(BAGIAN KEDUA)
Disusun oleh :
Noviasti NF 1201411005
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
RUMUSAN MASALAH
Pola Penguasaan Tanah, Salah Satu Dasar dalam Stratifikasi Sosial : Suatu Analisa
Sosiologis
PEMBAHASAN
BAB II
PEMBAHASAN
Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa apabila ditelaah perihal istilah kelas sebagaimana
yang dipergunakan dalam teori Marxisme , istilah tersebut dipergunakan hanya dalam rangka
ekonomis saja . Walaupun adanya kelas-kelas tersebut berpengaruh besar pada kehidupan
social , politik, dan kebudayaan pada umumnya masyarakat. Kelas menurut Marxisme, pada
pokoknya ada dalam masyarakat , yaitu kelas yang memiliki tanah atau alat-alat produksi
lainnya dan kelas yang tidak mempunyai tanah serta hanya memiliki tenaga untuk
disumbangkan dalam proses produksi.
Perbedaan lain dalam teori tentang adanya kelas dalam masyarakat yang dipergunakan
dalam ilmu sosiologi dan dalam Marxisme, adalah mengenai hubungan antar kelas yang
tidak selalu harus bertentangan sedangkan kelas dalam arti Marxisme senantiasa berada
dalam pertentangan untuk berebut kekuasaan. Perbedaan yang lain dalam teori sosiologi
adanya kelas-kelas yang sosiologi akan senantiasa ada sepanjang masa didalam tiap-tiap
masyarakat yang hidup teratur, sedangkan teori marxisme meramalkan akan terbentuknuya
suatu masyarakat dimana semua kelas dalam arti marxistis akan lenyap dengan sendirinya
sehingga terjadilah suatu class less society .
Ogburn dan Nimhoff menunjuk kepada beberapa criteria yang tradisional yaitu :
Kelanggengan
Antagonisme tertentu
Pola Penguasaan Tanah, Salah satu Dasar dalam Stratifikasi Sosial : Suatu Analisa
Sosiologis
Dipedesaan Indonesia , atas dasar hak milik atas tanah, pelaku pertanian tahun
1976 dapat digolongkan atas tiga lapisan sebagai berikut :
Lembaga sewa atau bagi hasil memang ternyata membuat penguasaan tanah lebih
merata , tetapi bagi golongan lebih lemah ada biayanya : sebagian hasil curahan
keringat penggarap beralih tangan kepada golongan lebih kuat, sehingga pola distribusi
pendapatan dari pertanian dan begitu pula pendapatan dari semua sumber dapat menjadi
kurang merata . Pola inilah yang menurut Sajogyo , mencirikan perekonomiam pedsaan
Jawa, dimana menurut data Gini Ratio pola penguasaan tanah (1973) kurang timpang
dibandingkan pola distribus pendapatan tahun 1976 . Perlu diketahui bahwa angka Gini
Ratio lebih dari 0,5 sudah tergolong timpang , makin dkat ke angka 1,0 (batas atas)
makin timpang.
Gambaran secara umum tentang laju perbaikan tingkat hidup rumah tangga di
Indonesia dapat diperoleh dari data pengeluaran rumah tangga hasil SUSENAS. (tahun
1970 sampai 1980)
Di Pedesaan Jawa , golongan miskin menurun dari 39,5% menjadi 27,5%, di
peddesaan luar jawa dari 27,8% menjadi tinggal 9,9% .
Di kota jawa , golongan miskin menurun dari 43,7% manjadi 24,0% dan di luar kota
jawa dari 39,0% menjadi 12,0% .
Menurut Sajogyo, di dalam proses perekonomian , desa makin jauh terlibat dalam
ekonomi pasar maka makin nyata pemerintah desa tak berdaya dalam menahan
proses polarisasi dalam pemilikan tanah.
Jual beli milik tanah terjadi bebas , begitu pula pasaran sewa tanah dan pasaran bagi hasil
yang mencakup ceblokan dimana penggarap statusnya mirip buruhtani saja. Ekonomi
pasaranlah yang menang dengan segala akibatnya bagi si lemah , petani sempit, kurang modal
dan buruhtani tak bertanah. Kepala desa mendapat upah dari setiap transaksi jual-beli atas tanah
di desa sedang seorang Camat resmi adalah pembuat akta tanah. Dengan demikian , kedua
pejabat kunci itu memperlancar proses perluasan pasaran tanah di desa.
Sedangkan di desa yang terdapat di luar pulau, dimana pertanian berladang adalah pola
asli dan tanah ulayat menjadi pengakuan suatu satuan hukum adat , ketentuan UU Pemerintahan
desa yang secara de facto telah dirintis oleh Inpres Bantuan Desa, akan berakibat jauh seperti
berikut :
Tak ada ketentuan bagaimana sekian banyak satuan kampong kecil itu mewarisi hak
pengakuan atass tanah ulayat yang semula ada pada satuan hokum yang lebih besar .
Ketentuan baru itu juga belum memperhitungkan berbagai hak pungutan yang pernah ada
pada satuan adat lama. Sampai manakah pewarisan hak itu dapat diatur pembagiannya
diantara sekian banyak kampung kecil yang massing-masing menjadi desa .
Dalam satu hal menurut Sajogyo, adalah penting sebenarnya pengakuan resmi Negara
atas adanya hak ulayat pada satuan adat wilayah pola berladang berpindah-pindah itu .
Dampak Positif
Pengaruh baik yang akan dibawa dari adanya sistem stratifikasi sosial ini adalah
motivasi, yaitu adanya dorongan baik dari dalam maupun dari luar diri seseorang untuk
mengejar ketinggalan, untuk melakukan mobilitas sosial sehingga dia bisa menduduk
status sosial yang pantas.
selain itu pengaruh baik dari stratifikasi sosial adalah perubahan sosial menuju arah yang
lebih baik dapat berlangsung lebih cepat dikarenakan telah adanya motivasi untuk
memperbaiki hidup. dimana akan semakin tercipta sumber daya manusia yang berkualitas
kemudian dengan adanya strafikasi sosial maka setiap orang telah memiliki peranan
sendiri sehingga sudah sadar akan hak dan kewajiban masing-masing sehingga tidak
terjadi pencampuran peranan sosial dan terciptanya ketertiban sosial
Dampak Negatif
Pengaruh buruk dari stratifikasi sosial ini adalah munculnya eksklusivitas dimana
eksklusivitas adalah cara pandang yang menganggap diri sendiri sebagai sosok yang
terbaik dan spesial sehingga cenderung menganggap remeh orang lain, sikap ini dapat
kita lihat dimana muculnya golongan elit
Pengaruh buruk lainnya dari stratifikasi sosial ini adalah munculnya sikap etnosentrisme
yang dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi
social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas
akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah
dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi social rendah.
Pengaruh buruk yang paling utama dalam stratifikasi sosial adalah munculnya konflik
yang bisa dibagi menjadi konflik antar kelas sosial, konflik antar kelompok sosial, serta
konflik antar generasi. konflik merupakan hasil dari kecemburuan hati dan rasa tidak
puas pada apa yang telah terjadi
DAFTAR PUSTAKA
Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin stratum (tunggal)
atau strata (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat
diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat.
a. Pitirim A. Sorokin
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-
kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki).
b. Max Weber
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu
sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege
dan prestise.
c. Cuber
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-
hak yang berbeda.
Pengelompokan secara vertikal Berdasarkan posisi, status, kelebihan yang dimiliki, sesuatu yang
dihargai.Distribusi hak dan wewenang Kriteria ekonomi, pendidikan, kekuasaan, kehormatan
SEBAB-SEBAB TERJADINYA STRATIFIKASI SOSIAL
Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan,
kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia
membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan
menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan
masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau
lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki
sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.
Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat/ketua atau pemimpin pasti menempati lapisan
yang tinggi daripada sebagai anggota masyarakat yang tidak mempunyai tugas apa-apa. Karena
penghargaan terhadap jasa atau pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada posisi yang
tinggi, misalnya pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Dapat juga karena keahlian dan
ketrampilan seseorang dalam pekerjaan tertentu dia menduduki posisi tinggi jika dibandingkan
dengan pekerja yang tidak mempunyai ketrampilan apapun.
a. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya,
kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam
masyarakat.
b. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan
wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti : pemerintahan, partai politik,
perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata.
Kriteria atau ukuran yang umumnya digunakan untuk mengelompokkan para anggota
masyarakat ke dalam suatu lapisan tertentu adalah sebagai berikut :
a. Kekayaan
Kekayaan atau sering juga disebut ukuran ekonomi. Orang yang memiliki harta benda berlimpah
(kaya) akan lebih dihargai dan dihormati daripada orang yang miskin.
b. Kekuasaan
Kekuasaan dipengaruhi oleh kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat. Seorang yang
memiliki kekuasaan dan wewenang besar akan menempati lapisan sosial atas, sebaliknya orang
yang tidak mempunyai kekuasaan berada di lapisan bawah.
c. Keturunan
Ukuran keturunan terlepas dari ukuran kekayaan atau kekuasaan. Keturunan yang dimaksud
adalah keturunan berdasarkan golongan kebangsawanan atau kehormatan. Kaum bangsawan
akan menempati lapisan atas seperti gelar :
Seseorang yang berpendidikan tinggi dan meraih gelar kesarjanaan atau yang memiliki
keahlian/profesional dipandang berkedudukan lebih tinggi, jika dibandingkan orang
berpendidikan rendah. Status seseorang juga ditentukan dalam penguasaan pengetahuan lain,
misalnya pengetahuan agama, ketrampilan khusus, kesaktian, dsb.
Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedak menjadi sistem
pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.
Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas
vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja.
Contoh:
- Sistem kasta. Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.
- Rasialis. Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di
posisi kulit putih.
Stratifikasi ini bersifatdinamis karenamobilitasnya sangatbesar. Setiap anggota strata dapat bebas
melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal.
Contoh:
- Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperolehpendidikan asal ada niat dan
usaha.
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka.
Misalnya,seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun
apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus
menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
b. Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang diciptakan masyarakat yang menyangkut
prestise dan penghargaan, misalnya pada seseorang yangmenerima anugerah penghargaan/ gelar/
kebangsawanan, dan sebagainya.
d. Penentu lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan, seperti tingkah\ laku, cara
berpakaian dan bentuk rumah.
f. Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok yang menduduki sistem sosial yang
sama dalam masyarakat.