Anda di halaman 1dari 29

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tenggelam adalah kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan
masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan. Pada umumnya tenggelam
merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun karena ada faktor-
faktor tertentu seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat,
bahkan bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan.1,2
Setiap tahun, sekitar 150.000 kematian dilaporkan di seluruh dunia akibat
tenggelam,dengan kejadian tahunan mungkin lebih dekat ke 500.000. Menurut
WHO, pada tahun 2004, 388.000 orang meninggal akibat tenggelam.3,4 Beberapa
negara terpadat di dunia gagal untuk melaporkan insiden hampir tenggelam. Ini
menyatakan bahwa banyak kasus tidak pernah dibawa ke perhatian medis, kejadian
di seluruh dunia membuat pendekatan akurat yang hampir mustahil.4 Mayoritas
(sekitar 96%) kematian akibat tenggelam terjadi pada negara yang berpenghasilan
rendah dan menengah. 60% kematian akibat tenggelam terjadi di kawasan Pasifik
Barat dan Asia Tenggara. Di seluruh dunia, anak di bawah 5 tahun merupakan
tingkat usia dengan mortalitas akibat tenggelam tertinggi.3
Sedangkan pada data yang diperoleh dari RS. Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan 23 orang meninggal karena tenggelam mulai bulan Januari 2011 hingga
September 2011. Sedangkan pada 4 tahun terakhir didapatkan 93 kasus meninggal
sejak Januari 2007 hingga Desember 2010.5
Pada pemeriksaan jenazah yang diduga tenggelam perlu diketahui kondisi
korban meninggal sebelum atau sesudah masuk air, tempat jenazah ditemukan
meninggal berada di air tawar atau asin, adanya antemortem injury, adanya sebab
kematian wajar atau keracunan, dan sebab kematiannya.5
Untuk bisa mengetahui serta memperkirakan cara kematian mayat yang
terendam dalam air, diperlukan pemeriksaan luar dan dalam pada tubuh korban
serta pemeriksaan tambahan lain sebagai penunjang seperti pemeriksaan getah paru
untuk penemuan diatom, pemeriksaan darah secara kimia (Gettler test),
2

pemeriksaan histopatologi dan penentuan berat jenis plasma untuk menemukan


tanda intravital tersebut. Hal tersebut tidak mudah, terutama bagi mayat yang telah
lama tenggelam, atau pada mayat yang tidak lengkap, atau hanya ada satu bagian
tubuhnya saja.

1.2.Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami mengenai tenggelam. Tulisan ini juga dibuat untuk memenuhi
persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kedokteran Kehakiman RSUP HAM.

1.3.Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih mengetahui
dan memahami mengenai kasus tenggelam.
3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 ASFIKSIA
2.1.1 Pengertian
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian. Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.1
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah
neuron yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen.
Kerentanan bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.2

2.1.2 Etiologi
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut1:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat
molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.

2.1.3 Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu2:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
4

- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala
di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab,
bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di
kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen
cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu
lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau
tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan
atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik
lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang
larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
- Metabolik
5

Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu


pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

2.1.4 Jenis-jenis Asfiksia


Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia,
yaitu2:
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
b. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
c. Pencekikan (Manual Strangulation)
2. Sufokasi
3. Pembengkapan (Smothering)
4. Tenggelam (Drowning)
5. Crush Asphyxia
6. Keracunan CO dan SN

2.1.5 Patofisiologi Asfiksia


Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan, yaitu2:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan
oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen,
dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan
basal ganglia2.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal
dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau
primer tidak jelas2.
6

2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari


tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup
untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. Keadaan ini didapati pada1:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada
tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk
keracunan2.
7

Darah Relaksa Urin,


Fibrinol
menjadi si Feses,
encer
isis ASFI Sfingter Cairan
Dilatasi KSIA
Tak Tekana Sperma
Kerusa
Sadar n Keluar
kan
Kapiler
Tenaga Stasis Oksige Dinding
Sianosi
n& Kapiler
Otot Kapiler Peningk
s Darah dan
Menuru Bendun Darah Turun atan
n Lapisan
Permea
gan Berwar
Konges Kapiler Tekana na Lebam bilitas
Tardie
ti n Ungu Mayat Kapiler
Spot &
Visceral Intraka Ruptur
Ungu Oedem
piler Pembuluh a
mening Kapiler
kat

2.1.6 Gejala Klinis


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis,
yaitu1:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam
plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga
gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan
meningkatnya amplitude dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-
otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata
menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat dan mulai tampak tanda-
tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan ini berlanjut,
maka masuk ke fase kejang1.
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan
saraf pusat sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa
kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul
8

spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan


tekanan darah perlahan akan ikut menurun. Efek ini berkaitan dengan
paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak, akibat kekurangan O2 dan
penderita akan mengalami kejang2.
3. Fase Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot
pernapasan menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin
menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti
bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas
telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada fase ini bisa
dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi
sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara
mendadak2.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung
masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat
asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi1.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-
4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka
waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan
lengkap2.
9

ASFI
Penuruna KSIA Penuruna
n n
Oksigena Tekanan
si di Paru Oksigen
Penurunan
Aliran
Darah Dilatasi
Arteri Kapiler
Pulmoner
Penurunan
Aliran Balik Stasis
Darah Vena Kapiler
Ke Jantung
Stasis Darah
Pada Pelebara
Organ n Kapiler
Tubuh

2.1.7 Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia


Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian
akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu2:
1. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut
yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena,
terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi,
kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera
mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa
juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum,
timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum2.

2. Kongesti dan Oedema


Tardieus spot

Bintik perdarahan pada jantung


10

Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan


ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi
akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi
pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong
darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini
akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema)2.
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan
selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi
(Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai
anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang
berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total
hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher,
sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah
vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah1.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran
tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada
kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan
yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah
proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut
diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis
asfiksia1

2.1.8 Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia


a. Pemeriksaan Luar
11

Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan2:


1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang
tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar
membeku dan mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi
selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang
cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-
kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat
longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain.
Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam
vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah
dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus
spot.
12

b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan2:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah
yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura
viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura
interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

2.2 Definisi Tenggelam


Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi
cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke
dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan
gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian.6
Mekanisme lain menyebutkan karena ketidakseimbangan elektrolit serum
yang mempengaruhi fungsi jantung (refleks kardiak) dan bisa juga disebabkan
karena laringospasme sebagai akibat refleks vagal.1
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam
di dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah permukaan air
maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam.
berdasarkan pengertian tersebut, maka peristiwa tenggelam tidak hanya dapat
13

terjadi di laut atau sungai tetapi dapat juga terjadi di dalam westafel atau ember
berisi air. Jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru-paru adalah
sebanyak 2 L untuk orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.7

2.3 Mekanisme Tenggelam


Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat
spasme laring, asfiksia karena gagging dan choking, refleks vagal, fibrilasi ventrikel
(air tawar), dan edema pulmoner (dalam air asin).2,12
1. Refleks Vagal
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem tidak
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya sehingga
sering disebut tenggelam kering (dry drowning).7
2. Spasme Laring
Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang
sekali terjadi. Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk
ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia,
tetapi paru-parunya tidak didapati adanya air atau benda-benda air.7
3. Pengaruh air yang masuk paru-paru
Hipoksia dan asidosis serta efek multiorgan dari proses ini yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada tenggelam. Kerusakan sistem saraf
pusat dapat terjadi karena hipoksemia yang terjadi karena tenggelam (kerusakan
primer) atau dari aritmia, gangguan paru, atau disfungsi multiorgan.8
Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia disertai
gangguan elektrolit. Cairan yang teraspirasi dan terdapat pada paru-paru
menghasilkan vasokonstriksi dan hipertensi yang diperantarai oleh nervus vagus.
Air tawar berpindah lebih cepat dari membran kapiler-alveoli ke mikrosirkulasi. Ini
akan mengakibatkan hemodilusi dan hemolisis. Dengan pecahnya elektrolit maka
ion kalium intrasel akan terlepas sehingga menimbulkan hiperkalemia yang akan
mempengaruhi kerja jantung (terjadi fibrilasi ventrikel). Pemeriksaan post mortem
ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung kanan lebih tinggi dari jantung
kiri dan adanya buih serta benda-benda air pada paru-paru.7,8 Selain itu, air tawar
14

cenderung lebih hipotonik dibandingkan plasma dan menyebabkan gangguan


surfaktan alveoli. Hal ini akan menyebabkan instabilitas alveoli, atelektasis, dan
penurunan komplians paru.8
Pada peristiwa tenggelam di air asin, akan mengakibatkan terjadinya
anoksia dan hemokonsentrasi. Air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam
jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema paru, hemokonsentrasi,
dan hipovolemia. Tidak terjadi gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan post mortem
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri lebih tinggi
daripada jantung kanan dan ditemukan buih serta benda-benda air. Dibandingkan
dengan tenggelam pada air tawar, kematian pada tenggelam di air asin prosesnya
lebih lambat.2,7 Air asin, yang bersifat hiperosmolar, akan menarik cairan ke dalam
alveoli dan menyebabkan dilusi surfaktan. Cairan yang kaya protein akan
bereksudasi secara cepat ke alveoli dan instertitial paru. Hal ini menyebabkan
komplians paru berkurang, dan membran kapiler-alveoli rusak dan terjadi
perpindahan cairan sehingga terjadi hipoksia.8

2.3.7 Wet Drowning


Pada wet drowning, yang mana terjadi inhalasi cairan, diketahui terjadi
proses dari korban menahan napas. Karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar
O2, terjadi megap-megap dan dapat timbul regurgitasi dan aspirasi isi lambung.
Refleks laringospasme yang diikuti dengan pemasukan air akan muncul. Kemudian
korban kehilangan kesadaran dan terjadi apnoe. Penderita kemudian akan megap-
megap kembali sampai beberapa menit, bahkan penderita dapat kejang. Penderita
kemudian dapat berakhir dengan henti napas dan jantung.

2.3.8 Dry Drowning


15-20% kematian akibat tenggelam merupakan dry drowning, yang mana
tidak disertai dengan aspirasi cairan. Kematian ini biasanya terjadi dengan sangat
mendadak dan tidak tampak adanya tanda-tanda perlawanan. Mekanisme kematian
yang pasti masih tetap spekulatif. Cairan yang mendadak masuk dapat
menyebabkan 2 macam mekanisme kematian:
15

1. Laringospasme yang akan menyebabkan asfiksia dan kematian


2. Mengaktifkan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi refleks vagal yang
akan mengakibatkan cardiac arrest.
Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning:
1. Intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal)
2. Penyakit yang telah ada, misalnya aterosklerosis
3. Kejadian tenggelam/terbenam secara tak terduga/mendadak
4. Ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi katekolamin,
disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabkan cardiac arrest.

2.4 Klasifikasi Tenggelam


2.4.1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam dibedakan
atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet drowning).2,7
1. Tipe kering (dry drowning),
Tenggelam tipe kering paling banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa
yang banyak dibawah pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif) atau alkohol, dimana
mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau usaha penyelamatan diri saat
tenggelam. Selain itu, air tidak teraspirasi masuk ke traktus respiratorius bawah atau
ke lambung. Kematian terjadi secara cepat, merupakan akibat dari refleks vagal
yang dapat menyebabkan henti jantung atau akibat dari spasme laring karena
masuknya air secara tiba-tiba ke dalam hidung dan traktus respiratorius bagian atas.
Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning seperti
intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal), adanya penyakit yang
sebelumnya (seperti aterosklerosis), kejadian tenggelam/terbenam secara tak
terduga/mendadak, ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi
katekolamin, disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabkan cardiac arrest).
2. Tipe basah (wet drowning)
Pada tenggelam tipe basah (wet drowning) terjadi aspirasi cairan. Aspirasi
1-3 ml/kgBB air akan signifikan dengan berkurangnya pertukaran udara. Aspirasi
air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru. Air tawar
16

bergerak dengan cepat ke membran kapiler alveoli. Surfaktan menjadi rusak


sehingga menyebabkan instabilitas alveoli, ateletaksis dan menurunnya
kemampuan paru untuk mengembang.
Pada wet drowning, yang mana terjadi inhalasi cairan, korban menahan
napas karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi megap-megap, dapat
terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung kemudian adanya laringospasme yang
diikuti dengan pemasukan air. Setelah itu, korban kehilangan kesadaran dan terjadi
apnoe. Penderita kemudian megap-mega kembali, bisa sampai beberapa menit
diikuti kejang-kejang. Penderita akhirnya mengalami henti napas dan jantung.

2.4.2 Berdasarkan Lokasi Tenggelam


Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka dapat
dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin.
1. Air tawar
Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar, sehingga terjadi
hemodilusi yang hebat sampai 72 persen yang berakibat terjadinya hemolisis. Oleh
karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana kalium dalam plasma
meningkat dan natrium berkurang, juga terjadi anoksia yang hebat pada
myocardium. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam pembuluh darah atau
sirkulasi, menjadi berlebihan, terjadi penurunan tekanan sistol dan dalam waktu
beberapa menit terjadi fibrilasi ventrikel. Jantung untuk beberapa saat masih
berdenyut dan lemah, terjadi anoksia cerebri tang hebat, hal yang menerangkan
mengapa kematian terjadi dengan cepat.1
2. Air asin
Pada tenggelam di air laut terjadi pertukaran elektrolit dari air asin ke darah
mengakibatkan peningkatan natrium plasma, air akan ditarik dari sirkulasi
pulmonal ke dalam jaringan intertisial paru yang akan menimbulkan edema pulmo
yang hebat dalam waktu yang singkat dan peningkatan hematokrit (hipovolemia).
Peningkatan viskositas darah (hemokonsentrasi) menyebabkan sirkulasi aliran
darah menjadi lambat dan anoksia pada miokardium yang menimbulkan payah
jantung dan kematian yang terjadi kurang lebih 8-9 menit setelah tenggelam.2
17

2.4.3. Klasifikasi lain


Klasifikasi tenggelam menurut Levin (1993) adalah sebagai berikut:9
1. Typical drowning
Keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat
korban tenggelam.
2. Atypical drowning
a. Dry Drowning
Keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang masuk ke
dalam saluran pernapasan.
b. Immersion Syndrome
Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba masuk ke dalam air dingin
( suhu < 20C ) yang menyebabkan terpicunya reflex vagal yang menyebabkan
apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan
menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral.
c. Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsi atau penyakit jantung,
hipertensi atau konsumsi alkohol yang mengalami trauma kepala saat masuk ke air
.
d. Delayed Dead
Keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam
setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.

2.5 Cara Kematian pada Korban Tenggelam


Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena:7
1. Kecelakaan
Peristiwa tenggelam karena kecelakaan sering terjadi karena korban jatuh
ke laut, danau, sungai. Pada anak-anak kecelakaan sering terjadi di kolam renang
atau galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab kecelakaan
antara lain karena mabuk atau serangan epilepsi.
18

2. Bunuh diri
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering kali terjadi.
Kadang - kadang tubuh pelaku diikat dengan pemberat agar supaya tubuh dapat
tenggelam dengan mudah.
3. Pembunuhan
Banyak cara yang digunakan misalnya dengan melemparkan korban ke laut
atau memasukkan kepala ke dalam bak berisi air.
Pada kasus korban tenggelam yang sudah membusuk, identifikasi amat
sukar atau sudah tidak diketahui tempat kejadiannya, tidak ada saksi, maka tak
dapat diklasifikasikan kecelakaan atau bunuh diri/pembunuhan.

2.6 Pemeriksaan Post mortem


Keadaan sekitar individu pada kasus tenggelam penting. Perlu diingat
adanya kemungkinan korban sudah meninggal sebelum masuk ke dalam air.
Tenggelam terjadi tidak hanya terbatas di dalam air dalam seperti laut, sungai,
danau atau kolam renang, tetapi mungkin pula terbenam dalam kubangan atau
selokan dengan hanya muka yang berada di bawah permukaan air.2
Bila mayat masih segar (belum terdapat pembusukan), maka diagnosis
kematian akibat tenggelam dapat ditegakkan melalui:2
a. Pemeriksaan luar
b. Pemeriksaan dalam
c. Pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan, destruksi jaringan, dan
berat jenis serta kadar elektrolit darah.

Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat tenggelam


dibuat berdasarkan adanya diatom pada paru, ginjal, oto skelet atau sumsum tulang.
Pada mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar mekanisme
kematian dapat ditentukan.2
Pemeriksaan mayat yang dilakukan harus seteliti mungkin agar mekanisme
kematian dapat ditentukan karena seringkali mayat ditemukan sudah membusuk.
Hal yang perlu diperhatikan adalah:2
19

1. Menentukan identitas korban


Identitas korban dapat ditentukan dengan memeriksa antara lain:
a. Pakaian dan benda-benda milik korban.
b. Warna, distribusi rambut, dan identitas lain.
c. Kelainan atau deformitas dan jaringan parut.
d. Sidik jari.
e. Pemeriksaan gigi.
f. Teknik identifikasi lain.
2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam
Pada mayat yang masih segar untuk menentukan korban masih hidup
atau sudah meninggal pada saat tenggelam dapat diketahui dari hasil
pemeriksaan
a. Metode yang digunakan apakah orang masih hidup saat tenggelam ialah
pemeriksaan diatom.
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar
elektrolit magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selam beberapa waktu dan mulai
membusuk. Demikian pula dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara
fisik dan kimia sama dengan air tempat korban tenggelam mempunyai nilai
yang bermakna.
e. Pada beberapa kasus, ditemukan kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan
bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam
air.

3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning


Pada mayat yang segar, gambaran pasca-mati dapat menunjukkan tipe
drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan
atau kekerasan lain. Pada kecelakaan di kolam renang benturan ante-
mortem (antemortem impact) pada tubuh bagian atas, misalnya memar
20

pada muka, perlukaan pada vertebra servikalis dan medula spinalis dapat
ditemukan.
4. Faktor- faktor yang berperan dalam proses kematian
Faktor- faktor yang berperan dalam dalam proses kematian,
misalnya kekerasan, alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada
pemeriksaan luar atau bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke
dalam saluran pernafasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban
ditemukan dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam di
tempat itu atau di tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian.
a. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada masuk ke dalam air.
Maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk ke
dalam saluran pernafasan (tenggelam). Pada kasus immersion, kematian
terjadi dengan cepat, hal ini mungkin disebbakan oleh sudden cardiac arrest
yang terjadi pada waktu cairan melalui saluran napas atas. Beberapa korban
yang terjun dengan kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah
masuk ke hidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-
kadang keracunan alkohol.
b. Bila tidak ditemukan air dalam paru- paru dan lambung, berarti kematian
terjadi seketika akibat spasme glotis yang menyebabkan cairan tidak dapat
masuk.
Korban yang tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama
makin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam 2-12 menit (fatal period).
Dalam periode ini, apabila korban dikeluarkan dari air, masih ada kemungkinan
dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.Waktu yang diperlukan untuk terbenam
dapat bervariasi tergantung dari keadaan sekeliling korban, keadaan masing-masing
korban, reaksi perorangan yang bersangkutan, keadaan kesehatan, dan jumlah serta
sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran pernapasan.12
21

2.5.1. Pemeriksaan Luar Jenazah


Pemeriksaan luar jenazah yang dapat dijadikan petunjuk pada mati
tenggelam di air laut maupun air tawar adalah:2,10,11,12
a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-
benda asing lain yang terdapat di dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam
dalam air.
b. Schaumfilz froth merupakan busa halus pada hidung dan mulut. Teori intravital
menyebutkan Schaumfilz sebagai bagian dari reaksi intravital. Pada waktu air
memasuki trakea, bronkus, dan saluran pernapasan lainnya, maka terjadi
pengeluaran sekret oleh saluran tersebut. Sekret ini akan terdorong keluar oleh
udara pernapasan sehingga berbentuk busa mukosa. Pendapat lain menyatakan
bahwa Schaumfilz merupakan reaksi pembusukan. Gejala ini biasanya tidak
ditemukan bila mayat diangkat. Busa yang ditemukan kadang disertai dengan
perdarahan.
c. Mata setengah terbuka atau tertutup. Jarang terjadi perdarahan atau bendungan.
d. Kutis anserina atau goose flesh merupakan reaksi intravital, jika kedinginan,
maka muskulus erektor pili akan berkontraksi dan pori-pori tampak lebih jelas.
Kutis anserina biasanya ditemukan pada kulit anterior tubuh terutama
ekstremitas. Gambaran seperti kutis anserina dapat juga terjadi karena rigor
mortis pada otot tersebut.
e. Washer womans hand. Telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan
berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke dalam kutis dan biasanya
membutuhkan waktu yang lama. Tanda ini tidak patognomomik karena mayat
yang lama dibuang ke dalam air akan terjadi keriput juga.
f. Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban
berusaha menyelamatkan diri dengan cara memegang apa saja yang terdapat
dalam air.
g. Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air. Luka lecet biasanya
dijumpai pada bagian menonjol, seperti kening, siku, lutut, punggung kaki atau
tangan. Puncak kepala mungkin terbentur pada dasar ketika terbenam, tetapi
dapat pula terjadi luka post-mortal akibat benda-benda atau binatang dalam air.
22

h. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia seperti sianosis, Tardieu spot.


Petekie dapat muncul pada kasus tenggelam, tetapi lebih sedikit daripada
gantung diri karena pada tenggelam tidak terjadi kematian secara mendadak
sehingga pecahnya kapiler tidak secara tiba-tiba atau hanya sedikit.
i. Penurunan suhu mayat

Gambar 1. Busa Bercampur Darah pada Hidung dan Mulut12

Pada mayat yang sudah membusuk, dapat ditemukan:


a. Mata melotot karena terbentuknya gas pembusukan.
b. Lidah tampak keluar karena gas pembusukan yang mendorong pangkal lidah.
Hal ini juga dapat terjadi pada mayat yang mengalami pembusukan di darat.
c. Muka menjadi hitam dan sembab yang disebut tite de negre (kepala orang
negro).
d. Pugilistic attitude
Posisi lutut dan siku sedemikian rupa sehingga kaki dan tangan tampak
membengkok (frog stand). Ini disebabkan cairan dan gas yang terbentuk pada
persendian.
23

e. Vena tampak jelas berwarna hijau sampai kehitam-hitaman karena terbentuk


FeS. Ini dapat juga terjadi pada orang yang mati di darat.
f. Pada laki-laki tampak skrotum membesar, mungkin terjadi prolaps atau adanya
gas pembusukan. Pada wanita hamil dapat keluar anak yang dikandung.
g. Bila lebih membusuk lagi, kulit ari akan mengelupas sehingga warna kulit tidak
jelas, rambut lepas.

2.5.2. Pemeriksaan Dalam


Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat ditemukan busa halus dan benda
asing, seperti pasir atau tumbuhan air, dalam saluran pernapasan.2
Pada korban tenggelam di air tawar biasanya ditemukan dalam keadaan
besar atau menggelembung tetapi ringan, dan pinggir depan biasanya overlap di
depan hati. Namun, dapat ditemukan paru-paru yang biasa karena cairan tidak
masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke aliran darah (melalui proses
imbibisi). Paru berwarna merah jambu pucat dan dapat mengalami emfisema.
Ketika paru tersebut dipindahkan dari dada, paru tetap mempertahankan bentuk
normalnya dan cenderung tidak kolaps. Ketika memotong paru yang mengalami
emfisema kering akan terdengar bunyi krepitasi yang mudah dinilai. Setelah
dipotong, masing-masing bagian paru mempertahankan bentuk normalnya seperti
sebelum dipotong dan cenderung berdiri tegak. Ketika jaringan dipotong dan
ditekan antara ibu jari dan keempat jari lainnya terdapat sedikit buih dan tidak ada
cairan dan gas, kecuali jika terdapat edema. Dengan demikian, paru tetap kering
pada kasus tenggelam di air tawar.2
Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar
seperti balon, lebih berat, sampai menutupi jantung.2 Pada pengirisan terdapat
banyak cairan, beratnya kadang melebihi 2.000 gram. Karena paru sangat edema
maka tepi depan paru overlap di depan mediastinum sehingga berbentuk seperti
cetakan iga. Paru berwarna keunguan atau kebiruan dengan permukaan mengkilap.
Paru lembab dan konsistensinya seperti agar-agar dan hilang dengan penekanan.
Ketika paru dipindahkan dari tubuh dan ditempatkan pada meja pemotongan, paru
tidak mempertahankan bentuk normalnya tapi cenderung datar. Ketika dipotong,
24

tidak ada suara krepitasi yang terdengar dan bahkan tanpa penekanan jaringan
mengeluarkan banyak cairan. Jaringan paru ditekan maka akan ditemukan paru
dipenuhi cairan. Dengan demikian kasus tenggelam di air laut paru mengalami
lembab dan basah.2,11
Petekie yang sangat sedikit dapat ditemukan karena kapiler terjepit di antara
septum inter alveolar. Dapat ditemukan bercak-bercak perdarahan yang disebut
bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin). Petekie subpleura dan
bula emfisema jarang ditemukan dan bukan merupakan tanda khas tenggelam,
tetapi sebagai usaha respirasi.2
Sedangkan untuk mengetahui benda-benda air yang masuk ke saluran
pernafasan dapat dibuktikan dengan membuka saliran pernafasan dari trakea,
bronkus sampai percabangan bronkus di hilus. Jika dari pemeriksaan ditemukan
benda-benda air seperti pasir, kerikil, lumpur, tumbuhan air dan lain-lain maka
dapat dipastikan bahwa korban masih hidup sebelum tenggelam.2
Organ lain seperti otak, ginjal, hati, dan limpa dapat mengalami
pembendungan. Lambung dan usus halus dapat sangat membesar, berisi air dan
lumpur.2

2.5.3. Pemeriksaan Laboratorium


1. Pemeriksaan diatom
Diatom merupakan alga (ganggang) bersel satu dengan dinding sel yang
terbuat dari silikat yang tahan panas dan asam kuat. Diatom dapat ditemukan dalam
air tawar, air laut, air sungai, air sumur, dan udara. Diatom dan elemen plankton
lain masuk ke dalam saluran pernapasan atau pencernaan ketika seseorang
tenggelam menelan air. Kemudian diatom akan masuk ke dalam aliran darah
melalui kerusakan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar ke
seluruh jaringan. Di sisi lain, jika sebuah mayat ditenggelamkan dalam air
meskipun diatom dapat masuk ke dalam paru-paru secara pasif, tidak ada aliran
sirkulasi darah yang mungkin terjadi, sehingga (secara teori) tidak mungkin ada
diatom yang dapat ditemukan pada organ-organ dalam yang lebih jauh.2
25

Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat
telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet
atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang
bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal dari saluran pencernaan
terhadap air minum atau makanan.2
Pemeriksaan diatom dengan metode destruksi (digesti asam) pada paru
dilakukan dengan mengambil dari jaringan perifer paru sebanyak 100 gram,
masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai jaringan
paru terendam, diamkan lebih kurang setengah hari agar jaringan hancur. Kemudian
dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam nitrat pekat sampai
terbentuk cairan jernih, dinginkan dan cairan dipusing dalam centrifuge.2
Sedimen yang terbentuk ditambahkan dengan akuades, pusingkan kembali
dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada
jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau per 10-20 per satu
sediaan atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu.2
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan getah paru dengan cara permukaan
paru disiram dengan air bersih, lalu iris bagian perifer, ambil sedikit cairan perasan
dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek, tutup dengan kaca penutup dan
lihat dengan mikroskop. Selain diatom dapat pula terlihat ganggang atau tumbuhan
jenis lainnya.2
26

Gambar 1. Prinsip Tes Diatom11


Menurut Simpson, bahwa tes diatom terkadang negatif, bahkan pada kasus-
kasus yang jelas-jelas tenggelam pada air yang banyak diatom dan telah banyak
hasil positif palsu yang dikatakan terjadi karena alasan teknis dari karena itu tes ini
jadi sangat tidak realibel sehingga teknik ini seharusnya dilakukan dan hasilnya
diinterpretasikan dengan pertimbangan keadaan lain.12

2. Pemeriksaan Elektrolit
Pada tahun 1921 Gettler mengemukakan bahwa penentuan ada tidaknya
klorida pada darah yang berasal dari ruang-ruang jantung adalah salah satu tes yang
baik yang dapat digunakan dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Banyak dari
peneliti telah mengemukakan pandangan-pandangan yang berbeda tentang validitas
studi klorida dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Pada tahun 1944 Moritz dan
mengungkapkan pandangan bahwa perbedaan kadar klorida pada sampel darah
yang berasal dari ventrikel jantung kanan dan kiri dapat bernilai diagnostik hanya
jika analisa yang dilakukan adalah segera setelah terjadinya kematian. Dia
27

menetapkan bahwa perbedaan kadar klorida sekitar 17 mEq/L atau lebih pada kasus
tenggelam di air tawar dapat ditetapkan sebagai pendukung penegakan diagnosis
tenggelam.11
Menurut Gettler, pada kasus tenggelam di air tawar, kadar serum klorida
di darah yang berasal dari jantung kiri lebih rendah dari jantung sebelah kanan.
Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya.2,10
Selain itu, tes lain, tes Durlacher juga dapat digunakan untuk menentukan
diagnosis selain tes Gettler. Tes Durlacher digunakan untuk menentukan perbedaan
dari berat jenis plasma dari jantung kanan dan kiri. Bila pada pemeriksaan
ditemukan berat jenis jantung kiri lebih tinggi dibandingkan dengan jantung kanan,
maka dapat diasumsikan bahwa korban meninggal akibat tenggelam.2,10

Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat menyokong diagnosis,


walaupun secara tersendiri kurang bermakna.2,12
Ketika air tawar memasuki paru-paru, natrium plasma turun dan kalium
plasma meningkat, sedangkan pada inhalasi air asin, natrium plasma meningkat
cukup tinggi dan kalium hanya meningkat ringan. Pada tenggelam pada air tawar,
konsentrasi natrium serum dalam darah dari ventrikel kiri lebih rendah
dibandingkan ventrikel kanan. Namun, angka ini dapat bervariasi, ini disebabkan
ketika post mortem dimulai maka difusi cairan dapat mengubah tingkat natrium dan
kalium yang sebenarnya. Oleh karena itu Simpson berpendapat bahwa analisis dari
kadar Na, Cl dan Mg telah dipergunakan, tetapi hasilnya terlalu beragam untuk
digunakan didalam praktek sehari-hari.2,12
28

BAB 3
KESIMPULAN

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi


cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke
dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan
gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian.
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat
spasme laring, asfiksia karena gagging dan choking, refleks vagal, fibrilasi ventrikel
(air tawar), dan edema pulmoner (dalam air asin)
Pada peristiwa tenggelam di air tawar, terjadi hemolisis dan hemodilusi
sehingga menyebabkan hiperkalemia. Kematian terjadi karena fibrilasi ventrikel.
Pada peristiwa tenggelam di air asin, karena konsentrasi elektrolit air asin lebih
tinggi daripada plasma, air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan
interstitial paru yang akan menimbulkan edema paru, hemokonsentrasi, dan
hipovolemia.
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam dibedakan
atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet drowning). Jika
ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka dapat dibedakan
menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin.
Diagnosis kematian akibat tenggelam dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan laboratorium berupa histologi
jaringan, destruksi jaringan, dan berat jenis serta kadar elektrolit darah.
Pada pemeriksaan luar, dapat ditemukan Schaumfilz froth, kutis anserina,
washer womans hand, cadaveric spasm, tanda-tanda asfiksia seperti sianosis dan
petekie. Kemudian dapat juga dijumpai luka lecet dan penurunan suhu mayat
Pada pemeriksaan dalam, paru tetap kering pada kasus tenggelam di air
tawar. Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar.
Petekie juga dapat dijumpai. Organ lain dapat mengalami pembendungan.
29

DAFTAR PUSTAKA

1. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa


Aksara. 137-147.
2. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia
Mekanik, Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.
3. WHO. 2013. Drowning. Available from:
http://www.who.int/violence_injury_prevention/other_injury/drowning/en/
[Accessed 23 September 2017].
4. Sheperd R, Simpsons Forensic Medicine, 12th Ed, Oxford University Press,
New York, 1996, 104-106.
5. Wilianto W. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam (Review).
Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia 2012;14(3): 39-46.
6. Onyekwelu E. Drowning and Near Drowning. Internet Journal of Health 2008
8(2).
7. Dahlan S. 2000. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
8. Cantwell PG, Verive MJ, Shoff WH, Norris RL, Talavera F, Lang ES, et al.
2013. Drowning. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/772753-overview. [Accessed 21
September 2017].
9. Levin DL, Morriss FC, Toro LO, Brink LW and Turner GR. Drowning and
near-drowning. Pediatr Clin of North Am 1993; 40(2): 321.
10. Abraham S, Arif Rahman S, Bambang PN, Gatot S, Intarniati, Pranarka K, et
al. 2009. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 16-24.
11. Sauko P, Bernard K. 2004. Knights Forensic Pathology, 3rd Ed. London:
Oxford University Press, 393-398.
12. Shepherd R. 2003. Simpsons Forensic Medicine, 12th ed. New York: Oxford
University Press, 104-106.

Anda mungkin juga menyukai