SINDROMA NEFROTIK
DOKTER PEMBIMBING
DISUSUN OLEH
030.10.190
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3
ANATOMI GINJAL.............................................................................................................19
FISIOLOGI GINJAL............................................................................................................22
SINDROMA NEFROTIK....................................................................................................24
Definisi..............................................................................................................................24
Epidemiologi.....................................................................................................................24
Etiologi..............................................................................................................................24
Klasifikasi.........................................................................................................................26
Pembagian Patologi Anatomi............................................................................................28
Patofisiologi......................................................................................................................29
Gejala Klinis.....................................................................................................................32
Tatalaksana........................................................................................................................35
Komplikasi........................................................................................................................39
Prognosis...........................................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................43
2
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia
(kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan
etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan
kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan
oleh penyakit tertentu.1
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-
85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua
kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa
(30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh
diabetes mellitus.2
3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada Kamis 7 Januari 2015
pukul 12.00 WIB di ruang M05 bangsal Melati, RSUD Kota Bekasi.
a) Keluhan Utama:
Pasien datang karena seluruh badannya bengkak sejak dua minggu sebelum masuk
rumah sakit.
Pasien datang ke poli anak RSUD Kota Bekasi dengan keluhan seluruh badan
bengkak sejak 2 minggu yang lalu. Bengkak awalnya dimulai dari kedua kelopak
mata pasien, kemudian kelamin, dan kedua tungkai. Perut dirasakan lebih membesar.
Bengkak terutama pada pagi hari saat bangun tidur, kemudian berkurang saat siang
hari dan sore hari. Selama bengkak, orang tua menyadari bahwa air kencing pasien
menjadi berwarna kuning keruh dan sedikit berbusa. Frekuensi BAK 4-5 kali sehari.
Keluhan sering terbangun malam hari untuk kencing disangkal. Sesak napas
4
disangkal. Anak tidak pernah muntah-muntah, demam, dan kejang. Selama sakit,
pasien tidak pernah tampak pucat, lemah, lesu, atau kehilangan nafsu makan. Pasien
sempat mengeluhkan adanya BAB cair 3 hari sebelum bengkak timbul, keluhan nyeri
perut disangkal. Sekarang BAB normal.
Sindrom
- Varicela - Tuberkulosis -
nefrotik
Kesan: pasien tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya. Sesekali pernah batuk
dan pilek, namun sembuh dengan minum obat dari puskesmas.
Langsung menangis
5
Nilai apgar tidak tahu
e) Riwayat Keluarga:
g) Riwayat Makanan:
h) Riwayat Imunisasi:
6
i) Riwayat Perumahan dan Sanitasi:
Tinggal di rumah sendiri, terdapat 2 kamar. Ventilasi dan cahaya matahari cukup, air
minum berasal dari air kemasan, air mandi berasal dari air PAM.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik
7
8
Kepala
o Bentuk : normocephali
o Rambut : hitam, tidak mudah dicabut, distribusi baik
o Mata : conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil isokor, RCL +/
+, RCTL +/+, edema palpebra +/+
o Telinga: normotia, serumen -/-, perdarahan -/-
9
o Hidung : septum deviasi -, secret -/-, nafas cuping hidung -/-,
perdarahan -
o Mulut : Bibir tampak kering -, bibir tampak pucat -, gusi berdarah -,
faring hiperemis -, tonsil T1-T1, kripta -/-, detritus -/-
o Leher : KGB dan kelenjar tiroid tidak tampak membesar
Thorax
o Pulmo
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi -
Palpasi : gerak nafas simetris, vocal fremitus simetris
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
o Kardio
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : teraba ictus cordis pada ICS V, 1 cm medial linea
midklavikularis kiri
Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I & II regular, murmus -, gallop -
Abdomen
o Inspeksi : membuncit
o Auskultasi : bising usus +
o Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium -, organomegali -
o Perkusi : timpani, shifting dullness +
Urogenital
o Oedem pada scrotum +
Kulit : ikterik (-), pucat (-), turgor baik
Ekstremitas
o Atas : Akral hangat +/+, oedem +/+
o Bawah : Akral hangat +/+, oedem +/+, pitting oedem +/+
10
Eritrosit 4.76 juta/uL 4-5 juta/uL Normal
Hemoglobin 8.8 g/dL 12-16 g/dL Menurun
Hematokrit 29.9 % 40-54 % Menurun
Index Eritrosit
MCV 70,8 fL 75-87 fL Menurun
MCH 24,1 pg 24-30 pg Normal
MCHC 29.5 % 31-37 % Menurun
Trombosit 650.000/uL 150.000- Meningkat
400.000/uL
Protein Total 4,00
Albumin 0,86 Menurun
Globulin 3,14
Ureum 19
Kreatinin 0,16
Kolesterol total 442
Elektrolit
Na 142
K 4,2
Cl 97
Urin Lengkap
Warna Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
Reduksi/glukosa Negatif Negatif
urin
Bilirubin urin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Berat Jenis 1,027 1005-1030 Normal
Darah/darah samar + Negatif Meningkat
pH Urin 6,5 5,0-8,0 Normal
Albumin Urin ++ Negatif Meningkat
Urobilinogen 0,2 UE 0,0-0,2 UE Normal
Nitrit/Bakteri Negatif Negatif Normal
Leukosit urin + Negatif Meningkat
Sedimen
Leukosit sedimen 0-5 /lpb < 5 /lpb Normal
Eristrosit 0-2 /lpb < 2/lpb Normal
Silinder + Negatif Meningkat
Epitel Gepeng (+) Gepeng (+) Normal
Kristal + Negatif Meningkat
Bakteri Negatif Negatif Normal
Lain-lain Negatif Negatif Normal
V. RESUME
Pasien, An. H, 2 tahun, datang ke poli anak RSUD Kota Bekasi dengan keluhan seluruh
badan bengkak sejak 2 Minggu SMRS. Bengkak dimulai dari kedua kelopak mata, mata
pasien, kemudian kelamin, dan kedua tungkai. Perut dirasakan lebih membesar. Bengkak
11
terutama pada pagi hari saat bangun tidur, kemudian berkurang saat siang hari dan sore hari.
Selama bengkak, orang tua menyadari bahwa air kencing pasien menjadi berwarn kuning
keruh dan sedikit berbusa. Frekuensi BAK 4-5 kali sehari. 3 hari sebelum bengkak, pasien
mengeluh BAB cair, namun sekarang BAB normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, dengan tekanan darah:
110/80mmHg, nadi: 110 kali/menit, frekuensi napas: 32x/menit, dan suhu 36,3oC. Pada
pemeriksaan kepala didapatkan adanya oedem pada kedua palpebral, perut tampak
membuncit, shifting dullness (+). Didapatkan pitting oedem pada kedua tungkai.
Dari hasil pemeriksaan lab hematologi didapatkan: LED: 125 mm, Diff count:0/4/2/22/68/4,
Hematokrit: 29,9%, Albumin 0,61, Kolesterol 442. Dari hasil pemeriksaan urin lengkap
didapatkan : warna urin kuning, agak keruh, darah samar +, albumin urin ++, leukosit urin +,
silinder +, Kristal +.
VII. TATALAKSANA
IVFD Dextrose 5%
Furosemide 2x10mg
Balance cairan
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
IX. FOLLOW UP
12
Furosemide Furosemide Furosemide Furosemide
2x10mg 2x10mg 2x10mg 2x10mg
Amoxcilin Amoxcilin Prednison Amoxcilin
3x300mg iv 3x300mg iv 2mg/kgBB/ 3x300mg iv
hari (2-2-1) Prednison
2mg/kgBB/h
ari (2-2-1)
Hasil Lab Kolesterol Albumin ++
total: 442 transfusi
Albumin urin albumin 20%
++ transf.
albumin 20%
X. ANALISA KASUS
Dari anamnesis didapatkan, pasien datang ke poli anak RSUD Kota Bekasi dengan
keluhan bengkak di seluruh tubuh sejak 2 minggu yang lalu. Orang tua pasien mengatakan
bahwa bengkak dimulai dari kelopak mata, kemudian ke tungkai, perut, dan kemaluan.
Sebelumnya, pasien sempat mengeluh BAB cair, sekitar 3 hari sebelum datang ke poli,
namun sekarang BAB sudah normal.
Riwayat sesak nafas, demam, batuk, pilek, dan cepat lelah disangkal. Pasien BAK
sekitar 5 kali sehari sejak sakit, dan kencingnya berwarna kuning keruh serta berbusa.
Keluhan ini baru pertama kali dialami pasien. Sebelumnya, pasien belum pernah sakit
berat hingga harus masuk rumah sakit.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum/kesadaran: tampak sakit sedang, compos
mentis, tampak bengkak pada wajah, perut, dan kedua tungkai.
Data Antropometri
o Berat badan : 16 kg
o Tinggi badan : 86 cm
13
Pada mata didapatkan edema palpebral (+/+). Abdomen tampak cembung, bising usus
(+), pada palpasi tidak ditemukan adanya organomegali atau nyeri tekan, Perkusi abdomen
didapatkan adanya shifting dullness (+).
Pada pemeriksaan genitalian eksterna didapatkan adanya edema pada scrotum. Pada
kedua tungkai didapatkan pitting edema.
Perjalanan penyakit pada sindroma nefrotik awalnya mengikuti sindrom pada pasien
ini, seperti bengkak pada palpebral dan oliguria, kemudian setelah beberapa hari, edema
semakin jelas dan menjadi edema anasarka.
Dari hasil pemeriksaan penunjang pada saat pasien pertama masuk RS, didapatkan
hasil
nilai albumin yang rendah, yaitu 0,61 dan nilai kolesterol yang tinggi: 442. Dari hasil
urinalisis didapatkan adanya albumin dalam urin (++), sehingga dari temuan di atas,
diagnosis sindroma nefrotik dapat ditegakkan.
Dimana dalam urin terdapat protein 40 mg/m2 lpb/jam atau > 50 mg/kgBB/ 24 jam,
atau rasio albumin/ kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstik 2+. Proteinuria
pada sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh
albumin.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum < 2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada anak dengan gizi
baik berkisar antara 3.6-4.4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi cairan dan sembab baru akan
terlihat apabila kadar albumin plasma turun dibawah 2.5-3.0 g/dl, bahkan sering dijumpai
kadar albumin plasma yang jauh dibawah kadar tersebut. Jumlah albumin dalam badan
ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik,
eksresi renal dan gastrointestinal. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara
laju eksresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi
mungkin normal atau menurun.
3. Oedem
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan
teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena
14
menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein melalui urin.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan
transudasi cairan dari ruang intervaskular keruangan intersisial. Penurunan volume
intravakular menyebabkan penurunan tekanan perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan
sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal.
Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang
mempertinggi penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka
cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial sehingga
memperberat edema.
Sedangkan pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena
mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Serta
adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta
ginjal. Retensi natrium primer akibat defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan
plasma dan cairan ekstraseluler. Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam
ruang interstisial.
4. Hiperlipidemia
Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol serum lebih
dari 200 mg/dl). Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat
meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan
penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron
dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid meningkat.
Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1) hipoproteinemia merangsang
sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun
karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil
lemak dari plasma.
Pasien baru pertama kali mengidap penyakit seperti ini, dan pada pasien SN pertama kali
sebaiknya dirawat di rumah sakit, dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi
orang tua.
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai
pemberian prednisone oral (induksi) sebesar 60mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80mg/hari
selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi dalam
15
80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid selama 4 minggu. 12 Bila
terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40mg/m2 (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Pemberian diuretik dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemide 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik
lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan
natrium).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI GINJAL
16
Puncak pyramid medulla menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan
ujung kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada duktus papilaris Bellini yang
ujungnya bermuara di papil ginjal dan mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Karena ada
18-24 lubang muara duktus Belini pada ujung papil maka daerah tersebut terlihat sebagai
tapisan beras dan disebut juga dengan area kribosa
Antara dua pyramid tersebut, terdapat jaringan korteks tempat masuknya cabang-cabang
arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor membentuk kaliks mayor yang
bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal dan kemudian bermuara ke dalam ureter. Ureter kanan
dan kiri bermuara di kandung kemih yang juga disebut buli-buli atau vesika urinaria. Urin
dikeluarkan dari kandung kemih melalui urethra.
Sirkulasi Ginjal
17
Setiap ginjal menerima kira-kira 25% isi sekuncup janung. Bila diperbandingkan
dengan berat organ ginjal hal ini merupakan suplai darah terbesar didalam tubuh manusia.
Suplai darah pada setiap ginjal biasanya berasal dari arteri renalis utama yang keluar dari
aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama membagi
menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris
bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel
otot yang terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian
distal tubulus (mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus
jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi
anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole
eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar dari pada arteriole
di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula.
Struktur Nefron
Tiap ginjal mengandung kurang lebih 1 juta nefron (glomerolus dan tubulus yang
berhubungan dengannya). Pada manusia, pembentukkan nefron selesai pada janin 35 minggu.
Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah hyperplasia
dan hipertrofi struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional. Perkembangan paling
cepat terjadi pada 5 tahun pertama setelah lahir. Oleh karena itu bila pada masa ini terjadi
gangguan misalnya infeksi saluran kemih atau refluks, maka hal ini dapat mengganggu
pertumbuhan ginjal.5
Tiap nefron terdiri atas glomerolus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, ansa
henle dan tubulus distal. Glomerolus bersama kapsula Bowman juga disebut badan Malpigi.
Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerolus tetapi peranan tubulus dalam
pembentukkan urin tidak kalah pentingnya dalam pengaturan meliau internal. Fungsi ginjal
normal terdiri atas 3 komponen yang saling berhubungan yaitu :
1. Ultrafiltrasi glomerolus
2. Reabsorbsi tubulus terhadap solute dan air
3. Sekresi tubulus terhadap zat-zat organic dan non-organik
1. Glomerolus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar
korteks
18
2. Glomerolus jukstamedular yang mempunyai ansa henle yang panjang sampai ke
bagian dalam medulla. Glomerolus semacam ini berada diperbatasan korteks dan
medulla dan merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsorpsi
air dan solute.
II. FISI
OL
OGI
GINJAL5
Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur
keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah,
pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu :
19
Tiga tahap pembentukan urin:
1) Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,
seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat
impermeable terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeable terhadap
air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari
curah jantung atau sekitar 1200ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau
sekitar 125ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal
dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan
masuk ke kapsula bowman disebut filtrate. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan
tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman, tekanan
hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini
dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrate dalam kapsula bowman serta tekanan
osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan
tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat
tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak
terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion
hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat
dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap
kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen
atau ion kalium kedalam cairan tubular perjalanannya kembali jadi, untuk
setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan
sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan
ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang
pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa
20
hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat
mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau
mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis
berat dikoreksi secara theurapeutik.
I. DEFINISI
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat
badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5
gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi,
hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
II. EPIDEMIOLOGI
21
sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin
maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer
ini 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka
prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus
per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan
pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan 2/3 kasus anak dengan
SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
III. ETIOLOGI
GN membranosa (GNMN)
GN membranoproliferatif (GNMP)
GN proliferative lain
B. GN sekunder:
22
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :
o Infeksi:
TBC, lepra
o Keganasan:
o Lain-lain:
IV. KLASIFIKASI
23
Secara klinis, sindroma nefrotik dibagi menjadi 3 kelompok :
Kelainan minimal
Prognosis baik
Nefropati membranosa
24
Glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel
Glomerulonefritis proliferative
Prognosis buruk
1) Kelainan minimal
25
b) Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga
nefrosis lipid atau penyakit podosit.
a) Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi,
proteinuria nonselektif dan responnya terhadap kortikosteroid buruk.
26
a) Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler
(hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN.
b) Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-
sel mesangial dan suatu penambahan matriks mesangial.
VI. PATOFISIOLOGI
27
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi
timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai
usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap
normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
28
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik
dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau
pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit
glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.9
29
Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT
(lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan
HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk
katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN.2
Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat. Pada
keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani. Bila edema berat
dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat.
30
Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai
dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50
mg/kgBB/24 jam atau 3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5
g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia.
Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik
(>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus
fokal).
Gambaran laboratorium1
Darah :
- Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl)
- Kalsium menurun
- Ureum Normal
Urin :
- Volumenya : normal sampai kurang
- Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies, leukosit
normal sampai meningkat.
o Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam
acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh
dan kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%).
31
o Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil
proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari.
o Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.
o Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung
selama edema masih ada.
o Berat jenis urin meningkat.
o Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid
o ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan
pewarnaan Sudan III).
o Terdapat leukosit
Pemeriksaan darah yang didapatkan1 :
Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut.
32
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
VIII. TATALAKSANA
33
golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan
kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL.
Medikamentosa1:
Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien
hingga kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring
meningkatnya kembali tekanan osmotik plasma.
Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan
garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti
spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid,
asam etakrin, atau butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk
deteksi kemungkinan komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau
kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian
diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin
kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena
dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila
ada harus dipantau secara berkala.
Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk
menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi
lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang
34
ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga
tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada
pasien yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang
ketergantungan dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian
cyclophosphamide 2 - 3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15
mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat tersebut harus diperhatikan selama pemberian
karena dapat menekan hormon gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat
terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi sel sumsum tulang.
Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic
syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12
minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan
antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis
atau jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas
dari relap selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25
% serupa dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat
disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan
dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal
change nephotic syndrome.
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m 2 LPB/hari
atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan
dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang
sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis
penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb
secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap
2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis
35
threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,
sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps
terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut
diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai
terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb
diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu,
sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang
sebelumnya atau relaps yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >
0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternatingtanpa efek samping yang
berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau pulv. CPA
pulv diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek
samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin
<8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek
toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai
200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180
mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.1
IX. KOMPLIKASI
36
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III,
protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin.
Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,
meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya
fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus,
staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau
paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang
menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila
kelainan kulit dibiakan.
3. Gangguan tubulus renalis
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan
kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran
natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan
ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.
5. Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten
terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe
yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria.
6. Peritonitis
37
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
streptokokus pneumonia, E.coli.
38
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan
pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2/3
dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam seminngu atau selang
sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila relaps,
berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi,
kemudian dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau
resisten steroid, lakukan biopsi ginjal.
6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih
dalam tahap percobaan.
X. PROGNOSIS
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal
maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang
baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat
mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal
sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
1. Abdoerrachman, M.H. dkk. Sindrom Nefrotik. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak Jilid 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997; 832-835.
2. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
kedokteran. No 150. 2006. 53. [cited 2016, January 8]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_15
0_SindromaNefrotikPatogenesis.html.
3. Latief, A. 2000. Diagnosis fisik pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.
4. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001.
5. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5 th ed. US: FA Davis
Company; 2007.
6. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia
Kidney Care Club. [cited 2016, January 2]. Available:
http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170
7. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary
nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal change
nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98 : 561.
8. Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor.
Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp.
681-726.
9. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-
426.
10. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J. 2002, 3 : 3
11. Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children.
41