Anda di halaman 1dari 4

Isu HIV di Praktik Dokter Gigi

AIDS, akronim dari Acquired Immunodeficiency Syndrome, merupakan poin

akhir dari infeksi HIV. Virus AIDS menyerang CD4 yang menyebabkan

imunosupresi. Seluruh dokter gigi harus farmiliar dengan oral manifestasi dari infeksi

HIV. Tanda yang utama adalah kandidiasis oral, kaposi sarkoma, dan oral hairy

leukoplakia, dan kondisi periodontal buruk pada pasien dengan imunosupresi(Burt

and Eklund, 2005).

Berkembangnya hukum mengenai infeksi silang harus menyadarkan seluruh

dokter gigi untuk waspada. Dokter gigi yang terinfeksi berada dalam posisi sulit.

Sejumlah negara telah menanggapi tuntutan publik dengan hukum yang membatasi

hak-hak dokter gigi yang terinfeksi untuk melakukan praktik. Banyak yang

menginterpretasikan bahwa undang-undang ini sebagai reaksi yang berlebihan,

meskipun pada negara-negara tanpa aturan tersebut, kewajiban hukum dokter gigi

untuk memberitahu pasien dan staf bahwa dokter gigi atau stafnya yang terinfeksi

HIV atau HBV masih tidak jelas. Jika dokter gigi melakukan hal tersebut, maka reaksi

mungkin akan memaksa praktik untuk tutup; jika tidak, maka dokter gigi harus

bertanggung jawab terhadap pasien yang terinfeksi (Burt and Eklund, 2005).

Di sisi lain, dokter gigi memiliki kewajiban hukum yang sah, di bawah American

with Disabilities Act of 1990, untuk tidak menolak perawatan pada pasien. Hal ini

menjadi lebih tegas pada tahun 1997, keputusan U.S. District Court terhadap dokter

gigi yang diduga menolak perawatan pasien yang memiliki status HIV. Dokter gigi

pun mengajukan banding, tetapi U.S Court of Appeals menegaskan kembali

keputusannya. Peraturan ini berlaku karenaterdapat bukti bahwa risiko transmisi

berkurang ke level yang sangat rendah jika dilakukannya standard precautions.


Kesediaan untuk merawat pasien yang terinfeksi HIV merupakan isu yang harus

diperhatikan dalam kedokteran gigi dan kurikulum di fakultas kedokteran gigi. ADA

telah memasukkan kode etik mengenai pernyataan penolakan merawat pasien yang

terinfeksi HIV bahwa hal itu adalah tidak etis dan ilegal. Posisi ini juga masuk akal

karena (1) risiko transmisi HIV dari pasien ke dokter gigi sangat rendah ketika dokter

gigi menggunakan standard precautions, dan (2) banyak dokter gigi yang telah

merawat pasien yang terinfeksi HIV tanpa mengetahuinya.

Terdapat fakta mengenai kecemasan yang tinggi dalam melakukan perawatan

terhadap pasien yang terinfeksi, khususnya pasien yang terinfeksi HIV. Beberapa

dokter gigi tetap kukuh bahwa mereka tidak memiliki tanggung jawab etis untuk

merawat pasien yang positif HIV. Dokter gigi ini cenderung kurang percaya terhadap

standard precautionsdan khawatir dengan apa yang akan terjadi pada praktik mereka

jika diketahui bahwa pasien dengan HIV-positif telah dirawat di sana. Mayoritas

dokter gigi menerima tanggung jawab etis mereka untuk merawat pasien yang

terinfeksi, meskipun kebanyakan tidak akan melakukannya jika mereka memiliki

pilihan. Pada tahun 1991, survei nasional dari mahasiswa kedokteran gigi,

menyatakan bahwa 76% setuju mengenai tanggung jawab etis untuk merawat pasien

yang terinfeksi, meskipun 54% mengakui adanya ketakutan merawat pasien yang

terinfeksi dan 53% menyatakan tidak akan merawat jika diberikan pilihan. Klinik

AIDS yang ada di sejumlah kota besar, yang berisi praktisi dental yang berkomitment

memberikan perawatan yang sama pada seluruh pasien dengan tingkat

profesionalisme yang tinggi. Bagaimanapun juga, pada akhir abad ke-20 trend ini

telah dianggap mainstream (misal perawatan ada praktik doktek gigi pribadi

daripada pada praktik dengan fasilitas yang lengkap).


Isu yang naik pada edukasi dental oleh adanya epidemik AIDS membutuhkan

waktu yang lama untuk diselesaikan. Dua pertanyaan yang muncul antara lain:

1) Haruskah siswa yang positif HIV diterima di fakultas kedokteran gigi?

2) Apakah yang menjadi kewajiban fakultas kedokteran gigi jika ada siswa yang

menjadi positif HIV dalam menjalankan tugas klinisnya?

Beberapa pengalaman pada masalah ini telah terakumulasi. Ada beberapa

kasus yang telah terdokumentasi pada siswa yang teridentifkasi positif HIV selama

studinya dan setelah mereka memulai perawatan pada pasien, dan setidaknya ada satu

kasus yang terdokumentasi mengenai anggota fakultas yang meninggal karena AIDS.

2.4.3 Dental Unit Waterlines

Terdapat bukti bahwa air yang digunakan oleh operator dental untuk pendinginan,

irigasi, dan pembilasan dapat terinfeksi, dan beberapa cukup berat terinfeksi. Spesies

mikroba tertentu dapat membentuk biofilm pada waterlines, dan sedikit biofilm dapat

terpecah dan menginfeksi air yang masuk ke dalam mulut pasien. Patogen manusia

telah diisolasi dari air ini, termasuk Legionella pneumophila, organisme kausatif

untuk penyakit Legionnaire. Meskipun terjangkitnya penyakit Legionnaire muncul

secara periodik, tidak ada yang berhubungan dengan prosedur dental dan tidak ada

rekomendasi spesifik untuk mencegah infeksi L.pneumophila dalam praktik dental.

Bagaimanapun juga, telah ada peningkatan jumlah pasien yang sistem imunnya rentan

terlihat dalam praktik dental, dan kemungkinan adanya infeksi telah jelas adanya

(Burt and Eklund, 2005).

Tidak ada dasar penelitian yang baik untuk memberikan rekomendasi bagaimana

cara menangani masalah ini. Rekomendasi CDC menyatakan penggunakan air steril

untuk prosedur invasif dan pembilasan secara teratur pada waterlines. CDC juga
menyatakan bahwa meskipun prosedur ini membantu dalam menurunkan jumlah

mikroorganisme pada air, namun tetap tidak dapat menurunkan formasi biofilm.

Pada tahun 1995 ADA menyatakan tujuan memiliki peralatan yang tersedia pada

tahun 2000 yang akan memberikan air yang tidak terfilter dengan tidak lebih dari 200

colony-forming units/ml. Hal ini merupakan standar yang sama yang diaplikasikan

pada mesin dialisis ginjal.

Isu yang terkait dengan infeksi waterline adalah aliran balik. Cross-connection

merupakan istilah mengenai bahan terkontaminasi yang dapat masuk ke dalam suplai

air publik ketika tekanan dari sumber yang tercemar melebihi tekanan suplai air.

Risiko kejadian seperti itu sangat rendah, bahkan dapat diturunkan lebih lanjut dengan

menggunakan alat pencegahan aliran balik atau katup anti retraksi untuk mencegah air

yang terkontaminasi. Meskipun cross-connectionsecara teoritis mungkin dapat

melewati high-speed handpiece dan udara serta water syringe, risiko ini juga sangat

rendah dan belum terdokumentasi.

Banyak perhatian yang menjelaskan mengenai aliran balik berkaitan dengan

kesempatan infeksi HIV, HBV, atau HCV melalui rute ini, tetapi kemungkinan ini

sangat mendekati nol, karena tidak ada dari virus-virus ini yang ditransmisikan

melalui air. Penggunaan self-contained water systems pada klinik dental, di mana

sistem air tidak terhubung dengan suplai air publik direkomendasikan untuk

menurunkan risiko kemungkinan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai