubungan dengan inflamasi pada LPR dan GERD.
Pemantauan impedans pH mendeteksi episode refluks nonasam atau asam
lemah dari lambung pada pasien yang simtomatik, mengindikasikan bahwa
komponen refluks seperti pepsin dan garam empedu dapat menyebabkan
kerusakan mukosa13. Bukti menunjukkan bahwa pepsin secara aktif
ditransport ke sel epitel laring dan tetap stabil pada pH 7,414. Tetapi pepsin
terinaktivasi secara ireversibel pada pH 8. Setelah pepsin direaktivasi oleh
penurunan pH dari 7,4 ke 3, 72% dari aktivitas pepsin bertahan. Pepsin
berfungsi secara optimal pada pH 210. Studi terkini menunjukkan bajwa
pepsin merupakan agen kausatif dari cedera laryngeal pada refluks
nonasam11,13. Pada rata-rata pH 6,8, laring mungkin mengandung pepsin
stabil yang dapat direaktivasi selama episode refluks setelahnya atau oleh
ion hidrogen dari berbagai sumber termasuk sumber diet4,10. Lebih lanjut
lagi, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pepsin dapat menyebabkan
kerusakan intraseluler karena komponen sel seperti kompleks Golgi dan
lisosom memiliki pH yang rendah (5,0 dan 4,0 masing-masing)14. Dalam
studi Johnson dkk, pepsin intraseluler dideteksi oleh analisis Western blot
dari biopsy laring pada 19 dari 20 pasien dengan LPR yang tercatat oleh
pemantauan Ph, namun hanya 1 dari 20 pasien kontrol11. Kehadiran pepsin
pada jaringan berhubungan dengan penurunan zat protektif seperti
anhidrase karbonik, E-cadherin, dan Sep 70 (protein stres dari epitel)11,15.
Studi terkini menunjukkan bahwa pepsin meningkatkan marker genetik
yang berhubungan dengan kanker16.
d. Asam Empedu
Refluks dari getah lambung dan duodenum mengandung asam empedu dan
sekret pankreas dan dapat mencapai laring17. Asam empedu terkonjugasi
dapat menyebabkan kerusakan mukosa pada pH rendah (1,2 sampai 1,5)18.
Asam empedu jenis asam kenodeoksikolik aktif pada pH 7 dan bukan pada
pH 2. Studi eksperimental menunjukkan bahwa asam lambung terkonjugasi
lebih merusak mukosa pada pH asam, sedangkan asam kenodeoksikolik
aktif pada pH 5 sampai 817. Pada studi tersebut, mukosa laring dari tikus
dipaparkan terhadap asam taurokolik dan asam kenodeoksikolik pada pH
1,5 sampai 7,4 dan hasilnya dibandingkan dengan tikus kontrol yang
dipapari oleh saline. Asam taurokolik lebih merusak mukosa pada pH 1,5,
sedangkan asam kenodeoksikolik dapat menyebabkan inflamasi maksimum
pada pH 7,4. Penelitian menunjukkan bahwa asam empedu dapat
menyebabkan inflamasi laryngeal pada pH asam dan nonasam. Namun,
tidak ada bukti mekanisme yang sama terjadi pada laring manusia
2. Gejala
Menurut Koufman8, penting untuk mengenali LPR dan GERD sebagai entitas
yang berbeda. Dalam studi Kaufman yang melibatkan 899 pasien, usaha
membersihkan tenggorokan ditemukan pada 87% pasien LPR melawan 3%
pada pasien GERD. Di sisi lain, hanya 20% pasien LPR melaporkan adanya
rasa terbakar pada ulu hati dibandingkan 83% pada pasien GERD.
Gejala paling umum dari LPR adalah usaha membersihkan tenggorokan
yang berlebihan, batuk, serak, dan globus pharyngeus (sensasi mengganjal di
dalam tenggorokan)1. Serak merupakan gejala umum yang berfluktuasi yang
muncul pada pagi hari dan membaik seiring hari berjalan19. Belafsky dkk
mengembangkan kuesioner 9 pertanyaan (Indeks Gejala Refluks (RSI)) untuk
menilai gejala pada pasien refluks yang dapat diselesaikan dalam waktu kurang
dari 1 menit9. Skala untuk masing-masing pertanyaan berkisar dari 0 (tidak ada
masalah) sampai 5 (masalah yang berat), dengan skor maksimum 45 (Tabel 1).
Pengarang berkesimpulan bahwa kuesioner ini menunjukkan reproduksibilitas
dan validitas yang tinggi dari diagnosis LPR apabila skor RSI > 13 dianggap
sebagai tidak normal. Nilai RSI lebih tinggi secara signifikan pada pasien LPR
dibanding kontrol (p < 0,0001). Penulis menyimpulkan bahwa kuesioner ini
menunjukkan reproduksibilitas dan validitas yang tinggi karena peningkatan
akurasi dokumentasi gejala pada pasien dengan LPR. Satu tantangan dari
diagnosis LPR adalah gejala LPR kekurangan spesifitas untuk mengkonfirmasi
LPR sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan agen penyebab lain.
Faktanya, beberapa studi menunjukkan korelasi yang buruk antara gejala LPR,
penemuan laringeal, dan penemuan pH hipofaringeal20,21.

Metode Diagnostik
Laringoskopi
Temuan laringoskopi yang digunakan untuk diagnosis refluks adalah tanda nonspesifik
dari iritasi laring dan pembengkakan. Pemeriksaan laryngeal mengidentifikasi edema
dan eritema, terutama di daerah posterior. Ini merupakan temuan utama yang
digunakan oleh berbagai peneliti untuk diagnosis LPR. Granuloma, bisul kontak, dan
pseudosulcus (edema infraglottik) juga merupakan temuan umum, dan yang terakhir
telah diamati pada hingga 90% kasus LPR. Laringoskopi penting karena tampaknya
ada kaitannya antara kanker dan LPR. Refluks juga telah terbukti terkait dengan
stenosis subglotis, laringospasme, obstructive sleep apnea, bronkiektasis, dan rinitis
atau rinosinusitis kronis. Selain itu, menurut beberapa peneliti, temuan ini juga terlihat
pada subyek sehat, dan jenis endoskopi dapat mempengaruhi warna eritema.
Selanjutnya, karena pemeriksaan ini tergantung pada pemeriksa, variasi mungkin ada
yang membuat diagnosis LPR sangat subjektif.
Dalam upaya untuk mengidentifikasi tanda-tanda Laringoskopi yang paling spesifik
dari LPR, Belafsky dkk mengembangkan Reflux Finding Score (RFS) berdasarkan
temuan laringoskopi serat optik. Skala ini mengevaluasi delapan item yang terdiri dari
temuan laringoskopi yang paling umum pada pasien dengan LPR: edema subglotis;
obliterasi ventrikel; eritema atau hiperemia; edema lipatan vokal; edema laryngeal
umum; hipertrofi commissure posterior; granuloma atau jaringan granulasi; dan
kelebihan lendir di laring. Setiap item dinilai sesuai dengan tingkat keparahan, lokasi,
dan ada tidaknya, dengan skor total 26. Pasien yang menyajikan skor 7 atau lebih tinggi
diklasifikasikan memiliki LPR. Dalam penelitian ini, skala ini menunjukkan
reproduktifitas yang sangat baik dan, walaupun setiap item saja tidak dapat
memprediksi ada tidaknya LPR, nilai RFS total sangat menunjukkan LPR pada pasien
dengan skor lebih dari 7. Sebagai tambahan, skala ini berguna untuk mengevaluasi
keberhasilan pengobatan pada pasien dengan LPR ( Tabel 2).
Korelasi antara temuan laryngeal, gejala, dan pemantauan pH telah ditemukan lemah.
Telah dilaporkan bahwa temuan yang biasanya terkait dengan LPR juga dapat
ditemukan di antara 86% pasien kontrol sehat, seperti yang ditunjukkan dalam laporan
oleh Hicks dkk.
Oleh karena itu tampak bahwa tanda-tanda laring jelas tidak spesifik untuk LPR, hal
ini menjelaskan mengapa pasien yang awalnya didiagnosis dengan refluks laringitis
seringkali tidak menanggapi pengobatan yang tepat. Mengenai LPR, diperlukan lebih
banyak penelitian untuk mengungkapkan tanda mana yang benar-benar spesifik.
Dalam sebuah penelitian, lesi vokal disarankan untuk mewakili tanda-tanda yang lebih
spesifik untuk LPR, dengan spesifisitas 91% dan respon 88% terhadap terapi
penghambat pompa proton (PPI).
Perlu ditekankan, bagaimanapun, bahwa riwayat medis dan laringoskopi menyeluruh
penting untuk penanganan kasus LPR yang tepat, karena tidak ada standar emas untuk
diagnosis.
Pemantauan pH
Kejadian refluks paling baik ditunjukkan dengan pemantauan pH impedansi
intraluminal multichannel. Metode ini mampu mendeteksi cairan asam dan non asam
atau gas cair. Meskipun ada kontroversi, kejadian LPR terjadi ketika pH sensor
proksimal menurun sampai <4 selama atau segera setelah terpapar asam distal (di dekat
sfingter esofagus bagian bawah) dan LPR dikonfirmasi saat total waktu pemaparan
asam (persentase waktu selama pemantauan 24 jam bila sensor mendeteksi pH <4) >
1%. Pemantauan pH impedansi intraluminal berguna untuk diagnosis LPR, namun
metode yang diuji sangat bervariasi dan tidak ada konsensus mengenai definisi pH
abnormal. Sataloff dkk menggambarkan variasi biologis di antara individu. Sensitivitas
diagnostik pemantauan pH hipofaring hanya 40%. Selanjutnya, pemantauan pH telah
terbukti menjadi indikator lemah dari tingkat keparahan tanda dan gejala pada pasien
yang terkena. Sebuah meta-analisis dari 16 penelitian menunjukkan bahwa jumlah
faring dengan refluks positif yang ditunjukkan pada pemantauan pH dalam 24 jam
berbeda secara signifikan antara pasien dengan LPR dan kontrol. Bila digunakan dalam
kombinasi dengan laringoskopi dan RFS, pemantauan pH dapat berkontribusi untuk
mengidentifikasi pasien dengan potensi respons terhadap PPI. Namun, meta analisis
lain termasuk 11 penelitian tidak menemukan perbedaan dalam prevalensi refluks
faring yang diukur dengan pemantauan pH antara pasien dengan LPR dan kontrol, dan
hanya sebagian kecil pasien dengan refluks laryngitis yang didiagnosis secara klinis
mengalami refluks faring.
Pengobatan Empiris
Mengingat kriteria diagnostik yang kontroversial untuk LPR, pengobatan empiris
dengan PPI telah digunakan sebagai modal diagnostik alternatif dimana respons yang
baik didefinisikan sebagai konfirmasi diagnostik. Pengobatan empiris yang diberikan
terdiri dari PPI dua kali sehari selama 2 sampai 3 bulan. Sebagian besar penelitian
mempertimbangkan respon baik pasien terhadap PPI saat pasien melaporkan resolusi
gejala yang terkait dengan LPR.
Pengobatan
Pengobatan LPR terdiri dari perubahan pola makan dan perubahan kebiasaan seperti
pengurangan berat badan, berhenti merokok, menghindari alkohol, dan tidak makan
segera sebelum tidur. Pembatasan diet meliputi kafein, cokelat, minuman berkarbonasi,
lemak, saus tomat, dan anggur merah. Modifikasi ini telah terbukti menjadi penentu
yang signifikan dari respons terhadap pengobatan.
Saat ini, obat yang paling umum digunakan untuk pengobatan LPR adalah PPI, dengan
menekan produksi asam yang langsung bekerja pada H+-K+ ATPase di sel parietal. PPI
tidak hanya mencegah paparan pada saluran aerodigestif bagian atas, namun juga
mengurangi kerusakan akibat aktivitas enzimatis pepsin, yang memerlukan media
asam untuk aktivasi.
Bukti klinis menunjukkan bahwa intervensi farmakologis harus terdiri dari minimal 3
bulan pengobatan dengan PPI yang diberikan dua kali sehari (omeprazol 40 mg atau
PPI yang setara), 30 sampai 60 menit sebelum makan. Periode ini penting karena
memberikan konsentrasi obat tertinggi selama periode stimulasi pompa proton oleh
konsumsi makanan.
Berbeda dengan GERD, respon terapeutik pasien dengan LPR terhadap PPI bervariasi,
sebagian karena LPR memerlukan terapi yang lebih agresif dan berkepanjangan
daripada GERD. Meski kebanyakan pasien menunjukkan perbaikan gejala dalam 3
bulan, resolusi gejala dan temuan laring umumnya memakan waktu 6 bulan. Variasi
respon ini juga disebabkan oleh kegagalan penelitian untuk menstandardisasi kriteria
inklusi dan untuk memberi stratifikasi pada kelompok berdasarkan tingkat keparahan,
kurangnya kontrol yang memadai, dan perbedaan durasi dan dosis terapeutik.
Studi telah mencoba menetapkan beberapa standar. Tingkat kegagalan yang signifikan
telah dilaporkan ketika satu dosis harian PPI digunakan, dan sebagian besar penelitian
menyarankan untuk menerapkan rejimen dua dosis harian. Dalam studi Park et al,
respon terhadap rejimen yang terdiri dari dua dosis harian PPI diamati pada 50% pasien
setelah 2 bulan pengobatan, sedangkan hanya 28% pasien yang menerima dosis tunggal
setiap hari menanggapi pengobatan. Pada kelompok dosis tunggal, 54% pasien yang
tidak membaik menunjukkan perbaikan gejala setelah 2 bulan pengobatan tambahan
dengan dua dosis harian. Setelah 4 bulan pengobatan dengan dua dosis harian, 22%
pasien tambahan telah membaik, menghasilkan tingkat respons 70% setelah 4 bulan
pengobatan dengan dua dosis harian.
Pengobatan antireflux maksimum terdiri dari pemberian PPI dua kali sehari (sebelum
sarapan dan makan malam) dan antagonis reseptor H2 sebelum tidur. Meskipun rejimen
ini memberikan penekanan asam yang lebih besar daripada pengobatan medis
sebelumnya, tetapi tingkat kegagalannya masih signifikan (10 sampai 17%).
Studi yang menganalisis keefektifan terapi PPI pada pasien dengan LPR telah
memberikan pola respons yang berbeda, mungkin karena variasi kriteria inklusi dan
prevalensi LPR yang sebenarnya. Sebagian besar studi yang tidak terkontrol
menunjukkan tingkat respons hampir 70% terhadap PPI. Sebaliknya, sebagian besar
percobaan terkontrol tidak menemukan efek menguntungkan PPI jika dibandingkan
dengan plasebo. Hasil yang berbeda telah dilaporkan dalam tiga studi terkontrol
terbaru. Fass dkk tidak menemukan perbedaan dalam parameter akustik atau persepsi
suara antara pasien dengan LPR yang diobati dengan esomeprazol dan kelompok
plasebo. Demikian pula, Shaheen dkk tidak menemukan perbedaan batuk kronis di
antara pasien tanpa sensasi terbakar yang menggunakan esomeprazol dan plasebo.
Sebaliknya, dalam studi Lam dkk yang melibatkan 24 pasien dengan LPR, rabeprazol
lebih unggul dibandingkan plasebo dalam hal perbaikan gejala setelah 12 minggu
pengobatan. Dalam penelitian terkontrol secara acak termasuk pasien dengan infus
postnasal sebagai gejala utama, pengobatan PPI lebih unggul daripada plasebo.
Mengingat hasil yang berbeda dan heterogenitas pasien, banyak pasien mungkin tidak
memiliki LPR, sebuah fakta yang dapat menjelaskan tingkat respons yang tinggi
terhadap plasebo seperti yang diamati pada penyakit peradangan lainnya atau gangguan
gastrointestinal fungsional. Namun, konsensus umum menyarankan pengobatan
empiris awal dengan PPI dua kali sehari selama 2 sampai 3 bulan.
PPI mengurangi volume refluks asam, tapi refluks non-acid mungkin masih terjadi.
Alginat cair yang dikonsumsi per oral bereaksi dengan asam di perut untuk
menghasilkan "rakit" yang bertindak sebagai penghalang fisik untuk refluks. Ini
adalah satu-satunya pengobatan non bedah yang secara fisik mencegah penyakit
refluks asam dan non asam. Alginates bertindak cepat, tahan lama dan murah, dan
belum diketahui memiliki efek samping.

Hasil yang berbeda telah dilaporkan dalam tiga studi terkontrol terbaru. Fass dkk tidak
menemukan perbedaan dalam parameter akustik atau persepsi suara antara pasien
dengan LPR yang diobati dengan esomeprazol dan kelompok plasebo.38 Demikian
pula, Shaheen et al menemukan noduk batuk kronis di antara pasien tanpa sensasi
terbakar yang menggunakan esomeprazole dan placebo.39 Sebaliknya, pada studi milik
Lam et al melibatkan pasien rawat jalan dengan LPR, rabeprazole lebih unggul
dibandingkan dengan plasebo dalam hal perbaikan gejala setelah 12 minggu
pengobatan.40 Dalam penelitian terkontrol secara acak termasuk pasien dengan tetesan
postnasal sebagai gejala utama, pengobatan PPI lebih unggul daripada placebo.41
Mengingat perbedaan hasil dan heterogenitas pasien, banyak pasien mungkin tidak
memiliki LPR, sebuah fakta yang bisa menjelaskan bahwa respons yang terlalu tinggi
terhadap pasien yang diobservasi pada penyakit peradangan atau gangguan
gastrointestinal fungsional.42 Bagaimanapun, konsensus umum menganjurkan
pengobatan kumulatif dengan PPI dua kali sehari selama 2 sampai 3 bulan.30
PPI mengurangi volume refluks asam, tetapi refluks nonacid dapat terjadi. Konsumsi
lewat oral alginate cair bereaksi dengan asam di perut untuk menghasilkan "rakit" yang
berfungsi sebagai barier fisik untuk refluks. Ini adalah satu-satunya perawatan non-
pembedahan yang secara fisik mencegah penyakit refluks asam atau nonacid. Alginat
bertindak cepat, tahan lama dan tidak mahal, dan tidak memiliki efek samping yang
diketahui.

Pembedahan
Laparoscopic atau Nissen fundoplication adalah perawatan bedah yang sesuai untuk
GERD dan menghasilkan hasil yang dapat diandalkan dan dapat diulang.43 Namun,
perannya dalam pengelolaan LPR belum jelas. Sebuah studi terbaru menunjukkan seri
ekstensif dari pasien yang menjalani fundoplikasi dan menemukan perbaikan serupa
pada pasien dengan temuan laring dan gejala khas GERD dan mereka yang memiliki
gejala khas yang khas. Sebaliknya, hasil yang buruk ditunjukkan oleh pasien dengan
gejala laringeal eksklusif, tetapi positif pada tes pemantauan pH untuk refluks,
mengindikasi kemungkinan penyebab dari gejala tidak berhubungan dengan refluks
pada pasien lain. 43
Telah ditunjukkan bahwa fundoplikasi Nissen tidak dimunculkan pada pasien resisten
terhadap PPI.27 Selanjutnya, satu penelitian menunjukkan bahwa hanya 10% pasien
yang respon terhadap fundoplikasi Nissen setelah kegagalan terapi PPI, dan tingkat
respons ini tidak berbeda dengan kelompok yang terus menggunakan PPI (7%).44
Sataloffet al melaporkan hasil positif setelah operasi dalam gejala pasien karena refluks
nonacid.28

Penelitian Terbaru
Diet Non-acid dan Air Alkali
Koufman mengemukakan bahwa pepsin, yang disimpan dalam jaringan laring, dapat
diaktifkan oleh ion hidrogen eksogen yang berasal dari sumber manapun, termasuk
diet.4 Atas dasar saran ini, penulis melakukan penelitian termasuk pasien dengan LPR
yang tahan terhadap pengobatan PPI. Pasien menerima diet nonacid terbatas selama 2
minggu dan gejalanya meningkat sebanyak 95%. Diagnostik ini menunjukkan bahwa
pepsin secara ireversibel tidak aktif dalam air basa pada pH 8,8, menunjukkan manfaat
terapeutik air alkali pada pasien dengan penyakit refluks.6

Biomarker Refloksin
Sitokin Peradangan
Beberapa marker telah terlibat dalam peradangan pada mukosa esophagus yang
disebabkan oleh refluks. GERD mengubah ekspresi interleukin (IL)-6, sebuah sitokin
yang terlibat dalam peradangan mukosa yang diinduksi oleh refluks.45 IL-6 diketahui
berperan dalam peradangan akut dan respons kekebalan tubuh.46 Tingkat esofagus IL-
6 meningkat sesuai dengan tingkat refluks dan penurunan setelah perawatan GERD.
IL-6 nampaknya merupakan indikator peradangan mukosa yang terkait dengan
refluks.46 Ekspresi IL-8 yang meningkat juga dikaitkan dengan refluks, terutama pada
mukosa esofagus dengan displasia Barrett dan adenokarsinoma. Penurunan kadar IL-8
diamati setelah pembedahan antirefluks.47 Sebuah studi in vitro menunjukkan adanya
peningkatkan ekspresi IL-8 dan marker inflamasi lainnya saat terkena pepsin.13

Karbonat Anhidrase
Karbonat anhidrase adalah komponen pertahanan mukosa yang mengkatalisis hidrasi
karbon dioksida, menghasilkan bikarbonat, yang menetralkan perubahan asam di ruang
ekstraselular. Di esofagus, anhidrida karbonat menetralisir fluktuasi asam menjadi
hampir netral.48 Kenaikan ekspresi karbonat anhidrase III dapat terjadi akibat
hiperplasia epitel, yang merupakan tanda histopatologis esofagitis.49 Pasien dengan
LPR, perbedaan pada ekspresi karboniidridase III diobservasi di beberapa biopsi yang
berbeda lokasi.49 Dengan adanya LPR dan pepsin, ekspresi anhidrase karbonat III
menurun pada lipatan vokal, memperburuk kerusakan akibat asam, dan meningkat
pada commisura posterior laring, dengan observasi adanya korelasi antara tingkat
keparahan gejala dan tingkat enzim ini.1
E-Cadherin
E-cadherin berperan penting dalam pemeliharaan integritas dan fungsi barier epitel.10
Pepsin mencerna struktur intraselular yang bertugas untuk kohesi antar sel.10 Tingkat
E-cadherin telah terbukti menurun sebagai respons terhadap LPR,50 namun tetap tidak
jelas apakah penurunan ini terjadi pada komponen refluks (asam atau pepsin) akibat
reaksi peradangan yang terkait refluks. Ada bukti kuat bahwa E-cadherin adalah
penekan tumor dan bahwa hilangnya ekspresi enzim ini merupakan stadium invasi
totumor.51

Mucins
Mucins adalah glikoprotein yang diekspresikan oleh berbagai jenis sel epitel di tempat
yang terpapar osilasi pada pH, konsentrasi ion, hidrasi, dan oksigenasi. Fungsi lendir
meliputi proteksi, pelumasan, pengangkutan, pembaharuan dan diferensiasi epitel,
modulasi siklus sel, adhesi, dan transduksi sinyal sel.52 LPR mengurangi sekresi mucin,
mengganggu proteksi tulang. Mengurangi sekresi esofagus pada pasien dengan pasien
dengan refluks esofagitis.52

Diskusi
LPR telah menjadi penyakit yang sering terjadi di lingkup THT. Sejumlah besar
penelitian telah diterbitkan dalam literatur medis selama beberapa tahun terakhir,
namun kontroversi mengenai LPR masih ada.49 Meskipun tidak sesuai, kombinasi
gejala dan gejala laringoskop khas mungkin lebih sugestif dari LPR. Namun, para
peneliti menyoroti variabilitas luas refluks pada temuan laringoskop di antara
pemeriksa.

Keandalan pemantauan pH 24 jam telah dipertanyakan, dan tidak ada konsensus


mengenai lokasi yang memadai dari bukti di atas dan interpretasi hasilnya.54 Saat ini,
kombinasi gejala, temuan laringoskopi, dan terapi empiris PPI yang digunakan secara
simultan digunakan untuk diagnosis. dari LPR. Namun, jika pemeriksaan uji terapeutik
gagal, pemeriksaan lain mungkin akan diselidiki atau sebaiknya dipertimbangkan
bahwa terdapat penyebab refluks selain asam yang menjadi penyebab timbulnya tanda
dan gejala pada pasien.53 Studi telah menunjukkan bahwa pada tingkat yang lebih
tinggi terjadi pada LPR, tetapi pepsin dan asam empedu juga merupakan penyebab
agen peradangan.11,14 Peningkatan pepsin menyebabkan kerusakan yang disebabkan
oleh penyakit refluks, dengan penelitian yang menunjukkan adanya konsentrasi dan
kemampuan menjaga satbilitasnya di jaringan laring, dimana ia dapat diaktifkan
kembali oleh ion hidrogen endogen (asam refluks) atau dengan ion hidrogen eksogen
yang berasal dari sumber manapun, termasuk diet.4,13

Studi molekuler telah mencoba untuk mengidentifikasi biomarker refluks, seperti ILs,
anhydrase karbonat, E-cadherin, dan mucin. Data yang muncul dari penelitian ini
menjelaskan peran biomarker tidak hanya pada mekanisme pertahanan mukosa tetapi
juga dalam perkembangan tumor.11

Data dari penelitian terkontrol menunjukkan bahwa hasil terapi PPI sebanding dengan
pengobatan plasebo. Meskipun demikian, perawatan empiris dengan PPI selama 2
sampai 3 bulan terus direkomendasikan dalam literatur medis sebagai terapi yang
hemat biaya dan berguna untuk diagnosis awal LPR.1 Selain itu, kesulitan dalam
menunjukkan efikasi PPI, diagnosis LPR tetap menjadi tantangan mengingat tanda dan
gejala nonspesifik dari kondisi dan peran pemantauan pH yang kontroversial. Hasil
akan menjadi tidak nyata meningkat pada penegakan diagnosis LPR pada pasien yang
tidak respon terhadap terapi supresi asam.42

Studi terkontrol menunjukkan tingkat respons yang rendah dan tidak ada perbedaan
yang signifikan antara perlakuan PPI dan plasebo, sebuah fakta yang menunjukkan
bahwa pasien yang tidak memiliki gejala khas GERD (rasa panas dalam perut atau rasa
terbakar) tidak akan mendapatkan manfaat dari pengobatan dengan PPI.16 Sebaliknya
apa yang terlihat pada GERD, respon terhadap pengobatan PPI lebih luas dibandingkan
pada pasien LPR. Beberapa penulis percaya jika pengobatan LPR membutuhkan dosis
yang lebih tinggi dan lebih lama jika dibandingkan dengan GERD.26 Dianjurkan
bahwa terapi empiris harus menggunakan dosis penuh PPI untuk jangka waktu minimal
2 sampai 3 bulan.1,19 Dalam hal ini, hasil penelitian terkontrol dan analisis-analisis
mengenai dugaan respons terhadap pengobatan empiris tidak boleh dilakukan untuk
meningkatkan dosis atau lama pengobatan, namun untuk revisi diagnosis.27
Rekomendasi untuk perawatan PPI pada pasien dengan kecurigaan LPR didasarkan
pada hasil studi tidak terkontrol, dan tingkat respons yang tinggi terhadap pengobatan
plasebo menunjukkan patofisiologi LPR yang jauh lebih kompleks dan multifaktorial
daripada refluks asama yang simple. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk
mengkarakterisasi kelompok pasien dengan gejala LPR yang akan mendapat manfaat
dari pengobatan dengan PPI.

Kesimpulan
LPR adalah penyakit yang biasanya didiagnosis dalam praktik THT yang menampilkan
sekumpulan tanda dan gejala laring nonspesifik. Penyebab kerusakan laring belum
jelas tapi seperti sebuah campuran antara asam dan komponen refluks, terutama pepsis.
Pepsin dikaitkan dengan refluks non-asam atau asam lemah. Enzim ini cukup stabil di
jaringan laringeal dan direaktivasi oleh subsekuen refluks atau oleh asam dari diet.

Tidak ada tes khusus untuk LPR. Pemantauan laringoskopi dan pH telah gagal sebagai
tes yang dapat diandalkan untuk diagnosis kondisi ini. Terapi empiris dengan PPI telah
diterima secara luas sebagai tes diagnostik dan untuk pengobatan LPR. Tatalaksana
tambahan dipilih termasuk gaya hidup dan perubahan (berhenti merokok dan minum
minuman keras, menurunkan berat badan, menghindari kafein, dll.).

Studi molekuler telah dilakukan dalam upaya untuk mengidentifikasi biomarker dari
refluks, seperti IL (interleukin), carbonic anhydrase, E-cadherin, dan mucin. Namun,
diperlukan penyelidikan lebih lanjut untuk menetapkan tes diagnostik definitif untuk
LPR dan untuk menentukan mekanisme yang mendasari kerusakan mukosa, yang akan
berkontribusi pada pengembangan perawatan baru dan pemahaman fisiopatologi LPR.

Referensi
1 Ford CN. Evaluation and management of laryngopharyngeal reflux. JAMA
2005;294:15341540
2 El-Serag HB. Time trends of gastroesophageal reflux disease: a systematic review.
Clin Gastroenterol Hepatol 2007;5:1726
3 Altman KW, Stephens RM, Lyttle CS,Weiss KB. Changing impact of
gastroesophageal reflux in medical and otolaryngology practice. Laryngoscope
2005;115:11451153
4 Koufman JA. Low-acid diet for recalcitrant laryngopharyngeal reflux: therapeutic
benefits and their implications. Ann Otol Rhinol Laryngol 2011;120:281287
5 Pohl H,Welch HG. The role of overdiagnosis and reclassification in the marked
increase of esophageal adenocarcinoma incidence. J Natl Cancer Inst 2005;97:142146
6 Koufman JA, Johnston N. Potential benefits of pH 8.8 alkaline drinking water as an
adjunct in the treatment of reflux disease. Ann Otol Rhinol Laryngol 2012;121:431
434
7 Fraser AG. Review article: gastro-oesophageal reflux and laryngeal symptoms.
Aliment Pharmacol Ther 1994;8:265272
8 Koufman JA. The otolaryngologic manifestations of gastroesophageal reflux disease
(GERD): a clinical investigation of 225 patients using ambulatory 24-hour pH
monitoring and an
experimental investigation of the role of acid and pepsin in the development of
laryngeal injury. Laryngoscope 1991; 101(4 Pt 2, Suppl 53):178
9 Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. Validity and reliability of the reflux
symptom index (RSI). J Voice 2002;16:274277 International Archives of
Otorhinolaryngology Vol. 18 No. 2/2014 Laryngopharyngeal Reflux Campagnolo et
al. 189
10 Wood JM, Hussey DJ, Woods CM, Watson DI, Carney AS. Biomarkers and
laryngopharyngeal reflux. J Laryngol Otol 2011;125:12181224
11 Johnston N, Knight J, Dettmar PW, LivelyMO, Koufman J. Pepsin and carbonic
anhydrase isoenzyme III as diagnostic markers for laryngopharyngeal reflux disease.
Laryngoscope 2004;114:21292134
12 Johnston N, Yan JC, Hoekzema CR, et al. Pepsin promotes proliferation of laryngeal
and pharyngeal epithelial cells. Laryngoscope 2012;122:13171325
13 Samuels TL, Johnston N. Pepsin as a causal agent of inflammation during nonacidic
reflux. Otolaryngol Head Neck Surg 2009;141: 559563
14 Johnston N, Wells CW, Blumin JH, Toohill RJ, Merati AL. Receptormediated
uptake of pepsin by laryngeal epithelial cells. Ann Otol Rhinol Laryngol
2007;116:934938
15 Johnston N, Dettmar PW, Lively MO, et al. Effect of pepsin on laryngeal stress
protein (Sep70, Sep53, and Hsp70) response: role in laryngopharyngeal reflux disease.
Ann Otol Rhinol Laryngol 2006;115:4758
16 Vaezi MF. We should learn from important negative results. Laryngoscope
2009;116:1718
17 Sasaki CT, Marotta J, Hundal J, Chow J, Eisen RN. Bile-induced laryngitis: is there
a basis in evidence? Ann Otol Rhinol Laryngol 2005;114:192197
18 Lillemoe KD, Johnson LF, Harmon JW. Role of the components of the
gastroduodenal contents in experimental acid esophagitis. Surgery 1982;92:276284
19 BoveMJ, Rosen C. Diagnosis and management of laryngopharyngeal reflux disease.
Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg 2006;14:116123
20 Noordzij JP, Khidr A, Desper E, Meek RB, Reibel JF, Levine PA. Correlation of
pH probe-measured laryngopharyngeal reflux with symptoms and signs of reflux
laryngitis. Laryngoscope 2002;112: 21922195
21 Merati AL, Lim HJ, Ulualp SO, Toohill RJ. Meta-analysis of upper probe
measurements in normal subjects and patients with laryngopharyngeal reflux. Ann Otol
Rhinol Laryngol 2005;114: 177182
22 Vaezi MF, Hicks DM, Abelson TI, Richter JE. Laryngeal signs and symptoms and
gastroesophageal reflux disease (GERD): a critical assessment of cause and effect
association. Clin Gastroenterol Hepatol 2003;1:333344
23 Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability of the reflux
finding score (RFS). Laryngoscope 2001;111:13131317
24 Branski RC, Bhattacharyya N, Shapiro J. The reliability of the assessment of
endoscopic laryngeal findings associated with laryngopharyngeal reflux disease.
Laryngoscope 2002;112:10191024
25 Hicks DM, Ours TM, Abelson TI, Vaezi MF, Richter JE. The prevalence of
hypopharynx findings associated with gastroesophageal reflux in normal volunteers. J
Voice 2002;16:564579
26 Park W, Hicks DM, Khandwala F, et al. Laryngopharyngeal reflux: prospective
cohort study evaluating optimal dose of proton-pump inhibitor therapy and pretherapy
predictors of response. Laryngoscope 2005;115:12301238
27 Abou-Ismail A, Vaezi MF. Evaluation of patients with suspected laryngopharyngeal
reflux: a practical approach. Curr Gastroenterol Rep 2011;13:213218
28 Sataloff RT, HawkshawMJ, Gupta R. Laryngopharyngeal reflux and voice
disorders: an overview on disease mechanisms, treatments, and research advances.
Discov Med 2010;10:213224
29 Joniau S, BradshawA, Esterman A, Carney AS. Reflux and laryngitis: a systematic
review. Otolaryngol Head Neck Surg 2007;136: 686692
30 Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF; American Gastroenterological Association
Institute; Clinical Practice and Quality Management Committee. American
Gastroenterological Association Institute technical review on the management of
gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology 2008;135:13921413, e1e5
31 Reimer C, Bytzer P. Management of laryngopharyngeal reflux with proton pump
inhibitors. Ther Clin Risk Manag 2008;4:225233
32 Steward DL, Wilson KM, Kelly DH, et al. Proton pump inhibitor therapy for chronic
laryngo-pharyngitis: a randomized placebocontrol trial. Otolaryngol Head Neck Surg
2004;131:342350
33 Dobhan R, Castell DO. Normal and abnormal proximal esophageal acid exposure:
results of ambulatory dual-probe pH monitoring. Am J Gastroenterol 1993;88:2529
34 Leite LP, Johnston BT, Just RJ, Castell DO. Persistent acid secretion during
omeprazole therapy: a study of gastric acid profiles in patients demonstrating failure of
omeprazole therapy. Am J Gastroenterol 1996;91:15271531
35 Amin MR, Postma GN, Johnson P, Digges N, Koufman JA. Proton pump inhibitor
resistance in the treatment of laryngopharyngeal reflux. Otolaryngol Head Neck Surg
2001;125:374378
36 Koufman JA, Aviv JE, Casiano RR, Shaw GY. Laryngopharyngeal reflux: position
statement of the committee on speech, voice, and swallowing disorders of the American
Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg
2002; 127:3235
37 Qadeer MA, Phillips CO, Lopez AR, et al. Proton pump inhibitor therapy for
suspected GERD-related chronic laryngitis: a metaanalysis of randomized controlled
trials. Am J Gastroenterol 2006;101:26462654
38 Fass R, Noelck N, Willis MR, et al. The effect of esomeprazole 20 mg twice daily
on acoustic and perception parameters of the voice in laryngopharyngeal reflux.
Neurogastroenterol Motil 2010;22:134 141, e44e45
39 Shaheen NJ, Crockett SD, Bright SD, et al. Randomised clinical trial: high-dose
acid suppression for chronic cougha double-blind, placebo-controlled study.
Aliment Pharmacol Ther 2011;33: 225234
40 Lam PK, Ng ML, Cheung TK, et al. Rabeprazole is effective in treating
laryngopharyngeal reflux in a randomized placebo-controlled trial. Clin Gastroenterol
Hepatol 2010;8:770776
41 Vaezi MF, Hagaman DD, Slaughter JC, et al. Proton pump inhibitor therapy
improves symptoms in postnasal drainage. Gastroenterology 2010;139:18871893, e1,
quiz e11
42 Patel SM, Stason WB, Legedza A, et al. The placebo effect in irritable bowel
syndrome trials: a meta-analysis. Neurogastroenterol Motil 2005;17:332340
43 Ratnasingam D, Irvine T, Thompson SK, Watson DI. Laparoscopic antireflux
surgery in patients with throat symptoms: a word of caution. World J Surg
2011;35:342348
44 Swoger J, Ponsky J, Hicks DM, et al. Surgical fundoplication in laryngopharyngeal
reflux unresponsive to aggressive acid suppression: a controlled study. Clin
Gastroenterol Hepatol
2006;4:433441
45 van Roon AH, Mayne GC, Wijnhoven BP, et al. Impact of gastroesophageal reflux
on mucin mRNA expression in the esophageal mucosa. J Gastrointest Surg
2008;12:13311340
46 Hirano T. Interleukin 6 in autoimmune and inflammatory diseases: a personal
memoir. Proc Jpn Acad, Ser B, Phys Biol Sci 2010;86: 717730
47 Oh DS, DeMeester SR, Vallbohmer D, et al. Reduction of interleukin 8 gene
expression in reflux esophagitis and Barretts esophagus with antireflux surgery. Arch
Surg 2007;142:554559, discussion 559560
48 Tobey NA, Powell DW, Schreiner VJ, Orlando RC. Serosal bicarbonate protects
against acid injury to rabbit esophagus. Gastroenterology 1989;96:14661477
49 Axford SE, Sharp N, Ross PE, et al. Cell biology of laryngeal epithelial defenses in
health and disease: preliminary studies. Ann Otol Rhinol Laryngol 2001;110:1099
1108
50 Reichel O, Mayr D, Durst F, Berghaus A. E-cadherin but not -catenin expression
is decreased in laryngeal biopsies from patients with laryngopharyngeal reflux. Eur
Arch Otorhinolaryngol 2008; 265:937942 International Archives of
Otorhinolaryngology Vol. 18 No. 2/2014 190 Laryngopharyngeal Reflux Campagnolo
et al.
51 Kurtz KA, HoffmanHT, Zimmerman MB, Robinson RA. Decreased Ecadherin but
not beta-catenin expression is associated with vascular invasion and decreased survival
in head and neck squamous carcinomas. Otolaryngol Head Neck Surg 2006;134:142
146
52 Samuels TL, Handler E, Syring ML, et al. Mucin gene expression in human
laryngeal epithelia: effect of laryngopharyngeal reflux. Ann Otol Rhinol Laryngol
2008;117:688695
53 Mahieu HF. Review article: the laryngological manifestations of reflux disease; why
the scepticism? Aliment Pharmacol Ther 2007;26(Suppl 2):1724
54 Sato K, Umeno H, Chitose S, Nakashima T. Tetra-probe, 24-hour pH monitoring
for laryngopharyngeal reflux: a technique for simultaneous study of hypopharynx,
oesophagus and stomach. J Laryngol Otol 2009;123(Suppl 31):117122

Anda mungkin juga menyukai