STATUS ASMATIKUS
Pembimbing :
Disusun oleh:
KABUPATEN SERANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dnegan adanya
mengi, batuk dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul terutama pada malam hari atau
menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasa. Penyakit ini maish menjadi masalaha
kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak – anak sampai
dewasa dengan derajat penyakit dari yang ringan hingga berat, bahkan bebrapa kasus dapat
menyebabkan kematian. Asma merupakan penyakit kronis yang sering muncul pada masa
kanan – kanak dan usia muda sehingga dapat menyebabkan kehilangan hari – hari sekolah atau
hari kerja produktif yang berarti juga menyebabkan gangguan aktivitas sosial, bahkan
berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.1
Penyakit asma berasal dari kata “Asthma” yang diambil dari bahasa Yunani yang
berarti “sukar bernapas”. Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran nafas yang
emlibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi ini menyebabkan saluran pernapasan
menjadi hiperresponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan
hipersekresi kelenjar yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran nafas dengan
manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, batuk –
batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Gejala ini berhubungan dnegan luasnya
inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan berisfat reversibel secara spontan maupun dnegan
atau tanpa pengobatan.1
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 31 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Sunda
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,3 12 – 15,3
Leukosit 12.670 4400 – 11.300
Hematokrit 40,6 35 - 47
Trombosit 361.000 140.000 – 440.000
KIMIA DARAH
Natrium 132,5 135 – 148
Kalium 3,87 3,3 – 5,3
Klorida 98 96 – 111
Ureum 15 6 – 46
Kreatinin 0,9 0,57 – 1,25
GDS 124 Normal < 100
V. Rontgen
VI. Resume
Pasien atas nama Tn. S datang dengan keluhan sesak nafas sejak 8 jam smrs.
Sesak nafas sudah dirasakan pasien sejak 1 hari yang lalu, kemudian semakin
lama semakin memberat sejak 8 jam smrs. Sesak semakin berat setelah pasien
kehujanan. Pasien sudah dinebulasi di klinik namun belum ada perubahan.
Keluhan batuk dan demam disangkal oleh pasien. Dalam satu bulan terakhir ,
sesak dialami pasien sebanyak 2 kali/minggu. Sesak sangat mengagnggu
aktifitas pasien. Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesak (>2
kali/bulan. Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil dan muncul jika suhu
udara dingin. Pasien juga sering menggunakan obat berotec untuk meredekan
gejala asamanya jika kambuh. Ibu pasien juga menderita asma. Pasien dulu
merupakan seorang perokok aktif selama lebih dari 10 tahun (setengah bungkus
per hari), saat ini sudah 2 tahun tidak merokok. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum pasien TSB, kesadaran compos mentis, TD 140/80,
frekeunsi nadi 97 x/menit, RR 35 kali/menit, saturasi oksigen 80%. Pada
pemeriksaan thoraks didapatkan adanya retraksi di sela iga, pada pemeriksaan
paru didapatkan adanya wheezing ekspirasi di kedua lapang paru dan adanya
ekspirasi memanjang. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan
adanya leukositosis dan hiponatremia. Hasil pemeriksaan rontgen dalam batas
normal.
VII. Diagnosis
Status Asmatikus
VIII. Diagnosis Banding
- PPOK
- Bronkitis kronik
IX. Penatalaksanaan
IVFD NS 20 tpm
02 10 lpm NRBM
Nebulasi salbutamol 5 mg/Ipatropium 0,5 mg setiap 30 menit
Metilprednisolone 125 mg IV
MgSo4 1 gr/500cc habis dalam 1 jam
Ranitidin 2x1 amp
X. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
ASMA
I. Definisi
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala
mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari
yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.4
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel dan elemennya,
di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan
gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
5
Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana
trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang ditandai
dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi.6
II. Epidemiologi
Saat ini asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data WHO (2002)
dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma
dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mendapai 400 juta. Jumlah ini bisa saja
lebih besar mengingat asma merupakan penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas
udara dan berubahnya pola hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya
penderita asma. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma
berkisar antara 1 – 18% (GINA, 2011). 7
Grafik di atas terlohat bahwa pada tahun 2007 ada 18 provinsi yang mempunyai prevalensi
penyakit asma melebihi angka nasional yaitu Gorontalo, Sulawesi Tengah, Papua Barat,
Kalimantan Selatan, Aceh, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Tenggara, Jawa Barat, Belitung, Kaimantan Tengah, Sulsel, Sulbar, Kalbar, Sumbar, Papua
dan DI Yogyakarta. 7,8
Jika grafik tahun 2007 dibandingkan dengan 2013 didapatkan kenaikan oenyakit asma secara
nasional sebesar 1%. Akan tetaoi terdapat perbedaan dalam mendiagnosis penyakit asma di
Riskesdas 2007 melalui wawancara berdasarkan diagnosa oleh tenaga kesehatan atau dengan
gejala sedangkan Riskesdas 2013 melalui wawancara semua umur berdasarkan gejala.
Gambar 2.4 Prevalensi Asma Berdasarkan Karakteristik Umur tahun 2007 dan 20138
Grafik di atas terlihat bahwa berdasarkan riskesdas 2007 terdapat peningkatan prevalensi asma
seiring bertambahnya usia, dimana umur <1 tahun prevalensinya sebesar 1,1% dan umur 75+
prevalensinya sebesar 12,4%. Akan tetapi peningkatan prevalensi asma pada umur 75+ sebesar
12,4% ini bisa saja bukan murni penyakit asma, untuk mengidentifikasi asma pada ornag tua
itu bisa saja menjadi sulit, karena gejala asma hampir sama dengan gejala penyempitan saluran
nafas pada PPOK, berupa sesak dan batuk. Sementara itu, berdasarkan riskesdas 2013 terlihat
bahwa umur 25 – 34 tahun mempunyai prevalensi asma tertinggi yaitu sebesar 5,7% dan umur
< 1 tahun memiliki prevalensi asam terendah sebesar 1,5%.8
Gambar 2.5 Prevalensi Penyakit Asma Pasien Rawat Inap dna Rawat Jalan Berdasarkan
Umur tahun 20138
Grafik di atas terlihat bahwa prevalensi asma pasien rawat inap berdasarkan umur tertinggi
pada umur 45 – 64 tahun yaitu sebesar 25,66% dan prevalensi terendah usia 0 – 6 hari
sebesar 0,10%. Sedangkan prevalensi asma pasien rawat jalan berdasarkan umur tertinggi
pada umur 25 – 44 tahun yaitu sebesar 24,05% dan prevalensi terendah usia 0 – 6 hari
sebesar 0,13%.
Gambar 2.6 Prevalensi Status Asmatikus Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Berdasarkan
Umur Tahun 20138
Grafik di atas terlihat bahwa preva;ensi status asmatikus pasien rawat inap berdasarkan umur
tertinggi pada umur 25 – 44 tahun yaitu sebesar 31,56% dan prevalensi terendah usai 7 – 28
hari sebesar 0,05%. Sementara prevalensi status asmatikus rawat jalan berdasarkan umur
tertinggi pada umur 25 – 44 tahun yaitu 29,95% dan prevalensi terendah usia 7 – 28 hari sebesar
0,43%. 8
II. Etiologi
Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu sensitisasi,
inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan.9
a. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas
bronkus, jenis kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan kerja,
asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan
besarnya keluarga) apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan
menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor pemicu tersebut adalah alergen dalam
ruangan: tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan
pajanan asap rokok.
b. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi asma.
Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses inflamasi pada
saluran napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat
secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor pemicu tersebut adalah
rinovirus, ozon dan pemakaian ß2 agonis.
c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan oleh
pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma.
Risiko berkembangnya asam merupakan interaski antara faktor penjamu (host) dan faktor
lingkungan. Faktor penjamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergi (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin
dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhu kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya ekserbasi dan atau menyebabkan gejala –
gejal asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensititsasi lingkungan
kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan,diet, status ekonomi dan besarnya
keluarga.8,9
Gen – gen yang berlokasi pada kompleks HLA mempunyai ciri dalam memberikan respons
imun terhadap aeroalergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas
gen kelas I, II dna III dan lainnya seperti gen TNF_a. Banyak studi populasi mengamati
hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik dan gen HLA kelas II dan reseptor sel
T, didapatkan hubungan kuat antara HLA ala DRB1*15 dengan repsons terhadap alerbeg Amb
av.9
Kromosom 11,12,13 memiliki hubungan berbagai gen yang penting dalam berkembangnya
atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dnegan kromosom 11, kromosom 12, mengandung
gen yang mengkode IFN-y, mast cell growth factor, insulin-like grwoth factor dan nitric oxide
synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda – petanda
pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.9
Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai predisposisi
terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan dalam progresiviti inflamasi baik
pada asma maupun atopi, yaitu gen yang mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-
13, dan GMCSF. Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam
menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan
gen-gen lain yanmengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi
asma dan atopi.9,10
III. Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi
saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik
pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai
bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan
aspirin.9,10
a. INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi
asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.9
- Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel
mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.9
- Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
b. INFLAMASI KRONIK9,10
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit
T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
- Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T
ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin
antara lain IL-3, IL-4,IL-5,IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam
menginduksi Th0 kearah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B
mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,aktivasi serta
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
- Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel
epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric
oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding.
Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi
plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell
proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
- Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara
lain IL-3, IL-5,IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan
PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein
ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil
peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas.
- Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor
IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast
yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly
generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga
mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Gambar 2.7 Inflamasi Kronik dan rekuren eksaserbasi yang berkaitan dnegan
remodeling jaringan
- Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus.
Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta
sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada
regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growth promoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-.
Gambar 2.8 Mekanisme inflamasi kronik dan inflamasi akut pada asma dan proses
remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya
seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
- Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran reticular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Gambar 2.9 Perubahan struktur pada airway remodelling dan konsekuensi klinis9
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi
atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.9
Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel menghasilkan penglepasan
mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic growth factors terutama
TGF- dan familinya (fibroblast growth factor, insulin growth factor, endothelin-1, platelet-
derived growth factor, dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai
mediator tersebut, TGF- adalah paling penting karena mempromosi diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial, sedangkan
mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel endotel. TGF- dan efeknya
pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel dan diteruskan ke submukosa.
Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan
perkembangan embriogenik jalan napas mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal
tropic unit (EMTU) yang tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan
menimbulkan remodeling jalan napas pada asma. Berdasarkan pemikiran tersebut, inflamasi
dan remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan
injuri, kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.9,10
IV. Gambaran Klinik
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada.
Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari. Setelah pasien
asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk
bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar
dan memanjang selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari
bronkiolus yang sempit karena mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi
yang merupakan ciri khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya
juga diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan.10
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala-
gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran tekanan nadi). Pada
pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa,
dikenal dengan istilah “status asmatikus”. Status asmatikus adalah asma yang berat dan
persisten yang tidak berespon terhadap terapi konvensional, dan serangan dapat
berlangsung lebih dari 24 jam. Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti
dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan
gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. 9,10
Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan temperatur,
terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan, olahraga berat, infeksi
saluran pernapasan, asap rokok dan stres. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas
seperti rasa berat di dada, pada asma alergik biasanya disertai pilek atau bersin. Meski
pada mulanya batuk tidak disertai sekret, namun dalam perkembangannya pasien asma
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan terkadang purulen. Terdapat
sebagian kecil pasien asma yang hanya mengalami gejala batuk tanpa disertai mengi,
yang dikenal dengan istilah cough variant asthma. 1,10
V. Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruhdunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke
dokter.Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejalaberupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yangberkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untukmenegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani danpengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik,
- Riwayat penyakit / gejala :
a. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak Gejala timbul/
memburuk terutama malam/ dini hari
c. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
d. Respons terhadap pemberian bronkodilator
- Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
a. Riwayat keluarga (atopi)
b. Riwayat alergi / atopi
c. Penyakit lain yang memberatkan
d. Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan
pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada
sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal
paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos
saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai
kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda
klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent
chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis , antara
lain :
1. Spirometri (pengukuran kapasitas paru) untuk mengetahui adanya obstruksi jalan
nafas. Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP/ KVP < 75% atau VEP < 80%
nilai prediksi.
2. Tes provokasi : untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus Tes provokasi
dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri. Pemeriksaan ini memiliki
sensitifitas yang tinggi namun memiliki spesifitas yang rendah. Artinya hasil negatif
dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penerita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti
rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan nafas seperti PPOK,
bronkiektasis dna fibrosis.
3. Tes kulit : untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh
4. Pemeriksaan kadar IgE total dengan IgE spesifik dalam serum
5. Pemeriksaan radiologi (rontgen thorax) pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk
melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga
mendapat penanganan seperti atelektatsi, pneumonia dan pneumothoraks. Pada
serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu hiperlusensi,
pelebaran ruangn interkostal dan diafragma yang menurun. Semua gambaran ini akan
hilang seiring dengan hilangnya serangan asma tersebut.
6. Pemeriksaan analisa gas darah dilakukan pada asma berat biasanya didapatkan
alkalosis respiratorik risiko gagal nafas
7. Arus puncak ekspirasi APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter
dan merupakan data yang objektif dalam menentukan derajat beratnya penyakit.
Dinyatakan dlama presentase dari nilai dugaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai.
Apabila kedua nilai itu tidak diketahui dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.
VI. Klasifikasi
Dalam pedoman pengendalian asma dijelaskan mengenai klasifikasi asma sebagai berikut :
VII. Penatalaksanaan
Berdasarkan GINA 2018, tujuan utama manajemen asma adalah untuk mengontrol gejala dan
mengurangi risiko. Selain itu tujuan yang lain adalah untuk mengurangi beban pasien,
mengurangi risiko eksaserbasi pada pasien, kerusakan jalan nafas, dan efek samping obat.
Hubungan kerjasama yang baik antara pasien dan tenaga kesehatannya juga penting untuk
manajemen asma yang efektif.
Pengobatan asma untuk mengontrol gejala dan mengurangi risiko, antara lain :
Terapi asma memiliki penyesuaian yang bersiklus yaitu dinilai, disesuaikan terapinya dan
dilihat responsnya.
Gambar 2.11 Siklus manajemen asma berdasarkan kontrol
Pertimbangkan untuk pemberian dosis yang lebih tinggi (medium/high dose ICS, atau
ICS/LABA) jika gejala pasien semakin memburuk setiap hari atau sering terbangun
karena sesak sebanyak 1 kali atau lebih dalam 1m= minggu, khususnya jika ada faktor
risiko lain yang dapat memicu eksaserbasi.
Jika gejala asma menjadi tidak terkontrol atau disertai dengan eksaserbasi akut daat
diberikan OCS dan mulai pemberina kontroler reguler (high dose ICS atau medium
dose ICS/LABA). Pertimbangkan untu menurunkan dosis secara perlahan jika gejala
sudah terkontrol selama 3 bulan. Berikut ini adalah langkah – langkah pendekatan
penanganan asma :
‘
Gambar 2.12 Pendekatan Manajemen Asma
- Step 1 : as needed SABA + no controller diberikan pada pasien dengan gejala asma
jarang, tidak ada keluhan terbangun di malam ahri karena asma, tidak ada eksaserbasi
dalam 1 tahun terakhir, FEV1 normal.
- Step 2 : reguler low dose ICS + SABA as needed LTRA kurang efektif dibandingakn
ICS; ICS/LABA memberikan perkembangan yang cepat bagi pasien dan FEV1.
Biasanya diberikan juga padi pasien asma aleegi seasonal
- Step 3 : low dose ICS/LABA + as needed SABA atau ICS/formoterol maintenence and
reliever untuk pasien yang mengalami lebih dari 2 kali dalam 1 tahun
- Step 4: Low dose ICS/formoterol maintenence and reliever therapy + medium dose
ICS/LABA as maintenence plus as needed SABA.
- Step 5 : rujuk ke yang ahli untuk pengobatan lebih lanjut
BAB III
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis yang didapatkan bahwa pasien mengalami sesak nafas sejak 8 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sehari sebelumnya pasien juga mengalami sesak nafas kemudian
pasien dinebulasi di klinik dan gejala sesak berkurang. Namun setelah pasien kehujanan sesak
muncul kembali dan setelah dinebulasi tidak ada perubahan. Paisen juga mengaku selama 1
bulan mengalami sesak >2 kali/minggu dan sering terbangun pada malam hari karena sesak.
Hal tersebut sesuai dengan gejala klinik yang ada pada pasien asma. Pada penyakit asma, sesak
yang dirasakan bersifat episodik. Serangan asma juga berkurang bila sudah diberikan obat
bronkodilator (nebulasi).
Seperti yang diketahui, penyakit asma memiliki erat kaitannya dengan alergi. Pasien mengaku
sejak kecil ia sering mengalami sesak nafas dan ketika diuap gejalanya sudah hilang. Selain
itu, ibu pasien juga mengalami asma. Berdasarkan faktor risiko yang ada pada pasien besar
kemungkinan pasien juga memiliki kecenderungan asma. Selain itu, sesak nafas pada pasien
juga sering muncul pada saat pasien kehujanan (cuaca dingin) dan saat pasien bekerja. Saat ini,
pasien memiliki pekerjaan sebagai pekerja lapangan dan sering terpapar dengan debu. Cuaca
dingin dan debu tersebut juga dapat menjadi faktor pencetus serangan asma pada pasien. Pasien
juga mantan seorang perokok aktif. Sudah 2 tahun pasien tidak merokok. Pasien sudah
merokok selama lebih dari 10 tahun. Faktor risiko merokok juga dapat mendukung terjadinya
kerusakan pada epitel bronkus pasien sehingga menyebabkan remodelling saluran nafas dna
akhirnya menyebabkan pasien menjadi sesak. Keluhan batuk, demam, dan pilek disangkal
pasien. Pada pasien dengan PPOK dan bronkitis bisa disertai dengan sesak nafas juga. Namun
disertai dengan adanya batuk dan demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya retraksi sela iga, wheezing ekspirasi dan ekspirasi
memanjang. Hal tersebut juga sesuai dengan pemeriksaan fisik pada penyakit asma yang
terdapat di literatur. Retraksi sela iga terjadi akibat bekerjanya otot – otat bantu pernapasan
untuk memenuhi demand oksigen dari tubuh. Wheezing dan ekspirasi yang memanjang
menggambarkan adanya penyempitan lumen saluran nafas sehingga udara yang keluar dari
paru sulit. Pada penyakit PPOK dan bronkitis, pemeriksaan fisik khas yang didapat yaitu pada
pasien PPOK dan bronkitis kronis biasanya didapatkan rhonki kasar di kedua lapang paru.
Namun, pada paien ini tidak ada. Pada PPOK biasanya ditemukan gambaran bentuk dada yaitu
barel chest. Hal tersebut terjadi karena kerusakan jaringan di paru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma 2018. A Pocket Guide for Health Professionals.
2. Centers for Disease Control anPrevention. Asthma [internet]. USA: CDC2013 [disitasi
tanggal 11 Mei 2015Tersedia darhttp://www.cdc.gov/asthma/asthmadata. htm.
3. Kementerian Kesehatan Republik indonesia. Riset kesehatan dasar 2013.Jakarta:
Kemenkes RI; 2013
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
2009
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman nasional asma anak. Jakarta: IDAI; 2004.
6. Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott
Williams & Wilkins; 2003.
7. Pusat Data dan Informasi Kemnekes RI. Infodatin : Asma. 2014
8. Song WJ, et all. Epidemiology of Adult Astma in Asia : Toward a better understanding.
Asia Pacific Allergy. Current Review. http://dx.doi.org/10.5415/.2014.4.2.75
9. PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. 2003