Gunawan Tjahjono
Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Abstrak
Jawaban tersebut menyadarkan saya akan satu hal, bahwa kata rajin tak
hanya menunjukkan suatu keadaan bekerja keras pantang henti, atau
senang serta giat bekerja sebagaimana yang lajim dipahami, tetapi juga
menunjukkan kepuasan pencapaian atas apa yang dikerjakan. Rajin, bagi
tukang kayu saya yang sudah menunjukkan giat dan penuh disiplin kerja
itu adalah suatu istilah yang terkait dengan karya, bukan kerja. Pengertian
terakhir ini kini tampak sudah terlunturkan oleh pemahaman umum yang
menunjukkan rajin sebagai bekerja keras lawan malas bekerja.
Sebagai orang yang membangun untuk diri sendiri, saya kurang terikat
pada tenggat waktu karena tata olah pembangunan amat tergantung pada
ketersediaan dana. Bagi kepala tukang kayu itu kerjaan tak dapat diburu-
buru, meski dia tahu bahwa waktu itu berharga dalam budaya kota yang
menuntut pekerjaan seringkas-waktu mungkin. Tampak jelas dari sikapnya
bahwa ada beban batin yang menuntutnya agar hasil pekerjaannya perlu
memenuhi baku rajin. Nilai dibalik sikapnya menarik saya untuk membahas,
karena tampaknya rajin kini meredup dikikis globalisasi keterampilan.
Rajin
Rajin dalam kamus adalah kata sifat yang menunjukkan keadaan kerja
keras, tetapi juga berarti rapi. Sebagai lawan kata malas rajin menunjukkan
suatu keuletan dan tekad bekerja keras yang seakan tak kenal lelah demi
menyelesaikan suatu tugas. Rapi adalah suatu keadaan yang
menggambarkan sifat hasil tindakan yang memenuhi suatu tolok ukur yang
membedakannya dari ketakteraturan dan kekasaran. Rapi menuntut
ketertiban, ketaatan akan patokan yang disepakati oleh suatu kalangan.
Dalam kalangan pertukangan kayu tuntutan tersebut menentukan
pencapaiann dan kedudukannya.
1
Pembedaan kerja, labor, dari karya, work, dengan sangat anggun digambarkan oleh filsuf
Hannah Arendt. Dalam buku nya yang sudah tergolong Klasik. Simak, H. Arendt. The
Human Condition. Chicago: University of Chicago Press, 1958.
Dalam perkumpulan para ahli itu, empu atau master amat menentukan.
Empu adalah ahli yang telah menunjukkan kepiawaiannya melalui hasil
kerjanya yang mendapat pujian golongan atas atau pemilik. Dengan
pengakuan umum seorang empu juga dianugrahi kewenangan menentukan
baku mutu keterampilan suatu hasil pekerjaan mereka yang belajar dari
atau dilatih oleh dia. Hubungan empu-murid itu penting. Memagang dari
seorang empu kesohor merupakan suatu kebanggaan. Berkat nama empu
tersebut sang tukang mendapat kepercayaan untuk menjalankan suatu
pekerjaan. 2
Rajin dalam kaitan tersebut di atas menjadi suatu sifat yang terlekat pada
suatu karya yang menuntut mutu tinggi dan dapat membangkitkan rasa
puas bagi yang menghasilkannya atau yang berhubungan dengannya. Untuk
mencapai mutu tersebut pada saat mengerjakan tugasnya sang tukang
menyatuken gerak tangan dengan akal dan rasanya. Seluruh jiwa raga
seakan tertuang menyatu dengan sasaran yang akan dihasilkannya. Pikiran
terlibat penuh jika dalam perjalanan penyelesaian tugas terjadi hambatan
yang membutuhkan keputusan jitu agar rajin terpancar.
Bagi tukang saya yang bersatu kelompok dengan kelompok pengrajin untuk
pengerjaan bahan kayu di dunia pembangunan bangunan, rajin adalah
2
Keadaan demikian berlaku umum di Eropa di Abad Pertengahan, kekuasaan seorang
empu amat besar dalam menentukan pencapaian muridnya. Perkataannya adalah suatu
keputusan yang tanpa ada perdebatan. Untuk lebih jauh, simak. The Craftsman. New York:
Penguin Books, 2008. Hal. 58.
3
Ulasan tersebut adalah dalam rangka menjelaskan hubungan teknik dengan seni. Simak
karya klasik L. Mumford. Art and Technics. New York: Columbia Uniersity Press, 1952. Hal
15.
suatu kewajiban tugas, baik rajin dalam arti lawan malas maupun rajin
sebagai suatu pencapaian hasil pekerjaan. Malas, dengan demikian
merupakan sesuatu yang dihindari karena bersekutu dengan sifat manusia
yang tak terpuji, atau penanda kemerosotan akhlak. Dalam hubungan ini
rajin menjadi suatu kewajiban moral, yang tertuang dalam etika pekerjaan
sang tukang dan juga para pengrajin.
Kini keadaan mulai berbeda, karena negara tersebut tak lagi mampu
menanggung beban membuat hasil melulu di dalam negeri, kecuali untuk
dipakai di dalam negeri karena persaingan upah buruh berkat globalisasi.
Meski melalui pembagian kerja dengan menanamkan modal dan membuat
pabrik di luar negeri dengan keyakinan bahwa melalui pengawasan ala
Jepang mutu tetap akan tinggi, nama harum mulai goyah seperti apa yang
kita saksikan dengan nasib yang menimpa mobil buatan Toyota di luar
Jepang yang mengalami penarikan kembali karena kesalahan beberapa
bagian mesin.
Selama ini, sejauh pengetahuan saya, rajin sebagai kerja keras sudah
merupakan suatu nilai yang ditanamkan kepada anak didik. Namun nilai
tersebut bukan yang sebagaimana dipahami oleh tukang kayu saya,
melainkan yang bersifat ragawi tuntutan badan. Rajin demikian berada di
dalam ranah kerja, bukan karya. Kebajikan bekerja terdapat dalam istilah
rajin. Rajin sebagai kebajikan selain bekerja keras juga pencapaian
4
Menyangkut kebudayaan sebagai etos kerja dan merupakan unsure terpenting dalam
membangun suatu bangsa, simak, L. Harrison dan S. Huntington. Culture Matters: How
ValuesShape Human Progress. New York: Basic Books, 2000.
kesempurnaan atas kepuasan diri dan masyarakat masih belum tertanam
sebagai nilai luhur , seperti apa yang dipahami bangsa Jepang.
Di masa itu kepala tukang (arsitek) adalah orang yang dipercayakan suatu
masyarakat untuk mengelola pembangunan bangunan gedung. Untuk
menjadi kepala seregu tukang seseorang tentu perlu menunjukkan bahwa
dia memiliki kelebihan yang diakui oleh kelompoknya dan bahkan
masyarakat luas. Dalam hal ini dia pasti menguasai bidang yang
dikepalainya dari keseluruhan hingga ke hal-hal yang paling kecil. Hanya
dengan demikian perintahnya akan dipatuhi. Manusia cenderung menilai
sesama dari apa yang dilakukan dan dihasilkan, bukan dari sekedar apa
yang diucapkan.
Jika pengetahuan sang arsitek mencakup demikian banyak segi. Dia pantas
juga memenuhi peran sebagai seorang seniman, yang tak hanya menguasai
teknologi membangun tapi juga peka akan keindahan. Oleh sebab itu
arsitek di zaman Romawi Kuna perlu dilatih tentang seni rupa, memelajari
rekayasa karena di masa itu banyak perang, dan memagang dulu pada
arsitek yang berpengalaman sebelum dapat dilepas menangani suatu projek
pembangunan gedung.6 Dengan demikian kaidah kesenian atau kerajinan
dan pengetahuan (teknologi) berembuk di dalam diri sang arsitek.
Batas kesenian dan kerajinan cukup tipis, demikian pula dengan seniman
dan pengrajin. Dalam kaitan pertukangan, istilah kerajinan lebih sering
disandangkan ke diri pengrajin, orang yang bekerja dengan tangan dan alat
untuk menghasilkan suatu benda atau perkakas. Dalam kaitan ini apakah
sang arsitek seorang seniman atau seorang pengrajin? Untuk menjelaskan
hal itu saya kembali ke pemahaman kata techne dan meminjam ulasan filsuf
5
Kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan kepala tukang adalah kepala tukang kayu
untuk arsitek di zaman Yunani Kuna dapat diperiksa di. S. Kostof . The Practice of
Architecture in the Ancient World. Dalam S. Kostof(ed.). The Architect: Chapters in the
History of the Profession. Oxford; Oxford University Press, 1977. Hal. 3-27.
6
Tentang arsitek zman Romawi, simak, W.L. MacDonald. Roman Architects. Daalm S.
Kostof (ed.). Op.cit. hal. 28-58.
Jerman Martin Heidegger, yang memberi suatu pandangan amat mendalam
tentang asal usul karya seni (work of art).
Arsitektur jelas terkait erat dengan bangunan. Bangunan tak lain adalah
suatu sosok terbangun yang mengambil sebagian dari ruang bebas yang
mengalir tak terhingga, untuk membatasi suatu ranah agar bermakna bagi
mereka yang berada di dalamnya atau di sekitarnya saat berkegiatan. Tugas
arsitek adalah mewujudkan makna ruang yang terbatasi itu dengan
kegiatan.8 Jika kegiatan itu berjalan mulus maka makna yang dibangkitkan
dari pengalaman ruang bagi mereka yang terlibat juga akan manis. Jika
sebaliknya yang terjadi, maka makna yang terbangkitkan akan asam atau
pahit.
7
Kesulitan dalam meminjam istilah techne untuk ulasan ini terletak di, bahwa techne dalam
pemakaian orang Yunani Kuna diterapkan untuk seni dan kerajinan. Baik seniman maupun
pengrajin menyandang istilah technites. Hanya dalam tata olah menghadirkan suatu
bendalah dapat kita bedakan dengan teliti dan amat tipis antara keduanya. Simak. M.
Heidegger. The origin of the Work of Art. Dalam M. Heidegger. Basic Writings. Diedit
oleh D. F. krell. New York: Harper, 1993. Hal. 139-212.
8
Hal tersebut adalah tugas seorang arsitek, menurut mendiang Charles Moore. Simak, C.
Moore dan G. Allen. Dimension, Space, Shape and Scale in Architecture. New York:
McGrow Hills, 1975. Bab tetnang Space.
9
Untuk asal usul kata-kata seperti techne dan techton serta kata-kata bahasa Ingggeris
atau Indo-Eropean yang sebagian besar merupakan suatu turunan dari bahasa Latin dan
Yunani, selain kini dalam Wikipedia banyak memuat sejarah kata, juga dapat simak E.
Partidge. The Origins: A Short Etymological Dictionaary of Modern English. New York:
Greenwich House, 1983.
Arche, archi, arch adalah kata Yunani untuk kepala, utama, pemimpin,
paling awal. Kita mengenal kata-kata berkepala arche seperti archaeology,
archetype, archbishop, archetrave, dalam bahasa Inggeris yang berasal dari
bahasa Yunani. Semua menunjukkan kepala atau kuna. Architechton (arche,
kepala dan techton, tukang) adalah istilah Yunani untuk arsitek. Bagi
Mangunwijaya, arsitek itu berasal darikata archetektoon. Istilah tersebut
berbeda asal dari berbagai sumber tentang arsitektur dalam bahasa
Inggeris. Perbedaan asal tentu akan menghasilkan perbedaan cerapan.10
10
Saya sudah berupaya mencari kata tektoon dan belum berhasil ketemu. Dari berbagai
sumber yang dapat saya telusuri, architecture berakar kata techton dan awalan
rangkapnya arche. Untuk lebih lengkap tentang argument Mangunwijaya, Simak, Y.B.
Mangunwijaya. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi
Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1988. Hal. 193-
194.
11
Mangunwijaya, op.cit. hal 330.
12
Widya dalam arti sebagai kebijaksanaan perlu periksa sumber lain selain Kamus-kamus
tentang bahasa Jawa dan Jawa Kuna seperti karya P.J. Zoetmoelder dan S.O. Robson.
Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2004. Dan S.
Prawiroatmojo. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1985. Periksa juga
penjelasan tentang vid asal kata widya, sebagai kebijaksanaan selain pengetahuan, dalam
P. Watson. Ideas: A History from Fire to Freud. London: Orion House, 2006, hal. 156.
13
Untuk hal Sanskerta dan bahasa Vedas, periksa P. Watson. Op.cit., hal. 154-156.
14
Mengenai paham keindahan para pujangga di masa Jawa Kuna, simak P.J. Zoetmulder.
Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Diterjemahkan dari judul asli:
Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature oleh D. Hartoko, S.J. Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1985, 1983. Hal. 200-203.
demikian kini telah punah dalam masa pembagian pekerjaan dan
kekhususan keahlian menjadi kecenderungan kerja. Sebagai akibat, makna
widya dan wastu bergeser dan semakin jauh dari pengalaman keseharian.
Dalam keadaan demikian tak heran jika tawaran Mangunwijaya (yang mirip
seorang empu)15 tak bersambut. Hingga kini istilah arsitektur dipakai
seperti sediakala.
Berkaitan dengan rajin dan wujud bangunan, apa yang tertulis dan
tercontohkan lebih jelas dari pada apa yang diturunkan secara lisan. Dalam
kitab Kawruh Kalang dan Kawuh Griya orang Jawa yang beredar, ada
penjelasan tentang persyaratan dan ukuran dalam pertukangan kayu.
Demikian pula dengan kitab Asta Kosala Kosali orang Bali, ada
penggambaran tentang ukuran dan pesyaratan yang perlu dicapai dalam
membangun bangunan. Dalam Lu Ban Jing orang Cina juga ada uraian
lengkap tentang persyaratan dan perlengkapan pengerjaan kayu. 16
Dalam tulisan ini saya tak mengedepankan terlebih dahulu kitab beradar
yang mana, dan seberapa absah adanya. Tajuk saya adalah, pencapaian
yang disyaratkan dalam kitab-kitab pegangan untuk para tukang atau para
pembangun bangunan berbeda-beda. Namun acuannya selalu pada yang
tertinggi mutunya. Mutu tersebut ditentukan oleh siapa? Dalam hal ini
kembali lagi kita pada citarasa golongan masyarakat. Tak dapat dipungkiri,
dalam sejarah, kelas selalu membentuk hirarki. Jika itu suatu kenyataan,
maka cita rasa kelas paling ataslah menjadi acuan di saat kitab lama itu
dibuat.
Membangun untuk sesuatu yang dalam bayangan dan atas nama para dewa
atau menurut kitab, jika ada, merasukkan jiwa para pelaksana pekerjaan.
Oleh sebab itu kelas pendeta yang dianugrahi kesaktian dan penguasa
sang personafikasi dewa merupakan ujung tombak menentukan baku mutu
karya untuk bangunan pemujaan. Candi, kuil, istana, bangsal pertemuan,
kuburan penguasa merupakan bangunan yang menuntut detak kekaguman.
Keadaan itu berlaku hampir di seluruh dunia. Mutu dan kebesaran
bangunan tersebut mewakili kejayaan, dan oleh sebab itu peradaban.
Meski kelas penguasa dan ningrat serta pimpinan agama mampu memandu
tata tertib membangun melalui kitab panduan, hasilnya tetap tergantung
pada tukang yang menyelesaikan bagian terakhir suatu bangunan. Oleh
sebab itu melatih keterampilan pengrajin dan para tukang untuk
membuahkan sesuatu sehingga mencapai rajin menjadi tuntutan
masyarakat. Cara paling jitu adalah menyemikan semangat dan nilai agar
dalam mengerjakan bangunan suci yang sasaran persembahannya akan
menentukan kemakmuran diutamakan. Sanksi bagi yang tak melakukan itu
adalah bencana.
Dalam dunia merancang kita giat menghasilkan suatu rancangan yang jika
dilaksanakan bakal sesuai dengan yang digagas, dengan sesedikit mungkin
efek samping yang tak dihendaki. Rancangan dengan demikian, sering
dilengkapi dengan serangkaian persyaratan yang perlu dipenuhi
pemanfaatnya pada saat pelaksanaan pekerjaan untuk mewujudkan
rancangan tersebut. Dalam pencatuman tentang hasil suatu rancangan
bangunan senantiasa dilengkapi dengan spesifikasi bahan dan
penanganannya. Hal ini cocok untuk keadaan yang setiap tahap berbeda
dilaksanakan pelaksana yang berbeda.
Keadaan demikian tentu bereda dari masa lalu yang memercayakan tugas
membangun pada satu regu yang dirancang dan diawasi seorang arsitek.
Tanggung jawab demikian mendorong orang yang bertanggung jawab atas
suatu projek pembangunan mencurahkan segenap kemampuannya karena
keberhasilan karyanya menentukan nama baik dan pekerjaan berikut. Di
masa tersebut bangunan tak dilelangkan, tetapi ditunjuk berdasarkan
rekomendasi kenalan yang dipercaya calon pemilik bangunan. Hal ini tak
berarti bahwa cara pelelangan tak akan mendorong tanggung jawab lebih.
Perbedaan cukup hakiki antara masa lalu dan kini adalah kini pembagian
kerja amat ketat dan jika dapat, cara perakitan Ford Motor yang kita kenal
sebagai Fordism diterapkan dalam pembangunan sehingga mencapai
efisiensi tinggi penanganan projek.17 Dalam cara demikian nama baik
seseorang tertelan nama besar perusahaan. Perusahaan pemborongan
pekerjaan senantiasa memacu pekrejaan karena waktu adalah uang.
Semakin lambat menyelesaikan suatu pekerjaan semakin kurang labanya.
Dalam keadaan demikian tak terelak kemungkinan terjadi
kekurangcermatan mengendalikan mutu.
17
Bandingkan dengan, dan simak R. Sennett, op.cit. hal. 45-47
Apakah mutu akan lebih terjamin jika pembangunan tak terkendala waktu?
Jawabannya belum tentu. Mutu itu suatu tuntutan dan dalam keadaan
waktu tak menjadi kendala, tuntutan mutu belum tentu perlu jika yang
diinginan adalah pemenuhan tugas suatu bangunan bukan kesempurnaan
seluruh segi penyelesaian sosok yang memenuhi hasrat mendecak
kekaguman. Tak semua bangunan di desa bertradisi kuat di Indonesia
menghasilkan bangunan sesuai tuntutan rajin. Tampak di sini bahwa setelah
ada pemunculan golongan atas maka rajin menjadi suatu tuntutan sebagai
perbedaan kelas.
Jika kita menganggap karya arsitektur semakin tergantung pada pasar yang
menuntut cepat dan siap bangun, maka rajin yang terkandung merupakan
rajin bekerja dan hasilnya lebih cenderung tergolong sebagai kerajinan,
bukan penciptaan. Keadaan demikian semakin nyata dalam bingkai
peraturan pembangunan yang menganut anggaran tahunan dan
penghangusan dana. Jika kita ingin mengangkat kembali karya arsitektur
sebagai seni, maka rajin perlu ditempatkan dalam tataran penciptaan.
Dengan demikian jiwa rajin merasuk ke dalam sikap berkarya, bukan hanya
bekerja.