Anda di halaman 1dari 12

RAJIN

Gunawan Tjahjono
Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Abstrak

Rajin adalah kata umum yang menggambarkan sifat bekerja


keras. Namun rajin juga menggambarkan hasil bermutu tinggi
dalam dunia para tukang dan pengrajin. Arsitektur terkait erat
dengan pertukangan dan mutu suatu bangunan amat ditentukan
oleh keterampilan, dan kesediaan tukang menuangkan segenap
jiwa dan raganya dalam bekerja dan berkarya. Tukang adalah
penentu akhir kerapian bangunan. Oleh sebab itu rajin menjadi
gayut untuk kita angkat dan bahas. Tulisan ini memilih
pendekatan penafsiran untuk mengungkit arti rajin dan
menggali maknanya agar dapat ditanamkan sebagai nilai luhur
yang perlu dilakukan segenap bangsa.

Ketika saya membangun rumah untuk keluarga sendiri di tahun 1994-1997,


ada seorang tukang kayu dari Jawa Timur yang mengepalai pekerjaan
seperti pembuatan daun pintu, pegangan tangga, anak tangga, dan perabot
rumah tangga yang berbahan pokok kayu. Di suatu saat saya amati bahwa
hasil pekerjaannya yang cukup lama itu sudah perlu dilanjutkan ke
pemolesan akhir. Saya sampaikan hal itu kepadanya, dan sang tukang diam
sejenak, lalu menjawab: tapi ini belum rajin pak. Saat itu saya tercengang
karena bagi saya tahap yang dicapainya sudah cukup siap untuk diberi
pelituran.

Jawaban tersebut menyadarkan saya akan satu hal, bahwa kata rajin tak
hanya menunjukkan suatu keadaan bekerja keras pantang henti, atau
senang serta giat bekerja sebagaimana yang lajim dipahami, tetapi juga
menunjukkan kepuasan pencapaian atas apa yang dikerjakan. Rajin, bagi
tukang kayu saya yang sudah menunjukkan giat dan penuh disiplin kerja
itu adalah suatu istilah yang terkait dengan karya, bukan kerja. Pengertian
terakhir ini kini tampak sudah terlunturkan oleh pemahaman umum yang
menunjukkan rajin sebagai bekerja keras lawan malas bekerja.

Seseorang bekerja agar hidupnya berlanjut. Kerja adalah suatu hasrat


kebutuhan badan manusia agar ada suatu hasil yang dapat dihabiskannya
untuk menyambung hidup. Kerja adalah suatu sifat alami manusia, karena
dalam bekerja kebutuhan lahiriahnya terpenuhi. Hal ini tentu berbeda dari
karya. Berkarya adalah suatu keadaan manusia untuk mencapai sesuatu
yang bersifat memuaskan hasrat batiniah. Hasil suatu karya dengan
demikian tidak selalu sama dengan hasil sekedar kerja. Ada unsur lebih
dalam karya tersebut sehingga mampu memenuhi kebutuhan batin
pembuatnya.1

Tukang kayu saya menganggap tugasnya bukan hanya untuk menghasilkan


sesuatu yang memenuhi peran saja. Jika itu adalah daun pintu maka
hasilnya perlu memenuhi peran suatu daun pintu yang dapat ditutup rapat
mengisi penuh lobang pintu yang terbatasi oleh kerangka yang kita sebut
kusen pintu. Sang tukang memandang hasilnya berbeda dari sudut pandang
saya yang cukup berhenti di ukuran, berat, kerapian dan kemudahan
dibuka-tutup dan tak sampai menimbulkan kesan kurang jika dipandang.
Dia menuntut hasilnya mencapai sesuatu yang lebih yang disebut rajin itu.

Sebagai orang yang membangun untuk diri sendiri, saya kurang terikat
pada tenggat waktu karena tata olah pembangunan amat tergantung pada
ketersediaan dana. Bagi kepala tukang kayu itu kerjaan tak dapat diburu-
buru, meski dia tahu bahwa waktu itu berharga dalam budaya kota yang
menuntut pekerjaan seringkas-waktu mungkin. Tampak jelas dari sikapnya
bahwa ada beban batin yang menuntutnya agar hasil pekerjaannya perlu
memenuhi baku rajin. Nilai dibalik sikapnya menarik saya untuk membahas,
karena tampaknya rajin kini meredup dikikis globalisasi keterampilan.

Rajin
Rajin dalam kamus adalah kata sifat yang menunjukkan keadaan kerja
keras, tetapi juga berarti rapi. Sebagai lawan kata malas rajin menunjukkan
suatu keuletan dan tekad bekerja keras yang seakan tak kenal lelah demi
menyelesaikan suatu tugas. Rapi adalah suatu keadaan yang
menggambarkan sifat hasil tindakan yang memenuhi suatu tolok ukur yang
membedakannya dari ketakteraturan dan kekasaran. Rapi menuntut
ketertiban, ketaatan akan patokan yang disepakati oleh suatu kalangan.
Dalam kalangan pertukangan kayu tuntutan tersebut menentukan
pencapaiann dan kedudukannya.

Jika kalangan atau perkumpulan orang sepekerjaan menyepakati sesuatu,


maka suatu baku mutu dapat terbentuk, baik tertulis maupun tidak.
Keadaan demikian sudah menjadi suatu hal yang dengan sendirinya dituntut
dalam masyarakat madani, masyarakat beradab. Dalam masyarakat madani,
baku mutu lebih banyak mengacu pada citarasa kelompok pemakai jasa
yang kita kenal sebagai golongan atas, atau mereka yang terpilih di zaman
Romawi Kuna, yang kesepadanannya di Indonesia seperti kaum bangsawan.
Kaum inilah yang menuntut kerapian agar harkat mereka juga terangkat.

1
Pembedaan kerja, labor, dari karya, work, dengan sangat anggun digambarkan oleh filsuf
Hannah Arendt. Dalam buku nya yang sudah tergolong Klasik. Simak, H. Arendt. The
Human Condition. Chicago: University of Chicago Press, 1958.
Dalam perkumpulan para ahli itu, empu atau master amat menentukan.
Empu adalah ahli yang telah menunjukkan kepiawaiannya melalui hasil
kerjanya yang mendapat pujian golongan atas atau pemilik. Dengan
pengakuan umum seorang empu juga dianugrahi kewenangan menentukan
baku mutu keterampilan suatu hasil pekerjaan mereka yang belajar dari
atau dilatih oleh dia. Hubungan empu-murid itu penting. Memagang dari
seorang empu kesohor merupakan suatu kebanggaan. Berkat nama empu
tersebut sang tukang mendapat kepercayaan untuk menjalankan suatu
pekerjaan. 2

Rajin dalam kaitan tersebut di atas menjadi suatu sifat yang terlekat pada
suatu karya yang menuntut mutu tinggi dan dapat membangkitkan rasa
puas bagi yang menghasilkannya atau yang berhubungan dengannya. Untuk
mencapai mutu tersebut pada saat mengerjakan tugasnya sang tukang
menyatuken gerak tangan dengan akal dan rasanya. Seluruh jiwa raga
seakan tertuang menyatu dengan sasaran yang akan dihasilkannya. Pikiran
terlibat penuh jika dalam perjalanan penyelesaian tugas terjadi hambatan
yang membutuhkan keputusan jitu agar rajin terpancar.

Dalam menyelesaikan pekerjaannya seorang tukang perlu menguasai


pengetahuan tentang sasaran yang dihadapinya, alat dan cara memakainya
dan menghadirkannya dengan pantas. Dengan demikian rajin berlaku di
berbagai bidang pertukangan yang terkait dengan pekerjaan tangan dengan
alat. Dalam kaitan ini jika rajin disandingkan dengan teknik yang bercikal
bakal techne, hasil pekerjaan tangan, maka bidang keteknikan senantiasa
menyertai rajin sebagai ukuran mutu akhir yang perlu dicapai. Hal ini yang
tampaknya mulai terlepas dari nilai di masa mekanisasi mengambil peran.

Teknik menurut budayawan Amerika Serikat Lewis Mumford, bermula dari


manusia mementilkan batu kecil ke sasaran melalui pengendalian jarinya. 3
Selanjutnya kemampuan jari menghasilkan berbagai alat dan pengaturan
lingkungan sekitarnya berkembang terus. Manusia semakin yakin atas
kemampuan badannya mengatasi berbagai hambatan dalam kehidupan.
Teknik turut berkembang dengan sedemikian pesatnya kini hingga kita
semakin lupa tentang arti awalnya dan cenderung mengaitkannya dengan
peralatan dan mesin, suatu hasil dari tangan manusia juga.

Bagi tukang saya yang bersatu kelompok dengan kelompok pengrajin untuk
pengerjaan bahan kayu di dunia pembangunan bangunan, rajin adalah

2
Keadaan demikian berlaku umum di Eropa di Abad Pertengahan, kekuasaan seorang
empu amat besar dalam menentukan pencapaian muridnya. Perkataannya adalah suatu
keputusan yang tanpa ada perdebatan. Untuk lebih jauh, simak. The Craftsman. New York:
Penguin Books, 2008. Hal. 58.
3
Ulasan tersebut adalah dalam rangka menjelaskan hubungan teknik dengan seni. Simak
karya klasik L. Mumford. Art and Technics. New York: Columbia Uniersity Press, 1952. Hal
15.
suatu kewajiban tugas, baik rajin dalam arti lawan malas maupun rajin
sebagai suatu pencapaian hasil pekerjaan. Malas, dengan demikian
merupakan sesuatu yang dihindari karena bersekutu dengan sifat manusia
yang tak terpuji, atau penanda kemerosotan akhlak. Dalam hubungan ini
rajin menjadi suatu kewajiban moral, yang tertuang dalam etika pekerjaan
sang tukang dan juga para pengrajin.

Penanamkan kewajiban moral untuk mencapai hasil terbaik dalam diri


seserong merupakan suatu syarat bagi suatu masyarakat beradab untuk
memeroleh harkat diri melalui benda yang dihasilkan. Salah satu bangsa di
dunia ini yang menjunjung tinggi hal tersebut adalah Jepang. Orang Jepang
tersohor dengan hasil benda yang diolahnya sehingga made in Jepan
menjadi suatu jaminan di suatu masa. Barang Jepang tak hanya
mengutamakan isi, tetapi juga kemasan. Dari bungkusan hingga isi yang
rapi dapat kita rasakan kehadiran rajin. Istilah kerajinan pantas tersandang
ke buatan Jepang.

Dalam dunia bangunan, orang Jepang senantiasa menghasilkan detil yang


menakjubkan. Pengolahan bahan bangunan, terutama kayu yang dapat kita
saksikan di rumah atau kuil tradisional Jepang sangat memukau. Dari
pengolahan hal kecil ini jiwa rajin terpancar. Sejauh menyangkut pekerjaan
tangan dan pertukangan, karya arsitektur orang Jepang sangat kesohor,
terutama dalam kejelian mereka mengolah permukaan bahan dan
sambungan bagian. Tampak di sini jiwa rajin yang merekat dalam diri
tukang. Rajin menjadi bagian kebudayaan Jepang, yang kini juga dimiliki
orang Korea Selatan.4

Kini keadaan mulai berbeda, karena negara tersebut tak lagi mampu
menanggung beban membuat hasil melulu di dalam negeri, kecuali untuk
dipakai di dalam negeri karena persaingan upah buruh berkat globalisasi.
Meski melalui pembagian kerja dengan menanamkan modal dan membuat
pabrik di luar negeri dengan keyakinan bahwa melalui pengawasan ala
Jepang mutu tetap akan tinggi, nama harum mulai goyah seperti apa yang
kita saksikan dengan nasib yang menimpa mobil buatan Toyota di luar
Jepang yang mengalami penarikan kembali karena kesalahan beberapa
bagian mesin.

Selama ini, sejauh pengetahuan saya, rajin sebagai kerja keras sudah
merupakan suatu nilai yang ditanamkan kepada anak didik. Namun nilai
tersebut bukan yang sebagaimana dipahami oleh tukang kayu saya,
melainkan yang bersifat ragawi tuntutan badan. Rajin demikian berada di
dalam ranah kerja, bukan karya. Kebajikan bekerja terdapat dalam istilah
rajin. Rajin sebagai kebajikan selain bekerja keras juga pencapaian
4
Menyangkut kebudayaan sebagai etos kerja dan merupakan unsure terpenting dalam
membangun suatu bangsa, simak, L. Harrison dan S. Huntington. Culture Matters: How
ValuesShape Human Progress. New York: Basic Books, 2000.
kesempurnaan atas kepuasan diri dan masyarakat masih belum tertanam
sebagai nilai luhur , seperti apa yang dipahami bangsa Jepang.

Arsitektur dan Rajin


Arsitektur adalah pengetahuan dan seni membangun bangunan. Itu arti
umum yang dapat kita temui dalam berbagai kamus bahasa Inggeris. Meski
di dunia praktek dan pendidikan, arsitektur semakin tak terbingkai oleh
pengertian di kamus, ilmu dan seni membangun bangunan perlu
sepenuhnya dikuasai oleh arsitek. Arsitek dalam konteks ruang dan waktu
Yunani Kuna, tempat istilah itu lahir, adalah kepala tukang. Sejarahwan
arsitektur Barat cenderung menganggap kepala tukang kayulah yang
dimaksud.5 Kemudian pengetahuan sang kepala tukang kayu tersebut yang
terkait arsitektur.

Di masa itu kepala tukang (arsitek) adalah orang yang dipercayakan suatu
masyarakat untuk mengelola pembangunan bangunan gedung. Untuk
menjadi kepala seregu tukang seseorang tentu perlu menunjukkan bahwa
dia memiliki kelebihan yang diakui oleh kelompoknya dan bahkan
masyarakat luas. Dalam hal ini dia pasti menguasai bidang yang
dikepalainya dari keseluruhan hingga ke hal-hal yang paling kecil. Hanya
dengan demikian perintahnya akan dipatuhi. Manusia cenderung menilai
sesama dari apa yang dilakukan dan dihasilkan, bukan dari sekedar apa
yang diucapkan.

Jika pengetahuan sang arsitek mencakup demikian banyak segi. Dia pantas
juga memenuhi peran sebagai seorang seniman, yang tak hanya menguasai
teknologi membangun tapi juga peka akan keindahan. Oleh sebab itu
arsitek di zaman Romawi Kuna perlu dilatih tentang seni rupa, memelajari
rekayasa karena di masa itu banyak perang, dan memagang dulu pada
arsitek yang berpengalaman sebelum dapat dilepas menangani suatu projek
pembangunan gedung.6 Dengan demikian kaidah kesenian atau kerajinan
dan pengetahuan (teknologi) berembuk di dalam diri sang arsitek.

Batas kesenian dan kerajinan cukup tipis, demikian pula dengan seniman
dan pengrajin. Dalam kaitan pertukangan, istilah kerajinan lebih sering
disandangkan ke diri pengrajin, orang yang bekerja dengan tangan dan alat
untuk menghasilkan suatu benda atau perkakas. Dalam kaitan ini apakah
sang arsitek seorang seniman atau seorang pengrajin? Untuk menjelaskan
hal itu saya kembali ke pemahaman kata techne dan meminjam ulasan filsuf

5
Kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan kepala tukang adalah kepala tukang kayu
untuk arsitek di zaman Yunani Kuna dapat diperiksa di. S. Kostof . The Practice of
Architecture in the Ancient World. Dalam S. Kostof(ed.). The Architect: Chapters in the
History of the Profession. Oxford; Oxford University Press, 1977. Hal. 3-27.
6
Tentang arsitek zman Romawi, simak, W.L. MacDonald. Roman Architects. Daalm S.
Kostof (ed.). Op.cit. hal. 28-58.
Jerman Martin Heidegger, yang memberi suatu pandangan amat mendalam
tentang asal usul karya seni (work of art).

Heidegger membedakan karya cipta,seni, dari karya buat, kerajinan. Hasil


kerajinan bukanlah ciptaan, tapi pembuatan. Hasil seni itu ciptaan.
Menghadirkan ciptaan berbeda dari menghadirkan suatu hasil pembuatan.
Ciptaan itu karya, meski butuh kepengrajinan (craftsmanship) dalam tata
olahnya. Namun kegiatan penciptaan berada di luar suatu penampakan
praktis dan itu adalah hakekat dalam kata techne untuk seniman. Techne
berkonotasikan sikap mengetahui. Mencipta adalah menghadirkan sesuatu
seakan ia tumbuh. Seniman itu pencipta yang tak sekedar membuat alat.
Pengrajin membuat alat.7

Arsitektur jelas terkait erat dengan bangunan. Bangunan tak lain adalah
suatu sosok terbangun yang mengambil sebagian dari ruang bebas yang
mengalir tak terhingga, untuk membatasi suatu ranah agar bermakna bagi
mereka yang berada di dalamnya atau di sekitarnya saat berkegiatan. Tugas
arsitek adalah mewujudkan makna ruang yang terbatasi itu dengan
kegiatan.8 Jika kegiatan itu berjalan mulus maka makna yang dibangkitkan
dari pengalaman ruang bagi mereka yang terlibat juga akan manis. Jika
sebaliknya yang terjadi, maka makna yang terbangkitkan akan asam atau
pahit.

Penjelasan tentang arsitektur seperti di atas tak memberi kepuasan bagi


arsitek budayawan mendiang Mangunwijaya. Beliau mengusulkan, untuk
konteks Indonesia, istilah untuk menggantikan arsitektur adalah
wastuwidya. Arsitek dengan demikian adalah wastuwidyawan. Baginya
widya bermakna jauh lebih luas jika dibandingkan techne, istilah Yunani
untuk hasil pekerjaan tangan, yang juga merupakan akar techton, tukang.
Memang dalam sejarah pembangunan bangunan gedung di tanah air ini,
istilah arsitektur adalah kata pengalihan dari bahasa Belanda architektuur
yang merujuk pada bahasa Latin. 9

7
Kesulitan dalam meminjam istilah techne untuk ulasan ini terletak di, bahwa techne dalam
pemakaian orang Yunani Kuna diterapkan untuk seni dan kerajinan. Baik seniman maupun
pengrajin menyandang istilah technites. Hanya dalam tata olah menghadirkan suatu
bendalah dapat kita bedakan dengan teliti dan amat tipis antara keduanya. Simak. M.
Heidegger. The origin of the Work of Art. Dalam M. Heidegger. Basic Writings. Diedit
oleh D. F. krell. New York: Harper, 1993. Hal. 139-212.
8
Hal tersebut adalah tugas seorang arsitek, menurut mendiang Charles Moore. Simak, C.
Moore dan G. Allen. Dimension, Space, Shape and Scale in Architecture. New York:
McGrow Hills, 1975. Bab tetnang Space.
9
Untuk asal usul kata-kata seperti techne dan techton serta kata-kata bahasa Ingggeris
atau Indo-Eropean yang sebagian besar merupakan suatu turunan dari bahasa Latin dan
Yunani, selain kini dalam Wikipedia banyak memuat sejarah kata, juga dapat simak E.
Partidge. The Origins: A Short Etymological Dictionaary of Modern English. New York:
Greenwich House, 1983.
Arche, archi, arch adalah kata Yunani untuk kepala, utama, pemimpin,
paling awal. Kita mengenal kata-kata berkepala arche seperti archaeology,
archetype, archbishop, archetrave, dalam bahasa Inggeris yang berasal dari
bahasa Yunani. Semua menunjukkan kepala atau kuna. Architechton (arche,
kepala dan techton, tukang) adalah istilah Yunani untuk arsitek. Bagi
Mangunwijaya, arsitek itu berasal darikata archetektoon. Istilah tersebut
berbeda asal dari berbagai sumber tentang arsitektur dalam bahasa
Inggeris. Perbedaan asal tentu akan menghasilkan perbedaan cerapan.10

Mangunwijaya menemukan dalam dunia membangun, pimpinan


pembangunan dalam kitab Manasara adalah Sthapati yang berkedudukan
jauh lebih tinggi ketimbang architechton. Baginya wastu, sesuai sumbernya,
adalah bangunan. Selain itu beliau juga menyebut wastu dalam bahasa
Sansekerta juga berarti: norma, tolok ukur, hidup susila, hidup secara
betul, dan pegangan normatif semesta.11 ada, nyata, benda, yang benar,
pokok persoalan, tema. Dengan makna wastuwidya yang lebih lengkap,
beliau menganjurkan kata itu sebagai pengganti arsitektur.

Widya adalah ilmu pengetahuan, kepandaian, dan sekaligus


kebijaksanaan.12 Kata tersebut tertelusuri ke asal bahasa Sanskerta, vedas,
yang konon berakar bahasa Indo-Eropa (Indo-European) karena kitab Veda
berhubungan dengan orang Arya yang hingga kini asal usulnya masih dalam
perdebatan.13 Kegandaan makna widya itu mengakibatkan Mangunwijaya
menganggap wastu widya akan lebih lengkap menggambarkan arsitektur
untuk keadaan Indonesia. Jika kita menyimak keadaan masa para pujangga
di Jawa, maka keberatan Mangunwijaya dapat dipahami.

Pujangga yang menghasilkan kakawin menganut penghayatan menyeluruh


atas suatu keadaan. Nilai yang kita kenal sebagai keindahan juga menuntut
keseluruhan pencerapan indra untuk memahami keindahan.14 Keadaan

10
Saya sudah berupaya mencari kata tektoon dan belum berhasil ketemu. Dari berbagai
sumber yang dapat saya telusuri, architecture berakar kata techton dan awalan
rangkapnya arche. Untuk lebih lengkap tentang argument Mangunwijaya, Simak, Y.B.
Mangunwijaya. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi
Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1988. Hal. 193-
194.
11
Mangunwijaya, op.cit. hal 330.
12
Widya dalam arti sebagai kebijaksanaan perlu periksa sumber lain selain Kamus-kamus
tentang bahasa Jawa dan Jawa Kuna seperti karya P.J. Zoetmoelder dan S.O. Robson.
Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2004. Dan S.
Prawiroatmojo. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1985. Periksa juga
penjelasan tentang vid asal kata widya, sebagai kebijaksanaan selain pengetahuan, dalam
P. Watson. Ideas: A History from Fire to Freud. London: Orion House, 2006, hal. 156.
13
Untuk hal Sanskerta dan bahasa Vedas, periksa P. Watson. Op.cit., hal. 154-156.
14
Mengenai paham keindahan para pujangga di masa Jawa Kuna, simak P.J. Zoetmulder.
Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Diterjemahkan dari judul asli:
Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature oleh D. Hartoko, S.J. Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1985, 1983. Hal. 200-203.
demikian kini telah punah dalam masa pembagian pekerjaan dan
kekhususan keahlian menjadi kecenderungan kerja. Sebagai akibat, makna
widya dan wastu bergeser dan semakin jauh dari pengalaman keseharian.
Dalam keadaan demikian tak heran jika tawaran Mangunwijaya (yang mirip
seorang empu)15 tak bersambut. Hingga kini istilah arsitektur dipakai
seperti sediakala.

Berkaitan dengan rajin dan wujud bangunan, apa yang tertulis dan
tercontohkan lebih jelas dari pada apa yang diturunkan secara lisan. Dalam
kitab Kawruh Kalang dan Kawuh Griya orang Jawa yang beredar, ada
penjelasan tentang persyaratan dan ukuran dalam pertukangan kayu.
Demikian pula dengan kitab Asta Kosala Kosali orang Bali, ada
penggambaran tentang ukuran dan pesyaratan yang perlu dicapai dalam
membangun bangunan. Dalam Lu Ban Jing orang Cina juga ada uraian
lengkap tentang persyaratan dan perlengkapan pengerjaan kayu. 16

Dalam tulisan ini saya tak mengedepankan terlebih dahulu kitab beradar
yang mana, dan seberapa absah adanya. Tajuk saya adalah, pencapaian
yang disyaratkan dalam kitab-kitab pegangan untuk para tukang atau para
pembangun bangunan berbeda-beda. Namun acuannya selalu pada yang
tertinggi mutunya. Mutu tersebut ditentukan oleh siapa? Dalam hal ini
kembali lagi kita pada citarasa golongan masyarakat. Tak dapat dipungkiri,
dalam sejarah, kelas selalu membentuk hirarki. Jika itu suatu kenyataan,
maka cita rasa kelas paling ataslah menjadi acuan di saat kitab lama itu
dibuat.

Masa agraris Nusantara, baik di desa maupun di kota, pekerjaan untuk


persembahan kepada para dewa atau kemudian Yang Maha Kuasa atau
leluhur senantiasa menarik perhatian penuh. Sudah suatu kewajiban untuk
memberi persembahan terbaik. Di masa para dewa, pengorbanan adalah
suatu kebajikan. Persembahan merupakan suatu tindakan kepatuhan dan
nilai kehidupan. Imbalan yang lebih abadi akan menjelang di kehidupan
15
Dalam berkarya, Mangunwijaya terkenal sangat tuntas. Beliau tidak ingin dirinya disebut
arsitek meski beliau dianugrahi Aga khan Award for Architecture di tahun 1992. Dari
keterangan berbagai muridnya dan berita saat eliau membangun saat Flores dilanda
gempa yang mengakibatkan beliau membawa tukang untuk mengajarkan teknik ke
penduduk dan tukang di Flores, jelas pendekatan beliau amat mementingkan pertukangan
dalam membangun.
16
Kawruh Kalang adalah kitab tukang kayu yang beredar dalam aksara Jawa. Kawruh Griya
Hasta Kosala Kosali adalah kitab orang Bali yang mengatur tata alam dari jagat besar
hingga jagat kecil. Kawruh Kalang dan Kawruh Griya serta Asta Kosala Kosali beredar
dalam berbagai ragam terbitan. Luban Jing adalah kitab tukang legendaries Cina Lu Ban,
yang juga ada berbagai ragam terbitan. Tentang Kawruh Kalang, dan Kawruh Griya, simak
J. Priyotomo. (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa: Griya Jawa dalam Tradisi
Tanpatulisan.Surabaya: Wastu Lanas Grafika, 2006. Untuk Asta Kosala Kosali, sudah sangat
banyak sumber. Untuk Lu Ban Jing, simak K. Ruitenbeek. Carpentry & Building in Late
Imperial China: A Study of the Fifteenth-Century Carpenters Manual Lu Ban Jing. Leiden:
E.J. Brill, 1996.
setelah kehidupan ini. Dalam bungkusan nilai demikian wajar jika tukang
memberi hasil terbaiknya demi suatu asa akan imbalan setimpal.

Membangun untuk sesuatu yang dalam bayangan dan atas nama para dewa
atau menurut kitab, jika ada, merasukkan jiwa para pelaksana pekerjaan.
Oleh sebab itu kelas pendeta yang dianugrahi kesaktian dan penguasa
sang personafikasi dewa merupakan ujung tombak menentukan baku mutu
karya untuk bangunan pemujaan. Candi, kuil, istana, bangsal pertemuan,
kuburan penguasa merupakan bangunan yang menuntut detak kekaguman.
Keadaan itu berlaku hampir di seluruh dunia. Mutu dan kebesaran
bangunan tersebut mewakili kejayaan, dan oleh sebab itu peradaban.

Meski kelas penguasa dan ningrat serta pimpinan agama mampu memandu
tata tertib membangun melalui kitab panduan, hasilnya tetap tergantung
pada tukang yang menyelesaikan bagian terakhir suatu bangunan. Oleh
sebab itu melatih keterampilan pengrajin dan para tukang untuk
membuahkan sesuatu sehingga mencapai rajin menjadi tuntutan
masyarakat. Cara paling jitu adalah menyemikan semangat dan nilai agar
dalam mengerjakan bangunan suci yang sasaran persembahannya akan
menentukan kemakmuran diutamakan. Sanksi bagi yang tak melakukan itu
adalah bencana.

Kini keadaan berbeda, kelas lebih ditentukan kepemilikan harta. Kelompok


pemilik modal ini adalah yang mampu membayar jasa arsitek profesional.
Kebangsawanan tidak lagi menentukan, demikian pula untuk kaum terpilih
(elit), meski keterpilihannya sebagian besar melalui uang, perorangan atau
partai politik. Cita rasa mencapai rajin bukan lagi milik kaum tepilih itu,
tetapi kaum berada yang terkadang bercitarasa jauh dari baku sebagaimana
diberlakukan di bangku kuliah. Rentang rajin dengan demikian menjadi
majemuk seiring dengan perubahan sosial ekonomi.

Ketika tugas pembangunan sebagian besar dipegang negara maka peran


kelas atas masyarakat tak akan menyumbangkan baku berarti, karena tak
menghasilkan persyaratan tertulis. Hanya dari sosok dan tampilan
bangunan kelompok ini awam dapat menyimak bahwa ada sesuatu yang
berbeda. Rajin dalam hal ini menampakkan diri. Kehadiran rajin menyatu
dengan setiap bagian bangunan yang terbuka terhadap indera manusia
untuk dicerapi. Indera manusia peka terhadap apa yang tampil, baik dalam
keutuhan raga, maupun dalam angan-angan setelah usai berhadapan
langsung dengan gejala.

Mutu suatu ruang ditentukan suasana yang terbentuk olehnya. Suasana


ditentukan oleh antara lain, ukuran dan bahan-bahan yang membatasinya
serta mutu pengolahannya. Ukuran suatu ruangan menceritakan hubungan
manusia yang bergiat dan sosok pembatasnya. Keserasian hadir jika
perbandingan antar bagian yang disuguhkan mampu membangkitkan rasa
nyaman saat berada di dalam maupun di luar atau di bawah pembatas-
pembatas tersebut. Perbandingan antara seluruh sosok pembagi ruang dan
benda lain yang melatarinya membangkitkan rasa lain.

Pembatas ruang terbuat dari bahan-bahan yang berukuran dan


berpermukaan. Pertemuan bahan-bahan yang berbeda dan bidang-bidang
yang berbeda akan menentukan citra yang bakal dicerap oleh para
pemakai. Bahan-bahan perlu diolah agar dapat bertahan terhadap berbagai
gangguan seperti cuaca dan serangga yang memangsanya. Permukaan
bahan perlu juga dikerjakan agar mencapai suatu sifat, apakah itu selicin
mungkin untuk menunjukkan betapa rajin dan rapi pekerjaan tangan sang
pengolah, atau sekasar apa yang inign diungkapkan agar suasana kembali
ke asal itu mampu dicapai.

Dalam dunia merancang kita giat menghasilkan suatu rancangan yang jika
dilaksanakan bakal sesuai dengan yang digagas, dengan sesedikit mungkin
efek samping yang tak dihendaki. Rancangan dengan demikian, sering
dilengkapi dengan serangkaian persyaratan yang perlu dipenuhi
pemanfaatnya pada saat pelaksanaan pekerjaan untuk mewujudkan
rancangan tersebut. Dalam pencatuman tentang hasil suatu rancangan
bangunan senantiasa dilengkapi dengan spesifikasi bahan dan
penanganannya. Hal ini cocok untuk keadaan yang setiap tahap berbeda
dilaksanakan pelaksana yang berbeda.

Keadaan demikian tentu bereda dari masa lalu yang memercayakan tugas
membangun pada satu regu yang dirancang dan diawasi seorang arsitek.
Tanggung jawab demikian mendorong orang yang bertanggung jawab atas
suatu projek pembangunan mencurahkan segenap kemampuannya karena
keberhasilan karyanya menentukan nama baik dan pekerjaan berikut. Di
masa tersebut bangunan tak dilelangkan, tetapi ditunjuk berdasarkan
rekomendasi kenalan yang dipercaya calon pemilik bangunan. Hal ini tak
berarti bahwa cara pelelangan tak akan mendorong tanggung jawab lebih.

Perbedaan cukup hakiki antara masa lalu dan kini adalah kini pembagian
kerja amat ketat dan jika dapat, cara perakitan Ford Motor yang kita kenal
sebagai Fordism diterapkan dalam pembangunan sehingga mencapai
efisiensi tinggi penanganan projek.17 Dalam cara demikian nama baik
seseorang tertelan nama besar perusahaan. Perusahaan pemborongan
pekerjaan senantiasa memacu pekrejaan karena waktu adalah uang.
Semakin lambat menyelesaikan suatu pekerjaan semakin kurang labanya.
Dalam keadaan demikian tak terelak kemungkinan terjadi
kekurangcermatan mengendalikan mutu.

17
Bandingkan dengan, dan simak R. Sennett, op.cit. hal. 45-47
Apakah mutu akan lebih terjamin jika pembangunan tak terkendala waktu?
Jawabannya belum tentu. Mutu itu suatu tuntutan dan dalam keadaan
waktu tak menjadi kendala, tuntutan mutu belum tentu perlu jika yang
diinginan adalah pemenuhan tugas suatu bangunan bukan kesempurnaan
seluruh segi penyelesaian sosok yang memenuhi hasrat mendecak
kekaguman. Tak semua bangunan di desa bertradisi kuat di Indonesia
menghasilkan bangunan sesuai tuntutan rajin. Tampak di sini bahwa setelah
ada pemunculan golongan atas maka rajin menjadi suatu tuntutan sebagai
perbedaan kelas.

Dalam keadaan ketergantungan pada suatu pengendalian operational, tata


olah pekerjaan tunduk pada kerjakan apa yang dituis dan tuliskan apa
yang akan dikerjakan, bahan-bahan tak lagi diolah tangan, melainkan
pabrik pengolah bahan dan mutu diawasi di situ. Namun penyelesaian akhir
suatu pekerjaan yang menyangkut pembangunan bangunan gedung tetap
berada di tangan tukang. Kerapian yang melekat dalam jiwa rajin dengan
demikian tetap tak tergantikan di lapangan. Dalam keadaan demikian rajin
sebagai suatu cerminan etos kerja tetap merupakan suatu keharusan.

Jika kita menganggap karya arsitektur semakin tergantung pada pasar yang
menuntut cepat dan siap bangun, maka rajin yang terkandung merupakan
rajin bekerja dan hasilnya lebih cenderung tergolong sebagai kerajinan,
bukan penciptaan. Keadaan demikian semakin nyata dalam bingkai
peraturan pembangunan yang menganut anggaran tahunan dan
penghangusan dana. Jika kita ingin mengangkat kembali karya arsitektur
sebagai seni, maka rajin perlu ditempatkan dalam tataran penciptaan.
Dengan demikian jiwa rajin merasuk ke dalam sikap berkarya, bukan hanya
bekerja.

Sudah merupakan kewajiban segenap bangsa menentukan baku mutu yang


erkait dengan piranti kepamongan serta peran serta masyarakat. Langkah
pertama tetap pada meningkatkan kesadaran bahwa rajin telah luntur dan
tereduksi. Langkah berikut adalah merekayasa rajin sebagai suatu gerakan
bangsa. Lanjutan dari itu adalah pencontohan oleh kelas yang berperan
dalam masyarakat tentang rajin. Kemudian penyebarluasan nilai rajin ke
segala segi kehidupan dan menjalankan kehidupan dengan rajin.

Rajin: Suatu Penutup


Penekanan rajin sebagai sifat yang melekat pada kerja perlu diangkat ulang
dan kembalikan ke makna awalnya. Hanya dengan demikian karya
arsitektur mampu meningkat ke lapisan lebih berharga. Arsitektur tanpa
rajin akan hampa makna dan terlepas dari daya cipta. Budaya siap saji akan
menurunkan mutu karya arsitektur dari yang sedianya berupa karya seni
menjadi karya kerajinan atau bahkan lebih buruk lagi, karya ala kadar.
Dalam keadaan demikian jiwa rajin yang diperluas perlu ditanamkan dalam
pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga ke tingkat paling tinggi.

Rajin yang menjadi nilai nasional akan menghasilkan karya-karya


terpandang. Jika hal itu tercapai, maka bangsa yang dikenal pernah
menghasilkan Borobudur dan Prambanan yang mengundang kekaguman
dunia ini tetap akan dikenang sebagai yang mampu meneruskan jiwa
leluhurnya. Sejauh ini hampir tak ada penciptaan lebih akbar lagi yang
dihasilkan oleh generasi setelah Borobudur Prambanan. Mengangkat
kembali semangat rajin memerlukan suatu program yang berskala nasional
karena tak hanya menyangkut kerja keras, tetapi juga mutu tinggi hasil
karya sebagai kebajikan.

Menanamkan nilai rajin sama dengan menertibkan sikap kerkarya dan


bekerja. Di situ ada pemacuan mengejar yang lebih. Ketakpuasan atas apa
yang dihasilkan merupakan suatu kebajikan. Borobudur dan Prambanan
sudah wajar perlu dilampaui. Oleh sebab itu, senantiasa meningkatkan baku
mutu sudah waktunya kita geserkan ke atas normanya setiap ada
pencapaian. Hanya dengan demikian akan tercipta suasana takut dikejar
dan takut akan ketinggalan. Ketakutan demikian bersifat baik karena
memelihara sikap, jika tak maju, akan dimangsa. Agar tak dimangsa, maka
rajinlah!

Anda mungkin juga menyukai