Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

STATUS ASMATIKUS

Pembimbing :

Dr. Ririek Andri Christianto, MARS, Sp. EM

Disusun oleh:

dr. Syifa Qurrotu Aini

PROGRAM INTERNSHIP BATCH SEPTEMBER 2017

RSUD dr. DRAJAD PRAWIRANEGARA

KABUPATEN SERANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dnegan adanya
mengi, batuk dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul terutama pada malam hari atau
menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasa. Penyakit ini maish menjadi masalaha
kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak – anak sampai
dewasa dengan derajat penyakit dari yang ringan hingga berat, bahkan bebrapa kasus dapat
menyebabkan kematian. Asma merupakan penyakit kronis yang sering muncul pada masa
kanan – kanak dan usia muda sehingga dapat menyebabkan kehilangan hari – hari sekolah atau
hari kerja produktif yang berarti juga menyebabkan gangguan aktivitas sosial, bahkan
berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.1

Penyakit asma berasal dari kata “Asthma” yang diambil dari bahasa Yunani yang
berarti “sukar bernapas”. Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran nafas yang
emlibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi ini menyebabkan saluran pernapasan
menjadi hiperresponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan
hipersekresi kelenjar yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran nafas dengan
manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, batuk –
batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Gejala ini berhubungan dnegan luasnya
inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan berisfat reversibel secara spontan maupun dnegan
atau tanpa pengobatan.1

Angka kejadina asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat kecenderungan


bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakangan ini obat – obatan
asma banyak dikembangkan. National Health Interview Survey di Amerika Serikat
memperkirakan bahwa setidkanya 7,5 juta orang penduduk negeri itu mengidap bronkitis
kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita
salah satu bentuk asma. Menurut WHO tahun 2011, 235 juta orang di seluruh dunia menderita
asma dengan angka kematian lebih dari 8% di negara berkembang yang sebenarnya dapat
dicegah. National Center for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2011, mengatakan bahwa
prevalensi asma menurut usia sebear 9,5% pada anak dan 8,2% pada dewasa, sedangkan
menurut jenis kelamin 7,2% laki – laki dan 9,7% perempuan.2
Di Indonesia, berdasarkan RISKESDAS 2013 mendapatkan hasil prevalensi nasional
untuk penyakit asama pada semua umur adalah 4,5% dengan prevalensi asma tertinggi terdapat
di Sulawesi Tengah (7,8%), NTT (7,3%), D.I. Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan
(6,7%). Telah terjadi peningkatan kematian akibat asma termasuk pada anak di beberapa
negara dalam dua dekade terakhir. Jumlah penderita asma terus meningkat seiring dengan
bertambahnya komunitas yang mengikuti gaya hidup barat dan urbanisasi. Hal tersebut juga
berkaitan dengan peningkatan terjadinya alergi lain seperti dermatitis dan rinitis.3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Usia : 31 tahun

Agama : Islam

Alamat : Karang Asem, Taktakan

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan terakhir : Tamat SMP

Suku : Sunda

Pasien datang ke IGD pada tanggal 25 Juni 2018 pukul 10.20

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 25 Juni


2015

Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit

a. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak pukul 2 pagi (8 jam smrs).
Sesak dirasakan semakin lama semakin memberat. Sesak semakin memberat setelah
pasien mengalami kehujanan. Sehari sebelumnya pasien sempat mengalami sesak
nafas, lalu dibawa ke klinik dan diuap. Setelah diuap sesak sedikit berkurang.
Namun, pada sejak pukul 2 pagi sesak tidak berkurang walaupun sudah diuap. Pasien
juga mengeluh sakit kepala. Pasien hanya mampu mengucapkan satu kata. Dalam
satu bulan terakhir pasien mengalami sesak sebanyak lebih dari 2 kali/minggu.
Menurut pasien, sesak nafas yang sering muncul sangat mengganggu aktifitas
pasien. Pasien juga mengaku dalam satu bulan terakhir sering terbangun pada
malam hari (>2 kali/bulan) karena sesak. Keluhan batuk, demam, dan pilek
disangkal oleh pasien. Keluhan sesak muncul saat berjalan jauh atau menaiki tangga
disangkal. Saat ini pasien tidur cukup dengan menggunakan satu bantal.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku pernah mengalami keluhan tersebut sebelumnya. Namun
biasanya keluhan hilang saat pasien dinebulasi. Riwayat hipertensi dan diabetes
melitus disangkal. Pasien mengaku sudah memiliki penyakit asma sejak kecil dan
saat ini masih sering kambuh. Saat kambuh pasien menggunakan obat inhaler
“Berotec” untuk meredakan keluhannya. Riwayat pengobatan TBC disangkal.

c. Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien memiliki penyakit asma. Penyakit asma pada ibu pasien muncul
ketika cuaca sedang dingin.

d. Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan


Pasien bekerja sebagai seorang pekerja lapangan. Saat bekerja pasien sering
terpapar oleh debu proyek dan pasien jarang menggunakan masker. Pasien juga
seorang perokok selama lebih dari 10 tahun. Dalam 1 hari pasien menghabiskan
setengah bungkus rokok. Namun sudah 2 tahun terakhir pasien tidak merokok.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik di IGD RSDP pada tanggal 25 Juni 2018
I. Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
 Tanda Vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 97x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup
Napas : 35x/menit, reguler
Suhu : 36,4C (diukur pada aksilla dextra)
SaO2 : 80%  O2 10 lpm NRBM  92%
 Mata
- Inspeksi : alis mata cukup, enoftalmus tidak ada, eksoftalmus tidak
ada, nistagmus tidak ada, ptosis tidak ada, lagoftalmus tidak ada,
edema tidak ada, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik tidak ada,
sekret tidak ada, tidak tampak berair
- Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal
 Telinga, Hidung,Tenggorokan
Hidung :
- Inspeksi : deformitas tidak ada, kavum nasi lapang, sekret tidak ada,
napas cuping hidung tidak ada,
- Palpasi : nyeri tekan sinus paranasal tidak ada
Telinga :
- Inspeksi & Palpasi :
- Preaurikuler : hiperemis tidak ada, abses tidak ada, massa
tidak ada, skar tidak ada, nyeri tekan tidak ada
- Aurikuler : normotia, hiperemis tidak ada, cauli flower tidak
ada, pseudokista tidak ada,
- Postaurikuler : hiperemis tidak ada, abses tidak ada, massa
tidak ada, skar tidak ada,
- Liang telinga : lapang, membran timpani intak
Tenggorokan dan Rongga mulut :
- Inspeksi :
- Bucal : warna normal, ulkus tidak ada
- Lidah : massa tidak ada, ulkus tidak ada,
- Tonsil T1/T1, detritus tidak ada
- Faring hiperemis tidak ada
- Pursed lips breathing tidak ada, karies gigi tidak ada,
kandidisasis oral tidak ada
 Leher
- Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis
tidak ada, tumor tidak ada, retraksi suprasternal tidak ada, tidak
tampak perbesaran KGB
- Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran tiroid tidak ada,
posisi trakea di tengah, KGB tidak teraba membesar
- Auskultasi : bruit tidak ada
 Thoraks Depan
- Inspeksi : penggunaan otot bantuan nafas ada, retraksi sela iga
ada, bentuk dada normal, barrel chest tidak ada, pectus carinatum
tidak ada, pectus ekskavatum tidak ada, pelebaran sela iga tidak ada,
tumor tidak ada, skar tidak ada, emfisema subkutis tidak ada, spider
naevi tidak ada, pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis,
pola pernapasan normal
- Palpasi : massa tidak ada, emfisema subkutis tidak ada, ekspansi
dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru, pelebaran
sela iga tidak ada
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler pada lapang paru, wheezing ada
di seluruh lapang paru, ronkhi -/-, ekspirasi memanjang +
 Thoraks Belakang
- Inspeksi : penggunaan otot bantuan nafas ada, retraksi sela iga
ada, pelebaran sela iga tidak ada, tumor tidak ada, emfisema
subkutis tidak ada, Pergerakan kedua paru simetris statis dan
dinamis, pola pernapasan normal, scar tidak ada, luka operasi tidak
ada, massa tidak ada, gibbus tidak ada, kelainan tulang belakang
tidak ada
- Palpasi : massa tidak ada, emfisema subkutis tidak ada, ekspansi
dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru, wheezing
ada di seluruh lapang paru, ronki tidak ada, ekspirasi
memanjang +
 Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari linea
midklavikula sinistra ICS V, thrill tidak ada, heaving tidak ada,
lifting tidak ada
- Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra, batas
jantung kiri ICS V 1 jari medial linea midklavikula sinistra,
Pinggang jantung ICS II linea midklavikula sinistra
- Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur tidak ada, gallop tidak
ada
 Abdomen
- Inspeksi : simetris, datar, striae tidak ada, skar tidak ada, penonjolan
tidak ada, bekas operasi tidak ada, kaput medusa tidak ada,
- Auskultasi : bising usus positif normal, metallic sound tidak ada,
borborigmi tidak ada, bruit tidak ada,
- Palpasi : supel, ballottement tidak ada, bulging tidak ada, vesika
urinaria tidak teraba, massa tidak ada, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium -
- Perkusi : timpani, nyeri ketok CVA tidak ada, fenomena papan catur
tidak ada
 Ekstremitas
Akral hangat, sianosis tidak ada, CRT < 3 detik, edema tidak ada, jari
tabuh tidak ada, koilonikia tidak ada, hiperemis tidak ada, deformitas
tidak ada, kuku jari ikterik tidak ada
 Kulit
Sianosis tidak ada, ikterik tidak ada, ptekie tidak ada
IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,3 12 – 15,3
Leukosit 12.670 4400 – 11.300
Hematokrit 40,6 35 - 47
Trombosit 361.000 140.000 – 440.000
KIMIA DARAH
Natrium 132,5 135 – 148
Kalium 3,87 3,3 – 5,3
Klorida 98 96 – 111
Ureum 15 6 – 46
Kreatinin 0,9 0,57 – 1,25
GDS 124 Normal < 100

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah di RSUD dr. Drajat Prawiranegara


25/06/18 pukul 12.32 WIB

V. Rontgen

Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal

VI. Resume
Pasien atas nama Tn. S datang dengan keluhan sesak nafas sejak 8 jam smrs.
Sesak nafas sudah dirasakan pasien sejak 1 hari yang lalu, kemudian semakin
lama semakin memberat sejak 8 jam smrs. Sesak semakin berat setelah pasien
kehujanan. Pasien sudah dinebulasi di klinik namun belum ada perubahan.
Keluhan batuk dan demam disangkal oleh pasien. Dalam satu bulan terakhir ,
sesak dialami pasien sebanyak 2 kali/minggu. Sesak sangat mengagnggu
aktifitas pasien. Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesak (>2
kali/bulan. Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil dan muncul jika suhu
udara dingin. Pasien juga sering menggunakan obat berotec untuk meredekan
gejala asamanya jika kambuh. Ibu pasien juga menderita asma. Pasien dulu
merupakan seorang perokok aktif selama lebih dari 10 tahun (setengah bungkus
per hari), saat ini sudah 2 tahun tidak merokok. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum pasien TSB, kesadaran compos mentis, TD 140/80,
frekeunsi nadi 97 x/menit, RR 35 kali/menit, saturasi oksigen 80%. Pada
pemeriksaan thoraks didapatkan adanya retraksi di sela iga, pada pemeriksaan
paru didapatkan adanya wheezing ekspirasi di kedua lapang paru dan adanya
ekspirasi memanjang. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan
adanya leukositosis dan hiponatremia. Hasil pemeriksaan rontgen dalam batas
normal.
VII. Diagnosis
Status Asmatikus
VIII. Diagnosis Banding
- PPOK
- Bronkitis kronik
IX. Penatalaksanaan
IVFD NS 20 tpm
02 10 lpm NRBM
Nebulasi salbutamol 5 mg/Ipatropium 0,5 mg setiap 30 menit
Metilprednisolone 125 mg IV
MgSo4 1 gr/500cc habis dalam 1 jam
Ranitidin 2x1 amp
X. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II

ASMA

I. Definisi
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala
mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari
yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.4

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel dan elemennya,
di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan
gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
5

Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana
trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang ditandai
dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi.6

II. Epidemiologi
Saat ini asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data WHO (2002)
dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma
dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mendapai 400 juta. Jumlah ini bisa saja
lebih besar mengingat asma merupakan penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas
udara dan berubahnya pola hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya
penderita asma. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma
berkisar antara 1 – 18% (GINA, 2011). 7

Gambar 2.1 Prevalensi Penyakit Asma di Dunia8

Di Indonesia, berdasarkan RISKESDAS tahun 2013 mendapatkan hasil prevalensi nasional


untuk penyakit asma pada semua umur adalah 4,5%. Asma merupakan diagnosis yang paling
sering dikeluhkan di rumah sakit anak dan mengakibatkan kehilangan 5 – 7 hari sekolah secara
nasioanl/tahun/anak. Sebanyak 10-15% anak laki – laki dan 7-10% anak perempuan dapat
menderita asma pada suatu waktu selama masa kanak – kanak.
Gambar 2.2 Prevalensi Penyakit Asma di Indonesia tahun 20077

Grafik di atas terlohat bahwa pada tahun 2007 ada 18 provinsi yang mempunyai prevalensi
penyakit asma melebihi angka nasional yaitu Gorontalo, Sulawesi Tengah, Papua Barat,
Kalimantan Selatan, Aceh, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Tenggara, Jawa Barat, Belitung, Kaimantan Tengah, Sulsel, Sulbar, Kalbar, Sumbar, Papua
dan DI Yogyakarta. 7,8

Gambar 2.3 Prevalensi Penyakit Asma di Indonesia tahun 20138

Jika grafik tahun 2007 dibandingkan dengan 2013 didapatkan kenaikan oenyakit asma secara
nasional sebesar 1%. Akan tetaoi terdapat perbedaan dalam mendiagnosis penyakit asma di
Riskesdas 2007 melalui wawancara berdasarkan diagnosa oleh tenaga kesehatan atau dengan
gejala sedangkan Riskesdas 2013 melalui wawancara semua umur berdasarkan gejala.
Gambar 2.4 Prevalensi Asma Berdasarkan Karakteristik Umur tahun 2007 dan 20138
Grafik di atas terlihat bahwa berdasarkan riskesdas 2007 terdapat peningkatan prevalensi asma
seiring bertambahnya usia, dimana umur <1 tahun prevalensinya sebesar 1,1% dan umur 75+
prevalensinya sebesar 12,4%. Akan tetapi peningkatan prevalensi asma pada umur 75+ sebesar
12,4% ini bisa saja bukan murni penyakit asma, untuk mengidentifikasi asma pada ornag tua
itu bisa saja menjadi sulit, karena gejala asma hampir sama dengan gejala penyempitan saluran
nafas pada PPOK, berupa sesak dan batuk. Sementara itu, berdasarkan riskesdas 2013 terlihat
bahwa umur 25 – 34 tahun mempunyai prevalensi asma tertinggi yaitu sebesar 5,7% dan umur
< 1 tahun memiliki prevalensi asam terendah sebesar 1,5%.8

Gambar 2.5 Prevalensi Penyakit Asma Pasien Rawat Inap dna Rawat Jalan Berdasarkan
Umur tahun 20138
Grafik di atas terlihat bahwa prevalensi asma pasien rawat inap berdasarkan umur tertinggi
pada umur 45 – 64 tahun yaitu sebesar 25,66% dan prevalensi terendah usia 0 – 6 hari
sebesar 0,10%. Sedangkan prevalensi asma pasien rawat jalan berdasarkan umur tertinggi
pada umur 25 – 44 tahun yaitu sebesar 24,05% dan prevalensi terendah usia 0 – 6 hari
sebesar 0,13%.
Gambar 2.6 Prevalensi Status Asmatikus Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Berdasarkan
Umur Tahun 20138

Grafik di atas terlihat bahwa preva;ensi status asmatikus pasien rawat inap berdasarkan umur
tertinggi pada umur 25 – 44 tahun yaitu sebesar 31,56% dan prevalensi terendah usai 7 – 28
hari sebesar 0,05%. Sementara prevalensi status asmatikus rawat jalan berdasarkan umur
tertinggi pada umur 25 – 44 tahun yaitu 29,95% dan prevalensi terendah usia 7 – 28 hari sebesar
0,43%. 8

II. Etiologi
Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu sensitisasi,
inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan.9
a. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas
bronkus, jenis kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan kerja,
asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan
besarnya keluarga) apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan
menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor pemicu tersebut adalah alergen dalam
ruangan: tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan
pajanan asap rokok.
b. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi asma.
Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses inflamasi pada
saluran napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat
secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor pemicu tersebut adalah
rinovirus, ozon dan pemakaian ß2 agonis.
c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan oleh
pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma.

Risiko berkembangnya asam merupakan interaski antara faktor penjamu (host) dan faktor
lingkungan. Faktor penjamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergi (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin
dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhu kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya ekserbasi dan atau menyebabkan gejala –
gejal asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensititsasi lingkungan
kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan,diet, status ekonomi dan besarnya
keluarga.8,9

Predisposis genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/kecenderungan untuk


terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif
(gejala) dan objektif (hiperaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena
kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui
fenotip – fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktivitas bronkus,
alergi/atopi, awalu disadari konsisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan
asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R, NOS 1, reseptor agonis beta 2, GSTP1,
dan gen – gen yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL – 3, IL- 4, IL-
5, IL-13, IL- 9, CSF 2 GRL 1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, YMOD,
dsb.9

Gen – gen yang berlokasi pada kompleks HLA mempunyai ciri dalam memberikan respons
imun terhadap aeroalergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas
gen kelas I, II dna III dan lainnya seperti gen TNF_a. Banyak studi populasi mengamati
hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik dan gen HLA kelas II dan reseptor sel
T, didapatkan hubungan kuat antara HLA ala DRB1*15 dengan repsons terhadap alerbeg Amb
av.9

Kromosom 11,12,13 memiliki hubungan berbagai gen yang penting dalam berkembangnya
atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dnegan kromosom 11, kromosom 12, mengandung
gen yang mengkode IFN-y, mast cell growth factor, insulin-like grwoth factor dan nitric oxide
synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda – petanda
pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.9

Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai predisposisi
terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan dalam progresiviti inflamasi baik
pada asma maupun atopi, yaitu gen yang mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-
13, dan GMCSF. Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam
menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan
gen-gen lain yanmengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi
asma dan atopi.9,10

Faktor Lingkungan Mempengaruhi Faktor Lingkungan Mencetuskan


berkembangnya asma pada Individu Eksaserbasi dana atau Menyebabkan
dengan predisposisi asma gejala – gejala asma menetap

1. Alergen di dalam rumah : mite 1. Alergen di dalam dan di luar runagan


domestik, alergen binatang, alergen 2. Polusi udara di dalam dan di luar
kecoa, jamur ruangan
2. Alergen di luar ruangan : tepung sari 3. Infeksi pernapasan
bunga, jamur 4. Perubahan cuaca
3. Bahan di lingkungan kerja : perokok 5. Sulfur dioksida
pasif dan perokok aktif 6. Makanan, aditif, obat – obatan
4. Polusi Udara : polusi udara di dalam 7. Asap rokok
rungan dan di luar ruangan 8. Iritan
5. Infeksi saluran nafas : hipoestesi
higiens
6. Infeksi parasit
7. Status sosioekonmi
8. Diet dan Obat
9. Obesitas

III. Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi
saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik
pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai
bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan
aspirin.9,10
a. INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi
asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.9
- Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel
mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.9
- Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
b. INFLAMASI KRONIK9,10
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit
T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
- Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T
ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin
antara lain IL-3, IL-4,IL-5,IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam
menginduksi Th0 kearah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B
mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,aktivasi serta
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
- Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel
epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric
oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding.
Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi
plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell
proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
- Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara
lain IL-3, IL-5,IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan
PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein
ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil
peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas.
- Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor
IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast
yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly
generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga
mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

Gambar 2.7 Inflamasi Kronik dan rekuren eksaserbasi yang berkaitan dnegan
remodeling jaringan
- Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus.
Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta
sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada
regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growth promoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-.
Gambar 2.8 Mekanisme inflamasi kronik dan inflamasi akut pada asma dan proses
remodeling

c. AIRWAY REMODELING 9,10


Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan
perbaikan (repair) dan pergantianselsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri
dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan
jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses
tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan
banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut
sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi,
maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti
oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya
seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
- Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran reticular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Gambar 2.9 Perubahan struktur pada airway remodelling dan konsekuensi klinis9

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi
atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.9

Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel menghasilkan penglepasan
mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic growth factors terutama
TGF- dan familinya (fibroblast growth factor, insulin growth factor, endothelin-1, platelet-
derived growth factor, dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai
mediator tersebut, TGF- adalah paling penting karena mempromosi diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial, sedangkan
mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel endotel. TGF- dan efeknya
pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel dan diteruskan ke submukosa.
Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan
perkembangan embriogenik jalan napas mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal
tropic unit (EMTU) yang tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan
menimbulkan remodeling jalan napas pada asma. Berdasarkan pemikiran tersebut, inflamasi
dan remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan
injuri, kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.9,10
IV. Gambaran Klinik
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada.
Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari. Setelah pasien
asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk
bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar
dan memanjang selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari
bronkiolus yang sempit karena mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi
yang merupakan ciri khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya
juga diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan.10

Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala-
gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran tekanan nadi). Pada
pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa,
dikenal dengan istilah “status asmatikus”. Status asmatikus adalah asma yang berat dan
persisten yang tidak berespon terhadap terapi konvensional, dan serangan dapat
berlangsung lebih dari 24 jam. Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti
dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan
gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. 9,10

Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan temperatur,
terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan, olahraga berat, infeksi
saluran pernapasan, asap rokok dan stres. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas
seperti rasa berat di dada, pada asma alergik biasanya disertai pilek atau bersin. Meski
pada mulanya batuk tidak disertai sekret, namun dalam perkembangannya pasien asma
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan terkadang purulen. Terdapat
sebagian kecil pasien asma yang hanya mengalami gejala batuk tanpa disertai mengi,
yang dikenal dengan istilah cough variant asthma. 1,10

V. Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruhdunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke
dokter.Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejalaberupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yangberkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untukmenegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani danpengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik,
- Riwayat penyakit / gejala :
a. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak Gejala timbul/
memburuk terutama malam/ dini hari
c. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
d. Respons terhadap pemberian bronkodilator
- Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
a. Riwayat keluarga (atopi)
b. Riwayat alergi / atopi
c. Penyakit lain yang memberatkan
d. Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Fisik

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan
pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada
sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal
paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos
saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai
kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda
klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent
chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis , antara
lain :
1. Spirometri (pengukuran kapasitas paru)  untuk mengetahui adanya obstruksi jalan
nafas. Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP/ KVP < 75% atau VEP < 80%
nilai prediksi.
2. Tes provokasi : untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus  Tes provokasi
dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri. Pemeriksaan ini memiliki
sensitifitas yang tinggi namun memiliki spesifitas yang rendah. Artinya hasil negatif
dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penerita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti
rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan nafas seperti PPOK,
bronkiektasis dna fibrosis.
3. Tes kulit : untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh
4. Pemeriksaan kadar IgE total dengan IgE spesifik dalam serum
5. Pemeriksaan radiologi (rontgen thorax)  pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk
melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga
mendapat penanganan seperti atelektatsi, pneumonia dan pneumothoraks. Pada
serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu hiperlusensi,
pelebaran ruangn interkostal dan diafragma yang menurun. Semua gambaran ini akan
hilang seiring dengan hilangnya serangan asma tersebut.
6. Pemeriksaan analisa gas darah dilakukan pada asma berat  biasanya didapatkan
alkalosis respiratorik  risiko gagal nafas
7. Arus puncak ekspirasi APE  mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter
dan merupakan data yang objektif dalam menentukan derajat beratnya penyakit.
Dinyatakan dlama presentase dari nilai dugaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai.
Apabila kedua nilai itu tidak diketahui dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.
VI. Klasifikasi
Dalam pedoman pengendalian asma dijelaskan mengenai klasifikasi asma sebagai berikut :
VII. Penatalaksanaan

Berdasarkan GINA 2018, tujuan utama manajemen asma adalah untuk mengontrol gejala dan
mengurangi risiko. Selain itu tujuan yang lain adalah untuk mengurangi beban pasien,
mengurangi risiko eksaserbasi pada pasien, kerusakan jalan nafas, dan efek samping obat.
Hubungan kerjasama yang baik antara pasien dan tenaga kesehatannya juga penting untuk
manajemen asma yang efektif.

Pengobatan asma untuk mengontrol gejala dan mengurangi risiko, antara lain :

1. Medikasi  setiap pasien mendapatkan pengobatan reliever dan kebanyakan pasien


asma dewasa dan remaja mendapatkan terapi controller untuk mengurangi risiko
eksaserbasi bahkan pada pasien dengan gejala yang tidak sering
2. Memodifikasi faktor risiko yang dapat diubah dan komorbiditas
3. Terapi non farmakologi

Terapi asma memiliki penyesuaian yang bersiklus yaitu dinilai, disesuaikan terapinya dan
dilihat responsnya.
Gambar 2.11 Siklus manajemen asma berdasarkan kontrol

- Pengobatan Kontroler Inisial


Untuk mendapatkan outcome yang baik, pemberian kontroler setiap hari harus segera
diberikan setelah diagnosis asma ditegakan karena pemberian ICS dosis rendah lebih
awal dapat meningkatkan fungsi paru. Pemberian regimen ICS dosis rendah diberikan
kepada seluruh pasien yang terdiagnosis asma dan memiliki kriteria sebagai berikut :
a. Gejala asma lebih dari 2 kali dalam 1 bulan
b. Sering terbangun karena asma lebih dari 1 kali dalam 1 bulan
c. Gejala asma lain ditambah dengan faktor risiko eksaserbasi (membutuhkan OCS
untuk asma dalam waktu 12 bulan terakhir, FEV rendah, pernah masuk ICU
karena asma)

Pertimbangkan untuk pemberian dosis yang lebih tinggi (medium/high dose ICS, atau
ICS/LABA) jika gejala pasien semakin memburuk setiap hari atau sering terbangun
karena sesak sebanyak 1 kali atau lebih dalam 1m= minggu, khususnya jika ada faktor
risiko lain yang dapat memicu eksaserbasi.

Jika gejala asma menjadi tidak terkontrol atau disertai dengan eksaserbasi akut daat
diberikan OCS dan mulai pemberina kontroler reguler (high dose ICS atau medium
dose ICS/LABA). Pertimbangkan untu menurunkan dosis secara perlahan jika gejala
sudah terkontrol selama 3 bulan. Berikut ini adalah langkah – langkah pendekatan
penanganan asma :


Gambar 2.12 Pendekatan Manajemen Asma

- Step 1 : as needed SABA + no controller  diberikan pada pasien dengan gejala asma
jarang, tidak ada keluhan terbangun di malam ahri karena asma, tidak ada eksaserbasi
dalam 1 tahun terakhir, FEV1 normal.
- Step 2 : reguler low dose ICS + SABA as needed  LTRA kurang efektif dibandingakn
ICS; ICS/LABA memberikan perkembangan yang cepat bagi pasien dan FEV1.
Biasanya diberikan juga padi pasien asma aleegi seasonal
- Step 3 : low dose ICS/LABA + as needed SABA atau ICS/formoterol maintenence and
reliever  untuk pasien yang mengalami lebih dari 2 kali dalam 1 tahun
- Step 4: Low dose ICS/formoterol maintenence and reliever therapy + medium dose
ICS/LABA as maintenence plus as needed SABA.
- Step 5 : rujuk ke yang ahli untuk pengobatan lebih lanjut
BAB III

ANALISA KASUS

Diagnosis status asmatikus dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Berikut adalah perbandingan antara teori dan temuan-
temuan klinis yang dijumpai pada pasien yang mendukung diagnosa status asmatikus
pada pasien.
No. Teori Pasien
1. Anamnesis Anamnesis
- Sesak nafas yang semakin
- Sesak nafas bersifat episodik,
menberat sejak 8 jam smrs
seringkali reversible dengan atau - Awalnya sesak nafas sejak 1
hari yang lalu, sudah diuap
tanpa pengobatan
namun sesak tidak berkurang
- Batuk, rasa berat di dada - Sesak nafas semakin
memberat setelah pasien
- Gejala memberat pada malam hari
kehujanan
- Diawali oleh faktor pencetus yang - 1 bulan terakhir sering sesak
lebih dari 2 kali/ minggu,
bersifat individu
sesak sangat mengganggu
- Respons terhadap pemberian aktifitas
- Sering terbangun karena sesak
bronkodilator
- Pasien mantan perokok aktif
- Riwayat keluarga (atopi) selama > 20 tahun
- Riwayat asma sejak kecil +
- Riwayat alergi (atopi)
- Ibu pasien menderita asma
- Penyakit lain yang memberatkan - Pasien bekerja di lapangan dan
seirng terpapar debu
- Perkembangan penyakit dan
pengobatan

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik


- Pulmo : wheezing ekspirasi, - RR : 35x/menit
- SaO2 : 80%  NRBM 10 lpm
ekspirasi memanjang, retraksi
 92%
dinding dada - Toraks : retraksi sela iga +
- Takikardi - Pulmo : vesikuler +/+,
wheezing ekspirasi +/+,
- Hiperinflasi
ekspirasi memanjang +/+, rh -
/-
3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang
- Rontgen : hiperlusensi, sela iga - Cor dan pulmo dalam batas
melebar, diafragma datar normal
- Leu : 12.670
- Na : 132,25

Berdasarkan anamnesis yang didapatkan bahwa pasien mengalami sesak nafas sejak 8 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sehari sebelumnya pasien juga mengalami sesak nafas kemudian
pasien dinebulasi di klinik dan gejala sesak berkurang. Namun setelah pasien kehujanan sesak
muncul kembali dan setelah dinebulasi tidak ada perubahan. Paisen juga mengaku selama 1
bulan mengalami sesak >2 kali/minggu dan sering terbangun pada malam hari karena sesak.
Hal tersebut sesuai dengan gejala klinik yang ada pada pasien asma. Pada penyakit asma, sesak
yang dirasakan bersifat episodik. Serangan asma juga berkurang bila sudah diberikan obat
bronkodilator (nebulasi).

Seperti yang diketahui, penyakit asma memiliki erat kaitannya dengan alergi. Pasien mengaku
sejak kecil ia sering mengalami sesak nafas dan ketika diuap gejalanya sudah hilang. Selain
itu, ibu pasien juga mengalami asma. Berdasarkan faktor risiko yang ada pada pasien besar
kemungkinan pasien juga memiliki kecenderungan asma. Selain itu, sesak nafas pada pasien
juga sering muncul pada saat pasien kehujanan (cuaca dingin) dan saat pasien bekerja. Saat ini,
pasien memiliki pekerjaan sebagai pekerja lapangan dan sering terpapar dengan debu. Cuaca
dingin dan debu tersebut juga dapat menjadi faktor pencetus serangan asma pada pasien. Pasien
juga mantan seorang perokok aktif. Sudah 2 tahun pasien tidak merokok. Pasien sudah
merokok selama lebih dari 10 tahun. Faktor risiko merokok juga dapat mendukung terjadinya
kerusakan pada epitel bronkus pasien sehingga menyebabkan remodelling saluran nafas dna
akhirnya menyebabkan pasien menjadi sesak. Keluhan batuk, demam, dan pilek disangkal
pasien. Pada pasien dengan PPOK dan bronkitis bisa disertai dengan sesak nafas juga. Namun
disertai dengan adanya batuk dan demam.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya retraksi sela iga, wheezing ekspirasi dan ekspirasi
memanjang. Hal tersebut juga sesuai dengan pemeriksaan fisik pada penyakit asma yang
terdapat di literatur. Retraksi sela iga terjadi akibat bekerjanya otot – otat bantu pernapasan
untuk memenuhi demand oksigen dari tubuh. Wheezing dan ekspirasi yang memanjang
menggambarkan adanya penyempitan lumen saluran nafas sehingga udara yang keluar dari
paru sulit. Pada penyakit PPOK dan bronkitis, pemeriksaan fisik khas yang didapat yaitu pada
pasien PPOK dan bronkitis kronis biasanya didapatkan rhonki kasar di kedua lapang paru.
Namun, pada paien ini tidak ada. Pada PPOK biasanya ditemukan gambaran bentuk dada yaitu
barel chest. Hal tersebut terjadi karena kerusakan jaringan di paru.

Pada pemerikasaan laboratorium darah didapatkan adanya leukositosis dan hiponatremia.


Berdasarkan literatur, gambaran hasil pemeriksaan darah pada pasien asma bisa normal.
Namun, pada pasien asma yang berat dari hasil dapat didapatkan gambaran alkalosis
respiratorik. Pada pemeriksaan rontgen, hasil pemeriksaan rontgen pasien dalam batas normal.
Menurut literatur, pada pemeriksaan rontgen bisa ditemukan adanya gambaran hiperlusensi
akibat banyaknya udara yang terjebak di dalam paru dan sela iga yang melebar. Pada pasien
bronkitis kronik biasanya didapatkan adanya infiltrat di kedua lapang paru.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tersebut


kemungkinkan pasien menderita asma, Namun, setelah diberikan terapi inhalasi awal tidak ada
perubahan dan sesak nafas cenderung memberat maka diagnosisnya menjadi status asmatikus.
Terdapat beberapa diagnosis banding pada pasien yaitu PPOK dan bronkitis kronik, dengan
pertimbangan bahwa pasien juga memiliki faktor risiko merokok. Untuk membedakan antara
PPOK dan asma dalam dilakukan pemeriksaan spirometri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma 2018. A Pocket Guide for Health Professionals.
2. Centers for Disease Control anPrevention. Asthma [internet]. USA: CDC2013 [disitasi
tanggal 11 Mei 2015Tersedia darhttp://www.cdc.gov/asthma/asthmadata. htm.
3. Kementerian Kesehatan Republik indonesia. Riset kesehatan dasar 2013.Jakarta:
Kemenkes RI; 2013
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
2009
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman nasional asma anak. Jakarta: IDAI; 2004.
6. Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott
Williams & Wilkins; 2003.
7. Pusat Data dan Informasi Kemnekes RI. Infodatin : Asma. 2014
8. Song WJ, et all. Epidemiology of Adult Astma in Asia : Toward a better understanding.
Asia Pacific Allergy. Current Review. http://dx.doi.org/10.5415/.2014.4.2.75
9. PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. 2003

Anda mungkin juga menyukai