Pembimbing:
Dr. Tienneke Saboe, Sp. THT
Disusun oleh:
Hidris Damanik
030.10.124
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
RHINITIS KRONIS SUSPEK SINUSITIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian akhir
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu THT
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 7 Juli 16 Agustus 2014
Disusun oleh:
Hidris Damanik
030.10.124
BAB I
LAPORAN KASUS
Tanggal
: 18 Juli 2014
: 0-26-91-46
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
: 50 tahun
Suku
:-
Agama
:-
Alamat
Pekerjaan
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Jumat tanggal 18 Juli
2014 pukul 11:30 WIB di Ruang Poliklinik THT Rumah Sakit Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor.
A. Keluhan Utama
Hidung kiri pilek sejak 2 bulan yang lalu
Keluhan Tambahan
-
E. Riwayat Pengobatan
Ny. Ros Rosana sudah mengobati pileknya menggunakan obat
Rhinos namun pilek membaik bila diobati saja, bila obat tidak diminum
maka pilek akan kambuh lagi. Ia juga sudah mengunjungi dokter umum
dan diberikan obat, namun setelah obat habis pilek kambuh lagi.
F. Riwayat Kebiasaan
Ny. Ros Rosana mengaku setelah berobat ke Dokter Umum, ia
tidak pernah lagi meminum air es.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaan umum
a. Kesadaran
: Compos mentis
b. Kesan sakit
c. Kesan gizi
: Gizi cukup
2. Tanda vital
a. Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
b. Nadi
c. Suhu
d. Pernapasan
3. Kepala
4. Mata
: CA -/-, SI -/-
5. Leher
6. Thoraks
7. Abdomen
8. Ektremitas
Telinga Kiri
Normotia
Daun Telinga
Normotia
Preaurikuler
Tidak hiperemis
Tidak hiperemis
Tidak edema
Tidak edema
Retroaurikuler
Liang Telinga
Lapang
Lapang/Sempit
Lapang
Normal
Warna Epidermis
Normal
Sekret
Serumen
Kelainan lain
Intak
Membran Timpani
Intak
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Bulging (-)
Bulging (-)
Retraksi (-)
Retraksi (-)
2. Pemeriksaan Hidung
Hidung Kanan
Hidung Kiri
Normotia
Deformitas
Normotia
paranasalis (-)
Paranasalis
paranasalis (-)
Krepitasi
Rhinoskopi Anterior
Hidung Kanan
Hidung Kiri
Normal
Vestibulum
Normal
Konka
Hipertrofi konka
(+)
inferior (+)
Meatus Nasi
Lapang
Kavum Nasi
Lapang
Hiperemis
Mukosa
Hiperemis
Sekret
Septum
Normal
Dasar Hidung
Normal
Koana
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Mukosa konka
Sekret
Muara Tuba
Eustachius
Adenoid
Fossa Rusenmuler
Atap Nasofaring
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
Tidak dilakukan
pemeriksaan
3. Pemeriksaan Faring
a. Arkus Faring
b. Mukosa Faring
: Tidak hiperemis
c. Dinding Faring
d. Uvula
e. Tonsil Palatina
f. Gigi Geligi
4. Hipofaring
Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Pemeriksaan Laring
Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Leher
Tidak tampak dan tidak teraba pembesaran KGB
7. Mukosa Fasial
Simetris
Paralisis Nervus kranialis (-)
Nyeri tekan sinus paranasalis (-)
IV.
RESUME
Ny. Ros Rosana berusia 50 tahun datang ke Poliklinik THT
RSMM Bogor dengan keluhan hidung kiri pilek hilang-timbul sejak 2
bulan yang lalu. Pilek tersebut berupa cairan bening yang keluar dari
lubang hidung sebelah kiri, biasanya cairan bening tersebut keluar secara
tiba-tiba pada malam hari sebelum tidur dan pagi hari setelah bangun tidur.
Ny. Ros Rosana juga mengeluhkan ada gatal pada bagian hidung.
Gatal tersebut timbul bersamaan dengan pilek.
Ny. Ros Rosana sudah mengobati pileknya menggunakan obat
Rhinos namun pilek membaik bila diobati saja, bila obat tidak diminum
maka pilek akan kambuh lagi. Ia juga sudah mengunjungi dokter umum
dan diberikan obat, namun setelah obat habis pilek kambuh lagi.
V.
DIAGNOSIS KERJA
Rhinitis Kronis Suspek Sinusitis
Dasar yang mendukung:
VI.
VII.
DIAGNOSIS BANDING
-
Rhinitis Alergika
Rhinitis Vasomotor
RENCANA PENGOBATAN
Medikamentosa:
-
Cefixime 1 x 1
Cetrizin 1x1
Metilprednisolon 3 x 1
Non Medikamentosa:
-
Istirahat cukup
VIII.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Foto Sinus Paranasal (Waters, Posterior anterior dan lateral)
IX.
PROGNOSIS
Ad Vitam
: Ad Bonam
Ad Sanationam
: Dubia Ad Malam
Ad Functionam
: Ad Bonam
Dokter Muda
: Hidris Damanik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
Pangkal hidung
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1.
dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum
nasi dengan nasofaring.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial terdapat septum nasi dan dinding lateral
terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terkecil ialah
konka suprema dan biasanya rudimenter. Celah antara konka inferior dan dasar
hidung dinamakan meatus inferior. Celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.
Kavum nasi terdiri dari:
1. Dasar hidung: dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap hidung: terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, prosesus
frontalis os nasal, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa.
3. Dinding lateral: dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka
inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus
medial.
4. Konka: pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka
inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila. Sedangkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid.
5. Meatus nasi: diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media
terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus media terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.
6. Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi.
Kompleks Osteomeatal
Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
yang penting yang membentuk KOM adalah prosesus uncinatus, infundilbulum
etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, ager nasi dan resesus frontal. KOM
merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari
sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maxila, etmoid anterior dan
frontal.
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
Pendarahan Hidung
Pendarahan pada hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis
eksterna yang mendarahi septum dan dinding lateral hidung.
1. Pendarahan arteri karotis interna
Arteri optalmikus yang berasal dari arteri karotis interna bercabang
menjadi arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior masuk ke
kavum nasi. Arteri etmoidalis anterior mendarahi septum bagian anterior
dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior mendarahi septum
bagian posterior dan dinding lateral hidung.
2. Pendarahan arteri karotis eksterna
Arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna kemudian
bercabang menjadi arteri sfenopalatina dan arteri palatine mayor. Arteri
sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung melalui foramen
tahun, setelah itu pelan-pelan tumbuh, total volume 6-7 ml. Sinus frontal
mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis .
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kira kira 15 % dari orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan 5%
sinus frontalnya tidak berkembang. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang
relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar kedaerah ini.
Sinus sfenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan
yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior rongga hidung.
Sinus ini berupa suatu takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur 3 tahun
ketika pneumatisasi mulai lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk menjangkau
tingkatan sella tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran orang dewasa
setelah berumur 18 tahun, total volume 7.5 ml. Sinus sfenoid mengalirkan
sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior.
Sinus
berfungsi
sebagai
ruang
tambahan
untuk
mamanaskan
dan
ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus
b.
Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c.
2.2
Histologi Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang
kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal
mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
2.3
Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
hidung
sebagai
pengatur
kondisi
udara
perlu
untuk
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
RHINITIS KRONIK
Rhinitis Alergi
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut. Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Onset pajanan
alergen terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada komplikasi lain
seperti sinusitis.
Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 30 % semua populasi dan pada 10 15 % anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali
lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi
yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
2. Dekongestan Oral
Berkerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena
bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini
melengkapi pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin
dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh obat
dekongestan
oral
adalah
pseudoefedrin,
fenilpropanolamin,
yang
dapat
menyebabkan
rinitis
medikamentosa.
Preparat
yang
tersedia
seperti
beklometason,
Rinitis Vaomotor
Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatau keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan
pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klopormazin dan
obat topikal hidung dekongestan).
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik
tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes
cukit kulit, kadar antibodi lgE spesifik serum).
Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor
instability, atau juga non allergic perennial rhinitis.
rongga hidung yang bergantian setiap 24 jam. Keadaan ini disebut sebagai siklus
nasi. Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu untuk dapat bernapas
dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju
ganglion
pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi
pelepasan
ko-transmiter
hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui dengan
pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima implus
eferen, termasuk rangsangan emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam
keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rintis vasomotor
diduga sebagai akibat dari ketidak-seimbangan implus saraf otonom dimukosa
hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.
2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfingsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya
rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C dihidung. Adanya rangsangan
abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar. Keadaan
ini menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiper- reaktifitas hidung.
3. Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten dilapisan epitel hidung dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan nonspesifik berinteraksi lansung kelapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan
reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks vaskular dan kelenjar
mukosa hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma
hidung melalui mekanisme neurogenik dan atau neuropeptida.
Gejala Klinik
Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan nonspesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol,
makanan pedas,udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan
kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan sters/emosi. Pada keadaan
normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rintis alergi, namun gejala
yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada
posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini
meningkat.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rintis vasomotor bevariasi, tergantung pada faktor penyebab
dan gejala yang menonjol. Secara garis besardibagi dalam:
1. Menghindari stimulus/faktor pencetus.
2. Pengobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung
dengan larutan garam fisiologi, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan
AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal
100-200 mikrograml. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari.
Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini
terdapat
kortikosteroid
topikal
baru
dalam
larutan
aqua
seperti
sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore yang berat, dapat
ditambahkan antikolinergik topikal (ipatropium bromida). Saat ini sedang dalam
penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal yang
mengandung lada.
3. Opersi dengan cara beda-beku, elektrokauter atau konkotomi parsial konka
inferior.
4. Neurektomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.vidianus,
bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil optimal. Oprasi ini tidaklah
mudah, dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan
lakrimasi, neuralgia atau anestesis infraorbita dan palatum. Dapat juga dilakukan
tindakan blocking ganglion sfenopalatina.
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore.
Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rintis alergi, perlu anamnesis
dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.
Rinitis Medikamentosa
Definisi
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respons
normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes
hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga
menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini
disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).
Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan atau
iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokonstriktor. Obat topikal
vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi
obat itu
dihentikan.
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini
menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut.
Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang tinggi di mukosa
hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitivitas reseptor alfaadrenergik dipembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus
simpatis yang menyebabkan vasokontraksi (dekongesti mukosa hidung)
menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan
ini tersebut juga sebagai rebound congestion.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakain obat tetes hidung
dalam waktu lama ialah: 1) silia rusak, 2) sel goblet berubah ukurannya, 3)
membran basal menebal, 4) pembuluh darah melebar, 5) stroma tampak edema, 6)
hipersekresi kelenjar muscus dan perubahan pH sekret hidung, 7) lapisan
submukosa menebal, dan 8) lapisan periostium menebal.
Oleh karena itu pemakaian obat topikal vasokonstriktor sebaiknya tidak lebih dari
satu minggu, dan sebaiknya yang bersifat isotonik dengan sekret hidung normal
(pH antara 6,3 dan 6,5).
Gejala klinis
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada
pemeriksaan tampak edema/ hipertrofi konka dengan sekret hidung yang
berlebihan. Apabila diberi tampon ardenarlin, edema konka tidak berkurang.
Penatalaksanaan
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung.
kortikosteroid
topikal
selama
minimal
dua
minggu
untuk
Rinitis Hipertrofi
Etiologi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus,
atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
Gambaran Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen
dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya
berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.
Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rinitis
hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi.
Rinitis Atrofi
Definisi
Rhinitis Atrofi adalah satu penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya
atrofi
Secara klinis,
mukosa hidung
Terapi
Karena etiologinya belum diketahui maka belum ada pengobatan yang baku.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan :
a) antibiotika berspektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis
adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan
hasil
600mg/1xsehari
selama 12 minggu.,
b) obat cuci hidung agar bersih dari krusta dan bau busuk hilang
c) Obat tetes hidung, setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25%
dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis
10.000U/ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1g+NaCl 30ml.
diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
osteomielitis,
Rinitis Difteri
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
Gambaran klinis
Gejala rinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis, sekret
hidung bercampur
darah,
berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rinitis difteri
kronik gejalanya lebih ringan.
Terapi
Terapi rinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan
intramuskuler.
Rinitis Jamur
Etiologi
Penyebab rinitis jamur, diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan
aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida
yang menyebabkan kandidiasis.
Gambaran Klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau
kecoklatan. Pada mukormikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri
kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis dan
sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.
Terapi
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci
hidung.
Rinitis Sifilis
Etiologi
Penyebab rinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.
Gambaran klinis
Gejala rinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rinitis akut lainnya.
Hanya pada rinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan pada rinitis sifilis
tertier ditemukan gumma atau ulkus yang dapat mengakibatkan perforasi
septum. Sekret yang dihasilkan merupakan sekret mukopurulen yang berbau.
Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.
Rinitis Tuberkulosa
Etiologi
Penyebab rinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
Gambaran Klinis
Terdapat
keluhan
hidung
tersumbat
karena
dihasilkannya
sekret
yang
mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler atau
ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat mengakibatkan perforasi.
Terapi
SINUSITIS
Definisi
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari, bahkan dianggap sebagai salah satu dari penyebab gangguan kesehatan
tersering di seluruh dunia. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus
paranasal. umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid
dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang
lagi. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang
atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
Etiologi
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri dan jamur. Sinusitis virus
biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas, virus yang lazim menyerang
hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan
kontinu dengan mukosa hidung, dan penyakit virus yang menyerang hidung perlu
dicurigai dapat meluas ke sinus. Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada
infeksi virus menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan
infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari 1 bakteri.
Organisme penyebab sinusitis akut kemungkinan sama dengan penyebab otitis
media. Yang sering ditemukan adalah Streptococcus aureus, Streptococcus
Faktor lain yang berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok. keadaan ini lama-lama menyebabkan kerusakan
mukosa dan kerusakan silia.
Daerah Sinus maksilla adalah tempat tempat akar gigi rahang atas. Sehingga
rongga sinus hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, dan juga
kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas dapat menyebar secara
langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar di dalam KOM. mukus juga mengandung zat-zat antimikrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
letaknya berdekatan sehingga bila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan
akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. kondisi ini bisa dianggap sebagai
rinosinusitis non bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. sekret menjadi
purulen, hal ini bisa disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan
terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia
dan bakteri anaerob berkembang. mukosa makin bengkak dan ini merupakan
rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi
kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista, pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi.
Klasifikasi
Konsensus international tahun 1995 membagi sinusitis hanya akut dengan batas
sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004
membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu
sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan
penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak
terobati secara adekuat. pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus
dicari dan diobati secara tuntas.
1. Sinusitis Akut
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus Pneumonia (30-50%). Hemophylus Influenzae (2040%) dan Moraxella Catarrhalis (4%). Pada anak, M Catarrhalis lebih banyak
ditemukan (20%).
Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai rasa
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan
lesu. Keluhan nyeri dan rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
tanda khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga dirasakan di tempat
lain (reffered pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara
atau dibelakang ke dua bola mata menandakan sinusitis ethmoid, nyeri di dahi
atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. pada sinusitis sfenoid, nyeri
dirasakan diverteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. pada
sinusitis maksila kadang nyeri dirasakan di gigi dan telinga. Gejala lain
adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak.
a. Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi saluran pernapasan
yang ingan. Sedangkan gangguan gigi-geligi bertangguang jawab sekitar 10
persen infeksi sinus maksilaris akut. Gejala berupa demam, malaise dan nyeri
kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa
seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada
gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi yang khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palpasi dan perkusi. Secret mukopurulen dapat keluar dari hidung
dan terkadang berbau busuk. Pemeriksaan fisik akan mengungkapkan adanya
pus dalam hidung, biasanya dari meatus media, atau pus atau secret
mukopurulen dalam nasofaring. Sinus maksilaris terasa nyeri pada palpasi
dan perkusi. Sinusitis maksilaris dengan asal geligi, penyebab terseringnya
adalah ekstraksi gigi molar pertama, dimana sepotong kecil tulang diantara
akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat. Infeksi gigi lainnya
seperti abses apical atau penyakit periodontal dapat menimbulkan kondisi
serupa.
b. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitis ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selullitis orbita. Pada dewasa, seringkali bersama-sama
Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis akut terisolasi sangat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh
nyeri kepala yang mengarah ke vertex cranium. Namun penyakit ini lebih
lazim menjadi bagian dari pansinusitis, dan oleh karena itu gejalanya menjadi
satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
2. Sinusitis Kronik
Perdefinisi, sinusitis kronik berlangsung selama beberapa bulan atau tahun.
Pada sinusitis akut, perubahan patoloik membran mukosa berupa infiltrat
polimormonuklear, kongesti vascular dan deskuamasi epitel permukaan, yang
semuanya reversible. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks
dan ireversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau
pseudopolip epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi,
metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan
histologis yang sama. Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi
Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat
dan dini. tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila,
etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoid
posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis.
pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos dan CT scan. foto polos
posisi Waters, PA dan Lateral, umumnya hanya dapat menilai kondisi sinus-sinus
besar seperti sinus maksila dan frontal. kelainan akan terlihat perselubungan, batas
udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. namun karena mahal, hanya dikerjakan sebagai
Terapi
Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi,
mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan
di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik
dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinositis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan
ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan pensilin seperti amoksisilin.
Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka
dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke 2. pada
sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis sudah
hilang. Pada sinusitis kronis diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram
negatif dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan
NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi
Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan orbita.
Yang paling sering adalah sinus etmoid, kemudian sinus frontal dan maksila.
penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. kelainan
yang dapat timbul meliputi lima tahapan yaitu:
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Seperti dinyatakan sebelumnya,
4. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercamour dengan isi orbita, tahap ini disertai gejala sisa neuritik optic dan
kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak ekstraokular
matayang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses
orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Thrombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana
selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic. Secara patognomonik,
thrombosis sinus kavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjungtiva,
gangguan penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda
meningitis oleh karena letak sinus kavernosusyang berdekatan dengan saraf
cranial II, III, IV, dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, meningitis akut adalah merupakan
salah satu komplikasi sinusitis yang terberat, infeksi dari sinus paranasalis dapat
menyebarsepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,
seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di
dekat sistem sel udara ethmoidalis. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara
dura dan tabula interna cranium yang seringkali meningikuti sinusitis frontalis.
Proses ini timbul lambat sehingga seringkali pasien hanya mengeluh nyeri kepala,
dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intracranial yang
memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologic lain. Abses subdural, adalah
kumpulan pus diantara duramater dan araknoid atau permukaan otak. Gejalagejala kondisi ini serupa dengan abses dura yaitu nyeri kepala dan disertai demam
tinggi dengan tanda-tanda rangsangan meningeal. Gejala utama tidak timbul
sebelum tekanan intracranial meningkat atau sebelum abses pecah dan masuk ke
dalam ruang subarachnoid. Abses otak, terjadi perluasan metastatic secara
hematogen ke dalam otak, namun abses otak biasanya terjadi melalui
tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang
lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arakhnoid
hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grissea korteks serebri.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis berupa osteomielitis dan abses
periostal, paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan
pada anak-anak. Gejala yang timbul adalah nyeri dan nyeri tekan dahi yang sangat
berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. pada osteomyelitis
sinus maksila dapat timbul fistula oroantal atau fistula pada pipi.
Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. selain itu dapat
juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum
sinusitisnya disembuhkan.
BAB III
PRMBAHASAN
yang menjadi landasan teori bagaimana terjadinya sisnusitis pada kasus Ny. Ros
Rosana.
Pengobatan yang akan direncanakan pada Ny. Ros Rosana adalah untuk
mengurangi gejala pileknya, maka hipertrofi konka akan berkurang dan ostium
muara sinus dapat terbuka kembali sehingga tidak ada lagi hambatan pada proses
drainase sinus.
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA