Tugas Anestesi
Tugas Anestesi
PENDAHULUAN
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti
diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus
ditegakkan dulu (Mardjono 2003). Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat
dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan
diagnosis epilepsi yang tepat pula (Oguni 2004). Diagnosis epilepsi berdasarkan atas
gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya
informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien
maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian
baru dilakukan pemeriksaan fisik & neurologi . Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi
dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom
DIAGNOSIS AWAL.
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang atau
bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik
dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui
1
alamat Korespondensi. Dr. Utoyo Sunaryo Sp.S RSUD Dr. Mohammad Saleh, Jalan
serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk
dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus,
dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien (Ahmed, Spencer
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi 1993,
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia
kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada
umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang
dimana suatu aura itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana
berarti ada fokus di otak. Sebagian aura dapat membantu dimana letak lokasi
2
serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan
adanya dj vu dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen
sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan aura hal ini disebabkan
terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika aura dilaporkan oleh
pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang
patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak
dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan
saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi
mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala
aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat
pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah
lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari
lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah
kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering
tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan
kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang
3
berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah post ictal
period Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu
dominan. Pada Absens khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan
kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik
klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi
hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan
serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena
kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang
panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, drug abuse, reading
& eating epilepsy. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling
4
dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan
kejang.
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti
kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti
kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak ada cukup waktu
untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang
atau mungkin ada aura , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat
5
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum
obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang
berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang
dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan
%.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis?
atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan
6
Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini
penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan
produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu.
Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh
tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian
penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak
membahayakan dirinya.
7
membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa negara
kendaraan bermotor.
kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya
epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila
fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan
seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya neural tube defects
pada bayinya.
Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom
epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik
8
sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed,
Spencer 2004).
Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan
apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila
terdapat semacam rash perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif
yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang
Riwayat pengobatan.
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama
sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed,
Spencer 2004)
penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed, Spencer
2004)
9
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia
lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya
serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan
kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti caf au lait
spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis, Ash leaf spots , shahgreen
wine stain ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat
apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh
karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang dapat
terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004,
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi
10
mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang
terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari
terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar
mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus
2000).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen , kreatinin dan test fungsi hepar
serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse (Ahmed,
PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
11
pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan,
dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan
pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi.
Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan
dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan
Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal,
12
sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting
sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya
epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang
normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk
saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien
epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada
pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau
juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi
serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman
13
dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural di otak.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi
dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena
dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
14
weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital
PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan
pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi
genetik.
Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang
mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma
mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan
15
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh
neurodegeneratif.
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna
2005).
Serangan parsial
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
Serangan umum.
- Absans (lena)
16
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
Tak tergolongkan.
Idiopatik (primer)
benigna)
Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
Kriptogenik
Umum
Idiopatik (primer)
17
- Kejang neonatus familial benigna
Simptomatik
- Sindrom Ohtahara
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
18
- Serangan neonatal
- Sindroma Taissinare
- Kejang demam
- Eklampsi.
KESIMPULAN
secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan
mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadi
pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat
dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi
19
DAFTAR PUSTAKA
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E
Duncan.pdf.
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP
Semarang : 55-63.
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F
Kirkpatrick.pdf.
129-148.
Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10:
30-35.
20
Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,
21
KEJANG PADA TETANUS
A. Definisi tetanus
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot disebabkan oleh
B. Mikrobiologi
dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Kuman ini mudah dikenal
karena pembentukan spora yang khas, ujung sel menyerupai ujung tongkat
pemukul gendering atau raket squash. Clostridium tetani merupakan bakteri gram
positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob obligat
yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval,
menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun
pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari, spora ini terdapat pada tanah
debu serta tahan terhadap pemanasan 1000C, dan bahkan pada otoklaf 1200C selama 15-
22
20 mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses
manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi dalam bentuk vegetatifnya.
dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.
tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai
tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai
berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya
ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perlepasan
neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam
( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006.
amino dari dua toksin tetanus secara parsial bersifat homolog.
Emedicine 2008. blog-indonesia 2009.)
Fungsi tetanolysin tidak diketahui dengan pasti. Tetanospasmin adalah neurotoksin dan
salah satu toksin yang paling kuat dikenal. Perkiraan dosis mematikan manusia
C. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara
adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,
23
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua
kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000
tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9
tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti
luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dakam rumah atau
selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang
menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tetapi dapat juga berupa luka kecil,
sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus pasien
tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka
bakar, infeksi teling tengah, pembedahan, aborsi, dan persalinan. Resiko terjadinya
tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas terhadap
antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa
secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat di atas 6 tahun terlindungi terhadap
tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun
dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia di atas 70 tahun (pria 45%,
wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat. ( Sudoyo, Aru. W 2006. Emedicine 2008.)
D. Patogenesis
24
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk
vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang
rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk
manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada
sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga
terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman
atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi
kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan
mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga
hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi,
gangguan saraf otonom. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. Emedicine 2008. blog-indonesia 2009.)
25
Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai
gnada dengan berat 150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da)
dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap
protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang
menghubungkan dua rantai ini. Ujung karbooksil dari rantai berat terikat pada membran
saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan
bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang
dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika
otkisn yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi
untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar
ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. blog-indonesia 2009.)
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf
otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk
jauh terjadi dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme
yang tidak jelas. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. blog-indonesia 2009.)
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai
26
Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel
metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron
motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu(karena jalur yang lebih panjang) neuron
simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi.
Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke
dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin
botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek
Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek
spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus
Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan
27
antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat
fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali
karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan
otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. (Sudoyo, Aru. W 2006)
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol
otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan
yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka
memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal:
sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf
pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf,
serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini
menjelaskan urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada
E. Manifestasi klinis
Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu,
kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat
dengan masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang
telah mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat
28
luka yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul
tetanus local tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut
saraf kepala yang terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus
memperhatikan apabila adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala
tetanus. Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan
terasa oleh pasien adalah kaku otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka
mulut (trismus) selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku
leher dan kaku punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus
sardonikus karena kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita
terganggu dengan proses menelan ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. Jong, de Wim2005)
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada
umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang
merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena
rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium
tidak terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena
merasa nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang
merupakan kombinasi berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi
keseimbagan cairan dan elektrolit. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006. Jong, de Wim2005)
Tetanus generalisata
29
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median
onset setelah trauma adalah 7 hari. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006)
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering
merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang
ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan
menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat
berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher
meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.
Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,
stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi
menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus
menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas.
Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme
30
faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di
seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali
tubuh. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal
dijmpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah
berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang
berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi
nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat
mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare,
dan gagal ginjal curah tunggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan
Tetanus neonatorum
31
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari
ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan
tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong
umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan
ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara
neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang
Tetanus lokal
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran
terjadi. Namun demikian secara umum prognosismya baik. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006.)
Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi
setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus
dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia
( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W
dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
2006.)
32
F. Perjalanan klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus
neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari.
(www.emedicine.com)
. Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)
rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama
dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih
pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama
ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik
biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu.
Spasme berkurang setelag 2-3 minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama.
Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran
toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu samapi 4 minggu. ( Harrisons 2008. Sudoyo, Aru. W 2006.)
G. Derajat keparahan
2- 5 hari 4
6- 10 hari 3
11-14 hari 2
33
14 hari 1
Lokasi infeksi Internal/umbilical 5
Ekstremitas proksimal 3
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Imunisasi Tidak ada 10
Proteksi lengkap 0
Faktor pemberat Penyakit trauma 10
Membahayakan jiwa 8
Berbahaya 2
Trauma/penyakit ringan 0
Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa inkubasi,
port d entree, status imunologi, dan faktor yang memberatkan. Berdasarkan jumlah
angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan
(angka < 9), tetanus sedang (angka 9-16), dan tetanus berat (angka > 16). Tetanus ringan
dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan
34
pengobatan baku, sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.
(Jong, de Wim2005)
DERAJAT II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang tampak jalas, spasme singkat
sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30
berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40 kali per menit, serangan apnea,
disfagia berat, dan takikardi ( lebih dari 120 kali per menit).
DERAJAT IV (sangat berat) : Derajat III dengan gangguan otonomik berat, melibatkan
hipotensi dan bradikardi, salah satunya dapat menetap. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)
H. Komplikasi
Laryngospasm (spasme pita suara) dan / atau kejang otot-otot respirasi menyebabkan
gangguan bernapas. Patah tulang belakang atau tulang panjangyang diakibatkan dari
kontraksi dan kejang-kejang. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat mengakibatkan
hipertensi dan / atau irama jantung yang abnormal. Infeksi nosokomial karena perawatn
35
di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Infeksi sekunder dapat mencakup sepsis,
Sistem Komplikasi
Jalan napas Aspirasi
Laringospasme/obstruksi
Hipoksia
Gagal nafas
ARDS
Hipotensi, bradikardia
Ileus
Diare
Perdarahan
Lain-lain Penurunan berat badan
Tromboembolus
36
Sepsis dengan gagal organ multipel
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin
apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin
ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang
dicurigai tetanus. Namun demikian, Clostridium tetani dapat diisolasi dari luka pasien
tanpa tetanus sering tidak ditemukan dari pasien tetanus, kultur yang positif bukan
dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah
potensial aksi. Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada elektromyogram. Enzim otot
mungkin meningkat. Kadar antitoksin serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada
kadar kinin tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi
J. Penatalaksanaan
1. Pencegahan
Imunisasi aktif
37
Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan pencegahan yang
paling efektif dalam praktek. Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau
tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus, seperti halnya pasien yang
Penalaksanaan luka
Tetanus neonatorum
kelahiran yang dilakukan di rumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non medis.
( Sudoyo, Aru. W 2006.)
2. Pengobatan
dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut;
toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan
efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimasi. ( Sudoyo, Aru. W 2006.)
Pentalaksanaan umum
38
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi
sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat
merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis terbagi karena
penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis
yang lebih tinggi. Imunoglobulin intravena merupakan alternatif lain daripada TIG tapi
konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik
pada insisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi luka belumlah jelas. Dosis
tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak
dapat meembus sawar darah otak. Antitoksin tetanus kuda tidak tersedia di Amerika
Serikat, tetapi masih dipergunakan di tempat lain. Lebih murah dibandingkan antitoksin
manusia, tetapi waktu paruhnya lebih pendek dan pemberiannya sering menimbulkan
39
Menyingkirkan sumber infeksi
Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun
sampai 12 juta unit intravena setiiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan
secra luas dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA dan
Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli
hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol tidak
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk
mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi karena
Regimen yang ideal adalah regimen yang dapan menekan aktivitas spasmodik tanpa
menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang tidak
40
Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endigen
pada reseptor GABAA. Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah
dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan
sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh
dan klorpromazin ini merupakan obat lini kedua. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.www.emedicine.com)
Penatalaksanaan respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan
pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau
untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan
atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus di antisipasi dan diterapkan secara
pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan terapi
gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180 mg per hari. Mekanisme
41
refleks simpatis dan pelepasan histamin. Fenotiazin, terutama klorpromazin merupakan
sedatif yang berguna, antikolinergik dan antagonis a adrenergik dapat berperan terhadap
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut menjadi
metabolisme akibat pireksia atau aktivitas muskular dan masa kritis yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, nutisi hendaknya diberikan seawal mungkin. Nutiri
enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah dab lebih murah daripada
Pentalaksanaan lain
Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak
tampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan;kecukupan kebutuhan
mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk
mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus
dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi
Vaksinasi
42
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena
imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.
Diazepam.
semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin
Dosis dewasa
Dosis pediatrik
43
Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau empat kali
sehari
Spasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4 sampai 8
jam.
Kontraindikasi:
Interaksi
Perhatian
Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan sistem saraf pusat yang
lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau gagal hati karena toksisitas
Fenobarbital
pernafasan. Jika ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan
2009)
44
Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
nefritis.
Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan sistem
hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia berat, karena efek
Baklofen.
eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus
diazepam. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat
diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi. ( Sudoyo,
Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT
Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa
Kontraindikasi: hipersensitifitas
45
Penisilin G
rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisislin i.v dapat
indonesia 2009)
Kontraindikasi: hipersensitivitas.
Metronidazol.
sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang terbentuk mengikat DNA dan
antibiotik pada terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang
46
Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari 4
gr/hari.
Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih darri 2
gr/hari.
Perhatian: penyesuaian dosis pada penytakit hati, pemantauan kejang dan neuropati
perifer.
Vekuronium.
Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi ,emjadi 0,05 mg/kg apabila pasien
pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila perlu, 1-10 tahun: mungkin
membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementasi yang lebih sering, > 10 tahun:
47
Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma yang berkaitan.
neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal serta penggunaan steroid secara
Perhatian: pada miastenai gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil vekuronium akan
K. Pencegahan
sangat penting dalam upaya menurunkan morbilitas dan mortalitas akibat tetanus. Ada
dua cara mencegah tetanus ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.wim de jong 2005)
memberikan serum yang sudah mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin
antitetanus serum atau toksoid. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.wim de jong 2005)
L. Prognosis
48
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode
awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai,
beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode onset
( Sudoyo,
merupakan faktor yang menentukan prognosis dala klasifikasi Cole dan Spooner.
Aru. W 2006.blog-indonesia 2009.wim de jong 2005)
kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan
angka kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu,
pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka kematian. ( wim de jong 2005)
DAFTAR PUSTAKA
49
CDC. Tetanus. (cited 2009 November 19th ). 2006. Avalaible at:
www.cdc.gov/niP/publications/pink/tetanus.pdf
Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta. 2005. Hal 23-4.
Sudoyo, Aru. W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI: Jakarta. 2006. Hal 1777-85.
50
A. PENDAHULUAN
Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen
atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini
digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensus American College
of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang
Terdapat berbagai sebab terjadinya syok seperti perdarahan, infark miokard, anafilaksis,
emboli paru dan yang cukup sering ditemukan adalah syok septik.
Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan
segera oleh karena semakin cepat syok dapat teratasi, akan meningkatkan keberhasilan
pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ dan kematian. Oleh karena itu
strategi penatalaksanaan syok septik yang tepat dan optimal perlu diketahui untuk
masuk ke dalam tubuh manusia. Jika kuman berkembang biak dan menyebabkan
kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga
muncul reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan
luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat hanya
51
terbatas pada tempat jejas atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala
sistemik.
Inflamsi ialah reaksi jaringan vaskular terhadap semua bentuk jejas. Pada
dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di
tempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang cepat terhadap agen
penyebab jejas dan sebagian besar kejadian inflamasi akut disebabkan karena pelepasan
berbagai macam mediator kimia. Meskipun yang mengalami inflamasi dari jenis
C. DEFINISI
syndrome (SIRS), terjadi akibat dari cedera klinis yang berat, misalnya trauma, luka
bakar, pankreatitis, infeksi dan sebagainya. Oleh sebab itu, sepsis ditegakkan bila curiga
atau terbukti bakteremia pada pasien-pasien dengan SIRS. Dalam perjalanannya, sepsis
dapat menjadi sepsis berat, syok septik, hingga menjadi multiple organ dysfunction
syndrome/MODS.
Istilah Definisi
Systemic Inflamatory Minimal memenuhi 2 dari 4kriteria berikut:
Response Syndrome
1. Suhu tubuh >38 oC atau < 36 oC
2. Frekuensi nadi >90 kali/menit
(SIRS) 3. Frekuensi napas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
4. Jumlah hitung leukosit >12.000/mm3, atau >4.000/mm3, atau
52
jumlah neutrofil batang >10%
Sepsis SIRS dengan penemuan atau kecurigaan bakteremia.
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi.
1. Asidosis laktat
2. Oliguria (keluaran urin <0,5 mL/KgBB/jam selama >2 jam
pneumonia)
4. Kreatinin serum >2,0 mg/dL
5. Bilirubin >2 mg/dL
6. Hitung trombosit <100.000/mm3
7. Koagulopati (INR >1,5)
Syok septik Sepsis dengan kelainan hipertensi yang tidak membaik
D. ETIOLOGI SEPSIS
Etiologi terbanyak dari sepsis adalah bakteri gram negatif dengan prosentase 60-
70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun.
berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin
glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram
negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang
53
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh
penderita. Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa
LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun selulsr dan humoral, yang dapat
Makrofag mengeluarkan polipedtida, yang disebut faktor nekrosis tumor (TNF) dan
interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering
sepsis.
E. PATOGENESIS
Kondisi sepsis memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi karena dapat
menimbulkan kegagalan organ, yang disebut sebagai MODS dan multiple organ failure
(MOF). MODS dan MOF terjadi akibat kematian sel-sel beberapa organ secara difus.
dan NO. Berbagai mediator tersebut lalu menyebabkan vasodilatasi, disfungsi endotel,
2. Proses apoptosis.
54
Sejumlah mediator inflamasi (seperti NO), perfusi yang rendah, stres oksidatif,
toksin lipopolisakarida (LPS), dan glukokortikoid yang dilepaskan dapat memicu proses
apoptosis selular, suatu proses kematian sel yang fisiologis dan telah terprogram untuk
samping itu, terjadi juga pelepasan reactive oxygen spesies yang merusak DNA dan
4. Hipoksia sitopatik.
Merupakan suatu gangguan utilisasi oksigen seluler. Pada sepsis, kondisi ini
konsumsi NAD+ akan berkurang jumlahnya sehingga terjadi gangguan respirasi selular
F. GEJALA KLINIK
Biasanya gejala klinik sepsis tidak spesifik, sering didahului oleh tanda-tanda
sepsis non spesifik, meliputi: demam, menggigil, dan gejal konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat
dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang
paling sering: paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf
pusat. Sumber infeksi merupakan diterminan oenting untuk terjadinya berat dan
tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis teesebut akan menjadi lebih berat pada
55
penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan
granulosiopenia. Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya syok
yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik.
1. Anamnesis
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau
meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja,
penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang
mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu. Beberapa tanda terjadinya sepsis
meliputi:
1) Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
2) Hipotensi, oliguria atau anuria
3) Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas
4) Perdarahan
2. Pemeriksaan fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh. Pada semua
pasienneutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus
56
mengungkap abses rektal, perirektal, dan/atauperineal, penyakit dan/atau abses
elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, EKG, dan rontgen dada.
Biakan darah, sutum, urin dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Volumesampel sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (pada anak
lebih tinggi).
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dminan. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat
serum. Asidosis metabolik (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respiratorik.
Hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik
Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan berat
proses penyakit.
57
H. KOMPLIKASI
1. Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease syndrome)
2. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC, disseminated intravascular
coagulation)
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian
Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam
penelitian berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk
gagal hati, 9-23% untuk ARF, dan 8-18% untuk DIC. Pada syok septik, ARDS dijumpai
pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal 50%.
I. TERAPI
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:
1. Stabilisasi pasien langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan
Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan
sepsis berat harus diamsukkan dalam ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut
jantung, laju napas, dan suhu badan) harus dipantau. Frekuensinya tergantung pada
berat sepsis. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat
58
J. PENCEGAHAN
1. Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-
negatif.
2. Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita
leukemia.
3. Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram negatif pada pasien
neutropenia.
5. Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)
agalactiae (penyebab utama sepsis pad neonatus). Jika positif untuk strep grup B,
berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil. Hal ini menurunkan infeksi Grup B
sebesar 78%.
59
DAFTAR PUSTAKA
H, G A, 2014. Sepsis, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi VI, hal. 4108-4113
Liwang, F, Mansjoer A, 2014. Sepsis dan Syok Spesis, Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
60
qSOFA
Sequential Organ skor Penilaian Kegagalan (skor SOFA), digunakan untuk melacak
status seseorang selama tinggal di unit perawatan intensif (ICU). Ini adalah salah satu
61
Skor SOFA adalah sistem penilaian untuk menentukan sejauh mana fungsi organ
[1] [2] [3] [4] [5]
seseorang atau tingkat kegagalan. skor yang didasarkan pada enam nilai
Kedua mean dan skor SOFA tertinggi adalah prediktor dari hasil. Peningkatan skor
SOFA selama 24 sampai 48 jam di ICU memprediksi angka kematian minimal 50%
hingga 95%. Skor kurang dari 9 memberikan kematian prediksi pada 33% sedangkan di
Tabel skor di bawah ini hanya menggambarkan kondisi. Jika kasus di mana parameter
fisiologis tidak cocok setiap baris, diberikan poin nol. Dalam kasus di mana parameter
fisiologis cocok lebih dari satu baris, diambil baris dengan poin terbanyak.
dan mortalitas akibat sepsis, kondisi AS yang paling mahal medis, yang Centers for
perawatan di rumah sakit, sebagai evaluasi pengukuran hasil pasien. [6] [7]
Sistem pernapasan
62
Sistem saraf
Sistem kardiovaskular
Singkatan obat: dop untuk dopamin , dob untuk dobutamin , epi untuk epinephrine dan
Hati
63
Koagulasi
Ginjal
Quick SOFA Score (quickSOFA atau qSOFA) diperkenalkan oleh kelompok Sepsis-3 di
Februari 2016 sebagai versi sederhana dari Skor SOFA sebagai cara awal untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi untuk hasil yang buruk dengan infeksi.
Kriteria SIRS definisi sepsis sedang diganti karena mereka ditemukan memiliki terlalu
banyak keterbatasan; "penggunaan saat ini dari 2 atau lebih kriteria SIRS untuk
mengidentifikasi sepsis secara bulat dianggap oleh gugus tugas untuk menjadi tidak
membantu." The qSOFA menyederhanakan skor SOFA drastis dengan hanya termasuk
kriteria klinis 3 dan dengan memasukkan "setiap pemikiran yang berubah" bukan
64
membutuhkan a 13 GCS. qSOFA dapat dengan mudah dan cepat diulang serial pada
pasien. [8]
Skor tersebut berkisar dari 0 sampai 3 poin. Kehadiran 2 atau lebih qSOFA titik dekat
awal infeksi dikaitkan dengan risiko kematian atau berkepanjangan unit perawatan
intensif tinggal. Ini adalah hasil yang lebih umum pada pasien yang terinfeksi yang
mungkin septic dibandingkan dengan infeksi tanpa komplikasi. Berdasarkan temuan ini,
sebagai prompt sederhana untuk mengidentifikasi pasien yang terinfeksi di luar ICU
Daftar Pustaka
Reinhart CK, Suter PM, Thijs LG. SOFA (Assessment terkait Sepsis Organ
Medicine. Perawatan Intensif Med 1996 Juli; 22 (7):. 707-10 PMID 8.844.239 .
65
Vincent JL , de Mendonca A, Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter PM,
intensif. Hasil dari calon, studi multisenter. Kelompok Kerja Sepsis terkait
Permasalahan ESICM tersebut. Perawatan Intensif Med 1999 Juli; 25 (7):. 686-
96 PMID 10470572 .
De Mendonca A, Vincent JL, Suter PM, Moreno R, Dearden NM, Antonelli M,
risiko dan hasil dievaluasi dengan skor SOFA. Perawatan Intensif Med 2000 Jul;
untuk memprediksi hasil pada pasien sakit kritis. JAMA 2001 10 Oktober; 286
isnt-what-youd-expect/ar-AAcFurT
"QSOFA (Quick SOFA Score) untuk Sepsis Identifikasi - MDCalc" MDCalc..
Diperoleh 2016/11/26.
"QSOFA :: Apa qSOFA?" . Www.qsofa.org. Diperoleh 2016/11/26.
66
PNEUMONIA
BAB 1
PENDAHULUAN
Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka kesakitan dan
kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja 1. Dari hasil survei kesehatan
rumah tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bagian bawah
menempati urutan ke dua sebagai penyebab kematian 2. ISNBA dapat dijumpai dalam
berbagai bentuk, tersering adalah dalam bentuk pneumonia. 1. Laporan WHO 1999
67
adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia. Di Indonesia, dari buku
enam.2
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah
pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut, sedangkan
menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional),
angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian
68
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas
diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk
mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus.
2
69
70
Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus
pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus
medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan
fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg
dipisahkan oleh fissura oblique. Pada paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti
lidah yang disebut lingula. Jumlah segmen pada paru-paru sesuai dengan jumlah
bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan. Sejalan dgn percabangan
bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg lebih kecil, segmenta paru dibagi lagi
menjadi subsegmen-subsegmen.2
2.2 Definisi Pneumonia
71
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat yang
paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang terbanyak
di dapatkan dan dapat menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Angka kematian
di Inggris adalah sekitar 5-10%. Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa
pneumonia mencapai 13% dari penyakit infeksi saluran nafas pada anak di bawah 2
tahun.4
UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena penyakit
pneumonia setiap tahun. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih
sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada
anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya
72
dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas tahun
tahun dan 80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan oleh
infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat
pada musim dingin sampai awal musim semi, dinegara tropis pada musim hujan. 4
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
pneumonia pada bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8%
bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab
penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien, dan
parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan
mikoplasma. 4
pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu
73
Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia
Hospital-acquired pneumonia.4
Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan terjadinya infeksi. 4
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus
pneumoniae B
Clamydia pneumoniae Moxarella catarrhalis
Mycoplasma Neisseria meningitis
Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus
Virus
Varicella zoster virus
Respiratory syncytial
virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles
Virus
Adenovirus
Epstein barr virus
Influenza virus
75
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
(adults); adenovirus
Pseudomonas spp.
76
Nocardia
Actinomyces
capsulatum,
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak
legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain
penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
77
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
pneumonia yang terjadi di rumah sakit, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di
rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu
Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli,
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar
Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar
Streptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh
adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses
keganasan. 5
78
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan
usia lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan
penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya , adalah
sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan
malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ
paru-paru.1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu,
79
toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara
langsung merusak sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme
mencapai permukaan: 5
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada
saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada
orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
antibodi. 5
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling
mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh
lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan
dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan
80
cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin. 2
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan
oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini
81
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada
saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus
masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi
penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.2
2.7 Diagnosis Pneumonia
2.7.1 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejalanya
meliputi:
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas
selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-
kadang melebihi 40 C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk,
bernafas , pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
82
Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada
stadium resolusi. 5
2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. 6
2.7.3 Gambaran Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:
Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di
akhir terkena.
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya
83
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
84
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus
(lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang mengikutsertakan alveoli
yang tersebar. Air bronchogram biasanya ditemukan pada pneumonia jenis ini.
CT Scan
Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai ke
perifer.
Foto Thorax
85
Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus
bawah kiri.
CT Scan
Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar
sampai perifer.
3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax
86
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial
prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi
irreguler. (B) CT Scan pada hasil follow up selama 2 tahun menunjukan area
torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada sputum disertai
dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian
membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak
segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan
87
mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang
memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan
pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif
(durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi
demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat
badan.3
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
B.Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna
dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak
88
mengandung udara dan kolaps. Memberikan gambaran yang mirip dengan pneumonia
tanpa air bronchogram. Namun terdapat penarikan jantung, trakea, dan mediastinum ke
arah yang sakit karena adanya pengurangan volume interkostal space menjadi lebih
sempit dan pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga akan
mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax membesar. Pada edusi pleura sebagian
akan tampak meniscus sign (+) tanda khas pada efusi pleura. 3
89
Efusi pleura pada foto thorax posisi PA
2.9 Penatalaksanaan
pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara
1. Pemberian Antibiotik
Golongan Penisilin
90
TMP-SMZ
Makrolid
Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
Tikarsilin, Piperasilin
Siprofloksasin, Levofloksasin
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Fluorokuinolon respirasi
91
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrolid
Fluorokuinolon
92
atau 1x300 mg
93
Kategori -Pneumonia -S.pneumonia - Sefalosporin -Carbapenem/
-Legionella sp meropenem
IV berat -Batang Gram (-) generasi 3 -Vankomicin
-Perlu dirawat -Linesolid
aerob (anti -Teikoplanin
di ICU -M.pneumonia
-Virus pseudomonas)
-H.influenzae
-M.tuberculosis + makrolid
-Jamur endemic - Sefalosporin
generasi 4
- Sefalosporin
generasi 3 +
kuinolon
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan
paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia
94
bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak
adalah:
compliance hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau
c. Respiratory arrest.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang
didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari pembentukan CO2
yang berlebihan.9
95
3. Terapi Sulih (switch therapy)
suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya
perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan ini dapat diberikan secara
sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step
down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). Pasien beralih dari intravena ke
oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan perbaikan terbukti secara secara klinis,
1. Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada infeksi
steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.
96
2. Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia berupa
meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia pada infeksi
4. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru sehingga terjadi infeksi oleh
5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari 4-6
minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-) seperti
Pseudomonas aeruginosa.
6. Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-anak tetapi dapat
juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau
antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit dasar dan
kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia pneumokokus adalah sebesar
5%, namun dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk
misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik, atau
kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus dan komplikasi
97
Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu perawatan di
RS kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60 tahun) dapat berobat jalan
kecuali:
3. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi yaitu:
b. Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS: frekuensi napas > 30
BAB 3
KESIMPULAN
Pneumonia adalah salah satu penyakit akibat infeksi parenkim paru yang dapat
menyerang segala usia. Pneumonia paling banyak disebabkan oleh infeksi bakteri
Streptococcus pneumonia dengan gejala yang muncul seperti demam, batuk berdahak,
menjadi pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia. Gambaran khas pada
98
thorax, melainkan harus dilihat dari riwayat penyakit, dan juga pemeriksaan
laboratorium.
Penatalaksanaan medis pada pneumonia adalah pemberian antibiotik yang sesuai
pneumonia secara umum baik jika mendapat terapi antibiotik yang adekuat, faktor
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia. Jakarta.
2. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
FK UNAIR. Surabaya
4. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti.2003
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial.2003
7. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ. Practice
99
8. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of
007;132:1348
10. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient
100