BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tenggelam adalah kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan
masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan. Pada umumnya tenggelam
merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun karena ada faktor-
faktor tertentu seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat,
bahkan bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan.1,2
Setiap tahun, sekitar 150.000 kematian dilaporkan di seluruh dunia akibat
tenggelam,dengan kejadian tahunan mungkin lebih dekat ke 500.000. Menurut
WHO, pada tahun 2004, 388.000 orang meninggal akibat tenggelam.3,4 Beberapa
negara terpadat di dunia gagal untuk melaporkan insiden hampir tenggelam. Ini
menyatakan bahwa banyak kasus tidak pernah dibawa ke perhatian medis, kejadian
di seluruh dunia membuat pendekatan akurat yang hampir mustahil.4 Mayoritas
(sekitar 96%) kematian akibat tenggelam terjadi pada negara yang berpenghasilan
rendah dan menengah. 60% kematian akibat tenggelam terjadi di kawasan Pasifik
Barat dan Asia Tenggara. Di seluruh dunia, anak di bawah 5 tahun merupakan
tingkat usia dengan mortalitas akibat tenggelam tertinggi.3
Sedangkan pada data yang diperoleh dari RS. Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan 23 orang meninggal karena tenggelam mulai bulan Januari 2011 hingga
September 2011. Sedangkan pada 4 tahun terakhir didapatkan 93 kasus meninggal
sejak Januari 2007 hingga Desember 2010.5
Pada pemeriksaan jenazah yang diduga tenggelam perlu diketahui kondisi
korban meninggal sebelum atau sesudah masuk air, tempat jenazah ditemukan
meninggal berada di air tawar atau asin, adanya antemortem injury, adanya sebab
kematian wajar atau keracunan, dan sebab kematiannya.5
Untuk bisa mengetahui serta memperkirakan cara kematian mayat yang
terendam dalam air, diperlukan pemeriksaan luar dan dalam pada tubuh korban
serta pemeriksaan tambahan lain sebagai penunjang seperti pemeriksaan getah paru
untuk penemuan diatom, pemeriksaan darah secara kimia (Gettler test),
2
1.2.Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami mengenai tenggelam. Tulisan ini juga dibuat untuk memenuhi
persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kedokteran Kehakiman RSUP HAM.
1.3.Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih mengetahui
dan memahami mengenai kasus tenggelam.
3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 ASFIKSIA
2.1.1 Pengertian
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian. Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.1
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah
neuron yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen.
Kerentanan bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.2
2.1.2 Etiologi
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut1:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat
molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
2.1.3 Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu2:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
4
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala
di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab,
bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di
kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen
cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu
lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau
tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan
atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik
lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang
larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
- Metabolik
5
ASFI
Penuruna KSIA Penuruna
n n
Oksigena Tekanan
si di Paru Oksigen
Penurunan
Aliran
Darah Dilatasi
Arteri Kapiler
Pulmoner
Penurunan
Aliran Balik Stasis
Darah Vena Kapiler
Ke Jantung
Stasis Darah
Pada Pelebara
Organ n Kapiler
Tubuh
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi
selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang
cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-
kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat
longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain.
Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam
vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah
dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus
spot.
12
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan2:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah
yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura
viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura
interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
terjadi di laut atau sungai tetapi dapat juga terjadi di dalam westafel atau ember
berisi air. Jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru-paru adalah
sebanyak 2 L untuk orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.7
2. Bunuh diri
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering kali terjadi.
Kadang - kadang tubuh pelaku diikat dengan pemberat agar supaya tubuh dapat
tenggelam dengan mudah.
3. Pembunuhan
Banyak cara yang digunakan misalnya dengan melemparkan korban ke laut
atau memasukkan kepala ke dalam bak berisi air.
Pada kasus korban tenggelam yang sudah membusuk, identifikasi amat
sukar atau sudah tidak diketahui tempat kejadiannya, tidak ada saksi, maka tak
dapat diklasifikasikan kecelakaan atau bunuh diri/pembunuhan.
pada muka, perlukaan pada vertebra servikalis dan medula spinalis dapat
ditemukan.
4. Faktor- faktor yang berperan dalam proses kematian
Faktor- faktor yang berperan dalam dalam proses kematian,
misalnya kekerasan, alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada
pemeriksaan luar atau bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke
dalam saluran pernafasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban
ditemukan dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam di
tempat itu atau di tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian.
a. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada masuk ke dalam air.
Maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk ke
dalam saluran pernafasan (tenggelam). Pada kasus immersion, kematian
terjadi dengan cepat, hal ini mungkin disebbakan oleh sudden cardiac arrest
yang terjadi pada waktu cairan melalui saluran napas atas. Beberapa korban
yang terjun dengan kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah
masuk ke hidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-
kadang keracunan alkohol.
b. Bila tidak ditemukan air dalam paru- paru dan lambung, berarti kematian
terjadi seketika akibat spasme glotis yang menyebabkan cairan tidak dapat
masuk.
Korban yang tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama
makin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam 2-12 menit (fatal period).
Dalam periode ini, apabila korban dikeluarkan dari air, masih ada kemungkinan
dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.Waktu yang diperlukan untuk terbenam
dapat bervariasi tergantung dari keadaan sekeliling korban, keadaan masing-masing
korban, reaksi perorangan yang bersangkutan, keadaan kesehatan, dan jumlah serta
sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran pernapasan.12
21
tidak ada suara krepitasi yang terdengar dan bahkan tanpa penekanan jaringan
mengeluarkan banyak cairan. Jaringan paru ditekan maka akan ditemukan paru
dipenuhi cairan. Dengan demikian kasus tenggelam di air laut paru mengalami
lembab dan basah.2,11
Petekie yang sangat sedikit dapat ditemukan karena kapiler terjepit di antara
septum inter alveolar. Dapat ditemukan bercak-bercak perdarahan yang disebut
bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin). Petekie subpleura dan
bula emfisema jarang ditemukan dan bukan merupakan tanda khas tenggelam,
tetapi sebagai usaha respirasi.2
Sedangkan untuk mengetahui benda-benda air yang masuk ke saluran
pernafasan dapat dibuktikan dengan membuka saliran pernafasan dari trakea,
bronkus sampai percabangan bronkus di hilus. Jika dari pemeriksaan ditemukan
benda-benda air seperti pasir, kerikil, lumpur, tumbuhan air dan lain-lain maka
dapat dipastikan bahwa korban masih hidup sebelum tenggelam.2
Organ lain seperti otak, ginjal, hati, dan limpa dapat mengalami
pembendungan. Lambung dan usus halus dapat sangat membesar, berisi air dan
lumpur.2
Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat
telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet
atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang
bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal dari saluran pencernaan
terhadap air minum atau makanan.2
Pemeriksaan diatom dengan metode destruksi (digesti asam) pada paru
dilakukan dengan mengambil dari jaringan perifer paru sebanyak 100 gram,
masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai jaringan
paru terendam, diamkan lebih kurang setengah hari agar jaringan hancur. Kemudian
dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam nitrat pekat sampai
terbentuk cairan jernih, dinginkan dan cairan dipusing dalam centrifuge.2
Sedimen yang terbentuk ditambahkan dengan akuades, pusingkan kembali
dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada
jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau per 10-20 per satu
sediaan atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu.2
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan getah paru dengan cara permukaan
paru disiram dengan air bersih, lalu iris bagian perifer, ambil sedikit cairan perasan
dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek, tutup dengan kaca penutup dan
lihat dengan mikroskop. Selain diatom dapat pula terlihat ganggang atau tumbuhan
jenis lainnya.2
26
2. Pemeriksaan Elektrolit
Pada tahun 1921 Gettler mengemukakan bahwa penentuan ada tidaknya
klorida pada darah yang berasal dari ruang-ruang jantung adalah salah satu tes yang
baik yang dapat digunakan dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Banyak dari
peneliti telah mengemukakan pandangan-pandangan yang berbeda tentang validitas
studi klorida dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Pada tahun 1944 Moritz dan
mengungkapkan pandangan bahwa perbedaan kadar klorida pada sampel darah
yang berasal dari ventrikel jantung kanan dan kiri dapat bernilai diagnostik hanya
jika analisa yang dilakukan adalah segera setelah terjadinya kematian. Dia
27
menetapkan bahwa perbedaan kadar klorida sekitar 17 mEq/L atau lebih pada kasus
tenggelam di air tawar dapat ditetapkan sebagai pendukung penegakan diagnosis
tenggelam.11
Menurut Gettler, pada kasus tenggelam di air tawar, kadar serum klorida
di darah yang berasal dari jantung kiri lebih rendah dari jantung sebelah kanan.
Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya.2,10
Selain itu, tes lain, tes Durlacher juga dapat digunakan untuk menentukan
diagnosis selain tes Gettler. Tes Durlacher digunakan untuk menentukan perbedaan
dari berat jenis plasma dari jantung kanan dan kiri. Bila pada pemeriksaan
ditemukan berat jenis jantung kiri lebih tinggi dibandingkan dengan jantung kanan,
maka dapat diasumsikan bahwa korban meninggal akibat tenggelam.2,10
BAB 3
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA