Anda di halaman 1dari 15

TEXT BOOK READING

Tatalaksana Hipertensi Pasca Stroke

Pembimbing:
dr. Yuanita Mardastuti, Sp.S

Disusun Oleh:
Ismail Satrio Wibowo
G4A015111

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING


Tatalaksana Hipertensi Pasca Stroke

Oleh:
Ismail Satrio Wibowo
G4A015111

Text Book Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Mei 2017


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Yuanita Mardastuti, Sp.S


I. PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya atherosklerosis dan segala


konsekuensinya termasuk stroke. Diantara beberapa faktor risiko stroke,
hipertensi menjadi faktor yang sangat penting pada populasi risiko tinggi stroke.
Stroke menjadi penyebab kematian kedua di dunia. Penyakit serebrovaskuler ini
menyebabkan kematian sekitar 5.7 juta pada tahun 2005, dengan 87% nya terjadi
di negara berkembang (Tikhonoff et al., 2009). Pada 1053 kasus stroke di 5 rumah
sakit di Yogyakarta angka kematian tercatat sebesar 28.3%. Mortalitas pasien
stroke di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat ketiga setelah
penyakit jantung koroner dan kanker, 51.58% akibat stroke hemoragik, 47.37%
akibat stroke iskemik, dan 1.05% akibat perdarahan subarakhnoid (Setyopranoto,
2011).
Studi di Framingham menemukan bahwa hipertensi yang telah terdiagnosis
maupun borderline memiliki hubungan yang kuat terhadap peningkatan faktor
risiko stroke baik pada laki-laki, perempuan, dan semua individu dari beragam
kelompok usia. Hipertensi pun menjadi faktor risiko pada berbagai jenis stroke
termasuk stroke iskemik, intracerebral hemorrhage (ICH), dan aneurisma
subarachnoid hemorrhage. Akhirnya hipertensi kronik berhubungan dengan lesi
periventrikular white-matter pada gambaran MRI, yang berkaitan dengan
gangguan kognitif (Wityk, 2007).
Penatalaksanaan hipertensi secara signifikan menurunkan risiko stroke pada
individu. Terdapat berbagai obat-obatan anti-hipertensi yang dipergunakan untuk
menurunkan tekanan darah, diantaranya ACE inhibitor, angiotensin receptor
blocker, beta blockers, calcium channel blockers, dan diuretik. Pada text book
reading ini akan membahas beberapa studi terkait penatalaksanaan hipertensi
pasca stroke sebagai pencegahan sekunder.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Saraf terkait Stroke


Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Otak
terletak di dalam cavum cranii, sedangkan medula spinalis terletak di dalam
columna vertebrae sampai setinggi vertebrae lumbal 1 atau 2. Cranium
dibagi menjadi dua yaitu neurocranium (tulng-tulang yang mengelilingi
otak) dan splanchnocranium (tulang-tulang yang membentuk wajah).
Neurocranium terdiri dari os frontale (1 buah tulang), os parietale (2 buah
tulang), os occipitale (1 buah tulang), os temporale (2 buah tulang), os
sphenoidale (1 buah tulang), dan os ethmoidale (1 buah tulang) (Snell,
2010).
Struktur kulit kepala juga ikut berperan sebagai pelindung otak.
Susunan kulit kepala dari paling luar ke paling dalam adalah (Snell, 2010):
a. Skin (Kulit) yang tebal, berambut, dan banyak mengndung glandula
sebacea
b. Connective tissue (Jaringan ikat) di bawah kulit yang meruapakan
jaringan fibrosa dan banyak mengandung pembuluh darah
c. Aponeurosis (Galea aponeurotica) lembaran tendon yang tipis yang
menghubungkan venter frontalis dan venter occipitalis musculus
occipitofrontalis
d. Loose areolar tissue (jaringan ikat longgar)
e. Pericranium yang sebenarnya merupakan periosteum
Setelah kulit kepala, yang melindungi otak selanjutnya adalah
meninges (selaput pembungkus otak) yang terdiri dari dura mater (lapisan
endosteal dan meningeal), arachnoidea mater, dan pia mater. Dura mater
lapisan meningeal membentuk lipatan-lipatan yang membagi cavum crania
menjadi beberapa kompartemen yang merupakan tempat bagian-bagian
otak, yaitu (Snell, 2010):
a. Falx cerebri yang terletak di antara hemispherium cerebri
b. Falx cerebella yang terletak di antara hemispherium cerebella dan
berjalan sepanjang crista occipitalis interna
c. Tentorium cerebella yang membentuk atap fossa crania posterior
d. Diaphragma sellae, lipatan dura mater yang membentuk atap sellae
turcica
Pada otak terdapat berbagai lobus yang memiliki fungsi masing-
masing, diantaranya adalah
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis merupakan pusat intelegensia, area motorik primer
(Broadmann 4), dan area premotorik (Broadmann 6, 8, 44, dan 45) di
bagian anterior sulcus centralis. Sulcus centralis merupakan pemisah
antara lobus frontalis dengan lobus parietalis. Area pergerakan tubuh
dicerminkan melalui homunculus atau miniature manusia di
sepanjang gyrus precentralis. Secara urut, daerah proyeksi motorik
pada homunculus dari inferolateral menuju superomedial adalah lidah,
rahang, bibir, laring, kelopak mata, alis, ibu jari, tangan dan
pergelangannya, pinggul, lutut, pergelangan kaki, dan jari kaki.
Adanya suatu kelainan yang menetap pada lobus frontalis dapat
menyebabkan gangguan intelektual, hemiparese kontralateral, hingga
perubahan personalitas. Selain itu, salah satu struktur penting pada
lobus frontal adalah area bicara motoric Brocca (Broadmann 44) yang
terletak di gyrus frontalis inferior (Snell, 2010).
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis memiliki gyrus postcentralis (Broadmann 1, 2, dan
3) sebagai area proyeksi sensorik kontralateral. Gangguan pada lobus
parietalis menyebabkan gangguan penerimaan dan interpretasi sensasi,
dimana hal ini dapat bermanifestasi sebagai hipesthesia, paresthesia,
maupun anesthesia tergantung tingkat kerusakan yang terjadi. Daerah
ini juga digunakan untuk mempersepsikan memori. Kelainan pada
daerah ini dapat menyebabkan gangguan agrafia dan apraksia (Snell,
2010).
3) Lobus occipitalis
Lobus occipitalis terletak di posterior sulcus occipitoparietalis.
Impuls visual akan dilanjutkan dari nervus opticus, chiasma opticum,
tractus opticus, hingga radiatio optica. Kemudian impuls akan masuk
di bagian sulcus calcarinus dan cortex visual. Pada bagian tersebut,
lobus occipitalis berperan sebagai area proyeksi dan asosiasi
penglihatan (Broadmann 17, 18, dan 19). Kelainan didaerah ini dapat
menyebabkan defek medan penglihatan, disleksia dan gangguan
optomotor (Snell, 2010).
4) Lobus temporalis
Lobus temporalis memiliki beberapa gyrus penting, antara lain
gyrus temporalis superior, media, dan inferior. Pada lobus ini terdapat
area auditiva primer (Broadmann 41 dan 42) sebagai area proyeksi
pendengaran dan area Wernicke (Broadmann 22) sebagai area asosiasi
bahasa. Selain itu, juga terdapat area olfactorius yang terletak di
bagian profunda lobus temporalis. Kelainan pada lobus temporalis
dapat menyebabkan disfasia, gangguan pendengaran, gangguan emosi
serta gangguan memori (Snell, 2010).

B. Fisiologi Tekanan Darah


Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap
setiap satuan luas dinding pembuluh darah yang hampir selalu dinyatakan
dalam milimeter air raksa. Tekanan darah merupakan faktor yang amat
penting pada sistem sirkulasi. Peningkatan atau penurunan tekanan darah
akan mempengaruhi homeostasis di dalam tubuh. Tekanan darah selalu
diperlukan untuk daya dorong mengalirnya darah di dalam arteri, arteriola,
kapiler, dan sistem vena, sehingga terbentuklah suatu aliran darah yang
menetap (Sherwood, 2012).
Tekanan darah diatur melalui beberapa mekanisme fisiologis untuk
menjamin aliran darah ke jaringan yang memadai. Tekanan darah
ditentukan oleh curah jantung (cardiac output, CO) dan resistensi pembuluh
darah terhadap darah. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa
melalui jantung per menit, yaitu isi sekuncup (stroke volume, SV) x laju
denyut jantung (heart rate, HR). Resistensi diproduksi terutama di arteriol
dan dikenal sebagai resistensi vaskular sistemik (Sherwood, 2012).
Resistensi merupakan hambatan aliran darah dalam pembuluh, tetapi
tidak dapat diukur secara langsung dengan cara apapun. Resistensi harus
dihitung dari pengukuran aliran darah dan perbedaan tekanan antara dua
titik di dalam pembuluh. Resistensi bergantung pada tiga faktor, yaitu
viskositas (kekentalan) darah, panjang pembuluh, dan jari-jari pembuluh
(Sherwood, 2012).
Aliran darah yang mengalir di sirkulasi dalam periode waktu tertentu,
secara keseluruhan adalah 5000 ml/menit pada sirkulasi total orang dewasa
dalam keadaan istirahat. Aliran darah ini disebut curah jantung karena
merupakan jumlah darah yang dipompa ke aorta oleh jantung setiap
menitnya (Sherwood, 2012).
Kecepatan aliran darah yang melalui seluruh sistem sirkulasi sama
dengan kecepatan pompa darah oleh jantung yakni, sama dengan curah
jantung. Isi sekuncup jantung dipengaruhi oleh tekanan pengisian (preload),
kekuatan yang dihasilkan oleh otot jantung, dan tekanan yang harus dilawan
oleh jantung saat memompa (afterload). Normalnya, afterload berhubungan
dengan tekanan aorta untuk ventrikel kiri, dan tekanan arteri untuk ventrikel
kanan. Afterload meningkat bila tekanan darah meningkat, atau bila terdapat
stenosis (penyempitan) katup arteri keluar. Peningkatan afterload akan
menurunkan curah jantung jika kekuatan jantung tidak meningkat. Baik laju
denyut jantung maupun pembentukan kekuatan, diatur oleh sistem saraf
otonom (SSO/autonomic nervous system, ANS) (Sherwood, 2012).
Pada orang dewasa sehat, tekanan pada puncak setiap pulsasi, yang
disebut tekanan sistolik, adalah sekitar 120 mmHg. Pada titik terendah
setiap pulsasi, yang disebut tekanan diastolik, nilainya sekitar 80 mmHg.
Perbedaan nilai antara kedua tekanan ini sekitar 40 mmHg, yang disebut
tekanan nadi (Sherwood, 2012).
Dua faktor utama yang memengaruhi tekanan nadi : (1) curah isi
sekuncup dari jantung, dan (2) komplians (distensibilitas total) dari
percabangan arteri. Tekanan nadi pada orang lanjut usia kadang-kadang
meningkat sampai dua kali nilai normal, karena arteri menjadi lebih kaku
akibat arteriosklerosis dan karenanya, arteri relatif tidak lentur. Faktor
faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah adalah sebagai
berikut:

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah


Adapun kondisi adanya penurunan perfusi ke organ ginjal (renal)
menyebabkan rangsangan terhadap baroreseptor di arteriol afferent renal.
Stimulasi penurunan perfusi menyebabkan sekresi renin oleh sel
juxtaglomerular. Sementara di hepar akan terjadi sekresi angiotensinogen,
sebuah protein plasma, yang akan diubah oleh renin menjadi angiotensin I. Sel
endothel yang terdapat di kapiler pulmoner akan mengeluarkan enzim
pengkonversi angiotensin (ACE) yang akan mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II (Guyton & Hall, 2006).
Angiotensin II akan menyebabkan efek sistemik seperti vasokonstriksi
yang meluas di berbagai jaringan, kemudian akan merangsang korteks adrenal
untuk meningkatkan sekresik aldosterone. Aldosteron akan merangsang
retensi Na sehingga H2O akan ikut mengalami retensi, tepatnya pada duktus
koligens ginjal. Hal ini menyebabkan peningkatan volume cairan ekstraseluler
yang terdapat di dalam pembuluh darah sehingga volume darah juga
meningkat. Peningkatan volume darah menyebabkan peningkatan preload
sehingga end diastolic volume meningkat dan jumlah stroke volume juga
meningkat. Peningkatan stroke volume akan menyebabkan peningkatan
cardiac output meningkat sehingga akan menyebabkan peningkatan tekanan
darah (Guyton & Hall, 2006).
Gambar 2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
C. Stroke
Stroke atau yang sering disebut brain attack terjadi pada saat aliran
darah ke otak terhambat. Apabila aliran darah terhambat lebih dari beberapa
detik, otak tidak mendapatkan nutrisi dan oksigen yang diperlukan. Apabila
aliran darah ke otak terhambat dalam waktu cukup lama akan terjadi
kematian sel otak yang menyebabkan cedera permanen. Terdapat dua tipe
stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik terjadi
saat pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak terhambat oleh bekuan
darah (Misbach, 2015).
Sedangkan stroke hemoragik terjadi saat tekanan darah tinggi dan
pembuluh darah di otak menjadi lemah dan robek ke luar sehingga darah
bocor ke rongga otak, hal ini sering terjadi pada aneurisma dan malformasi
arteri-vena. Stroke hemoragik memiliki berbagai faktor resiko antara lain
hipertensi, fibrilasi atrial, diabetes, riwayat keluarga stroke, kolesterol, usia
di atas 55 tahun, dan orang berkulit hitam (Misbach, 2015).
D. Penatalaksanaan Hipertensi Pasca Stroke
Tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko yang paling berpotensi
sebagai penyebab stroke di semua kelompok usia, bahkan sebagian menjadi
perdarahan intraserebral. Tingginya tekanan darah juga berhubungan
dengan peningkatan risiko stroke yang rekuren pada pasien yang memiliki
riwayat stroke iskemik atau perdarahan (Guerra & Maria, 2016).
Meta-analisis terakhir berdasarkan 16 Randomized Clinical Trials
(RCT) dan 40.292 pasien dengan riwayat stroke (iskemik, transient ischemic
attack [TIA], atau perdarahan), dengan atau tanpa hipertensi, memaparkan
bahwa manajemen dalam menurunkan tekanan darah dapat menurunkan
risiko stroke rekuren (relative risk reduction 18%; 95% confidence interval
[CI], 9%-26%) (Arima & Chalmers, 2011). Analisis meta-regresi juga
mengungkap bahwa setiap penurunan 10 mmHg pada tekanan darah sistolik
berhubungan dengan penurunan 33% (95% CI, 9%-51%) risiko stroke
rekuren (Arima & Chalmers, 2011).
1. Post-Stroke Antihypertensive Treatment Study (PATS) trial
Studi PATS melakukan randomisasi, double blind, dan placebo-
controlled trial untuk menentukan anti hipertensi apa yang dapat
menurunkan risiko insiden stroke pada pasien riwayat stroke atau TIA.
Pemberian monoterapi diuretik indapamide (2.5 mg/hari)
dibandingkan dengan placebo pada 5.665 pasien. Hasil studi ini
didapatkan penurunan tekanan darah 5/2 mmHg pada kelompok yang
diberikan indapamid (Guerra & Maria, 2016).
2. Perindopril Protection Against Reccurent Stroke Study
(PROGRESS) trial
Penelitian ini merandomisasi 6.105 pasien yang memiliki
riwayat stroke iskemik atau TIA dengan atau tanpa hipertensi, ke
dalam 3 kelompok yang hanya diberikan perindopril (4mg/hari),
kombinasi dengan indapamid (2.5 mg/hari), dan plasebo
(PROGRESS, 2001).
Setelah dievaluasi selama 3,9 tahun didapatkan hasil penurunan
tekanan darah rata-rata sekitar 9/4 mmHg. Penurunan tekanan darah
sistolik dan diastolik terbesar didapatkan pada kelompok kombinasi
indapamid dan perindopril sebesar 12/5 mmHg dengan penurunan
risiko stroke sebesar 43 % ( 95% CI 30%-45%). Kelompok pemberian
perindopril tunggal menunjukkan penurunan tekanan darah 5/3 mmHg
dan menurunkan risiko stroke sekitar 5% (PROGRESS, 2001).
3. Morbidity and Mortality After Stroke, Eprosartan Compared with
Nitrendipine for Secondary Prevention (MOSES) trial
Studi ini membandingkan efikasi terapi menggunakan
eprosartan (angiotensin II reseptor bloker, 600 mg/hari) dan
nitrendipine (calcium channel blocker) pada 1.045 pasien hipertensi
disertai permasalahan serebral dalam 24 bulan. Hasilnya didapatkan
penurunan tekanan darah pada kedua agen anti-hipertensi ini dan
menurunkan risiko stroke sebesar 25% (Schrader, et al., 2005).
4. Prevention Regimen for Effectively Avoiding Second Strokes
(PRoFESS) trial
Penelitian ini mengambil 20.332 pasien dengan riwayat stroke
iskemik (dalam 90 hari terakhir), kemudian dirandomisasi untuk
diberikan angiotensin II reseptor bloker (telmisartan 80 mg/hari) atau
plasebo. Penelitian ini memaparkan terjadinya penurunan tekanan
darah pada kelompok yang diberikan telmisartan sekitar 5.4/4 mmHg
dalam satu tahun (Yusuf, et al., 2008).
Pemberian obat dengan dosis yang optimal untuk mencapat tingkat
tekanan darah yang direkomendasikan masih tidak pasti karena pengetahuan
tentang perbandingan yang langsung tentang obat-obatan tersebut masih
terbatas. Data yang ada menunjukkan bahwa diuretika atau kombinasi
duretika dengan ACE inhibitor menunjukkan manfaat. Pilihan obat yang
spesifik dan tergetnya dipilih secara orang per orang berdasarkan efek
secara mekanisme farmakologi dengan mempertimbangkan karakteristik
dari pasien yang spesifik, khususnya pasien dengan riwayat gangguan
serebrovaskuler direkomendasikan menggunakan golongan thiazid, ACE
inhibitor, dan calcium channel bloker (Jusuf, et al., 2011).
III. KESIMPULAN

1. Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap
satuan luas dinding pembuluh darah yang hampir selalu dinyatakan dalam
milimeter air raksa
2. Stroke atau yang sering disebut brain attack terjadi pada saat aliran darah
ke otak terhambat
3. Tingkat tekanan darah yang direkomendasikan masih tidak pasti karena
pengetahuan tentang perbandingan yang langsung tentang obat-obatan
tersebut masih terbatas
4. Pasien dengan riwayat gangguan serebrovaskuler direkomendasikan
menggunakan golongan thiazid, ACE inhibitor, dan calcium channel bloker
DAFTAR PUSTAKA

Arima, H., & Chalmers, J. (2011). PROGRESS: Prevention of Recurrent Stroke. J


Clin Hypertens (Greenwich), 13: 693-702.

Benavente, O., Coffey, C., Conwit, R., Hart, R., McClure, L., Pearce, L., et al.
(2013). Blood pressure targets in patients with reecnt lacunar stroke: the
SPS3 randomised trial. Lancet, 382:507-15.

Guerra, L., & Maria, C. (2016). Chronic Management of Hypertension after


Stroke: The Role of Ambulatory Blood Pressure Monitoring. Journal of
Stroke, 18(1): 31-7.

Guyton, A., & Hall, J. (2006). Texbook of Medical Physiology. Philadelphia:


Elsevier Saunders.

Jusuf, M., Rusdi, L., Amiruddin, A., Basyirudin, A., Suroto, Adelina, Y., et al.
(2011). Guidline Stroke. Jakarta: PERDOSSI.

Misbach, J. (2015, February 23). Stroke. Retrieved May 16, 2017, from
MedlinePlus Medical Encyclopedia:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000726.htm

PROGRESS, C. S. (2001). Randomized trial of perindopril based blood pressure-


lowering regimen among 6108 individuals with previous stroke or
transient ischemic attack. Lancer, 358: 1033-41.

Schrader, J., Luders, S., Kulschewski, A., Hammersen, F., Plate, K., Berger, J., et
al. (2005). Morbidity and Mortality After Stroke, Eprosartan Compared
With Nitrendipine for Secondary Prevention: principal results of a
prospective randomized controlled study. Stroke, 36:1218-26.

Setyopranoto, I. (2011). Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia


Kedokteran, 38(4): 247-49.

Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Snell, R. (2010). Neuroanatomi Klinik Ed 5. Jakarta: EGC.

Tikhonoff, V., Haifeng, Z., Tom, R., & Jan, A. e. (2009). Blood pressure as a
prognostic factor after acute stroke. Lancet Neurol, 8:938-48.

Wityk, R. (2007). The Management of Blood Pressure After Stroke. The


Neurologist, 13(4): 171-81.
Yusuf, S., Diener, H., Sacco, R., Cotton, D., Ounpuu, S., Lawton, W., et al.
(2008). Telmisartan to prevent reccurent stroke and cardiovascular events.
N Engl J Med, 359:1225-27.

Anda mungkin juga menyukai