Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

TETANUS

Pembimbing :

Dr. Eny Waeningsih Sp.S, M. Kes

Disusun oleh:

dr. Syifa Qurrotu Aini

PROGRAM INTERNSHIP

RSUD dr. DRAJAD PRAWIRANEGARA

KABUPATEN SERANG

2017
BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. U

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 35 tahun

Agama : Islam

Alamat : Kampung Sidayu, Kebon, Tirtayasa

Pekerjaan : Petani

Pendidikan terakhir : Tamat SMP

Suku : Sunda

Pasien datang ke IGD pada tanggal 27 September 2017.

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 5 Oktober


2017.

Keluhan Utama
Sulit membuka mulut sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan tidak dapat membuka mulut sejak 6 hari SMRS.
Pasien mengaku rahang pasien terasa kaku, gigi mengatup dan lengannya terasa
kaku. Keluhan tersebut hilang timbul dan terjadi selama kurang lebih 5 menit.
Awalnya pasien merasakan ada gerakan tersentak. Pasien juga mengeluh bagian
perut dan punggungnya terasa kaku. Keluhan tersebut juga sering hilang timbul.
Riwayat demam sebelumnya disangkal. Menurut keluarga pasien, pasien menjadi
sulit berbicara karena otot wajah yang kaku. Leher pasien juga terasa tegang. Pasien
juga menjadi lebih sering berkeringat. Pasien juga sulit makan melalui mulut karena
otot – otot di leher pasien juga terasa kaku. Menurut keluarga pasien, saat ini pasien
sering mengalami kejang – kejang. Pasien mengalami kejang secara tiba –tiba
maupun jika terkena sentuhan (kejang rangsang). Saat kejang os sadar.
Satu minggu sebelum keluhan tersebut, pasien mengaku mengalami nyeri
telinga kanan. Nyeri telinga tersebut tidak disertai dengan keluarnya sekret/nanah
dari. Pasien juga mengaku pendengarannnya tidak menurun dan tidak demam. Saat
ini telinganya masih terasa sakit. Keluhan mual, muntah dan sesak nafas disangkal.
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku bekum pernah mengalami keluhan tersebut sebelumnya.
Riwayat hipertensi dan DM disangkal. Riwayat trauma dan tertusuk paku disangkal.
Pasien mengaku lupa riwayat imunisasi tetanus saat kecil. Riwayat alergi obat dan
makanan disangkal. Riwayat keluhan sakit telinga sejak kecil disangkal.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhana yang sama dalam keluarga disangkal oleh pasien. Riwayat
hipertensi, DM, dan alergi dalam keluarga juga disangkal.
d. Riwayat lingkungan
Lingkungan rumah baik dan bersih.
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien adalah sering petani. Pasien sering tidak menggunakan alas kaki saat
pergi ke sawah. Pasien mengaku sering mengorek telinga dengan menggunakan kunci
motor.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di ruangan tanggal 5 Oktober 2017.
I. Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
 Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 87x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup
Napas : 22x/menit, reguler
Suhu : 36,8oC (diukur pada aksilla dextra)
 Mata
- Inspeksi : alis mata cukup, enoftalmus tidak ada, eksoftalmus tidak
ada, nistagmus tidak ada, ptosis tidak ada, lagoftalmus tidak ada,
edema tidak ada, konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak
ada, sekret tidak ada, tidak tampak berair
- Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal
 Telinga, Hidung,Tenggorokan
Hidung :
- Inspeksi : deformitas tidak ada, kavum nasi lapang, sekret tidak ada,
napas cuping hidung tidak ada, terpasang selang NGT pada kavum nasi
dekstra
- Palpasi : nyeri tekan sinus paranasal tidak ada
Telinga :
- Inspeksi & Palpasi :
- Preaurikuler : hiperemis tidak ada, abses tidak ada, massa
tidak ada, skar tidak ada, nyeri tekan tidak ada
- Aurikuler : normotia, hiperemis tidak ada, cauli flower tidak
ada, pseudokista tidak ada,
- Postaurikuler : hiperemis tidak ada, abses tidak ada, massa
tidak ada, skar tidak ada,
- Liang telinga : lapang, tampak sekret mukopurulen pada
liang telinga kanan dan kiri, membran timpani perforasi
sentral, nyeri +
Tenggorokan dan Rongga mulut :
- Inspeksi :
- Bucal : warna normal, ulkus tidak ada
- Lidah : massa tidak ada, ulkus tidak ada,
- Tonsil T1/T1, detritus tidak ada
- Faring hiperemis tidak ada
- Pursed lips breathing tidak ada, karies gigi tidak ada,
kandidisasis oral tidak ada

Wajah :

- Tampak trismus kurang lebih 2 cm


- Tampak gambaran risus sardonicus
 Leher
- Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis
tidak ada, tumor tidak ada, retraksi suprasternal tidak ada, tidak
tampak perbesaran KGB
- Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran tiroid tidak ada,
posisi trakea di tengah, KGB tidak teraba membesar, tonus otot
meningkat
- Auskultasi : bruit tidak ada
 Thoraks Depan
- Inspeksi : penggunaan otot bantuan nafas tidak ada, retraksi sela
iga tidak ada, bentuk dada normal, barrel chest tidak ada, pectus
carinatum tidak ada, pectus ekskavatum tidak ada, pelebaran sela
iga tidak ada, tumor tidak ada, skar tidak ada, emfisema subkutis
tidak ada, spider naevi tidak ada, pergerakan kedua paru simetris
statis dan dinamis, pola pernapasan normal
- Palpasi : massa tidak ada, emfisema subkutis tidak ada, ekspansi
dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru, pelebaran
sela iga tidak ada
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler pada lapang paru, wheezing tidak
ada, ronki tidak ada
 Thoraks Belakang
- Inspeksi : penggunaan otot bantuan nafas tidak ada, retraksi sela iga
tidak ada, pelebaran sela iga tidak ada, tumor tidak ada, emfisema
subkutis tidak ada, Pergerakan kedua paru simetris statis dan
dinamis, pola pernapasan normal, scar tidak ada, luka operasi tidak
ada, massa tidak ada, gibbus tidak ada, kelainan tulang belakang
tidak ada
- Palpasi : massa tidak ada, emfisema subkutis tidak ada, ekspansi
dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru,
wheezing tidak ada, ronki tidak ada
 Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari linea
midklavikula sinistra ICS V, thrill tidak ada, heaving tidak ada,
lifting tidak ada
- Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra, batas
jantung kiri ICS V 1 jari medial linea midklavikula sinistra,
Pinggang jantung ICS II linea midklavikula sinistra
- Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur tidak ada, gallop tidak
ada
 Abdomen
- Inspeksi : simetris, datar, striae tidak ada, skar tidak ada,
penonjolan tidak ada, bekas operasi tidak ada, kaput medusa tidak
ada,
- Auskultasi : bising usus positif normal, metallic sound tidak ada,
borborigmi tidak ada, bruit tidak ada,
- Palpasi : tampak tegang, ballottement tidak ada, bulging tidak ada,
vesika urinaria tidak teraba, massa tidak ada, hepar dan lien tidak
teraba
- Perkusi : timpani, shifting dullnes tidak ada, nyeri ketok CVA tidak
ada, fenomena papan catur tidak ada
- Rectal toucher tidak dilakukan (pasien menolak dilakukan rectal
toucher)
 Ekstremitas
Akral teraba hangat, sianosis tidak ada, CRT < 2 detik, edema tidak
ada, jari tabuh tidak ada, koilonikia tidak ada, hiperemis tidak ada,
deformitas tidak ada, kuku jari ikterik tidak ada, tonus otot meningkat
 Kulit
Sianosis tidak ada, ikterik tidak ada, ptekie tidak ada
 Genitalia
Limfadenopati tidak ada
IV. STATUS NEUROLOGIS
1. GCS : E4M6V5
2. Rangsang Selaput Otak
 Kaku kuduk : +
 Laseque : >700 />700
 Kernig : > 1350 / > 1350
 Brudzinsky I :-/-
 Brudzinsky II :-/-
3. Saraf-Saraf Kranialis:
 N.I (olfaktorius) : normal/normal
 N.II (optikus)
- Acies visus : normal/normal
- Visus campus : normal/normal
- Lihat warna : normal/normal
- Funduskopi : tidak dilakukan
 N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)
- Kedudukkan bola mata : ortoposisi + / +
- Pergerakkan bola mata : normal/normal
- Exopthalmus :-/-
- Nystagmus :-/-
- Pupil:
o Bentuk : bulat, isokor, Ø 3mm/3mm
o Refleks cahaya langsung : +/+
o Refleks cahaya tidak langsung : +/+
 N.V (Trigeminus)
- Cabang Motorik : normal/normal
- Cabang sensorik :
o Ophtalmikus : normal/normal
o Maksilaris : normal/normal
o Mandibularis : normal/normal
 N.VII (Fasialis)
- Motorik orbitofrontalis : normal/normal
- Motorik orbikularis orbita : normal/normal
- Motorik orbikulari oris : normal/normal
- Pengecapan lidah : tidak dilakukan
 N.VIII (Vestibulocochlearis)
- Vestibular : Vertigo :-
Nistagmus :-/-
- Koklearis : Tuli Rhinne : tidak dilakukan
Tuli Webber : tidak dilakukan
Test Swabach : tidak dilakukan
 N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
- Uvula : di tengah
 N.XI (Accesorius)
- Mengangkat bahu : +/+
- Menoleh : +/+
 N.XII (Hypoglossus)
- Pergerakkan lidah : normal
- Atrofi :-
- Fasikulasi :-
- Tremor :-
- Disartria :+
4. Sistem Motorik
 Ekstremitas atas : 5555/5555
 Ekstremitas bawah : 5555/5555
 Tonus otot meningkat, hipertrofi tidak ada
5. Gerakkan Involunter
 Tremor/ :-/-
 Chorea :-/-
 Miokloni :-/-
 Tonus : normal
6. Sistem Sensorik :
 Propioseptif : normal
 Eksteroseptif : normal
7. Fungsi Serebelar
 Ataxia : tidak dilakukan
 Tes Romberg : tidak dilakukan
 Jari-jari : normal/normal
 Jari-hidung : normal/normal
 Rebound phenomenon :-/-
 Hipotoni :-/-
8. Fungsi Luhur
 Astereognosia :-
 Apraxia :-
 Afasia :-
9. Fungsi Otonom
 Miksi : on DC
 Defekasi : normal
 Sekresi keringat : berlebih
10. Refleks Fisiologis
 Biceps : +2/+2
 Triceps : +2/+2
 Lutut : +2/+2
 Tumit : +2/+2
11. Refleks Patologis
 Hoffman Tromer :-/-
 Babinsky :-/-
 Chaddok :-/-
 Gordon :-/-
 Schaefer :-/-
 Klonus lutut :-/-
 Klonus tumit :-/-
12. Keadaan Psikis
 Intelegensia : normal
 Tanda regresi :-
 Demensia :-
V. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

HEMATOLOGI
Hemoglobin 14,8 13,0 - 17,0
Leukosit 10000 4400 – 11.300
Hematokrit 44,70 40 - 52
Trombosit 231.000 150.000 – 440.000
KIMIA DARAH
Natrium 137,7 135 - 148
Kalium 3,8 3,3 – 5,3
Klorida 101 96 – 111
Ureum 21 6 – 40
Kreatinin 1.1 0,57 – 25
SGOT 34 5 – 34
SGPT 28 5 – 55
GDP 64 0 – 100
Kolesterol Total 147 0 – 199
Trigliserida 44 0 – 149
Globulin 2,8 3,2 – 3,7
Albumin 3,7 4 – 55

Kesan: dalam batas normal

VI. Resume

Tn. U, 35 tahun datang dengan keluhan tidak dapat membuka mulut sejak 6 hari
SMRS. Rahang pasien terasa kaku, gigi mengatup dan lengannya terasa kaku, hilang
timbul. Otot punggung dan perut kaku + hilang timbul. Pasien menjadi sulit
berbicara, disfagia +, dan sulit makan. Pasien juga menjadi lebih sering berkeringat.
Menurut keluarga pasien, saat ini pasien sering mengalami kejang – kejang. Pasien
mengalami kejang secara tiba –tiba maupun jika terkena sentuhan (kejang rangsang).
Saat kejang os sadar. Riwayat nyeri telinga sejak 1 minggu sebelumnya, namun
pasien mengaku tidak tampak keluar cairan dari telinga. Pasien sering mengorek
telinga menggunakan kunci motor. Pekerjaan pasien adalah seorang petani yang
sering tidak menggunakan alas kaki saat bekerja. Riwayat imunisasi tetanus lupa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, TD 130/80, HR 87x/m, RR 22 x/m, suhu 36,8C. Pada
wajah tampak trismus kurang lebih 2 cm, risus sardonicus +, tampak selang NGT
terpasang pada kavum nasi dekstra, pada liang telinga AD tampak sekret
mukopurulen, membran timpani perforasi sentral, nyeri tekan +, otot leher tegang,
palpasi, abdomen tegang. Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal.
Pemeriksaan neurologis, kuduk kaku +, peningkatan tonus otot + dan disartria +.
Pemeriksaan laboratorium darah dalam batas normal.

VII. Diagnosis

- Diagnosis kerja : Tetanus ec susp otitits media kronik AD


- Diagnosis banding:
o Meningoensefalitis
o Stroke non hemoragik
o Hipokalemia tetani
VIII. Penatalaksanaan
- Rencana terapi di IGD
1. O2 3 lpm
2. Pasang NGT
3. Pasang DC
4. IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm
5. Injeksi tetagam 12 A (3000 IU)
6. Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr
7. Metronidazole 3 x 500 mg IV
8. Diazepam 1A (10 mg) bila kejang
- Rencana terapi di ruangan
1. IVFD Aminofluid : D5 (2 flc) + neurosanbe + ketesse  40 tpm
2. Diazepam 8 x 1 A
3. Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr
4. Inj Omeprazol 1 x 20 mg
5. Metronidazol 3 x 500 mg IV
6. Zizanid 2 x1
7. Provital 2 x 1
8. Paracetamol tab 3 x 1000 mg
- Konsul THT
1. H2O2 3L + Tarivid 2 x 5 tetes ADS
2. Erdostein syr 3 x 1 C
IX. Prognosis

Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

X. Follow up

Hari S mulut masih belum bisa membuka, kekakuan otot - IVFD Aminofluid : D5
ke-2 +, mual -, muntah -, keringat berlebih +, sulit (2 flc) + neurosanbe +
berbicara + ketesse  40 tpm
- Diazepam 8 x 1 A
O KU: tampak sakit sedang Kesadaran: compos
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr
mentis
- Inj Omeprazol 1 x 20
TD: 110/80 mmHg Suhu: 37,10 C
mg
Nadi: 80x/menit Napas: 18x/menit
- Metronidazol 3 x 500
Kepala: normocephal
mg IV
Wajah : trismus +, risus sardonicus +
- Zizanid 2 x1
Mata: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
- Provital 2 x 1
Leher: pembesaran KGB tidak ada, kaku otot
- Paracetamol tab 3 x
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-)
1000 mg
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen: tegang, BU +
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)
Kulit: tidak ada kelainan
St. Neurologis : tonus otot meningkat +, disartria +,
kaku kuduk +
Hari S NGT keruh - IVFD Aminofluid : D5
ke-3 (2 flc) + neurosanbe +
O KU: tampak sakit ringan Kesadaran: compos ketesse  40 tpm
mentis - Diazepam 8 x 1 A
TD: 120/80 mmHg Suhu: 37,30 C
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr
Nadi: 80x/menit Napas: 18x/menit
- Inj Omeprazol 2 x 20
Kepala: normocephal
mg
Mata: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
- Metronidazol 3 x 500
Wajah : trismus +, risus sardonicus +
mg IV
Leher: pembesaran KGB tidak ada
- Zizanid 2 x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-), wheezing (-) - Provital 2 x 1
Abdomen: tegang, BU+ N, - Paracetamol tab 3 x
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-) 1000 mg
Kulit: tidak ada kelainan - Sucralfat 3 x 10 cc
St. Neurologis : tonus otot meningkat +, disartria +,
kaku kuduk +
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tetanus
Tetanus adalah kelainan neurologis berupa peningkatan tonus otot dan spasme
yang disebakan oleh tetanospasmin yang dikeluarkan oleh bakteri Clostridium tetani.1
B. Epidemiologi Tetanus
Tetanus dapat menyerang secara sporadis dan selalu mengenai orang yang
belum memiliki imunitas, orang yang memiliki imunitas sebagian, atau orang dengan
imunitas penuh namun gagal untuk mempertahankan imunitasnya yang adekuat dengan
vaksin booster. Walaupun tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, namun tetap menjadi beban penyakit di seluruh dunia. Penyakit ini sering
terjadi pada daerah dengan kondisi tanah yang subur, rural area, daerah beiklim hangat,
sering terjadi pada musim panas, dan sering lebih sering mengenai laki – laki.1
Di Amerika serikat dan negara lain yang memiliki program imunisasi yang
berhasil, tetanus neonatorum jarang terjadi (hanya 1 kasus dari tahun 1998 – 2000), dan
penyakit ini biasanya menyerang kelompok usia lain dan individu yang tidak memiliki
imunitas yang adekuat.1
Kelompok usia tua memiliki risiko tinggi terkena tetanus. Berdasarkan data dari
national serologic survey for tetanus and diphteria antibody tahun 1988 -1994
menunjukkan sekitar 72% warga Amerika di atas 6 tahun telah memiliki imunitas
terhadap tetanus. Selain itu, hanya 30% dai orang yang berusia > 70 tahun yang
memiliki imunitas terhadap tetanus.1
Insidensi global tetanus diperkirakan mencapai 1 juta orang per tahun pada
tahun 1989. Angka mortalitas tetanus mencapai 28 per 100.000 orang per tahun di
negara berkembang. Jumlah pasien tetanus yang meninggal dunia di seluruh dunia pada
tahun 2015 yaitu sebanyak 56.700 orang.2
Gambar 2.1 Insidensi Tetanus di seluruh dunia2

Tetanus neonatorum merupakan penyebab kematian kedua tersering pada anak.


Pada tahun 2012, eliminasi tetanus sudah dilakukan pada 25 negara. Pada tahun 2000,
58 negara tergolong negara dengan risiko tinggi tetanus neonatorum. Sedangkan, pada
tahun 2009, turun menjadi 44 negara. Pada tahun 2010, jumlah kasus tetanus di Asia
Tenggara, Sub Sahara Afrika dan Amerika Latin diperkirakan mencapat 79.000 orang.2

Gambar 2.2 Insidensi Tetanus di Asia Tenggara2


Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus
pada tahun 1999 – 2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif
tahun 2003 – Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan
mortalitas 47%.3

Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah. Penerapan imunisasi tetanus


global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Namun, imunitas terhadap tetanus
sendiri tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang
mengalami luka yang rentan terhadap infeksi. Akses program imuniasi yang buruk
dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit tetanus di negara berkembang.4

Gambar 2.3 Eliminasi tetanus tahun 2000 – 20155

WHO bekerja sama dengan UNICEF dan United Nations Population Fund
meluncurkan sebuah program yang bertujuan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum
dari 59 negara. Program tersebut memiliki progres yang baik. Berdasarkan data yang
dilaporkan terdapat 38 negara yang sudah mengeliminasi tetanus neonatorum dengan
penurunan tingkat insidensi hingga 58.000 kasus per tahun.5
C. Faktor Risiko
Penyakit tetanus menyertai kondisi acute injury, seprti luka tusuk, laserasi, dan
abrasi. Penyakit ini juga merupakan komplikasi kronik dari penyakit lain seperti ulkus
kulit, abses dan gangren. Selain itu dapat juga terjadi pada pasien luka bakar, frosbite,
infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi, melahirkan, body piercing, dan
penggunanaan obat – obatan terlarang. Sekitar 20% kasus tetanus, tempat masuk
kuman juga dapat tidak ditemukan.1
D. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh neurotoksin yang diproduksi oleh bakteri anaerobik
Clostridium tetani. Bakteri ini merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang yang
memiliki spora berbentuk oval, tidak berwarna dan terletak di terminal, sehingga
menyerupai “drumsticks” atau raket tenis. Organisme ini banyak ditemukan di tanah,
feses hewan, dan terkadang di feses manusia. Spora dapat bertahan selama bertahun –
tahun di lingkungan tertentu dan resisten terhadap desinfektan dan air mendidih selama
20 menit. Spora juga dapat bertahan di dalam autoklaf dengan suhu 1210C selama 10 –
15 menit. Spora dapat bersifat dorman tetapi jika terkena luka, spora akan berubah
menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan toksin. Spora tersebar di tanah dan di
dalam usus dan feses kuda, domba, unggas, anjing, kucing, tikus, babi dan ayam.
Bentuk vegetatif dapat dengan mudah diinaktivasi dan sensitif terhadap beberapa
antibiotik, yaitu metronidazole dan penisilin.1

Gambar 2.4 Clostridium tetani6

Clostriudium tetani menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolysin dan


tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin belum diketahui dengan pasti. Tetanospasmin
merupakan neurotoksin dan menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin
merupakan toksin yang paling poten. Dosis letal minimum toksin pada manusia yaitu 2.5
ng/kgBB atau 175 ng untuk manusia seberat 70 kg.7

Toksin tetanus memiliki berat molekul sebesar 150 kDa, terdiri dari “heavy chain “
dan “light chain” yang diikat dengan ikatan disulfida. Heavy chain memiliki berat molekul
100 kDa sedangkan light chain memiliki berat molekul sebesar 50 kDa. Heavy chain berperan
penting dalam neuronal uptake dan transportasi toksin di dalam neuron motorik. Heavy chain
berikatan dengan dissialogangliosida (GD2 dan GD1b) pada membran sel saraf dan
mengandung domain translokasi sehingga dapat membantu toksin tersebut menembus
membran sel saraf ke dalam sel saraf. Sedangkan light chain merupakan zinc-dependent
endopeptidase yang bertanggung jawab terhadap mekanisme patologi toksin. Light chain dapat
menyerang vesicle-associated membran protein (VAMP).7

Gambar 2.5 Struktur tetanospasmin9

E. Patofisiologi
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana – mana dan mampu bertahan di berbagai
lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya kuat. C. tetani dapat
ditemukan di tanah, debu jalanan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulut, luka tusuk minor atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus, pada 20% kasus mungkin tidak ditemukan
penyebab. Jika bakteri ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk
pertumbuhan sporanya akan berkembang biak dan menghasilkan toksin.8
Toksin yang dihasilkan menyebar ke pembuluh darah dan pembuluh limfa.
Selain itu juga terdapat beberapa tempat kerja toksin tetanus yaitu sistem saraf pusat
(peripheral motor end plate), medula spinalis, otak dan serabut saraf simpatis.8
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat, yaitu pertama, toksin diabsorpsi di neuromuscular junction,
kemudian melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, kedua toksin melaui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Pada mekanisme pertama, toksin
yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf
motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan,
kemudian ditrasnport secara retrograde menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang
merupakan zinc dependent endopeptidase memecah vesikel VAMP II/ Synaptobrevin
pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan
neurotransmitter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps.
Toksin mengganggu jalur inhibisi, yaitu mencegah pelepasan neurotrasnmitter glisin
dan GABA.8

Gambar 2.6 Patofisiologi Tetanus9

Transportasi toksin tetanus ke dalam inhibitory interneuron di dalam saraf pusat


berawal dari ikatan antara heavy chain tetanospasmin dengan GT1b polysialogangliosida dan
GPI anchored protein reseptor pada terminal membran sel saraf. Keduanya terletak pada lipid
mikrodomain dan merupakan tempat ikatan yang spesifik untuk neurotoksin tetanus.
Selanjutnya, toksin mengalami endositosis ke dalam serabut sel saraf dan mulai berjalan
melalui akson menuju sel neuron di medula spinalis. Kemudian, toksin mengalami transitosis
dari akson ke dalam inhibitory interneuron sistem saraf pusat.9.10 Translokasi ini juga
dipengaruhi oleh suhu dan pH, yaitu pada pH rendah atau asam dan suhu standard. Ketika
toksin sudah bertranslokasi ke dalam sitosol, ikatan disulfida mengalami reduksi melalui sistem
NADPH – thioredoxin reductase-thioredoxin redoks sehingga menyebabkan light chain bebas.
Light chain yang bebas memecah ikatan peptida antara Gln76 – Phe77 pada Synaptobrevin.
Pemecahan synaptobrevin mempengaruhi stabilitas SNARE core dengan cara merestriksi
konformasinya. Synaptobrevin merupakan integral V- SNARE yang diperlukan untuk fusi
vesikel ke membran. Pemecahan synaptobrevin ini merupakan target akhir neurotoksin tetanus
bahkan pada dosis yang rendah neurotoksin tetap akan bisa menghambat eksositosis
neurotransmitter ke dalam interneuron inhibitor. Penghambatan pelepasan neurotransmiiter ini
yang menyebabkan efek patologis pada tetanus, khususnya blokade neurotransmitter GABA
dan glisin.10,11

Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan GABA.
Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi
kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktifitas saraf motorik tak terkendali,
peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba – tiba dan potensial merusak.
Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
aksonalnya pendek sedangkan neuron – neuron simpatis terkena paling akhir akibat aksi toksin
di batang otak. Pada tetanus yang berat gagalnya penghambatan aktivitas otonim menyebabkan
hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar
katekolamin. Ikatan neuronal toksin bersifat irreversibel.8

F. Gejala Klinis
Periode inkubasi tetanus antara 3 – 21 hari (rata – rata 7 hari). Pada 80 – 90% penderita,
gejala muncul 1- 2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya gejala pertama
sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset dan periode inkubasi
secara signifikan menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset < 48 jam dan periode
inkubasi < 7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya.8
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan
ketidakstabilan otonom. Gejala awal meliputi kekakuan otot lebih dahulu pada kelompok otot
dengan jalur neuronal pendek, oleh karena itu yang tampak pada 90% kasus saat masuk rumah
sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot – otot wajah dan
faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan dan disfagia. Peningkatan
tonus otot paravertebral menyebabkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dnegan
tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.

Gambar 2.7 Riwayat Perjalanan Gejala Penyakit Tetanus7

Spasme otot muncul spontan dan juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,
auditori, atau emosional. Spasme otot dapat menimbulkan nyeri dan menyebabkan ruptur
tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera sehingga
mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga dapat
terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot – otot dada; selama spasme yang memanjang
dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi
mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia
biasanya terjadi akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan
dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat
berlangsung selama 3 – 4 minggu setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu.8

A
B
Gambar 2.8 (A) Trismus, spasme otot masseter (B) Risus Sardonicus, mata menutup
sebagian, berkurangnya frekuensi berkedip, dahi berkerut, m. Corrugator berkontraksi
menghasilkan garis vertikal di antara alis, lipatan nasolabial tampak menonjol, bibir berkerut
dengan sudut bibir mengarah keluar12
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak
terkontrol dengan baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme
berlangsung 1 – 2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan
periode vasokontriksi, takikardi dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan
peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi,
bradikardia, dan asistol yang tiba – tiba. Gambaran gangguan autonom lainnya meliputi
salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.8

Pada keadaan yang berat, dapat timbul berbagai macam komplikasi. Intensitas spasme
paroksismal kadang cukup mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma intramuskular.
Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada vertebra torakalis. Gagal
ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis
karena spasme dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis, pneumonia –
aspirasi, ulkus peptikum, retensi urin, infeksi traktur urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis
vena dan thromboemboli. 8

Selain itu juga terdapat 4 bentuk manifestasi klinis tetanus, antara lain :1

1. Localized tetanus
2. Generalized tetanus
3. Cepahlic tetanus
4. Neonatal tetanus

Localized Tetanus

Pada tetanus lokalis hanya mengenai serabut saraf yang mensuplai otot yang terkena.
Tetanus lokalis terjadi pada 15% kasus tetanus. Tetanus lokalis memiliki tingkat variabilitas
keparahan yang tinggi. Pada kasus yang ringan, pasien hanya merasakan kontraksi otot
persisten. Sedangkan pada kasus yang lebi berat, pasien mengalami spasme otot yang nyeri dan
intens. Tetanus lokalis dapat berlangung beberapa minggu, namun biasanya dapat sembuh
sendiri, dan hanya 1% kasus mengalam kematian.13

Generalized Tetanus

Generalized tetanus merupakan bentuk yang paling umum dengan insidensi sebesar 75
– 81%. Generalized tetanus ditandai dengan peningkatan tonus otot dan spasme umum.
Onsetnya terjadi 7 hari setelah luka ; 15% kasus terjadi dalam waktu 3 hari dan 10% terjadi
pada waktu setelah 14 hari. Awalnya, terjadi peningkatan tonus di otot masseter
(trismus/lockjaw). Selanjutnya terjadi disfagia, kekakuan atau nyeri di leher, bahu dan otot –
otot punggung. Selain itu juga terjadi rigiditas pada otot abdomen dan kekakuan pada otot
proksimal ekstremitas. Kontraksi yang terus menerus pada otot fasil wajah mengakibatkan
“grimace” (risus sardonicus) dna kontraksi otot – otot punggung menyebabkan opistotonus.
Beberapa pasien mengalami spasme otot umum yang tiba – tiba dna nyeri yang dapat
menyebabkan terjadinya sianosis dan mengancam ventilasi. Gangguan autonom juga dapat
terjadi, yaitu hipertensi, takikardia, disritmia, hiperpireksia, keringat berlebih, dan
vasokontriksi perifer. 1,13

Cephalic Tetanus

Cephalic tetanus merupakan bentuk tetanus yang jarang ditemukan dna biasanya
berkaitan dengan otitits media kronik atau trauma kepala dan memiliki prognosis yang rendah.
Biasanya mengenai nervus kranialis terutama yang berada di area wajah yaitu N. VII. Tetanus
oftalmoplegik merupakan varian bentuk manifestasi klinis tetanus akibat luka penetrasi pada
mata sehingga menyebabkan kelumpuhan pada N. III dan ptosis. Tetanus cephalic memiliki
periode inkubasi yang singkat, yaitu 1 – 2 hari dengan risiko mortalitas yang tinggi dan progresi
penyakit yang cepat. Sama seperti tetanus lokalis, tetanus cephalic juga dapat berkembang
menjadi generalized tetanus jika tidak ditangani segera.13

Neonatal Tetanus

Tetanus neonatal masih sering terjadi di negara berkembang dan memiliki prognosis yang
sangat buruk. Di seluruh dunia, tingkat mortalitas akibat penyakit ini sebesar 5 – 7%, namun
mortalitasnya bisa mencapai 50% pada negara berkembang. Tetanus neonatorum merupakan
bentuk generalized tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh infeksi. Faktor
penyebab tersering adalah penggunaan instrumen saat melahirkan yang tidak steril ketika
bersentuhan dengan tali pusat dari ibu yang tidak diimunisasi (tidak adanya imunitas pasif).
Penyakit ini disebut juga sebagai “penyakit hari ke- 7” karena periode inkubasinya yaitu 3 –
14 hari, dengan rata – rata hari ke 7 setelah kelahiran. Gejala yang muncul, antara lain : tidak
dapat menyusu, poor feeding, iritabilitas, rigiditas, facial grimicing, severe spasms dan
opistotonus. Pada neonatus, sepsis dapat terjadi bersamaan dengan tetanus sehingga
memperparah kondisi pasien. Beberapa neonatus yang dapat bertahan dilaporkan memiliki
kelainan neurologis, yaitu berupa cerebral palsy, retardasi psikomotor yang parah, gangguan
intelektual dan abnormalitas perilaku.13
Gambar 2.9 Opistotonus pada tetanus neonatorum13

G. Komplikasi
Laringospasme (spasme pita suara) dan spasme otot pernapasan dapat
mengganggu pernapasan. Infeksi nosokomial merupakan komplikasi yang juga sering
terjadi akibat perawatan yang lama di rumah sakit. Infeksi sekunder yaitu sepsis dari
kateter, hospital-acquired pneumonia, dna ulkus dekubitus. Emboli pulmonal sering
terjadi pada pengguna obat – obatan dan usia tua. Pneumonia aspirasi merupakan
komplikasi akhir yang sering terjadi dan ditemuakn pada 50 – 70% pasien yang
diautopsi. Kasus tetanus akan menjadi fatal apabila terjadi pada usia > 60 tahun (18%)
dan pada ornag yang tidak divaksinasi (22%).1,8
H. Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit
dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula,
dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung
yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter
(menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifitas
tingga (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien terinfeksi
menunjukan hasil positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya
normal. Kultur C. Tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif) mendukung
diagnosis, bukan konfirmasi.8
Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk tetanus.
Leukositosis kemungkinan masih dapat terjadi. Selain itu juga dapat terjadi
peningkatan kadar enzim otot (CK, aldolase) alkibat spasme otot terus menerus.
Pemeriksaan serologi juga dapat menjadi pertimbangan. Kadar antibodi protektif
minimum pada populasi normal yaitu antara 0,01 dan 0.15 IU/mL. Mayoritas pada
individu yang telah divaksinasi tetanus kadar antibodinya > 0,15 IU/mL. Imuniasasi
tetanus diulang setiap 10 tahun.13
I. Diagnosis Banding
Penyakit lain yang dapat menyebabkan trismus, yaitu abses alveolar, strychnine
poisioning, reaksi distonia obat (fenotiazine dan metokloperamide), dan tetanus
hipokalsemia. Diagnosis banding lain itu meningitis/ensefalitis, rabies, dan proses
abdomen akut. Peningkatan tonus otot pada otot sentral (wajah, leher, dada, punggung
dan perut) superimposed dengan spasme secara umum dan sparing tangan dan kaki
merupakan petunjuk kuat diagnosis tetanus. 1
J. Tata Laksana Tetanus
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang
(suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis
dimetabolisme.
1. Membuang sumber tetanospasmin

Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk


mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotik
diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan
tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah
menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan
secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap
6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani
bentuk vegetatif.

Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000


U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi
tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).Penicillin
membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000
U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus
tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai
agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama
(GABA).8
2. Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetani mmunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskular dengan dosis total 3.000 - 10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat
HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000 - 10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan
diberikan, makin efektif.8
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin
atau komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau
keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian
intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000 -
200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada
hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing
pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit
harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang telah sembuh
dari tetanus tidak memiliki kekebalan.8
3. Pengobatan Suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang
telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU
agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi.
Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah
penting sebagai penuntun terapi.8,14
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,
aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi
bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.
Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan
keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan. Kematian akibat
spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak
adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.8,14
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi
lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya
mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-
0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-
3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal
untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan >=
10 kg, atau diazepan intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme
berhenti, pemberina diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan
klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberika dosis awitan 0,1 –
0,2 mg/kgBB IV untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15
40 mg/kgBB/hari. Setelah 5 – 7 hari dosis diazepam harus diturunkan bertahap 5-
10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari. 8,14
Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan
efek. sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine
seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan
gangguan otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena,
dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari.
Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi
sampai 50-150 mg bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya
digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.8,14
Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan benzodiazepine, dapat dipilih
pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation
(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena
efek samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium juga
telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus berat sering kali
membutuhkan IPPV selama2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden
ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%.8,14
Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit
tetanusdan masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi
respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea.
Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau
ketidakstabilan otonom. Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset
spasme umum dan fatality ratenya 11-28%. 8,14
Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai gangguan
kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard serta kolaps sirkulasi sering
menyebabkan kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif,
hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak
beberapa hari setelah onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan
dikatakan dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan
kerja langsung toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang
memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis
berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest, dikatakan karena kerusakan langsung
nukleus vagus oleh toksin tetanus Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi
tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu paruh singkat. 8,14
Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama,
menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau chlorpromazin. Saat
ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan disfungsi
otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai
spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai
4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis,dimonitor reflek patella. Beta blocker
dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan
penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin dosis
tinggi,lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak ada
regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas otonom.
8,14

Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis


berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat
diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia,
gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya
tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis. Nutrisi parenteral total mengandung
glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk mengendalikan kadar
gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula asam amino sangat
membantu membatasi katabolisme protein. Pada hari pertama perlu pemberian
cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3
infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara
parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan
dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi. 8,14
Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak
digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan ; risiko
thromboemboli dan perdarahan harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus tetap
diberikan jika digunakan pelumpuh otot. 8,14
K. Prognosis
Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah
yang paling banyak digunakan. Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk
menilai prognosis tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring
ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi
neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien.
Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat.
Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan
mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat
berat dengan mortalitas > 50%. 8,14
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang
tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus.
Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian
jangka panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat
namun sering sembuh sempurna, beberapa pasien mengalami abnormalitas
elektroensefalografi yang menetap dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan
memori. Dukungan psikologis sebaiknya tidak dilupakan. 8,14
BAB III

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tn.
U, 35 tahun datang dengan keluhan tidak dapat membuka mulut sejak 6 hari SMRS. Rahang
pasien terasa kaku, gigi mengatup dan lengannya terasa kaku, hilang timbul. Otot punggung
dan perut kaku + hilang timbul. Pasien menjadi sulit berbicara, disfagia +, dan sulit makan.
Pasien juga menjadi lebih sering berkeringat. Menurut keluarga pasien, saat ini pasien sering
mengalami kejang – kejang. Pasien mengalami kejang secara tiba –tiba maupun jika terkena
sentuhan (kejang rangsang). Saat kejang os sadar. Riwayat nyeri telinga sejak 1 minggu
sebelumnya, namun pasien mengaku tidak tampak keluar cairan dari telinga. Pasien sering
mengorek telinga menggunakan kunci motor. Pekerjaan pasien adalah seorang petani yang
sering tidak menggunakan alas kaki saat bekerja. Riwayat imunisasi tetanus lupa.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
kompos mentis, TD 130/80, HR 87x/m, RR 22 x/m, suhu 36,8C. Pada wajah tampak trismus
kurang lebih 2 cm, risus sardonicus +, tampak selang NGT terpasang pada kavum nasi dekstra,
pada liang telinga AD tampak sekret mukopurulen, membran timpani perforasi sentral, nyeri
tekan +, otot leher tegang, palpasi, abdomen tegang. Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas
normal. Pemeriksaan neurologis, kuduk kaku +, peningkatan tonus otot + dan disartria +.
Pemeriksaan laboratorium darah dalam batas normal.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, terdapat kemungkinan


diagnosis banding pada pasien yakni tetanus, meningoensefalitis, stroke, tetani hipokalemia.
Pada kasus meningoensfelitis, keluhan pada pasien dapat berupa kaku kuduk, sakit kepala,
demam, dan kejang sedangkan pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda rangsang meningeal
positif (kaku kuduk, laseg, kernig, brudzinski I dan II), pada pemeriksaan laboratorium dapat
ditemukan adanya leukositosis. Pada pemeriksaan CSF juga dapat ditemukan kelainan.
Namun, pada pasien tidak ditemukan adanya demam dan sakit kepala dan tidak adanya
leukositosis. Saat ini, gejala pasien yang sama dengan gejala meningoensefalitis adalah hanya
kaku kuduk, sehingga diagnosis meningoensefalitis dapat disingkirkan.

Pada kasus stroke, khususnya stroke non hemoragik. Terdapat beberapa keluhan yang
sama dengan pasien, yaitu adanya disartria. Pada stroke biasanya akan terjadi kelumpuhan pada
ekstremitas namun pada pasien didapatkan kekuatan motorik yang normal namun terjadi
peningkatan tonus otot. Stroke juga sering mengenai nervus kranialis dan pada pasien dapat
ditemukan refleks patologis positif dan peningkatan refleks fisiologis. Selain itu, pasien yang
menderita memiliki riwayat hipertensi dan diabetes, namun pada pasien ini tidak ada.

Pada kasus tetani hipokalemia, keluhan pasien hampir sama, yaitu spasme otot. Namun
biasanya penyakit disertai dengan adanya kelaian pada irama jantung. Selain itu, pasien
biasanya disertai mual dan muntah. Namun pada pasien, tidak disertai mual dan muntah
maupun diare sebelumnya (risiko elektrolit imbalance tidak ada) sehingga diagnosis ini dapat
disingkirkan.

Tetanus memiliki gambaran penyakit yang cukup yaitu adanya trismus, risus sardonicu,
dan opistotonus. Pada pasien ditemukan trismus dan risus sardonicus. Selain itu juga ditemukan
adnaya peningkatan tonus otot leher, perut, dan punggung. Pada tetanus, saraf autonom dapat.
Pada pasien juga ditemukan adanya peningkatan saraf simpatis, yang ditandai oleh adanya
sekresi keringat yang berlebih. Tetanus sendiri disebabkan oleh adanya luka atau infeksi yang
terkontaminasi bakter. C. Tetani. Pada pasien ditemukan adanya riwayat OMSK ADS.
Kemungkinan toksin tetanus tersebut masuk melalui infeksi yang terdapat di telinga.

Prognosis pada pasien ini berdasarkan skor Phillips yaitu 15 yang berarti severitas
sedang. Namun berdasarkan dakar score, didapatkan nilai 1 yang berarti severitas ringan
dnegan mortalitas 10%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kesper DL, Fauci AS, et al. Harrison’s Principles of Internal Mediicne. 16th edition.
USA : McGraw Hill. 2005.
2. Berger S. Tetanus : Global Status - 2017 Edition. California : Gideon Informatics. 2017
3. Mahadew TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawatdaruratan Tulang
Belakang, Jakarta : CV. Sagung Seto.2009
4. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critcal care & pain. Vol. 6.
No. 3.[internet]. 2006 [cited 2017 Oct 6]. Available from :
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org/content/6/4/1643.full.pdf
5. Thwaites CL, Loan HT. Eradication of Tetanus. British Medical Journal. 2015 Dec ;
116(1): 69-77. doi : 10.1093/bmb/ldv044. cited [2017 Oct 7]
6. http://www.gettyimages.com/detail/illustration/clostridium-tetani-stock-
graphic/502865459
7. Thwaites CL. Tetanus. Current Anaesthesia Critical Care. Elseviere. 2005 (16), 50 – 57
8. Laksmi NKS. Penatalaksanaan Tetanus. Continuing Professional Development. CDK-
222/vol.41 no. 41, th 2014
9. Popp D, Narita A, Lee LJ, Ghoshdastider U, Xue B, Srinivasan R, Balasubramanian
MK, Tanaka T, Robinson RC (2012). "Novel actin-like filament structure from
Clostridium tetani". The Journal of Biological Chemistry. 287 (25): 21121–9. PMC
3375535 Freely accessible. PMID 22514279. doi:10.1074/jbc.M112.341016.
10. Munro, P; Kojima, H; Dupont, JL; Bossu, JL; Poulain, B; Boquet, P (30 November
2001). "High sensitivity of mouse neuronal cells to tetanus toxin requires a GPI-
anchored protein.". Biochemical and Biophysical Research Communications. 289 (2):
623–9. PMID 11716521. doi:10.1006/bbrc.2001.6031.
11. Winter, A; Ulrich, WP; Wetterich, F; Weller, U; Galla, HJ (17 June 1996).
"Gangliosides in phospholipid bilayer membranes: interaction with tetanus toxin.".
Chemistry and physics of lipids. 81 (1): 21–34. PMID 9450318. doi:10.1016/0009-
3084(96)02529-7.
12. Hayashida K, Murakami C, Fujioka M. Tetanus follwing replantation of an amputated
finger : a case report. Journal of medical case reports 2012 6:343,
https://doi,org/10/1186/1752-1947-6-343
13. Arrendo AR, Dire DJ. Assessment of Tetanus Risk in the Pediatric Emergency
Department. Pediatric Emergency Medicine Reports. December 1, 2016.
14. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and Rippe’s
intensive care medicine. 6 ed. Massachusetts: Lippincot Williams & Wilkins.
2008.p.1140-1.

Anda mungkin juga menyukai