Anda di halaman 1dari 6

Hello world!

K3 Pertanian
Posted on February 13, 2011 by faridwin

PENDAHULUAN

Petani merupakan kelompok kerja terbesar di Indonesia. Meski ada kecenderungan semakin
menurun, angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian masih berjumlah 42 juta orang atau
sekitar 40% dari angkatan kerja. Banyak wilayah kabupaten Indonesia yang mengandalkan
pertanian, termasuk perkebunan sebagai sumber penghasilan daerah.

Dalam perspektif kesehatan dan keselamatan kerja penerapan teknologi pertanian adalah
health risk. Oleh karena itu ketika terjadi sebuah pemilihan sebuah teknologi, secara implicit
akan terjadi perubahan factor resiko kesehatan. Teknologi mencangkul kini digantikan
dengan traktor, hal ini jelas mengubah factor resiko kesehatan dan keselamatan kerja yang
dihadapi oleh petani.

Penerapan teknologi baru di pertanian memerlukan adaptasi sekaligus keterampilan.


Demikian pula dengan penggunaan pestisida , seperti indikasi hama, takaran, teknik
penyemprotan, dan lain-lain. Ironisnya teknologi baru ini memiliki potensi bahaya khususnya
pada saat kritis pencampuran. Akibatnya, korban berjatuhan tanpa intervensi program
pencegahan dampak kesehatan yang seyogianya dilakukan Dinas Kesehatan tingkat local
maupun tingkat pusat.

Perkebunan dapat dianggap sebagai satu masyarakat tertutup, sehingga usaha-usaha


kesehatanpun harus disesuaikan dengan sifat-sifat masyarakat demikian, dalam arti
menyelenggarakan sendiri dan untuk kebutuhan sendiri. Dalam hal ini sesuai pula dengan
luas lahan pertanian atau perkebunan yang sudah sepatutnya ada usaha-usaha meliputi bidang
preventif dan kuratif, baik mengenai peyakit umum, kecelakaan kerja, dan penyakit akibat
kerja.

Sudah dapat diduga bahwa pekerja-pekerja pertanian dan perkebunan penyakit-penyakit oleh
sanitasi buruk adalah hal yang terpenting. Dari itu kesehatan dan kebersihan lingkungan serta
sangatlah perlu.

PEMBAHASAN

A. Kualitas Kesehatan Kerja Petani

Kualitas petani, langsung maupun tidak, berhubungan dengan indeks perkembangan manusia
(IPM) . dalam IPM kesehatan petani harus dilihat dalam dua aspek. Yakni, kesehatan sebagai
modal kerja dan aspek penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, khususnya factor risiko
akibat penggunaan teknologi baru dan agrokimia.

Bekerja sebagai petani memerlukan modal awal. Selain stamina, kondisi fisik harus
mendukung pekerjaan tersebut. Seorang petani jangan sampai sakit-sakitan. Kemudian
tingkat pendidikan dan kesehatan awal. Kesehatan petani diperlukan utnuk mendukung
produktivitas

Secara teoretis apabila seseorang bekerja, ada tiga variable pokok yang saling berinteraksi.
Yakni, kualitas tenaga kerja, jenis atau beban pekerjaan dan lingkungan pekerjaannya. Akibat
hubungan interaktif berbagai factor risiko kesehatan tersebut, apabila tidak memenuhi
persyaratan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Gangguan kesehatan akibat atau berhubungan dengan pekerjaan dapat bersifat akut dan
mendadak, kita kenal sebagai kecelakaan, dapat pula bersifat menahun.berbagai gangguan
kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan misalnya para petani mengalami keracunan
pestisida dari dari tingkat sedang hingga tingkat tinggi.

Penyakit yang berhubingan dengan pekerjaan petani yang diderita oleh petani seperti sakit
pinggang (karena alat cangkul yang tidak ergonomis), gangguan kulit akibat sinar ultraviolet
dan gangguan agrokimia. Penggunaan agrokimia khususnya pestisida merupaka factor risiko
penyakit yang paling sering dibicarakan. Kondisi kesehatan awal petani berpengaruh
terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan. Seperti, penderita anemia
karena kekurangan gizi disebabkan kecacingan di sawah atau perkebunan maupun kurang
pasokan makanan, kemudian dapat diperburuk dengan keracunan organofospat.

Beberapa penyakit yang dihubungkan dengan pekerjaan, termasuk penyakit infeksi yang
diakibatkan bakteri, virus, maupun parasit. Misalnya penyakit malaria, selain dianggap
sebagai penyakit yang merupakan bagian dari kapasitas kerja atau modal awal untuk bekerja,
juga dapat dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.

B. Penyakit Endemik sebagai Faktor Resiko

1. Malaria

Petani Indonesia umumnya bekerja di daerah endemic malaria , habitat utama di persawahan
dan perkebunan. Parasit malaria akan menyerang dan berkembang biak dalam butir darah
merah sehingga seseorang yang terkena malaria akan menderita demam dan anemia sedang
hingga berat. Anemia dan kekurangan hemoglobin dapat mengganggu kesehatan tubuh serta
stamina petani. Seseorang yang menderita anemia akan memiliki stamina yang rendah, loyo,
cepat lelah, dan tentu saja tidak produktif.

2. Tubekulosis

Penyakit yang sering diderita oleh angkatan kerja Indonesia termasuk petani adalah
tuberculosis (TBC). Kelompok yang terkena resiko penyakit TBC adalah golongan ekonomi
lemah khususnya petani dengan kondisi ekonomi lemah tersebut. TBC diperburuk dengan
kondisi perumahan yang buruk, rumah tanpa ventilasi dengan lantai tanah akan menyebabkan
kondisi lembab, pengap, yang akan memperpanjang masa viabilitas atau daya tahan kuman
TBC dalam lingkungan.

Penderita TBC akan mengalami penurunan penghasilan 20-30%, kinerja dan produktivitas
rendah, dan akan membebani keluarga.

3. Kecacingan dan Gizi Kerja


Untuk melakukan aktivitas kerja membutuhkan tenaga yang diperoleh dari pasokan makanan.
Namun makanan yang diperoleh dengan susah payah dan seringkali tidak mencukupi masih
digerogoti oleh berbagai penyakit menular dan kecacingan. Masalah lain yang dihadapi
ankgatan kerja petani adalah kekurangan gizi. Kekurangan gizi dapat berupa kekurangan
kalori untuk tenaga maupun zat mikronutrien lainnya, akibat dari tingkat pengetahuan yang
rendah dan kemiskinan.

4. Sanitasi Dasar

Sanitasi dasar merupakan salah satu factor risiko utama timbulnya penyakit-penyakit infeksi
baik yang akut seperti kolera, hepatitis A, disentri, Infeksi Bakteri Coli maupun penyakit
kronik lainnya.

Tidak mungkin petani bekerja dengan baik kalau sedang menderita malaria kronik atau diare
kronik. apalagi TBC. Untuk meningkatkan produktivitas, seorang petani harus senantiasa
mengikuti pengembangan diri. Lalu tidak mungkin mengikuti pelatihan dengan baik kalau
tidak sehat. Untuk itu diperlukan khusus kesehatan dan keselamatan kerja petani sebagai
modal awal seseorang atau kelompok tani agar bisa bekerja dengan baik dan lebih produktif.

C. Faktor Risiko Kesehatan Kerja Petani

Gabungan konsep kualitas kesehatan tenaga kerja sebagai modal awal untuk bekerja dengan
resiko bahaya lingkungan pekerjaannya.

Petani Indonesia pada umumnya tidak memerlukan transportasi menuju tempat pekerjaannya,
namun bagi petani perkebunan apalagi yang tinggal diperkotaan yang memerlukan waktu
lama menuju tempat kerjanya maka kualitas dan kapasitas kerjanya akan berkurang. Terlebih
lagi bagi petani yang menggunakan sepeda motor yang harus exposed terhadap pencemaran
udara dan kebisingan jalan raya. Tentu akan menimbulkan beban yang lebih berat.

Mengacu pada teori kesehatan kerja maka resiko kesehatan petani yang ditemui di tempat
kerjanya adalah sebagai berikut :

1. Mikroba : factor resiko yang memberikan konstribusi terhadap kejadian penyakit


infeksi, parasit, kecacingan, maupun malaria. Penyakit kecacingan dan malaria selain
merupakan ancaman kesehatan juga merupakan factor risiko pekerjaan petani karet,
perkebunan lada, dan lain-lain. Berbagai factor risiko yang menyertai leptospirosis,
gigitan serangga, dan binatang berbisa.
2. Faktor lingkungan kerja fisik : sinar ultraviolet, suhu panas, suhu dingin, cuaca, hujan,
angin, dan lain-lain.
3. Ergonomi : kesesuaian alat dengan kondisi fisik petani seperti cangkul, traktor, dan
alat-alat pertanian lainnya.
4. Bahan kimia toksik : agrokimia seperti pupuk, herbisida, akarisida, dan pestisida.

D. Aspek Kesehatan Kerja Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Agrokimia

Agrokimia merupakan salah satu masalah utama kesehatan petani berkenaan dengan
pekerjaannya. Agrokimia meliputi semua bahan kimia sintetik yang digunakan untuk
kepentingan dan keperluan luas produksi pertanian. Bahan tersebut meliputi hormone pemacu
pertumbuhan, pupuk, pestisida, antibiotika, dan lain-lain.

Pengaruh atau dampak penggunaan agrokimia terhadap kesehatan kerja adalah sebagai
berikut :

Tergantung bahan kimia


Tergantung besar kecilnya dosis
Cara aplikasi, bagaimana agrokimia tersebut digunakan di lapangan.

Pestisida digunakan karena daya racunnya (toksisitas) untik membunuh hama. Oleh sebab itu
penggunaan pestisida dilapangan memeiliki potensi bahaya kesehatan kerja.

Dalam melakukan penilaian terhadap aspek kesehatan kerja dengan pestisida, ada dua hal
yang harus diperhatikan :

a. Toksisitas, sifat dan karakteristik pestisida

Tiap jenis pestisida memiliki sifat, karakteristik, dan toksisitas yang berbeda. Oleh sebab iti
harus dipelajari. Disamping itu, pestisida yang ada di pasaran dalam bentuk kemasan ada tiga
komponen bahan kimia yaitu :

Active Ingredient (a.i)


Stabilizer
Pewarna, pembau, pelarut, dan lain-lain.

Masing-masing bahan kimia tersebut memiliki potensi bahaya kesehatan. Namun,


toksisitasnya diperhitungkan terhadap active ingredient. Sedangkan ketiga bahan kimia
tersebut saling berpotensi membentuk toksisitas baru.

Dampak patofisiologi keracunan pestisida tergantung jenis dan sifat pestisida tersebut.
Misalnya golongan organochlorine dapa mengganggu fungsi susunan syaraf pusat. Golongan
karbamat dan organofospat menimbulkan gangguan susunan syaraf pusat dan perifer melalui
ikatan cholinesterase.

b. Aspek Penggunaan

Semua aspek yang berhubungan dengan penggunaan serta aspek manusia pekerja itu sendiri
seperti, pendidikan, keterampilan, perilaku, umur, tinggi tanaman, pakaian pelindung, dan
lain-lain.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :

Alat Pelindung Diri

Satu hal yang sering dilupakan oleh petani pada penggunaan pestisida adalah contact poison.
Oleh karena itu route of entry melalui kulit sangat efektif. Apalagi kalau ada defect kelainan
kulit atau bersama keringat, penyerapan oleh efektif akan lebih efektif. Petani umumnya
kurang mengetahui hal ini, mereka umumnya suka menggunakan masker dan telanjang dada,
ketimbang menutupi dirinya dengan pakaian pelindung.

FaKtor yang mempengaruhi perilaku pemajanan (behavioral exposure)

Apabila seseorang bekerja menyemprot pestisida dilapangan maka jumlah pestisida yang
kontak dengan badan akan dipengaruhi oleh :

Tinggi tanaman
Umur
Pengalaman
Pendidika dan Keterampilan
Arah dan kecepatan angin

Sedangkan fase kritis yang harus diperhatikan adalah :

Pencampuran
Penyemprotan/penggunaan
Pasca penyemprotan

E. Pelaksanaan K3 di pertanian dan perkebunan

Berikut terdapat beberapa cara strategis yang menyangkut pembangunan kesehatan dan
keselamatan kerja petani yang merupakan tugas pemerintah, apalagi yang mengandalkan
pertanian dan perkebunan sebagai sumber pendapatan asli daerahnya.

Komitmen terhadap kualitas kesehatan petani

Pemerintah harus meiliki komitmen yang cukup terhadap permasalahan kesehatan dan
keselamatan kerja petani serta penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan petani.

Komitmen terhadap masalah kesehatan petani sangat penting untuk mendukung


perekonomian wilayah maupun regional. Keberpihakan terhadap permasalahan petani perlu
ditumbuhkan untuk membangun komitmen ini.sebagai contohnya adalah program sanitasi
dasar untuk rumah tangga penduduk miskin, petani sebagai sektor informal harus dianggap
sebagai investasi daerah untuk mendukung investasi perekonomian.

Perencanaan

Perencanaan K3 meliputi antara lain :

Sasaran penerapan K3 harus jelas


Pengendalian terhadap resiko
Peraturan, undang-undang dan standar harus sesuai

Penerapan K3
Pelayanan Kesehatan & keselamatan kerja
Penyuluhan tentang kesehatan dan penyakit akibat kerja yang terkait dengan
pekerjaan petani

Upaya kesehatan kerja (UKK) memberika penyuluhan seperti bagaimana menggunakan


pestisida secara aman, bagaimana menggunakan bahan kimia berbahaya secara benar agar
tidak membahayakan diri petani dan lingkungannya. Serta upaya pencegahan dan pengobatan
penyakit yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Masalah kesehatan dan keselamatan kerja petani bukan hanya memperhatikan factor risiko
yang ada dalam pekerjaannya, namun juga harus menjangkau tingkat kesehatan sebagai
modal awal untuk bekerja. Untuk itu program penyediaan air bersih, perumahan sehat juga
mendukung tingkat kesehatan dan kesejahteraan petani.

Pengukuran dan evaluasi

Pengukuran dan evaluasi meliputi pemeriksaan kesehatan petani, utamanya yang terpapar
dengan agrikimia atau pestisida dan memeriksa apakah terjadi perubahan anatomi tubuh
akibat dari factor ergonomic kerja yang tidak diperhatikan.

Kapasitas pengelolaan program

Untuk membangun kualitas kesehatan dan produktivitas petani diperlukan kemampuan atau
kapasitas pengelolaan program. Kemampuan pemerintah dalam mengelolah tenaga kerja
khususnya petani perlu melibatkan kemampuan profesionalisme tenaga ahli seperi dokter,
perawat, dan petugas kesehatan masyarakat.

Untuk itu, pelatiha dan pemahaman terhadap masalah kesehatan sebagai modal awal maupun
kesehatan yang berkenaan dengan pekerjaan harus dikelola secara tepat.

Anda mungkin juga menyukai