Anda di halaman 1dari 100

KEJANG PADA EPILEPSI

PENDAHULUAN

Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti

diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus

ditegakkan dulu (Mardjono 2003). Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat

dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan

diagnosis epilepsi yang tepat pula (Oguni 2004). Diagnosis epilepsi berdasarkan atas

gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya

berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru

informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien

maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian

baru dilakukan pemeriksaan fisik & neurologi . Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi

telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis

dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom

epilepsi.(Anonymous 2003). Tujuan penulisan makalah ini adalah membahas bagaimana

cara-cara menentukan diagnosis epilepsi yang baik dan cermat.

DIAGNOSIS AWAL.

Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang atau

bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik

dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui

1
alamat Korespondensi. Dr. Utoyo Sunaryo Sp.S RSUD Dr. Mohammad Saleh, Jalan

Mayjen Panjaitan 65 Kota Probolinggo Telp : 0335-433119, fax : 0335-432702.

serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk

menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu

berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya

dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus,

dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien (Ahmed, Spencer

2004, Mardjono 2003).

Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi 1993,

Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).

1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia

serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan

kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada

masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang

umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70

tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai

kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.

2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada

waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang

dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan aura

dimana suatu aura itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana

berarti ada fokus di otak. Sebagian aura dapat membantu dimana letak lokasi

2
serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan

adanya dj vu dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen

yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan

sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada

serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan aura hal ini disebabkan

terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika aura dilaporkan oleh

pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang

patologis.

3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan

dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak

dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan

saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi

mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala

aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat

berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip

berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan automatism

pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah

lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari

lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah

kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering

tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan

kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang

3
berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin

kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai

pada serangan kejang parsial kompleks.

4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode

sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah post ictal

period Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu

tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap

sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks.

Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut Todds Paralysis

yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak

disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer

dominan. Pada Absens khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan

kejang.

5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik

klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi

hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan

serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.

6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena

kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang

tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional,

panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, drug abuse, reading

& eating epilepsy. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling

4
dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan

kejang.

7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk

mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti

kejang .

8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini

mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti

kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang

digunakan spesifik bermanfaat ?

9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan

tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis

serangan kejang secara lengkap.

10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?

Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat

serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak ada cukup waktu

untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang

atau mungkin ada aura , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat

dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.

11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan

mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat

mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin

5
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum

obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

Riwayat medik dahulu.

Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang

berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang

dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan

selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).

1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses

persalinannya?

2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau respiratory distress?

3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan

kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13

%.

5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis?

atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan

kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.

6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan

intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?

7. Apakah ada riwayat tumor otak?

8. Apakah ada riwayat stroke?

6
Riwayat sosial.

Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini

penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi

(Ahmed, Spencer 2004).

1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi

mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola

dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan

masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien

tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.

2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang

seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan

produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu.

Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh

dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien

sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas -

tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian

konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan

penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak

membahayakan dirinya.

3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi

yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran

sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa

7
membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa negara

mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan

kendaraan bermotor.

4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan

kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya

diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti

epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila

pasien juga menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan

fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan

seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya neural tube defects

pada bayinya.

5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya

serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol.

Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan

ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .

Riwayat keluarga.

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom

epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik

dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic

epilepsy (JME), familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy dan

8
sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed,

Spencer 2004).

Riwayat allergi.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan

apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila

terdapat semacam rash perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif

yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang

sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat pengobatan.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan

bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama

sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed,

Spencer 2004)

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.

Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan

penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed, Spencer

2004)

9
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan

menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia

lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya

penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali

serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan

kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan

kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti caf au lait

spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis, Ash leaf spots , shahgreen

patches , subungual fibromas , adenoma sebaceum pada tuberosclerosis, port -

wine stain ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat

apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang

berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat

serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh

karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang dapat

terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004,

Harsono 2001, Oguni 2004).

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait , koordinasi, saraf

kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi

seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema

10
mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang

terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari

obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin

terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar

mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus

yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral

automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral

sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus

temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan

2000).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM.

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat

mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan

glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen , kreatinin dan test fungsi hepar

mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi

serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse (Ahmed,

Spencer 2004, Oguni 2004).

PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman

11
pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan

hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting

untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan,

Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)

1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien

dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan

EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis

serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.

2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform

pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi.

Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz spike-wave complexes

adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.

3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat

menjelaskan manifestasi klinis daripadaaura maupun jenis serangan kejang.

Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan

dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam

menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan

epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila

dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %.

Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal,

12
sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting

sekali.

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya

epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang

normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk

menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.

3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin

saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien

epilepsi anak.

4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan

epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform

difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk

menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau

serangan kejang umum.

PEMERIKSAAN VIDEO-EEG

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis

epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada

pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau

juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi

pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah

serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman

13
dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman

dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan

2000, Stefan, 2003).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance

Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural

diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)

Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)

- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan

struktural di otak.

- Perubahan serangan kejang.

- Ada defisit neurologis fokal.

- Serangan kejang parsial.

- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

- Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian

pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi

dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena

dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan

hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan

terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2

14
weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital

(Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).

PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya

memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan

pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan

epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).

ETIOLOGI (Anonymous 2003, Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)

1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,

penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai

inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi

genetik.

2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.

Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang

mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma

West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis

berupa ensefalopati difus.

3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang

mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan

15
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh

darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan

neurodegeneratif.

KLASIFIKASI ILAE 1981

Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna

2005).

Serangan parsial

Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).

- Motorik

- Sensorik

- Otonom

- Psikis

Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.

- Gangguan kesadaran saat awal serangan.

Serangan umum sekunder

- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.

- Parsial kompleks menjadi tonik klonik

- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.

Serangan umum.

- Absans (lena)

16
- Mioklonik

- Klonik

- Tonik

- Atonik.

Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003)

Berkaitan dengan letak fokus

Idiopatik (primer)

- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik

benigna)

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

- Primary reading epilepsy.

Simptomatik (sekunder)

- Lobus temporalis

- Lobus frontalis

- Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis

- Kronik progesif parsialis kontinua

Kriptogenik

Umum

Idiopatik (primer)

17
- Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

- Epilepsi absans pada anak

- Epilepsi absans pada remaja

- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.

- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.

Kriptogenik atau simptomatik.

- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).

- Sindroma Lennox Gastaut.

- Epilepsi mioklonik astatik

- Epilepsi absans mioklonik

Simptomatik

- Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik neonatal

- Sindrom Ohtahara

- Etiologi / sindrom spesifik.

- Malformasi serebral.

- Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.

Serangan umum dan fokal

18
- Serangan neonatal

- Epilepsi mioklonik berat pada bayi

- Sindroma Taissinare

- Sindroma Landau Kleffner

Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

Epilepsi berkaitan dengan situasi

- Kejang demam

- Berkaitan dengan alkohol

- Berkaitan dengan obat-obatan

- Eklampsi.

- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

KESIMPULAN

Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi

secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan

mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadi

pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat

dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,

pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi

tertentu diperlukan pemeriksaan melalui video-EEG.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for

Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.

Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24

Duncan R : Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from :

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E

Duncan.pdf.

Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP

Semarang : 55-63.

Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.

Kirkpatrick M : Diagnosis of Epilepsy in Children, available from :

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F

Kirkpatrick.pdf.

Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana

Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.

Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya

dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor);

129-148.

Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16

Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10:

30-35.

20
Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,

Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.

Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic

Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European

Federation of Neurological Societies, Helsinki.

21
KEJANG PADA TETANUS

A. Definisi tetanus

Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan

neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot disebabkan oleh

eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat

beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus

generalisata dan gangguan neurologis lokal.( Harrisons 2008. Jong, de Wim2005)

B. Mikrobiologi

Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat

dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi

dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Kuman ini mudah dikenal

karena pembentukan spora yang khas, ujung sel menyerupai ujung tongkat

pemukul gendering atau raket squash. Clostridium tetani merupakan bakteri gram

positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob obligat

yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval,

menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun

pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari, spora ini terdapat pada tanah

debu serta tahan terhadap pemanasan 1000C, dan bahkan pada otoklaf 1200C selama 15-

22
20 mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses

manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi dalam bentuk vegetatifnya.

dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.

tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai

tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai

berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya

ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perlepasan

neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam
( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006.
amino dari dua toksin tetanus secara parsial bersifat homolog.
Emedicine 2008. blog-indonesia 2009.)

Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, tetanolysin dan tetanospasmin.

Fungsi tetanolysin tidak diketahui dengan pasti. Tetanospasmin adalah neurotoksin dan

menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin adalah

salah satu toksin yang paling kuat dikenal. Perkiraan dosis mematikan manusia

minimum adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan manusia.

C. Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,

individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara

adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,

tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.

23
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua

kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000

(85%). Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan

menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di

perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian

tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9

tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi

Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti

luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dakam rumah atau

selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang

menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tetapi dapat juga berupa luka kecil,

sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus pasien

tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka

bakar, infeksi teling tengah, pembedahan, aborsi, dan persalinan. Resiko terjadinya

tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas terhadap

antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa

secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat di atas 6 tahun terlindungi terhadap

tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun

dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia di atas 70 tahun (pria 45%,

wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat. ( Sudoyo, Aru. W 2006. Emedicine 2008.)

D. Patogenesis

24
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk

vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang

rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk

manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada

sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari

tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside

dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior

sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.

Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan

saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik

sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga

terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman

atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi

kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan

mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai

mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga

berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika,

hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi,

gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat

gangguan saraf otonom. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. Emedicine 2008. blog-indonesia 2009.)

25
Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin

mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai

gnada dengan berat 150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da)

dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap

protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang

menghubungkan dua rantai ini. Ujung karbooksil dari rantai berat terikat pada membran

saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan

bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang

dipengarugi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya

dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika

otkisn yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi

untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar

ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. blog-indonesia 2009.)

Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf

otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk

dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal

terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih

jauh terjadi dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme

yang tidak jelas. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. blog-indonesia 2009.)

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang

menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai

ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neuritransmiter.

26
Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel

intraseluler yang mengandung neuritransmiter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan

metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga

mencegahperlepasan neurotrnasmiter. (Sudoyo, Aru. W 2006)

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin

menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan

neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang

menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron

motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu(karena jalur yang lebih panjang) neuron

simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi.

Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke

dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin

botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek

disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada

ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi.

Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek

prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua

spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus

sefalik, myopati yang terjadi setelah pemulihan.( Sudoyo, Aru. W 2006)

Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan

menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi.

Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan

27
antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat

fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali

karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan

otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. (Sudoyo, Aru. W 2006)

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol

otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang

berlebihan, Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Penulihan membutuhkan

tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.

Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan

yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka

memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal:

sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf

pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf,

serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini

menjelaskan urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada

tetanus generalisata. (Sudoyo, Aru. W 2006)

E. Manifestasi klinis

Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu,

kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat

dengan masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang

telah mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat

28
luka yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul

tetanus local tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut

saraf kepala yang terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus

memperhatikan apabila adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala

tetanus. Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan

terasa oleh pasien adalah kaku otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka

mulut (trismus) selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku

leher dan kaku punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus

sardonikus karena kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita

terganggu dengan proses menelan ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. Jong, de Wim2005)

Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada

umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang

merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena

rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium

tidak terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena

merasa nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang

menyebabkan anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus

merupakan kombinasi berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi

sekunder di paru yang menyebabkan kegagalan pernapasan serta gangguan

keseimbagan cairan dan elektrolit. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. Jong, de Wim2005)

Tetanus generalisata

29
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang

ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi

bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median

onset setelah trauma adalah 7 hari. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006)

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi

otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering

merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang

terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan

ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan

menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat

berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher

menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan opistotonus dan gangguan

respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam

meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran

tidak terpengaruh. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006)

Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.

Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,

stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi

berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga

menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus

menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas.

Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme

30
faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya

aspirasi dan obsktruki jalan napas akut yang mengancam nyawa.

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di

seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali

terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh

tubuh. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal

dijmpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah

berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang

berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi

gambaran klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum

terjadi dan mortalitasnya tinggi.

Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak

nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,

bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat

perubahan resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan

kekuatan jantung. Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain

mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare,

dan gagal ginjal curah tunggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan

gangguan otonomik. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006.)

Tetanus neonatorum

31
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal

apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari

ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan

tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong

umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan

ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara

neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang

bertahan hidup. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006.)

Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya

terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran

toksin pada tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan

dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat

terjadi. Namun demikian secara umum prognosismya baik. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006.)

Tetanus sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi

setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus

dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia
( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W
dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
2006.)

32
F. Perjalanan klinis

Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus

neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari.
(www.emedicine.com)
. Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)

rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama

dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih

pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama

ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik

biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu.

Spasme berkurang setelag 2-3 minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama.

Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran

toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu samapi 4 minggu. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006.)

G. Derajat keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Philsips, Dakar,

Udwadia) yang dilaporkan. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)

Tabel 1.1 Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips)

Variable Tolak ukur Nilai


Masa inkubasi < 48 jam 5

2- 5 hari 4

6- 10 hari 3

11-14 hari 2

33
14 hari 1
Lokasi infeksi Internal/umbilical 5

Leher, kepala, dinding tubuh 4

Ekstremitas proksimal 3

Ekstremitas distal 2

Tidak diketahui 1
Imunisasi Tidak ada 10

Mungkin ada/ibu dapat 8

>10 tahun lalu 4

<10 tahun lalu 2

Proteksi lengkap 0
Faktor pemberat Penyakit trauma 10

Membahayakan jiwa 8

Keadaan yang tidak langsung 4

Berbahaya 2

Keadaan tidak berbahaya 1

Trauma/penyakit ringan 0

Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa inkubasi,

port d entree, status imunologi, dan faktor yang memberatkan. Berdasarkan jumlah

angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan

(angka < 9), tetanus sedang (angka 9-16), dan tetanus berat (angka > 16). Tetanus ringan

dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan

34
pengobatan baku, sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.
(Jong, de Wim2005)

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:

DERAJAT I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spasitisitas generalisata, tanpa

gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

DERAJAT II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang tampak jalas, spasme singkat

sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30

kali per menit, disfagia ringan.

DERAJAT III (berat) : Trismus berat, spasitisitas generalisata, spasme reflek

berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40 kali per menit, serangan apnea,

disfagia berat, dan takikardi ( lebih dari 120 kali per menit).

DERAJAT IV (sangat berat) : Derajat III dengan gangguan otonomik berat, melibatkan

sistem kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardi terjadi berselingan dengan

hipotensi dan bradikardi, salah satunya dapat menetap. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)

H. Komplikasi

Laryngospasm (spasme pita suara) dan / atau kejang otot-otot respirasi menyebabkan

gangguan bernapas. Patah tulang belakang atau tulang panjangyang diakibatkan dari

kontraksi dan kejang-kejang. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat mengakibatkan

hipertensi dan / atau irama jantung yang abnormal. Infeksi nosokomial karena perawatn

35
di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Infeksi sekunder dapat mencakup sepsis,

didapatkan dari pemasangan kateter, pneumonia dan ulkus decubitus. (www.emedicine.com)

Tabel 1.2 Komplikasi-komplikasi tetanus5

Sistem Komplikasi
Jalan napas Aspirasi

Laringospasme/obstruksi

Obstruksi berkaitan dengan sedatif


Respirasi Apne

Hipoksia

Gagal nafas

ARDS

Komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)


Kardiovaskuler Takikardia, hipertensi, iskemia

Hipotensi, bradikardia

Asistol, gagal jantung


Ginjal High output renal failure

Gagal ginjal oligouria

Stasis urin dan infeksi


Gastrointestinal Stasis gaster

Ileus

Diare

Perdarahan
Lain-lain Penurunan berat badan

Tromboembolus

36
Sepsis dengan gagal organ multipel

Fraktur vertebra selama spasme

Ruptur tendon akibat spasme


I. Diagnosis

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin

apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin

ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang

dicurigai tetanus. Namun demikian, Clostridium tetani dapat diisolasi dari luka pasien

tanpa tetanus sering tidak ditemukan dari pasien tetanus, kultur yang positif bukan

merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan

tetanus. Leukosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan

hasil yang normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik

dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah

potensial aksi. Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada elektromyogram. Enzim otot

mungkin meningkat. Kadar antitoksin serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada

kadar kinin tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi

pada kadar antitoksin yang protektif. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)

J. Penatalaksanaan

1. Pencegahan

Imunisasi aktif

37
Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan pencegahan yang

paling efektif dalam praktek. Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau

tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus, seperti halnya pasien yang

sembuh dari tetanus. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)

Penalaksanaan luka

Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan imunisasi pasif dengan

TIG dan imunisasi aktif dengan vaksin. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)

Tetanus neonatorum

Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum mencakup

vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatkan proporsi

kelahiran yang dilakukan di rumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non medis.
( Sudoyo, Aru. W 2006.)

2. Pengobatan

Strategi pengobatan melibatkan tiga prinsip pentalaksanaan:organisme yang terdapat

dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut;

toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan

efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimasi. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)

Pentalaksanaan umum

38
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi

dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan

stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. Luka

hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan dibridemen secara

menyeluruh. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009)

Netralisasi dari toksin yang bebas

Antitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di

sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat

pada jaringan saraf tdak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG)

merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis terbagi karena

volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa

penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis

yang lebih tinggi. Imunoglobulin intravena merupakan alternatif lain daripada TIG tapi

konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik

memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Manfaat memberikan antitoksin

pada insisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi luka belumlah jelas. Dosis

tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak

dapat meembus sawar darah otak. Antitoksin tetanus kuda tidak tersedia di Amerika

Serikat, tetapi masih dipergunakan di tempat lain. Lebih murah dibandingkan antitoksin

manusia, tetapi waktu paruhnya lebih pendek dan pemberiannya sering menimbulkan

hipersensitivitas dan serum sicknesss syndrome. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009)

39
Menyingkirkan sumber infeksi

Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun

manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk

mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10

sampai 12 juta unit intravena setiiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan

secra luas dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA dan

berkaitan dengan konvulsi. Metronidazol mungkin merupakan antibiotik pilihan.

Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli

berdasarkan aktivitas antimikrobial metronidazol yang bagus. Metronidazol aman dan

pada penelitian yang membandingkan dengan penisilin menunjukkan angka harapan

hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol tidak

menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh

penisilin. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.www.emedicine.com)

Pengendalian rigiditas dan spasme

Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk

mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi karena

menyebabkan laringospasme atau kontraksi terus menerus otot-otot pernafasan.

Regimen yang ideal adalah regimen yang dapan menekan aktivitas spasmodik tanpa

menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang tidak

perlu, tetapi terapi utamanya adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepin.

40
Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endigen

pada reseptor GABAA. Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah

dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan

desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan. Sebagai

sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh

memperkuat aktivitas GABAergik dan fenithiazin, biasanya klorprimazin. Barbiturat

dan klorpromazin ini merupakan obat lini kedua. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.www.emedicine.com)

Penatalaksanaan respirasi

Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan

pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau

untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan

atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus di antisipasi dan diterapkan secara

elektif dan secara dini. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009)

Pengendalian disfungsi otonomi

Metode non farmaklokgis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan pada

pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan terapi

pertama. Benzodiazepin, antokonvulsan dan terutama morfin sering dipergunakan.

Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi karena

gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180 mg per hari. Mekanisme

aksi yang dipertimbangkan adalah penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas

41
refleks simpatis dan pelepasan histamin. Fenotiazin, terutama klorpromazin merupakan

sedatif yang berguna, antikolinergik dan antagonis a adrenergik dapat berperan terhadap

stabilitas kardiovaskular. ( Sudoyo, Aru. W 2006)

Penatalaksanaan intensif suportif

Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut menjadi

penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju

metabolisme akibat pireksia atau aktivitas muskular dan masa kritis yang

berkepanjangan. Oleh karena itu, nutisi hendaknya diberikan seawal mungkin. Nutiri

enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah dab lebih murah daripada

nutrisi parenteral. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)

Pentalaksanaan lain

Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak

tampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan;kecukupan kebutuhan

gizi yang meningkat dengan pemberian enteral maupunmparenteral; fisioterapi untuk

mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk

mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus

dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi

sekunder harus diatasi. ( Sudoyo, Aru. W 2006)

Vaksinasi

42
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena

imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.

Farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai pada tetanus

Diazepam.

Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi

semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin

dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter inhibitori utama.

( Sudoyo, Aru. W 2006.)

Dosis dewasa

Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu

Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu

Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg perjam

Dosis pediatrik

43
Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau empat kali

sehari

Spasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4 sampai 8

jam.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.

Interaksi

Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan

bersamaan dengan alkohol, fenotiazin, barbiturat dan MAOI; cisapride dapat

meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.

Kehamilan : kriteria D tidak aman pada kehamilan

Perhatian

Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan sistem saraf pusat yang

lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau gagal hati karena toksisitas

diazepam dapat meningkat.

Fenobarbital

Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi

pernafasan. Jika ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan

untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia

2009)

44
Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari

Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat, dan

nefritis.

Interaksi: dapat menurunkan kloramfenikol, digitoksin, kortikosteroid, karbamazepin,

teofilin, verapamil, metronidazol dan antikoagulan.

Kehamilan: kriterian D-tidak aman pada kehamilan.

Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan sistem

hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia berat, karena efek

samping dapat terjadi; hati-hati pada miyastenia gravis dan miksedema.

Baklofen.

Baklofen intratekhal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara

eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus

diazepam. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat

diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi. ( Sudoyo,

Aru. W 2006.blog-indonesia 2009)

Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT

Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa

Kontraindikasi: hipersensitifitas

Interaksi: C-keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum dikuetahui.

Perhatian: hati-hati pada psien dengan disrefleksia otonomik.

45
Penisilin G

Berperan dengan mengganggua pembentukan polipeptida dinding otot selama

multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikriorganisme yang

rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisislin i.v dapat

menyebabkan anemia hemolititk dan neurotoksisitas. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-

indonesia 2009)

Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis

Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari

Kontraindikasi: hipersensitivitas.

Kehamilan: kriteria B-nya biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya

melebihi resiko yang mungkin terjadi.

Perhatian: hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.

Metronidazol.

Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat diabsorbsi ke dalam

sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang terbentuk mengikat DNA dan

menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan

terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai

antibiotik pada terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang

dapat memperkuat efek toksin. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009)

46
Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari 4

gr/hari.

Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih darri 2

gr/hari.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.

Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya melebihi

resiko yang mungkin terjadi.

Perhatian: penyesuaian dosis pada penytakit hati, pemantauan kejang dan neuropati

perifer.

Vekuronium.

Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang menyebabkan

terjadinya paralisis muskuler.

Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi ,emjadi 0,05 mg/kg apabila pasien

telah diterapi dengan suksinilkoin. Dosis pemeliharaan untuk paralisis: 0,025-0,1

mg/kg/hari i.v dapat dititrasi.

Dosis pediatrik: 7 minggu-1 tahun: 0,08-1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis

pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila perlu, 1-10 tahun: mungkin

membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementasi yang lebih sering, > 10 tahun:

seperti dosis biasa.

47
Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma yang berkaitan.

Interaksi: apabila venkuronium dipergunakan bersama dengan anestesi inhalasi, blokade

neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal serta penggunaan steroid secara

bersamaan dapat menyebabkan blokade berkpenjangan walaupun obat telah distop.

Perhatian: pada miastenai gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil vekuronium akan

memberikan efek yang kuat.

K. Pencegahan

Banyaknya masalah dalam penanganan dan penaggulangan tetanus serta masih

tingginya angkan kematian (30-60%) . tindakan pencegahan merupakan usaha yang

sangat penting dalam upaya menurunkan morbilitas dan mortalitas akibat tetanus. Ada

dua cara mencegah tetanus ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.wim de jong 2005)

Perawatan luka yang adekuat

Imunisasi aktif dan pasif

Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus dengan tujuan

merangsang tubuh membentuk antibodi sedangkan imunisasi pasif diproleh dengan

memberikan serum yang sudah mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin

homolog (imunogobulin antitetanus) berdasarkan jenis luka baru ditentukan pemberian

antitetanus serum atau toksoid. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.wim de jong 2005)

L. Prognosis

48
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode

awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai,

beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode onset
( Sudoyo,
merupakan faktor yang menentukan prognosis dala klasifikasi Cole dan Spooner.
Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.wim de jong 2005)

Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner

Kelompok prognostik Periode awal Masa inkubasi


I < 36 jam 6 hari

II >36 jam >6 hari

III Tidak diketahui Tidak diketahui

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka

kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan

angka kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu,

pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka kematian. ( wim de jong 2005)

DAFTAR PUSTAKA

49
CDC. Tetanus. (cited 2009 November 19th ). 2006. Avalaible at:

www.cdc.gov/niP/publications/pink/tetanus.pdf

Fauci, Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition.

McGraw-Hill: United State. 2008.

Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta. 2005. Hal 23-4.

Kiking R. Tetanus. Medan: USU Digital Library, 2004;1-9.

Sudoyo, Aru. W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Pusat

penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI: Jakarta. 2006. Hal 1777-85.

SIRS DAN SEPSIS

50
A. PENDAHULUAN
Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen

atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses

inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini

digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensus American College

of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang

mendefinisikan sepsis, sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory

response syndrome/SIRS), sepsis berat dan syk/renjatan septik.


Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan

perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan.

Terdapat berbagai sebab terjadinya syok seperti perdarahan, infark miokard, anafilaksis,

emboli paru dan yang cukup sering ditemukan adalah syok septik.
Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan

segera oleh karena semakin cepat syok dapat teratasi, akan meningkatkan keberhasilan

pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ dan kematian. Oleh karena itu

strategi penatalaksanaan syok septik yang tepat dan optimal perlu diketahui untuk

mendapatkan hasil yang diharapkan.


B. INFEKSI DAN INFLAMASI

Infeksi merupakan istilah untuk menamakan adanya bermacam kuman yang

masuk ke dalam tubuh manusia. Jika kuman berkembang biak dan menyebabkan

kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga

muncul reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan

luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat hanya

51
terbatas pada tempat jejas atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala

sistemik.

Inflamsi ialah reaksi jaringan vaskular terhadap semua bentuk jejas. Pada

dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di

tempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang cepat terhadap agen

penyebab jejas dan sebagian besar kejadian inflamasi akut disebabkan karena pelepasan

berbagai macam mediator kimia. Meskipun yang mengalami inflamasi dari jenis

jaringan yang berbeda, mediator yang dilepaskan tetap sama.

Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik disebut sistemic inflammation

respons syndrome (SIRS).

C. DEFINISI

Sepsis adalah respons inflamasi sistemik tubuh terhadap infeksi. Respons

inflamasi sistemik tersebut, atau disebut sebagai systemic inflamatory response

syndrome (SIRS), terjadi akibat dari cedera klinis yang berat, misalnya trauma, luka

bakar, pankreatitis, infeksi dan sebagainya. Oleh sebab itu, sepsis ditegakkan bila curiga

atau terbukti bakteremia pada pasien-pasien dengan SIRS. Dalam perjalanannya, sepsis

dapat menjadi sepsis berat, syok septik, hingga menjadi multiple organ dysfunction

syndrome/MODS.

Istilah Definisi
Systemic Inflamatory Minimal memenuhi 2 dari 4kriteria berikut:

Response Syndrome
1. Suhu tubuh >38 oC atau < 36 oC
2. Frekuensi nadi >90 kali/menit
(SIRS) 3. Frekuensi napas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
4. Jumlah hitung leukosit >12.000/mm3, atau >4.000/mm3, atau

52
jumlah neutrofil batang >10%
Sepsis SIRS dengan penemuan atau kecurigaan bakteremia.
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi.

Kriteria ini juga mencakup sepsis dengan:

1. Asidosis laktat
2. Oliguria (keluaran urin <0,5 mL/KgBB/jam selama >2 jam

meski telah diberi resusitasi cairan secara adekuat)


3. Acute lung injury (ALI) dengan PaO2/FiO2 <200 (bila tidak

ada pneumonia), atau PaO2/FiO2 <250 (bila ada keterlibatan

pneumonia)
4. Kreatinin serum >2,0 mg/dL
5. Bilirubin >2 mg/dL
6. Hitung trombosit <100.000/mm3
7. Koagulopati (INR >1,5)
Syok septik Sepsis dengan kelainan hipertensi yang tidak membaik

dengan resusitasi cairan awal.


Multiple Organ Adanya gangguan fungsi organ-organ tubuh secara akut

Dysfunction sehingga homeostasis yang tidak dapat dipertahankan tanpa

Syndrome (MODS) intervensi.


Tabel 1. Definisi SIRS, Sepsis, Syok Sepsis, dan MODS (Bone, 1992)

D. ETIOLOGI SEPSIS

Etiologi terbanyak dari sepsis adalah bakteri gram negatif dengan prosentase 60-

70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun.

Sehingga memicusel tersebut untuk menghasilkan mediator inflamasi. Produk yang

berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin

glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram

negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang

53
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh

penderita. Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa

(Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.

LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun selulsr dan humoral, yang dapat

menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS tidak bersifat toksik, tetapi

merangsang pengeluaran mediator infalamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis.

Makrofag mengeluarkan polipedtida, yang disebut faktor nekrosis tumor (TNF) dan

interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering

meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami

sepsis.

E. PATOGENESIS

Kondisi sepsis memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi karena dapat

menimbulkan kegagalan organ, yang disebut sebagai MODS dan multiple organ failure

(MOF). MODS dan MOF terjadi akibat kematian sel-sel beberapa organ secara difus.

Mekanisme kematian sel tersebut dapat berupa:

1. Nekrosis seluler (jejas iskemik).

Infeksi dapat memicu pelepasan mediator inflamasi seperti vasoaktive ,intestinal

peptide, bradikinin, trombosit activating factor, prostanoids,sitokin, leukotrin, histamin,

dan NO. Berbagai mediator tersebut lalu menyebabkan vasodilatasi, disfungsi endotel,

sumbatan pada mikrovaskular, maupun efek vasokonstriksi.

2. Proses apoptosis.

54
Sejumlah mediator inflamasi (seperti NO), perfusi yang rendah, stres oksidatif,

toksin lipopolisakarida (LPS), dan glukokortikoid yang dilepaskan dapat memicu proses

apoptosis selular, suatu proses kematian sel yang fisiologis dan telah terprogram untuk

mengurangi sel-sel yang disfungsional.

3. Kerusakan jaringan akibat mediator leukosit.

Migrasi dan pelepasan enzim-enzim degradatif oleh leukosit dapat merusakan

struktur jaringan normal sehingga turut mengganggu fungsi organ bersangkutan. Di

samping itu, terjadi juga pelepasan reactive oxygen spesies yang merusak DNA dan

membran sel secara langsung.

4. Hipoksia sitopatik.

Merupakan suatu gangguan utilisasi oksigen seluler. Pada sepsis, kondisi ini

disebabkan oleh aktivasi PARP (poly-ADP-ribosylpolymerase-1) yang meningkatkan

konsumsi NAD+ akan berkurang jumlahnya sehingga terjadi gangguan respirasi selular

(menjadi metabolisme anaerob) hingga kematian sel.

F. GEJALA KLINIK

Biasanya gejala klinik sepsis tidak spesifik, sering didahului oleh tanda-tanda

sepsis non spesifik, meliputi: demam, menggigil, dan gejal konstitutif seperti lelah,

malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat

dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang

paling sering: paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf

pusat. Sumber infeksi merupakan diterminan oenting untuk terjadinya berat dan

tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis teesebut akan menjadi lebih berat pada

55
penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan

granulosiopenia. Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya syok

sepsis. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:

1) Sindrome distres pernapasan pada dewasa


2) Koagulasi intravaskular
3) Gagal ginjal akut
4) Perdarahan usus
5) Gagal hati
6) Disfungsi sistem saraf pusat
7) Dadal jantung
8) Kematian
G. DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis

yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status

hemodinamik.
1. Anamnesis
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau

nasokomial dan apakah pasien imunokompromais. Rincian yang harus diketahui

meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja,

penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang

mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu. Beberapa tanda terjadinya sepsis

meliputi:
1) Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
2) Hipotensi, oliguria atau anuria
3) Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas
4) Perdarahan
2. Pemeriksaan fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh. Pada semua

pasienneutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus

meliputi pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan

56
mengungkap abses rektal, perirektal, dan/atauperineal, penyakit dan/atau abses

inflamasi pelsi, atau prostatitis.


3. Data Laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung

diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin,

elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, EKG, dan rontgen dada.

Biakan darah, sutum, urin dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.

Volumesampel sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (pada anak

lebih tinggi).

Temuan laboratorium lain:

Sepsis awal: leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia,

dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung grabulasi toksik,

badan Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis

respiratorik. Hhipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat

mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.

Selanjutnya: trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,

penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan

hiperbilirubinemia lebih dminan. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat

serum. Asidosis metabolik (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respiratorik.

Hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik

dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan berat

proses penyakit.

57
H. KOMPLIKASI
1. Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease syndrome)
2. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC, disseminated intravascular

coagulation)
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian

Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam

penelitian berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk

gagal hati, 9-23% untuk ARF, dan 8-18% untuk DIC. Pada syok septik, ARDS dijumpai

pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal 50%.

I. TERAPI
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:
1. Stabilisasi pasien langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan

abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation).

Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan

kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Pasien dengan

sepsis berat harus diamsukkan dalam ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut

jantung, laju napas, dan suhu badan) harus dipantau. Frekuensinya tergantung pada

berat sepsis. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat

vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, atau norepinefrin.


2. Pemberian antibiotik yang adekuat
3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi
4. Pemberian nutrisi yang adekuat
5. Terapi suportif.

58
J. PENCEGAHAN
1. Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-

negatif.
2. Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita

leukemia.
3. Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah

pneumonia Gram-negatif nasokomial.


4. Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan

vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram negatif pada pasien

neutropenia.
5. Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)

vagina/rektum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk Streptococcus

agalactiae (penyebab utama sepsis pad neonatus). Jika positif untuk strep grup B,

berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil. Hal ini menurunkan infeksi Grup B

sebesar 78%.

59
DAFTAR PUSTAKA

H, G A, 2014. Sepsis, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi VI, hal. 4108-4113

Liwang, F, Mansjoer A, 2014. Sepsis dan Syok Spesis, Kapita Selekta Kedokteran. Edisi

IV, Jilid II, hal 8570869.

60
qSOFA

(quick Sepsis-related Organ Failure Assessment)

Organ Kegagalan skor Assessment terkait sepsis, juga dikenal sebagai

Sequential Organ skor Penilaian Kegagalan (skor SOFA), digunakan untuk melacak

status seseorang selama tinggal di unit perawatan intensif (ICU). Ini adalah salah satu

dari beberapa sistem penilaian ICU .

61
Skor SOFA adalah sistem penilaian untuk menentukan sejauh mana fungsi organ
[1] [2] [3] [4] [5]
seseorang atau tingkat kegagalan. skor yang didasarkan pada enam nilai

yang berbeda, masing-masing untuk pernafasan , kardiovaskular , hati , koagulasi ,

ginjal dan neurologis sistem.

Kedua mean dan skor SOFA tertinggi adalah prediktor dari hasil. Peningkatan skor

SOFA selama 24 sampai 48 jam di ICU memprediksi angka kematian minimal 50%

hingga 95%. Skor kurang dari 9 memberikan kematian prediksi pada 33% sedangkan di

atas 11 bisa dekat dengan atau di atas 95%

Tabel skor di bawah ini hanya menggambarkan kondisi. Jika kasus di mana parameter

fisiologis tidak cocok setiap baris, diberikan poin nol. Dalam kasus di mana parameter

fisiologis cocok lebih dari satu baris, diambil baris dengan poin terbanyak.

Ini membantu providors perawatan kesehatan dalam memperkirakan risiko morbiditas

dan mortalitas akibat sepsis, kondisi AS yang paling mahal medis, yang Centers for

Medicare dan Medicaid Services akan menggunakan sebagai penilaian kualitas

perawatan di rumah sakit, sebagai evaluasi pengukuran hasil pasien. [6] [7]

Sistem pernapasan

PaO2 / FiO2 (mmHg) skor SOFA


<400 1
<300 2
<200 dan ventilasi mekanik 3
<100 dan ventilasi mekanik 4

62
Sistem saraf

Skala koma Glasgow skor SOFA


13-14 1
10-12 2
6-9 3
<6 4

Sistem kardiovaskular

Berarti tekanan arteri OR administrasi vasopressor diperlukan skor SOFA


MAP <70 mm / Hg 1
dop 5 atau dob (dosis ada) 2
dop> 5 ATAU epi ; 0,1 OR atau 0,1 3
dop> 15 OR epi> 0,1 OR atau> 0,1 4

(Vasopressor dosis obat yang di ug / kg / min)

Singkatan obat: dop untuk dopamin , dob untuk dobutamin , epi untuk epinephrine dan

juga untuk norepinefrin .

Hati

Bilirubin (mg / dl) [umol / L] skor SOFA


1,2-1,9 [> 20-32] 1
2,0-5,9 [33-101] 2
6,0-11,9 [102-204] 3
> 12.0 [> 204] 4

Jika bilirubin kurang dari 1,2, skor adalah 0

63
Koagulasi

Trombosit 10 3 / ml skor SOFA


<150 1
<100 2
<50 3
<20 4

Jika trombosit lebih dari 150 maka skor 0

Ginjal

Kreatinin (mg / dl) [umol / L] (atau output urin) skor SOFA


1,2-1,9 [110-170] 1
2,0-3,4 [171-299] 2
3,5-4,9 [300-440] (atau <500 ml / d) 3
> 5.0 [> 440] (atau <200 ml / d) 4

Cepat SOFA Score

Quick SOFA Score (quickSOFA atau qSOFA) diperkenalkan oleh kelompok Sepsis-3 di

Februari 2016 sebagai versi sederhana dari Skor SOFA sebagai cara awal untuk

mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi untuk hasil yang buruk dengan infeksi.

Kriteria SIRS definisi sepsis sedang diganti karena mereka ditemukan memiliki terlalu

banyak keterbatasan; "penggunaan saat ini dari 2 atau lebih kriteria SIRS untuk

mengidentifikasi sepsis secara bulat dianggap oleh gugus tugas untuk menjadi tidak

membantu." The qSOFA menyederhanakan skor SOFA drastis dengan hanya termasuk

kriteria klinis 3 dan dengan memasukkan "setiap pemikiran yang berubah" bukan

64
membutuhkan a 13 GCS. qSOFA dapat dengan mudah dan cepat diulang serial pada

pasien. [8]

Penilaian skor qSOFA


Tekanan darah rendah (SBP 100 mmHg) 1
frekuensi pernapasan tinggi ( 22 kali / menit) 1
Diubah pemikiran (GCS <15) 1

Skor tersebut berkisar dari 0 sampai 3 poin. Kehadiran 2 atau lebih qSOFA titik dekat

awal infeksi dikaitkan dengan risiko kematian atau berkepanjangan unit perawatan

intensif tinggal. Ini adalah hasil yang lebih umum pada pasien yang terinfeksi yang

mungkin septic dibandingkan dengan infeksi tanpa komplikasi. Berdasarkan temuan ini,

Ketiga Internasional Konsensus Definisi untuk Sepsis merekomendasikan qSOFA

sebagai prompt sederhana untuk mengidentifikasi pasien yang terinfeksi di luar ICU

yang cenderung septik. [9]

Daftar Pustaka

Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willatts S, De Mendona A, Bruining H,

Reinhart CK, Suter PM, Thijs LG. SOFA (Assessment terkait Sepsis Organ

Failure) skor untuk menggambarkan disfungsi organ / kegagalan. Atas nama

Kelompok Kerja Masalah Sepsis-terkait dari European Society of Intensive Care

Medicine. Perawatan Intensif Med 1996 Juli; 22 (7):. 707-10 PMID 8.844.239 .

65
Vincent JL , de Mendonca A, Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter PM,

bermunculan CL, Colardyn F, Blecher S. Penggunaan skor SOFA untuk menilai

kejadian disfungsi organ / kegagalan dalam unit perawatan intensif: hasil

multicenter, studi prospektif. Kelompok kerja pada "masalah yang berhubungan

dengan sepsis" dari European Society of Intensive Care Medicine. Crit

Perawatan Med 1998 November; 26 (11): 1793-800. PMID 9.824.069 .


Moreno R, Vincent JL, Matos R, Mendona A, Cantraine F, Thijs L, Takala J,

bermunculan C, Antonelli M, Bruining H, Willatts S. Penggunaan skor SOFA

maksimum untuk mengukur disfungsi organ / kegagalan dalam perawatan

intensif. Hasil dari calon, studi multisenter. Kelompok Kerja Sepsis terkait

Permasalahan ESICM tersebut. Perawatan Intensif Med 1999 Juli; 25 (7):. 686-

96 PMID 10470572 .
De Mendonca A, Vincent JL, Suter PM, Moreno R, Dearden NM, Antonelli M,

Takala J, bermunculan C, kegagalan Cantraine F. akut ginjal di ICU: faktor

risiko dan hasil dievaluasi dengan skor SOFA. Perawatan Intensif Med 2000 Jul;

26 (7):. 915-21 PMID 10990106 .


Ferreira FL, Bota DP, Bross A, Mlot C, Vincent JL. Evaluasi serial skor SOFA

untuk memprediksi hasil pada pasien sakit kritis. JAMA 2001 10 Oktober; 286

(14):. 1754-8 PMID 11594901 .


http://www.msn.com/en-us/health/medical/americas-costliest-health-condition-

isnt-what-youd-expect/ar-AAcFurT
"QSOFA (Quick SOFA Score) untuk Sepsis Identifikasi - MDCalc" MDCalc..

Diperoleh 2016/11/26.
"QSOFA :: Apa qSOFA?" . Www.qsofa.org. Diperoleh 2016/11/26.

66
PNEUMONIA

BAB 1

PENDAHULUAN

Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka kesakitan dan

kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja 1. Dari hasil survei kesehatan

rumah tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bagian bawah

menempati urutan ke dua sebagai penyebab kematian 2. ISNBA dapat dijumpai dalam

berbagai bentuk, tersering adalah dalam bentuk pneumonia. 1. Laporan WHO 1999

menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia

67
adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia. Di Indonesia, dari buku

SEAMIC Health statistic 2001, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor

enam.2

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah

pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut, sedangkan

istilah pneumonitis sering dipakai untuk proses non infeksi.1

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,

menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional),

angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian

(mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%.2

68
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Paru-Paru

Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas

diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk

mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus.
2

69
70
Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus

pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus

medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan

fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg

dipisahkan oleh fissura oblique. Pada paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti

lidah yang disebut lingula. Jumlah segmen pada paru-paru sesuai dengan jumlah

bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan. Sejalan dgn percabangan

bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg lebih kecil, segmenta paru dibagi lagi

menjadi subsegmen-subsegmen.2
2.2 Definisi Pneumonia

71
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat yang

disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri.virus,jamur,protozoa).3

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang

disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan

paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan

toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.4

2.3 Epidemiologi Pneumonia

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang terbanyak

di dapatkan dan dapat menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Angka kematian

di Inggris adalah sekitar 5-10%. Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa

saja, meskipun lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Di Amerika Serikat

pneumonia mencapai 13% dari penyakit infeksi saluran nafas pada anak di bawah 2

tahun.4
UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena penyakit

pneumonia setiap tahun. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih

sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada

anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya

usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus

pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara berkembang juga berkaitan

72
dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas tahun

1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak dibawah 5

tahun dan 80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan oleh

infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat

pada musim dingin sampai awal musim semi, dinegara tropis pada musim hujan. 4
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,

menunjukkan, prevalensi nasional ISPA: 25,5%, angka kesakitan ( morbiditas )

pneumonia pada bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8%

dan balita 15,5%. 5


2.4 Etiologi Pneumonia

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu

bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab

tersering pneumonia adalah bakteri gram positif, Streptococcus pneumonia. Kuman

penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien, dan

keadaan klinis terjadinya infeksi. 4

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV),

parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan

penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza,

Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan

mikoplasma. 4

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia

pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu

73
Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia

bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan

penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5 tahun. Communityy-acquired

acute pneumonia sering disebabkan oleh streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus,

sedangkan pada Community-acquired atypical pneumonia penyebab umumnya adalah

Mycopalsma pneumonia. Staphylokokkus aureus dan batang gram negatif seperti

Enterobacteriaceae dan Pseudomonas, adalah isolat yang tersering ditemukan pada

Hospital-acquired pneumonia.4
Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan terjadinya infeksi. 4

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang


Lahir-20 hari Bakteria Bakteria

Escherichia colli Group D streptococci


Group B streptococci Haemophillus influenzae
Listeria monocytogenes Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum

Virus

Cytomegalovirus
Herpes simplex virus

3 minggu Bakteria Bakteria

3 bulan Clamydia trachomatis Bordetella pertusis


Streptococcus Haemophillusinfluenza type B

pneumoniae & non typeable


Moxarella catarrhalis
Virus
74
Respiratory syncytial Staphylococcus aureus
Ureaplasma urealyticum
virus
Influenza virus Virus
Para influenza virus
Cytomegalovirus
1,2 and 3
Adenovirus
4 bulan Bakteria Bakteria

5 tahun Streptococcus Haemophillus influenza type

pneumoniae B
Clamydia pneumoniae Moxarella catarrhalis
Mycoplasma Neisseria meningitis
Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus
Virus
Varicella zoster virus
Respiratory syncytial

virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles

5 tahun dewasa Bakteria Bakteria

Clamydia pneumonia Haemophillus influenza type


Mycoplasma pneumonia
Streptococcus B
Legionella species
pneumoniae Staphylococcus aureus

Virus

Adenovirus
Epstein barr virus
Influenza virus

75
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus

Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi. 4

Communityy-acquired acute pneumonia


Streptococcus pneumonia

Haemophilus influenzae

Moraxella catarrhalis

Staphylococcus aureus

Legionella pneumophila

Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.


Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia

Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)

Coxiella burnetii (Q fever)

Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A and B

(adults); adenovirus

(military recruits); SARS virus


Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens,

Escherichia coli) and

Pseudomonas spp.

Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)


Pneumonia kronis

76
Nocardia

Actinomyces

Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria, Histoplasma

capsulatum,

Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

2.5 Klasifikasi Pneumonia

1. Menurut sifatnya, yaitu:

a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak

mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus

pneumoniae ( pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab

infeksi pernapasan( Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri

pneumonia yang tidak khas( atypical) yaitu mykoplasma, chlamydia, dan

legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain

penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang

mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll. 2


2. Berdasarkan Kuman penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri

mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada

penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus

77
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada

penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised). 5

3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang

terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang

terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam. 5


b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan

pneumonia yang terjadi di rumah sakit, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di

rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu

Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli,

Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat

resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP. 6


c. Pneumonia aspirasi

4. Berdasarkan lokasi infeksi

a. Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar

umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram.

Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar

melalui pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah

Streptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang

terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh

adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses

keganasan. 5

78
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus

terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-

bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya

bercak-bercak infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh

bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan

dengan obstruksi bronkus. 5

c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan

peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma.

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial

prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat,

diliputi perselubungan yang tidak merata. 5


2.6 Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai

usia lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan

penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya , adalah

yang paling berisiko.1


Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang

sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan

malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ

paru-paru.1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu,

79
toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara

langsung merusak sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme

mencapai permukaan: 5
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara

inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.

Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus

terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada

saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah

dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari

sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada

orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum

alkohol dan pemakai obat (drug abuse). 5


Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi

radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan

diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya

antibodi. 5
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling

mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh

lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan

dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan

80
cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah

kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia.


Terdapat empat stadium anatomic dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium Kongesti (4 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan

aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat

pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun

dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.

Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama

dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan

peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat

plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan

jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini

dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin. 2
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan

oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi

padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna

paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli

tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini

berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 2


3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

81
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada

saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi

fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus

masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu

dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.2


4. Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis

yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi

penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.2
2.7 Diagnosis Pneumonia
2.7.1 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejalanya

meliputi:

Gejala Mayor: 1.Batuk


2.Sputum produktif
3.Demam (suhu>38 0c)

Gejala Minor: 1. sesak napas


2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas

selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-

kadang melebihi 40 C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk,

dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.5


Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu

bernafas , pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi

terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah.

82
Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada

stadium resolusi. 5
2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya

>10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit

terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis

etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat

positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah menunjukkan

hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. 6
2.7.3 Gambaran Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:
Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau

segment paru secara anantomis.


Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil.

Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.


Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi

dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di

lobus medius kanan.


Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling

akhir terkena.
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya

udara pada bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus).


Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia,

hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia

lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas

83
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia

sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada

lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.6


1.Pneumonia Lobaris
Foto Thorax

84
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus

(lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang mengikutsertakan alveoli

yang tersebar. Air bronchogram biasanya ditemukan pada pneumonia jenis ini.
CT Scan

Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai ke

perifer.

2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)

Foto Thorax

85
Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus

bawah kiri.
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar

sampai perifer.

3. Pneumonia Interstisial

Foto Thorax

86
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial

prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi

oleh perselubungan yang tidak merata.


CT Scan

Gambaran CT Scan pneumonia interstitiak pada seorang pria berusia 19 tahun.

(A) Menunjukan area konsolidasi di percabangan peribronkovaskuler yang

irreguler. (B) CT Scan pada hasil follow up selama 2 tahun menunjukan area

konsolidasi yang irreguler tersebut berkembang menjadi bronkiektasis atau

bronkiolektasis (tanda panah)

2.7.4 Pemeriksaan Bakteriologis


Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,

torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada sputum disertai

PMN yang kemungkinan penyebab infeksi. 5

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur

dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian

membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak

segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan

87
mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang

memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan

sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk. 5

2.8 Diagnosis Banding Pneumonia


A.Tuberculosis Paru (TB)
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran

pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif

(durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi

demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat

badan.3
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

B.Atelektasis

Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna

dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak

88
mengandung udara dan kolaps. Memberikan gambaran yang mirip dengan pneumonia

tanpa air bronchogram. Namun terdapat penarikan jantung, trakea, dan mediastinum ke

arah yang sakit karena adanya pengurangan volume interkostal space menjadi lebih

sempit dan pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga akan

tampak thorax asimetris. 3

Atelektasis pada foto thorax proyeksi PA


C. Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air bronchogram.

Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan jantung, trakea, dan

mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax membesar. Pada edusi pleura sebagian

akan tampak meniscus sign (+) tanda khas pada efusi pleura. 3

89
Efusi pleura pada foto thorax posisi PA

2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik

pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji

kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu : 7

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.

3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara

umum pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat

sebagai berikut : 7,5,1

1. Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

Golongan Penisilin

90
TMP-SMZ

Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi

Marolid baru dosis tinggi

Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

Aminoglikosid

Seftazidim, Sefoperason, Sefepim

Tikarsilin, Piperasilin

Karbapenem : Meropenem, Imipenem

Siprofloksasin, Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

Vankomisin

Teikoplanin

Linezolid

Hemophilus influenzae

TMP-SMZ

Azitromisin

Sefalosporin gen. 2 atau 3

Fluorokuinolon respirasi

91
Legionella

Makrolid

Fluorokuinolon

Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

Doksisiklin

Makrolid

Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

Doksisikin

Makrolid

Fluorokuinolon

Tabel 3. Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001) 8


Kategori Keterangan Kuman Penyebab Obat Pilihan I Obat Pilihan II

Kategori I Usia -S.pneumonia Klaritrom - Siprofloksasin


-M.pneumonia
penderita -C.pneumonia isin 2x500mg atau
< 65 tahun -H.influenzae
-Penyakit -Legionale sp 2x250 mg Ofloksasin 2x400mg
-S.aureus - - - Levofloksasin
Penyerta (-) -M,tuberculosis
-Dapat -Batang Gram (-) Azitromisin 1x500mg atau

berobat jalan 1x500mg Moxifloxacin


- Rositrom
1x400mg
isin 2x150 mg - Doksisiklin 2x100mg

92
atau 1x300 mg

Kategori II -Usia -S.pneumonia -Sepalospporin -Makrolid


-Levofloksasin
penderita > H.influenzae generasi 2 -Gatifloksasin
-Trimetroprim -Moxyfloksasin
65 tahun Batang gram(-)
- Peny. +Kotrimoksazol
Aerob -Betalaktam
Penyerta (+) S.aures
-Dapat
M.catarrhalis
berobat jalan
Legionalle sp
Kategori -Pneumonia -S.pneumoniae - Sefalosporin -Piperasilin +
-H.influenzae
III berat. -Polimikroba Generasi 2 atau tazobaktam
- Perlu -Sulferason
termasuk Aerob 3
dirawat di -Batang Gram (-) - Betalaktam +
-Legionalla sp Penghambat
RS,tapi tidak -S.aureus
M.pneumoniae Betalaktamase
perlu di ICU
+makrolid

93
Kategori -Pneumonia -S.pneumonia - Sefalosporin -Carbapenem/
-Legionella sp meropenem
IV berat -Batang Gram (-) generasi 3 -Vankomicin
-Perlu dirawat -Linesolid
aerob (anti -Teikoplanin
di ICU -M.pneumonia
-Virus pseudomonas)
-H.influenzae
-M.tuberculosis + makrolid
-Jamur endemic - Sefalosporin

generasi 4
- Sefalosporin

generasi 3 +

kuinolon

2. Terapi Suportif Umum

1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah.

2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.

3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.7

4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan

paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia

94
bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada

keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud

mengencerkan dahak tidak diperkenankan. 9

5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik.

6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila

terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.

7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia

adalah:

a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan menggunakaan

masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary

compliance hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan

PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50%

atau lebih rendah.9

b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau

didapat asidosis respiratorik.

c. Respiratory arrest.

d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.

8. Drainase empiema bila ada.

9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang

didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari pembentukan CO2

yang berlebihan.9

95
3. Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat

suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya

perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan ini dapat diberikan secara

sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step

down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). Pasien beralih dari intravena ke

oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan perbaikan terbukti secara secara klinis,

dapat menelan obat-obatan, dan memiliki saluran pencernaan berfungsi normal. 10

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah : 9

1. Temp 37,8 C, Kesadaran baik

2. Denyut jantung 100 denyut / menit,

3. Respirasi rate 24 napas / menit

4. Tekanan darah sistolik 90 mmHg

5. Saturasi O2 arteri 90% atau pO2 60 mmHg pada ruang udara,

6. Kemampuan untuk mengambil asupan oral.

2.10 Komplikasi Pneumonia

1. Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada infeksi

bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negative sebesar 60%,

Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%, kuman anaerob 35%.

Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar 20%. Cairannya transudat dan

steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.

96
2. Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia berupa

meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia pada infeksi

kronik, peningguan ureum dan enzim hati. Kadang-kadang terjadi peninggian

fostase alkali dan bilirubin akibat adanya kolestasis intrahepatik.

3. Hipoksemia akibat gangguan difusi.

4. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru sehingga terjadi infeksi oleh

kuman anaerob dan bakteri gram negative.

5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari 4-6

minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-) seperti

Pseudomonas aeruginosa.

6. Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-anak tetapi dapat

juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau

hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia nekrotikans. 3

2.11 Prognosis Pneumonia

Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya

antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit dasar dan

kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia pneumokokus adalah sebesar

5%, namun dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk

misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik, atau

kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus dan komplikasi

ekstraparu merupakan petanda prognosis yang buruk. Kuman gram negatif

menimbulkan prognosis yang lebih jelek. 10

97
Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu perawatan di

RS kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60 tahun) dapat berobat jalan

kecuali:

1. Bila terdapat penyakit paru kronik

2. PN Meliputi banyak lobus

3. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi yaitu:

a. Usia > 60 tahun.

b. Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS: frekuensi napas > 30

x/m, tekanan diastolik < 60 mmHg , leukosit abnormal (<4.500->30.000)

BAB 3
KESIMPULAN

Pneumonia adalah salah satu penyakit akibat infeksi parenkim paru yang dapat

menyerang segala usia. Pneumonia paling banyak disebabkan oleh infeksi bakteri

Streptococcus pneumonia dengan gejala yang muncul seperti demam, batuk berdahak,

sesak napas, dan terkadang disertai nyeri dada.


Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini foto thorax konvensional dan CT Scan

menjadi pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia. Gambaran khas pada

pneumonia adalah adanya konsolidasi dengan adanya gambaran air bronchogram.

Namun tidak semua pneumonia memberikan gambaran khas tersebut. Untuk

menentukan etiologi pneumonia tidak dapat hanya semata-mata menggunakan foto

98
thorax, melainkan harus dilihat dari riwayat penyakit, dan juga pemeriksaan

laboratorium.
Penatalaksanaan medis pada pneumonia adalah pemberian antibiotik yang sesuai

dengan kuman penyebab pneumonia disamping terapi supportif lainnya. Prognosis

pneumonia secara umum baik jika mendapat terapi antibiotik yang adekuat, faktor

predisposisi pasien dan ada tidaknya komplikasi yang menyertai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.
2. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit, Edisi 6, Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta.


3. Soedarsono. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru

FK UNAIR. Surabaya
4. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti.2003
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial.2003
7. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ. Practice

guidelines for management community-acquiredd pneumonia in adults. Clin

infect Dis 2000; 31: 347-82

99
8. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of

community-acquired pneumonia in adults, CID 2007;44:S27


9. Menendez R, Treatment failure in community-acquired pneumonia,

007;132:1348
10. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient

and outpatient, Chest 2007;131;1205

100

Anda mungkin juga menyukai