Anda di halaman 1dari 22

NEURALGIA PASCA HERPETIK

I. PENDAHULUAN

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
suatu pengalaman inderawi dan emosional yang tidak menyenangkan,yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak.1

Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari reaktivasi infeksi
virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam tubuh seseorang). Virus ini bersifat
laten pada saraf sensorik atau pada saraf-saraf wajah dan kepala (saraf kranialis) setelah serangan
varicella (cacar air) sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun
bila sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak gejala klinis. Sekitar 90%
orang dewasa di Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium serologik (diambil dari darah)
ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster sehingga menempatkan mereka pada kelompok
resiko tinggi herpes zoster. Angka insidens zoster dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2
hingga 3.4 per-1000 orang tiap tahunnya. Dari angka tersebut, diperkirakan insidennya bisa
mencapai lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-pasien ini akan
mengalami Neuralgia Pasca Herpetika. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko
perkembangan herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas 60-70 tahun) mencapai 10
kasus per-1000 orang pertahun, sementara Neuralgia Pasca Herpetika juga mencapai 50% pada
pasien-pasien ini dan mengalami nyeri yang berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan
tahun). Neuralgia Pasca Herpetika sendiri menimbulkan masalah baru akibat disability, depresi
dan terisolasi secara sosial serta menurunkan kualitas hidup. Sekali Neuralgia Pasca Herpetika
terjadi, akan sangat sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif.1

Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa pencegahan dan pengobatan yang tepat pada
penderita Neuralgia Pasca Herpetika merupakan hal yang sangat penting dan pengetahuan
tentang patofisiologi Neuralgia Pasca Herpetika sangat penting untuk pengobatan dan
meningkatkan kualitas hidup penderita.

1
I.2 Tujuan :

1. Melaporkan satu kasus tentang Neuralgia Pasca Herpetika yang berlangsung pada pasien

2. Untuk membahas defenisi, epidemiologi, faktor resiko, klasifikasi, etiologi,


pathogenesis, gambaran klinis, diagnosis, manajemen terapi, dan prognosis Neuralgia
Pasca Herpetika.

I.3. Manfaat :

1.Dapat memahami defenisi, epidemiologi, faktor resiko, klasifikasi, etiologi,


pathogenesis, gambaran klinis, diagnosis, manajemen terapi, dan prognosis Neuralgia
Pasca Herpetika.

2. Dapat mengetahui perjalanan penyakit Neuralgia Pasca Herpetika dengan faktor resiko.

2
II. LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama :

Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Kawin

Alamat : Dusun II kota baru, Paya Lombang

Tanggal MRS : 28-05-2014

No Rekam Medis : 03.19.57

A. ANAMNESE PRIBADI
Seorang laki-laki umur 53 tahun beragama islam, tidak bekerja, sudah kawin dan
tinggal didaerah dusun II kota baru, Paya Lombang, tebing tinggi dating ke RSUD
Dr. H. Kumpulan Pane pada tanggal 28 Mei 2014 dengan keluhan nyeri, gatal dan
panas pada perut bawah kiri hingga kebagian pinggang belakang kiri OS.

B. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Keluhan Utama : nyeri, gatal dan panas pada perut bawah kiri hingga
kebagian pinggang belakang kiri
Telaah : Hal ini telah dialami OS kurang lebih 5 bulan terakhir
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri yang dirasakan OS di
perut bawah kiri hingga kebagian pinggang belakang kiri.
Nyeri yang dirasakan OS bersifat gatal, panas, seperti
ditusuk-tusuk dan semakin memberat jika disentuh, cuaca
panas, cuaca dingin dan terkena hembusan angin hal ini

3
dirasakan OS terus menerus.OS sebelumnya menderita
Herpes Zooster 6 bulan yang lalu tepat didaerah yang
dirasakan nyeri oleh OS saat ini.
RPO :-
RPT : Herpes Zooster

PEMERIKSAAN FISIK
Staus presens
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Pols : 68x/i
Pernafasan :24x/i
Temperatur : 36,70 C
Kepala : Normocephalic
Mata, THT : Anemis (+), ikterus (-), Oedem Palpebra (-), cyanosis (-),
telinga makrotia (-), telinga mikrotia (-), nyeri telinga (-)
Thoraks : simetris fusiformis
Jantung : ictus cordis tidak teraba, batas jantung normal, murmur dan
gallop (-)
Paru-Paru : Simetris statis dinamis, stem fremitus kanan = kiri, vesikuler
(+)
Abdomen : simetris, soepel, peristaltik (+), hepar lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Sensorium : Compos Mentis
Tanda perangsangan meningeal : kaku kuduk (-), brudzinski I/II (-/-)
Tanda peninggian TIK : Muntah (-), sakit kepala (-), kejang (-)

4
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil isokor, 3 mm/ 3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
NIII, IV, VI : Gerakan bola mata bisa mengikuti arah jari
NV : Refleks kornea (+), refleks masseter (+), refleks bersin (+)
N VII : Sudut mulut simetris
N IX, X : Refleks muntah (+)
N XII : Lidah istirahat medial, lidah dijulurkan medial
Sistem Motorik
Trofi : Eutrofi
Tonus : Normotonus
Kekuatan otot : ESD : E 55555 EID : E 55555 ESS : E 55555 EIS : E 55555
F 55555 F 55555 F 55555 F 55555
Lenggang/gait : Tidak dijumpai
Gerakan spontan Abnormal : Tidak dijumpai
Sistem sensibilitas : nyeri (+), suhu (+), raba (+), gerak (+)

Refleks Fisiologis
Biceps/ Triceps : dextra = sinistra
APR/KPR : dextra = sinistra
Refleks Patologis
- Babinski : (-/-)
- Chaddock : (-/-)
- Hoffman tromer : (-/-)
Vegetatif : Normal
Kolumna Vertebralis : Normal
Bentuk : Lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-)
Tanda Perangsangan radikuler : tidak dijumpai
Gejala serebellar : tidak dijumpai

5
Gejala ekstrapiramidal : tidak dijumpai
Fungsi luhur : tidak dijumpai

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap
Hemoglobin : 8,9 gr/dl
Leukosit : 14,9 x 109 /L
LED :
Eritrosit : 3,60 x 1012 /L
Hematrokit : 20,2 %
Trombosit : 261 x 109 /L
Hitung jenis :
Ureum : 38 mg/dl
Kreatinin : 0,9 mg/dl
Glukosa puasa : 67 mg/dl
2. Urin Lengkap :-
3. Foto thoraks : Normal
Kesan : Tidak tampak kelainan radiologis pada Cor dan Pulmo
4. EKG :-
5. Head CT SCAN :-

KESIMPULAN

Telah dirawat seorang pria bernama sudir 53 tahun, laki-laki beragama islam,
kawin, alamat dusun II kota batu, paya lombang, masuk tanggal 28 mei 2014 dengan
keluhan nyeri, gatal dan panas pada perut bawah kiri hingga kebagian pinggang
belakang kiri.Hal ini dialami OS lebih kurang 5 bulan sebelum masuk RSUD Dr. H.
Kumpulan Pane. Nyeri yang dirasakan OS bersifat seperti ditusuk-tusuk dan semakin
memberat jika disentuh, cuaca panas, cuaca dingin dan terkena hembusan angin hal
ini dirasakan OS terus menerus. Mual (-), Muntah (-), nyeri kepala (-), demam (-),
BAB dan BAK (+) normal. Riwayat Herpes zooster (+).

DIAGNOSIS

6
DIAGNOSIS FUNGSIONAL : neuralgia

DIAGNOSIS ANATOMIS : Lesi saraf perifer

DIAGNOSIS ETIOLOGIS : Herpes zooster

DIAGNOSIS BANDING :

1. Neuralgia pasca herpetik

2.

3.

DIAGNOSA KERJA : Neuralgia pasca herpetik

PENATALAKSANAAN :

Th/

IVFD Kaen-3B 20gtt/i


Inj ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj ranitidine 1 amp/12 jam
Inj ketorolac 1 amp/12 jam

P/o

Amitripilin 25mg 1x1


Aprion 75mg 2x1
Metronidazole 3x1
Ulsafat syr 3xCI
Shobion tab 1x1

7
III. TINJAUAN PUSTAKA

III.1 DEFINISI
Neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat
penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati. Dan pada
pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.1
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik
yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Dworkin, 1994,
mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset
ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).2
Herpes Zoster dikenal pula sebagai shingles dapat menginfeksi system saraf dengan
reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang distribusi dermatomal
yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai neuralgia paska herpetika. Biasanya
gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai nyeri radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan
dapat sangat mengganggu kehidupan penderitanya.2
Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan imunitas
menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk kanker dan penderita
HIV.2

III. 2 EPIDEMIOLOGI
Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan data dari Eropa
dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di Asia, Australia dan
Amerika Selatan.3
Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan 10-70
persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia
lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5 dan 9 tahun mengambil 50%
dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara usia 1 dan 4 tahun serta 10 dan 14 tahun.
Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau dengan leukemia dilaprkan 50-100
kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok sehat usia sama.5,6

8
III. 3 ETIOLOGI
Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia.
Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral
nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai ganda.
Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.1,3 Analisis endonuklease terbatas
atas DNA virus pasien varicella yang kemudian menderita herpes zoster membenarkan identitas
molekul dua virus yang bertanggung jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.5

Gambar 1. Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk reaktivasi
selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.3
Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik untuk
hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada kulit, menyebabkan ruam
karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah resolusi, banyak individu terus mengalami
nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic neuralgia).7

III.4 PATOGENESIS

Gambar 2. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster2

9
1. Herpes Zoster
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster
yang hidup secara dorman di ganglion setelah paparan pertama melalui system pernafasan.
Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster
dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan
bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat
terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses
peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini
bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini
terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body.1,2
Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan
hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai
beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis.
Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.2

2. Nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis :
A. Proses stimulasi singkat
Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan timbulnya
persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya lesi, maka rasa nyeri
yang terjadi hanya dalam waktu singkat.
B . Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau inflamasi jaringan.
Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan atau dikenal sebagai
nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya kalor, rubor, dolor dan fungsiolaesa.
C . Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.
Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan mengakibatkan
hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari system saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan
perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa
gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas

10
sistem saraf aferen menjadi abnormal yang selanjutnyamenyebabkan gangguan nosiseptif sentral
(sensitisasi sentral). Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal
semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan A yang biasanya berupa sentuhan
halus atau raba normal dirasakan dengan rasa normal, tetapi pada allodinia diraakan nyeri.2
Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang diakibatkan dari
perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal pada sistem saraf
pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga
menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan
menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf
perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis
sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua
rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam proses sehingga
dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska herpetika memerlukan beberapa
macam pendekatan pula.7

III. 5 Patofisiologi
Menurut Nurmikko dan Dworkin, patofisiologi NPH sampai saat ini belum jelas. Secara
umum dipercaya bahwa herpes zooster diakibatkan oleh perubahan saraf perifer oleh multiplikasi
virus pada ganglion radiks dorsalis, dan migrasi cepat virus sepanjang akson saraf sensorik
perifer menuju jaringan ikat kulit dan subkutan. Proses ini menimbulkan respon inflamatorik
masif pada daerah yang terkena dan menyebabkan nyeri. Nyeri kemudian berlanjut melalui
proses eksitasi dan sensitisasi berkelanjutan terhadap nosiseptor. Proses inflamatorik melibatkan
kornu anterior dan posterior medulla spinalis, ditandai dengan kerusakan aksonal myelin yang
meluas ke perifer dari, sehingga jumlah akhiran saraf di kulit yang dilayani neuron ini
berkurang.5
Nyeri yang berhubungan dengan zooster akut dan NPH bersifat neuropati yang
digambarkan melalui fenomena nosiseptor yang iritabel dan sensitisasi sentral. Lamina
superfisial substansi gelatinosa menerima serabut saraf nyeri diameter kecil (serabut C) dan
lapisan lebih dalam menerima serabut dengan diameter yang lebih besar (mekanoreseptor A).
Setelah kerusakan serabut saraf, terminal serabut saraf C mengalami atrofi dan terjadi sprouting
serabut saraf A ke kornu dorsalis superficial. Jika ini terjadi, rangsangan nonnoksius

11
mekanoreseptor di kulit akan mengaktivasi area kornu dorsalis yang menghasilkan impuls nyeri
dan berlanjut ke level yang lebih tinggi. Proses sentisisasi sentral selanjutnya impuls aferen
diperkuat (amplified), melalui kerja reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) dan menimbulkan
nyeri spontan dan nyeri evoked.8
Mekanisme ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Kerusakan serabut C pada PNH5

Setelah kerusakan, neuron perifer mengalami spontaneous discharge, memiliki ambang


aktivasi yang lebih rendah dan menunjukkan respon yang berlebihan terhadap stimuli.
Pertumbuhan aksonal setelah cedera menyebabka timbulnya sprouting. Aktivitas perifer yang
berlebihan diperkirakan menyebabkan hipereksitabilitas kornu dorsalis, dan diikuti oleh respon
berlebihan susunan saraf sentral terhadap semua input. Perubahan ini cukup kompleks sehingga
tidak ada pendekatan terapeutik tunggal yang dapat menghentikan abnormalitas ini.9
Pemeriksaan histologis menunjukkan atrofi kornu dorsalis, fibrosis ganglion radiks
dorsalis, dan hilangnya serabut saraf epidermal di daerah yang terkena. Proses ini dapat terjadi
bilateral dengan manifestasi klinis bilateral.9

Faktor resiko

12
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya usia,
nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam
berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami
neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan
neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit
keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.

III.6 MANIFESTASI KLINIS


Herpes zoster secara tipikal mengenai 1 atau 2 dermatom yang berlebihan, biasanya
mengenai region T3 sampai dengan L3. Lesi berkembang dari bercak lesi eritem yang terrpisah
menjadi vesikel berkelompok yang dapat mngalami pustulasi dan krusta dalam 7 hingga 10 hari
dan penyembuhannya serabut A dan serabut C Ganglion dorsalis Garis pertengahan medulla
spinalis serabut A Terjadi kerusakan pada serabut C makan waktu hingga 1 bulan yang dapat
meninggalkan bekas berupa jaringan perut, perubahan pigmentasi, kulit, dan nyeri.(nyeri
neuropatik). Nyeri merupakan symptom herpes zoster yang paling sering dan dirasakan beberapa
hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit, atau dapat pula nyeri dialami sebagai
gejala tunggal (zoster sine herpete). Sensasi ini dapat menyembuh atau tetap dirasakan secara
tidak terduga, sehingga menimbulkan kesulitan dalam membedakan nyeri herpes zoster dengan
neuralgia pascaherpes.3,5
Sindroma neuralgia pasca-herpes dikenali secara tunggal dengan adanya nyeri setelah
seorang menderita herpes zoster, baik dengan maupun tanpa interval bebas nyeri. Definisi yang
paling sering digunakan adalah nyeri yang dirasakan lebih dari 1 bulan setelah onset ruam zoster.
Keluhan yang sering dilaporkan adalah nyeri seperti terbakar, parestesi yang bisa disertai rasa
sakit (disestesi), respon nyeri berlebihan terhadap stimulus (hiperestesi), atau nyeri seperti
tersengat listrik. Nyeri dapat diprovokasi antara lain oleh stimulus trivial (alodinia), gatal-gatal
yang tak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang
(wind-up pain).6

DIAGNOSIS

13
Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi N. Trigeminal (terdapat defisit sensorik ) disertai
dari gejala infeksi (yang mendahului atau menyertai berupa demam, kelainan kulit berupa
kelainan kulit bergelembung dan terdapat cairan didalamnya, bergerombol diatas dasar ukuran
kecil dan terdapat keropeng yang khas terdapat diatasnya ) ditambah dengan penurunan
pendengaran yang berarti menunjukkan gangguan N. Vestibulocochlearis.

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah timbulnya
neuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan dari
herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan komplikasi
herpes zoster. Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di
tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia paska herpetika
ke dalam tiga fase:
- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu
- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan
setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris
tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat.
Didapatkan pula gangguan allodinia dimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei
tempat tidur menimbulkan rasa nyeri tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri
ini dapat menganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat
berpakaian atau saat tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah
lesi, sensitif terhadap perubahan temperatur.
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan
sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik (allodinia
hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan sensorik
meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih
berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.

14
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang
meluas ke seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi), ensefalitis,
hepatitis, pneumonitis.

. 8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:8,21,25,27

1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.

2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus

3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus

4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus.

5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.

6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes simpleks
dengan herpes zoster

7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster
subklinis.

PROGNOSIS

Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak dini. pada
umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti antidepressan
trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi
medikasi maka diperlukan pencarioan lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai. 6,24

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan
kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad
functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat
beraktivitas baik seperti biasa.1

15
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih mungkin
terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik
kemungkinan timbul kembali kecil.1

Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika


Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia
paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.

Terapi farmakologis:
a. Antivirus

Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari
replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir
diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak
lesi muncul.Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit
kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan
dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan da;lam
penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan
dosis anjuran 500 mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah
mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.1,3,22

b. Analgesik

Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika diserta
infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai
efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan
penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam
pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake
norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400
mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya
amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan
pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang
digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang

16
lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan
kecacatan.

c. Anti epilepsi

Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated sodium
channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi
glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi
masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,
gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-
3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium,
sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti
halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari
voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter
(glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals.
Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska
herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis.
Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas. 1,22

d. Anti depressan

Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska herpetika. Obat
golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan
serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi
nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien
mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf
baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic antidepressant seperti amiitriptyline
dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan
phenitiazine. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective
serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya
mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI
hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek
kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan

17
berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa
digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine
dan lainnya.1,22,26

e. Terapi topikal

Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated sodium


channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja
lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya
jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas
NMDA.1,3,22

Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati
nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine patch 5%
untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk
12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi
tambahan pada pasien orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan.
Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska
herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini
melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi,
capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar
yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini). 1,3,22

Terapi non farmakologis

a. Akupunktur

Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat beberapa
penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-
penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi
pula dengan terapi farmakologis.1

b. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)

18
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada
beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi
adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.1

c. Vaksin

Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neurlagia Postherpertika pada orang lanjut usia
yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang
yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang
ditimbulkan hingga 66,5 %. 4, 23

II. 10 Pencegahan
Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada
penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska herpetika.
Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan mencegah kerusakan saraf,
sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri dan eritema,
mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih cepat.

III.8 PROGNOSIS
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan
kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik.
Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan
pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa. Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena
risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan
tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.8

IV. DISKUSI KASUS


Pada kasus ini seorang pria usia 53 tahun, islam, alamat Dusun II Kota Baru Paya
Lombang Tebing Tinggi. Datang dengan keluhan dengan keluhan nyeri, gatal dan panas pada
perut bawah kiri hingga kebagian pinggang belakang kiri. Diagnosis sebagai neuralgia pasca
herpatika ditegakkkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan neurolgis.

19
Dari anamnesis diperolah bahwa os 5 bulan yang lalu pernah menderita penyakit herpes
zooster dibagian daerah yang dirasakan os nyeri saat ini. Setelah herpes zooster yang diderita os
sembuh dan meninggalkan bercak hipopigmentasi pada bagian tersebut, os mulai merasakan
keluhan nyeri, gatal dan panas pada perut bawah kiri hingga kebagian pinggang belakang kiri
dan semakin lama semakin berat terutama jika tersentuh, cuaca dingin, cuaca panas, dan
hembusan angin.
Pada pemeriksaan fisik sensorium compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, suhu
tubuh afebris. Pada pemeriksaan neurologis tidak dijumpai adanya rangsang meningeal maupun
tanda peninggian TIK. Refleks fisiologis juga didapatkan normal.
Pada pemeriksaan laboratorium yang berupa darah lengkap ditemukan hasil dalam batas
normal kecuali hemoglobin yakni 7,3 g/L yang menandakan pasien anemia. Dan pada
pemeriksaan mata didapati gerakan bola mata bisa mengikuti arah jari dan refleks kornea (+).
Maka diagnosis pada penderita ini dapat ditegakkan dengan Neuralgia Pasca Herpetika.

V. PERMASALAHAN
Penatalaksanaa apa yang tepat dilakukan pada penderita ini untuk mengobati cedera
neuron yang mengenai sistem saraf.

VI. KESIMPULAN
Neuralgia Pasca Herpetika (NPH) adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian
tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zooster. Herpes zooster sendiri merupakan suatu
reaktivasi virus varicella yang berdiam didalam jaringan saraf.
NPH dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetic akut (30 hari setelah timbulnya
ruam pada kulit), neuralgia herpetic subakut (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit) dan
NPH (di definisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam
pada kulit).
NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah.
Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zooster yang berumur di atas 60 tahun,
6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zooster, dan 1% masih merasakan
nyeri 3 bulan sesudahnya.

20
Patofisiologi NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik
perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan
discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan nyeri yang
tidak sesuai pada stimulus yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri.
Biopsi kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas epidermal pada daerah yang terkena,
namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi nyeri.

VII. SARAN
1. Mempertahankan daya tahan tubuh dengan mempenuhi gizi yang cukup
2. Memakan obat secara teratur untuk mencapai penyembuhan

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan


penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.
2. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from:
http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id
3. Dworkin, Robert H. and Kenneth E. Schmader. Treatment and Prevention of
Postherpetic Neuralgia. In: Goldstein, Ellie J. C, eds. Clinical Practice. New York:
Department of Anesthesiology, University of Rochester School of Medicine and Dentistry,
Rochester; 2003.p. 1-7.
4. Mazzoni, P. Pearson, T. Rowland, L. Merritts Neurology Handbook. 2nd Edition. Lippincott
Williams & Wilkins : 2006.
5. Gilhus. E, Barnes. M, brainin, M. European Handbook of Neurogical Management. Vol.1,
willey Blackwell : 2010.
6. Sidharta, P Neurologi Klinis Dalam Prakteku umum . Jakarta : Dian Rakyat.2004
7. Mayo Foundation For Medical Education And Research. Post Herpetic Neuralgia. 2009 [on
line].http://www.mayoclinic.com/health/postherpetic-neuralgia/DS00277
8. U. S. National library of Medicine and The National Institute of health. Medical
Encyclopedia : Neuralgia.2009. [on line].http://medlineplus.com
9. Ropper, A. H. Principles Of Neurology : Viral Infection of the Nervous system, chronic
meningitis, prion disease. New York : McGraw-Hill. 2005 (8) : 643-644
10. Harsono .Kapita Selekta neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 2005.
11. Djuanda, A dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Penyakit Virus. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1993; (3): 94-95

22

Anda mungkin juga menyukai