I. Definisi
Kehamilan ektopik terjadi bila ovum yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh
diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan
kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis servikalis
masih termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.1
Berdasarkan tempat implantasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam
beberapa golongan, yaitu: 1
1. Kehamilan Tuba, meliputi > 95% yang terdiri atas : pars ampularis (55 %), pars isthmus
(25 %), pars fimbrae (17%), dan pars interstisial (2 %).
2. Kehamilan ektopik lain (< 5 %) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium, atau
abdominal.
3. Kehamilan intraligementer, jumlahnya sangat sedikit.
4. Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin berada di
kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar saru
per 15.000 – 40.000 kehamilan.
5. Kehamilan ektopik bilateral, sangat jarang terjadi.
Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering terjadi di
Tuba (97%), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di isthmus, dan 17 % di fimbriae.
Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal, dan intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5%
muncul di kornu uterus.1
Gambar 2.2 Jumlah kematian akibat kehamilan ektopik pada wanita kulit hitam dan kulit
putih di Ameriksa Serikat tahun 1970-19891
Di RSCM Jakarta, pada tahun 1987 terdapat 153 kasus kehamilan ektopik diantara
4007 persalinan atau 1 dianatra 26 persalinan. Di RS Hasan Sadikin Bandung periode tahun
2011 didapatkan 103 kasus dengan lokasi tersering pada tuba yaitu 82 kasus. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan bagian KSM Obstetri dan Ginekologi FK Maranatha di RS
Immanuel Bandung pada periode 1 Januari 2003 sampai Desember 2004 didapatkan total 47
kasus kehamilan ektopik terganggu dnegan kejadian tersering pada umur 30 – 34 tahun
sebanyak 30 kasus (40,4%). Umur kehamilan saat terjadi KET sekitar 5 – 9 minggu sebanyak
26 kasus (55,3%), lokasi tersering terjadi pada ampula sebnayak 39 kasus (83%) dan dengan
riwayat penggunaan kontrasepsi suntik progesteron sebanyak 20 kasus.5
III. Etiologi
Sebagian besar penyebab tidak diketahui. Tiap kehamilan diawali dengan pembuahan
telur di bagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan ke uterus telur mengalami hambatan
sehingga pada saat nidasi masih di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah.6
Kehamilan ektopik telah banyak diselidiki untuk mengetahui penyebabnya.
Berdasarkan Meta analisis dari 233 artikel dari tahun 1978 sampai 1994, Ankum dkk
melaporkan wanita yang mempunyai risiko paling besar untuk mengalami kehamilan ektopik
adalah wanita yang memiliki riwayat operasi pada tuba sebelumnya, riwayat kehamilan ektopik
sebelumnya, adanya riwayat kelainan pada tuba, dan uterus yang terpapar
diethylstilbestrol. Sedangkan wanita yang memiliki risiko yang sedang untuk mengalami
kehamilan ektopik adalah wanita dengan riwayat infeksi saluran genital, dan berganti - ganti
pasangan seksual. Dan risiko rendah pada wanita yang merokok, dan riwayat koitus pada
usia muda. Penyebab yang paling sering adalah salpingitis yang terjadi sebelumnya akibat
penyakit menular seksual seperti infeksi gonokokal, klamidia, atau salpingitis yang
mengikuti abortus septik dan sepsis puerperium.6
Aktivitas mioelektrik bertanggung jawab terhadap aktivitas dalam tuba fallopi.
Aktivitas ini membantu pergerakan sperma dan ovum agar saling bertemu dan membantu zigot
menuju ke kavum uteri. Estrogen akan meningkatkan aktivitas otot polos dan progesteron
menurunkan aktivitas tersebut. Proses penuaan menyebabkan hilangnya aktivitas
mioelektrik tuba fallopi secara progresif, sehingga bisa dijelaskan terjadinya peningkatan
insiden kehamilan tuba pada wanita perimenopause. Adanya kontrol hormonal pada
aktivitas otot tuba falopii mungkin menjelaskan peningkatan insiden kehamilan ektopik yang
berhubungan dengan penggunaan mini pil, IUD, dan induksiovulasi.7
Sekitar 2 % hingga 8 % konsepsi IVF (Invitro Fertilization) adalah daerah tuba. Faktor
predisposisi masih tidak jelas, mungkin karena penempatan embrio pada kavum uterus terlalu
diatas, refluks cairan ke dalam tuba, dan faktor kelainan tuba lainnya yang mencegah
refluks embrio kembali ke dalam kavum uterus.7
Resiko terjadinya kehamilan ektopik meningkat dengan adanya beberapa faktor,
termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, operasi pada tuba, infeksi
pelvis, paparan Diethylstil-bestrol (DES), dan penggunaan IUD. Faktor-faktor tersebut
dipengaruhi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme anatomis, fungsional, atau
keduanya. Kenyataannya sangat sulit untuk menilai penyebab dari implantasi ektopik dengan
tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba.8
IV. Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan
halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Pada yang
pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur
selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan
diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah
tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang
menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba
tidak sempurna malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus
endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh
darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat
implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi
trofoblas.1,9,10
Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum gravidatis dan
trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium dapat pula berubah menjadi
desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut
fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler,
dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-
kadang ditemukan mitosis. Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.9,10
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik dalam
tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak
mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus. Sebagian besar kehamilan tuba
terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu sampai 10 minggu. Kemungkinan itu antara
lain :1,9
- Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk beberapa
hari. 11
Fertilisasi dapat terjadi semua bagian tuba fallopi, sekitar 95-96% terjadi di
ampulla, 25% di ismus, dan 17% di fimbrae. Lapisan submukosa dari tuba fallopi yang
tipis dapat membuat ovum yang telah dibuahi dapat menembus ke lapisan epitel,
bahkan zigot akan sampai terimplantasi sampai lapisan muskuler. Kemudian trofoblas
akan berprolifreasi dengan cepat dan menginvasi daerah sekitarnya. Pembuluh darah
maternal menjadi ruptur dan menyebabkan perdarahan di ruang antara trofoblas, atau
antara trofoblas dengan jaringan di bawahnya. Pada dinding tuba fallopi yang
merupakan tempat implantasi zigot mempunyai ketahanan yang rendah terhadap invasi
trofoblas. Embrio pada kehamilan ektopik sering kali tidak berkembang.9,11
- Ruptur tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda, Sebaliknya rupture pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan
yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan rupture ialah penembusan villi
koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi
secara spontan, atau klarena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal.
Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut dengan jumlah sedikit sampai
banyak, yang dapat menimbulkan syok sampai kematian. Bila pseudokapsularis ikut
pecah maka terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam
rongga perut melalui ostium tuba abdominale.10
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba
tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari trofoblas,
akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi pada daerah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus,
terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat
keluar dari tuba, tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin
bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan
masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat diubah menjadi
litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih diselubungi oleh
kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam
rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal sekunder. 1,9,10
VI. Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang belum
terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau abortus dahulu sehingga
menimbulkan gejala.12
Anamnesis. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk beberapa
waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Terdapat nyeri perut
bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus. Perdarahan pervaginam dapat terjadi,
dan biasanya terjadi setelah muncul keluhan nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah
perdarahannya, warna dari darahnya, apakah mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan
saja, dan apakah keluar gumpalan-gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya,
bila sudah pernah hamil, riwayat menstruasinya.12
Pemeriksaan umum. Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan kesakitan.
Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda syok dan pasien
merasakan nyeri perut yang mendadak yang mana mirip dengan keluhan pada penderita
appendisitis akut. Pada jenis yang tidak mendadak, mungkin hanya terlihat perut bagian bawah
yang sedikit menggembung dan nyeri tekan.12
Pemeriksaan ginekologi. Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda
kehamilan muda. Perabaan serviks dan gerakannya menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat
diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor disamping uterus
dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas juga teraba menonjol dan nyeri raba yang
menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Kadang terdapat suhu yang naik, sehingga
menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.12
Pemeriksaan laboratorium.
- Hb dan jumlah sel darah merah
Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan tuba yang
terganggu, karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut, tapi turunnya
Hb disebabkan karena darah diencerkan oleh air dan jaringan untuk
mempertahankan volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Jadi mungkin
pada pemeriksaan Hb yang pertama, kadar Hb belum seberapa turunnya, maka
kesimpulan adanya perdarahan didasarkan atas penurunan kadar Hb pada
pemeriksaan kadar Hb yang berturut-turut. Pada kasus jenis tidak mendadak,
biasanya ditemukan anemia tetapi harus diingat bahwa penurunan Hb baru terlihat
setelah 24 jam.1
Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada pasien hamil
ektopik yang belum rupture dengan menginsisi permukaan antimesenterik dari tuba dengan
kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian diinjeksikan pitressin dilute untuk memperbaiki
hemostasis. Gestasi ektopik dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan tempat yang
berdarah di kauter. Pengkauteran yang banyak didalam lumen tuba dapat mengakibatkan
terjadinya sumbatan, dan untuk itu dihindari. Penyembuhan secara sekunder atau dengan
menggunakan benang menghasilkan hasil yang sama. Tindakan ini baik untuk pasien dengan
tempat implantasi di ampulla tuba. Kehamilan ektopik ini mempunyai kemungkinan invasi
trofoblastik kedalam muskularis tuba yang lebih kecil dibandingkan dengan implantasi pada
isthmus. 12,13
Gambar 2.9 Teknik Salpingektomi. Pedicel di potong dan diligasi dengan ligasi sutura. 13
Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari
reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika diagnosis ditegakkan lebih
awal, maka pada tempat isthmus dapat dilakukan salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang
berlokasi pada ujung fimbriae, dapat dilakukan gerakan seperti memeras (milking) untuk
mengeluarkan jaringan trofoblastik melalui fimbriae.12
Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit waktu yang
hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau total salpingektomi
laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit tuba yang masih ada
dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang
paling sering adalah kehamilan ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan
trofoblastik yang tidak komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post operasi
sebagai profilaksis para pasien resiko tinggi.12
Terapi Obat:
Diagnosis dini yang dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan dengan obat-obatan
memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari tindakan bedah beserta segala
resiko yang mengikutinya, mempertahankan potensi dan fungsi tuba, dan biaya yang lebih
murah. Zat-zat kimia yang telah diteliti termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat sitotoksik
(misal: methotrexate dan actinomycin), prostaglandin, dan mifeproston (RU486). Disini akan
dibahas lebih jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk terapi obat.12,13
METHOTREXATE
Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka dkk. untuk
kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti oleh Miyazaki (1983) dan Ory dkk. yang
menggunakannya sebagai terapi garis pertama pada kehamilan ektopik. Sejak itu banyak
dilaporkan pemakaian methotrexate pada berbagai jenis kehamilan ektopik yang berhasil.
Dengan semakin banyaknya keberhasilan memakai obat, maka mulai diperbandingkan
pemakaian methotrexate dengan terapi utama salpingostomi.12
Perdarahan intra-abdominal aktif merupakan kontraindikasi bagi pemakaian
methotrexate. Ukuran dari massa ektopik juga penting, oleh Pisarska dkk. (1997)
direkomendasikan bahwa methotrexate tidak digunakan pada massa kehamilan jika ukuran
lebih dari 4 cm. Keberhasilannya baik bila usia gestasi kurang dari 6 minggu, massa tuba
kurang dari 3,5 cm diameter, janin sudah mati, dan β-hCG kurang dari 15.000 mIU. Menurut
American College of Obstetricians and Gynaecologist (1998), kontraindikasi lainnya termasuk
menyusui, imunodefisiensi, alkoholisme, penyakit hati atau ginjal, penyakit paru aktif, dan
ulkus peptik.13
Methotrexate merupakan suatu obat anti neoplastik yang bekerja sebagai antagonis
asam folat dan poten apoptosis induser pada jaringan trofoblas. Pasien yang akan diberikan
methotrexate harus dalam keadaan hemodinamika yang stabil dengan hasil laboratorium darah
yang normal dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati. Methotrexate diberikan dalam dosis
tunggal (50 mg/m2 IM) atau dengan menggunakan dosis variasi 1 mg/kgBB IM pada hari ke
1,3,5,7 ditambah Leukoverin 0,1 mg/kgBB IM pada hari ke 2,4,6,8. Setelah pemakaian
methotrexate yang berhasil, β-hCG biasanya menghilang dari plasma dalam rata-rata antara 14
dan 21 hari. Kegagalan terapi bila tidak ada penurunan β-hCG, kemungkinan ada massa ektopik
persisten atau ada perdarahan intraperitoneal.12,13
IX. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh kehamilan ektopik terganggu antara lain
berupa syok yang irreversibel, perlekatan dan obstruksi usus. Komplikasi yang lain berupa
jaringan trofoblastik persisten dan kehamilan ektopik persisten . Namun kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada kehamilan ektopik yang belum pecah dan menjalani terapi bedah
konservatif (salpingostomi), sehingga diperlukan pemantauan yang ketat pasca terapi.7,12
X. Prognosis
Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan terlambat, maka
angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada kehamilan ektopik biasanya akan mati
dan tidak dapat dipertahankan karena tidak berada pada tempat dimana ia seharusnya tumbuh.13
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral.
Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat
mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang
berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan kemajuan terapi yang ada sekarang,
kemungkinan ibu untuk dapat hamil kembali besar, namun ini harus didukung kemampuan
untuk menegakkan diagnosis dini sehingga dapat diintervensi secepatnya.7
Setelah mengalami kehamilan ektopik, kemungkinan untuk mengandung dan melahirkan anak
sebesar 85% pada kehamilan berikutnya. Setelah 2 kali mengalami kehamilan ektopik, risiko
kehamilan ektopik berikutnya meningkat menjadi 10 kali lipat, dan harus dipertimbangkan
dalam memberikan IVF.7