Anda di halaman 1dari 102

DATA TEKNIS 4

URAIAN PENDEKATAN, METODOLOGI


DAN PROGRAM KERJA

A. PENDEKATAN TEKNIS DAN METODOLOGI


A.1. TUJUAN KEGIATAN
Dalam merumuskan kegiatan, selain identifikasi masalah, sangat
perlu menetapkan tujuan Masterplan Rumah Sakit Umum Daerah Srengat di
Kabupaten Blitar ini, yang meliputi:
1. Salah satu strategi pembangunan kesehatan nasional untuk mewujudkan
Indonesia. Untuk mengkaji berbagai aspek, mulai aspek regulasi,
pangsa sasaran/kelompok masyarakat calon pengguna jasa perawatan
rumah sakit, pelayanan dan teknologi yang perlu disediakan, aspek ekonomi
keuangan, aspek lingkungan yang berkaitan dengan rencana
pengembangan dan pembangunan rumah sakit, hingga lokasi yang layak
dikembangkan menjadi rumah sakit yang berkaitan dengan pendirian
Rumah Sakit Umum Daerah Srengat;
2. Untuk menetapkan tahapan pembangunan yang diproyeksikan
sebelumnya.

A.2. LINGKUP PEMBAHASAN DAN JASA KONSULTANSI YANG


DIPERLUKAN
Masterplan merupakan pemindai keadaan eksternal maupun internal yang
menunjukkan seberapa baik kondisi di luar dan seberapa siap potensi yang ada di
dalam untuk dikelola, terhadap rencana Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah
Srengat tipe C Kabupaten Blitar.
Hasil pemindaian tersebut didasarkan atas analisis data serta asumsi yang
bisa dipertanggungjawabkan. Hasil Masterplan diharapkan bisa menjadi dasar
pengambilan keputusan terhadap Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah
Srengat tipe C Kabupaten Blitar.
Adapun beberapa aspek yang menjadi lingkup pembahasan pada
Masterplan ini meliputi:
1. Pendahuluan;
2. Tinjauan Lokasi Obyek Studi;
3. Evaluasi Masterplan sebelumnya;
4. Konsep Perancangan; dan
5. Rencana Pentahapan.

A.3. METODOLOGI MASTERPLAN


Masterplan ini bersifat induktif, yaitu obyek studi akan menjadi pangkal
pengetahuan bagi suatu bangunan pengetahuan yang akan dibangun, dengan kata
lain konsultan akan menarik kesimpulan dari hasil studi yang akan dilakukan. Pada
studi ini menggunakan metodologi Grounded Theory, yaitu penelitian berdasarkan
sebuah teori untuk mencari atau memunculkan sebuah teori dengan pendekatan
fenomenologi. Studi ini tergolong Studi Kualitatif yang dimulai dengan
pengumpulan informasi lapangan dengan dan/atau kerangka yang terstruktur.
Berdasarkan informasi yang diperoleh sesuai kaidah studi kualitatif, konsultan
kemudian menyimpulkan suatu teori yang dapat menjelaskan atau memberikan
pemahaman atas fenomena yang terjadi di lapangan (theory after). Oleh karena itu,
studi kualitatif ini disebut juga sebagai pendekatan induktif.
Metode yang dipakai pada studi ini adalah studi kasus untuk mendapatkan
informasi yang spesifik mengenai obyek yang diteliti. Jenis penjelasan studi yang
dipakai adalah deskriptif, yaitu menggambarkan keadaan, perilaku dan peristiwa
apa saja yang terjadi di dalam setting. Pada proses studi ini, konsultan tidak
mengontrol sampel yang terdapat di lapangan, melainkan mengobservasi setting
yang sudah ada. Metode ini juga dipadukan dengan cara observasi yang
menggunakan recording device secara mapping.

A.3.1. Lokasi Masterplan


Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar.

A.3.2. Fokus Studi


Studi ini difokuskan pada analisis aspek-aspek kelayakan pendirian sebuah
Rumah Sakit, berdasarkan paradigma legalitas, environmental, behavioral, teknikal
hingga finansial.

A.3.3. Waktu Studi


Penetapan waktu studi dilakukan dengan tujuan hasil Masterplan yang
terarah dan sesuai dengan data yang dibutuhkan. Studi dilakukan selama 120
(seratus dua puluh) hari. Masa kompilasi data dilakukan selama kurang lebih 3
(tiga) minggu.
Durasi studi untuk pengamatan dilakukan pada hari aktif, yaitu Hari Senin
hingga Sabtu, juga pada hari Minggu dan Hari Libur Nasional untuk melihat animo
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan sarana-prasarananya.

A.3.4. Unit Amatan dan Unit Analisis Studi


Unit amatan penelitian ini adalah hasil amatan pada saat grand touring,
atau observasi awal. Kemudian dari unit amatan akan didapatkan unit informasi,
yaitu unit-unit dari unit amatan yang memungkinkan untuk dijadikan objek analisis
atau focusing. Dari unit informasi dapat mengerucut menjadi unit analisis. Baik Unit
Amatan maupun Unit Analisis meliputi Lingkungan Fisik, Lingkungan non-Fisik, dan
Pelaku.
Penentuan pelaku ini dilakukan dengan menggunakan accidental sampling
yang termasuk dalam Non Probability Sampling. Accidental Sampling ini adalah
teknik pengambilan sampel sumber data yang ditemui pada saat grand touring
(observasi awal) dengan pertimbangan tertentu untuk dijadikan sampel.
Obyek pengamatan atau pelaku yang diamati berjumlah minimal 100 orang.
Pelaku akan diambil dari seluruh Kecamatan di Kabupaten Blitar, dengan
variabilitas latar belakang pendidikan, pekerjaan, usia, jenis kelamin yang beragam.

A.3.5. Tahapan Studi


Studi ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu Tahap Persiapan, Tahap
Pengumpulan Data, dan Tahap Analisis Data.
A.3.5.1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dalam studi ini meliputi perijinan dan survey awal obyek
penelitian. Setelah melalui survey dan perijinan obyek penelitian ditetapkan pada
wilayah Kabupaten Blitar.
A.3.5.2. Tahap Pengumpulan Data
A. Kebutuhan Data
1. Dokumen:
a. Masterplan Fisik RSUD Srengat Kabupaten Blitar (TA sebelumnya)
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blitar
c. Proposal Usulan Rumah Sakit Umum Daerah Srengatdari Dinas
Kesehatan Kabupaten Blitar
d. Profil Kesehatan Kabupaten Blitar 2009-2013
e. Kabupaten Blitar dalam Angka 2009-2013
f. Pustaka terkait
2. Observasi
3. Wawancara terstruktur
B. Metode Pengumpulan
Metode pengumpulan data pada penelitian adalah observasi dan
wawancara terstruktur-tidak terstruktur. Pengumpulan data ini juga untuk
menemukan unit amatan hingga unit analisis penelitian.
1. Observasi
Tahapan observasi ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Observasi Awal (grand touring) meliputi observasi lingkungan dan
kriteria sampel pengamatan. Observasi ini dilakukan untuk
mengetahui kondisi fisik unit amatan penelitian serta dasar pemilihan
sampel. Observasi ini dilakukan secara secret outsider juga dengan
menggali sedikit informasi dari masyarakat Kabupaten Blitar. Dari
observasi ini didapatkan unit amatan penelitian kemudian didapatkan
unit informasi dan dengan unit informasi tersebut muncul unit analisis.
b. Observasi Lingkungan dengan mengumpulkan data-data terkait
dengan kondisi setting penelitian. Observasi ini dilakukan dengan
didampingi pihak Pejabat Pembuat Komitmen yang bertujuan untuk
kejelasan lingkungan atau area mana saja yang disediakan untuk
dijadikan area studi. Observasi ini juga dibantu dengan adanya
physical map dan cognitive map dari lingkungan fisik tersebut.
c. Observasi Perilaku untuk mengidentifikasikan perilaku yang muncul
pada saat menggunakan fasilitas kesehatan sekaligus kriterianya.
Observasi ini dilakukan secara secret outsider dengan menggunakan
map dari wilayah Kabupaten Blitar.
Observasi dilakukan pada lokasi penelitian untuk mengetahui kondisi
eksisting dan pengaruhnya terhadap perilaku penunggu pasien operasi.
Metode yang dipakai untuk observasi ini yaitu dengan recording atau
perekaman menggunakan behavior mapping.
a. Metode recording behavior mapping yaitu place centered map. Place
centered map yaitu dengan membuat sketsa awal lokasi atau
menggunakan denah yang ada kemudian menentukan titik lokasi
pengamatan ataupun alur yang ditempuh konsultan. Metode ini
dilakukan dengan konsultan memposisikan diri sebagai secret
outsider dan marginal participant. Secret outsider, kehadiran peneliti
tidak disadari oleh sampel yang diteliti. Hal ini untuk mengetahui
perilaku pengguna ruang tunggu secara alami. Bentuk secret
outsider ini dilakukan dengan meletakkan kamera tersembunyi (jika
memungkinkan) atau konsultan hanya berkeliling di wilayah studi
dengan mencatat perilaku dengan sketsa yang dibuat untuk metode
place centered map. Sedangkan untuk marginal participant,
konsultan berperan sebagai bagian dari masyarakat Kabupaten
Blitar.
b. Metode recording behavior mapping yaitu person centered map.
Person centered map juga digunakan pada saat observasi.
Penggunaan metode ini bertujuan untuk mengetahui pola perilaku
masyarakat Blitar. Metode ini dilakukan dengan cara mengamati
sampel yang dipilih secara random, kemudian mengamati pola
pergerakan dan perilaku sampel. Konsultan mengikuti dan
mengamati pola pergerakan yang dilakukan masyarakat ke manapun.
Dalam kondisi ini, konsultan memposisikan diri sebagi secret
outsider.
c. Foto
Foto digunakan untuk merekam data visual yang berkaitan dengan
kondisi eksisting unit amatan dan unit analisis serta merekam data
visual aktivitas masyarakat Kabupaten Blitar pada saat menggunakan
fasilitas kesehatan yang ada.
d. Video
Perilaku yang muncul pada saat pengamatan direkam dengan video
yang diambil tanpa sepengetahuan obyek pengamatan.
2. Wawancara terstruktur dan tidak terstruktur
Pada studi ini, konsultan melakukan pendekatan dengan percakapan
informal dan kuesioner yang diisi oleh surveyor. Hal ini dilakukan agar
konsultan dapat lebih mengetahui karakteristik masyarakat Kabupaten
Blitar dalam berinteraksi dengan fasilitas kesehatan berupa Rumah
Sakit atau lainnya.
Wawancara ini dilakukan disaat konsultan berperan sebagai marginal
participant, yaitu pada saat tahap akhir pengamatan. Sebelumnya
dilakukan pengamatan tanpa melibatkan masyarakat atau konsultan
hanya diam, mengamati dan mencatat perilaku, selanjutnya dilakukan
pendekatan pada masyarakat dengan wawancara ini.
A.3.5.3. Tahap Pengolahan Data
Dari data yang didapatkan berdasarkan observasi awal (grand touring) di
lapangan akan didapatkan unit amatan dan gambaran sampel yang diamati. Unit
amatan pada penelitian ini yaitu lingkungan fisik yang dimanfaatkan oleh
masyarakat Kabupaten Blitar beserta aktivitasnya. Dari unit amatan tersebut
memunculkan sebuah unit informasi, sesuai dengan aktivitas dan keadaan yang
terjadi sebenarnya di lapangan. Berdasarkan pola-pola unit amatan dan unit
informasi tersebut akan menghasilkan sebuah unit analisis.
A.3.5.4. Tahap Analisis Data
Analisis yang dilakukan dalam studi setelah data-data yang dibutuhkan
oleh Konsultan terkumpul, meliputi:
1. Analisis Kondisi Eksisting lokasi penelitian (setting) yang dipilih.
Analisis ini meliputi aspek-aspek fisik dan non-fisik yang berhubungan dengan
hukum, kondisi geografis, penduduk, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan,
sosial-budaya, pertanian, industri, perdagangan, perhubungan, dan ekonomi
masyarakat.
2. Analisis Pola Perilaku sebagai hasil dari interaksi dengan setting.
Perilaku masyarakat berbeda-beda, perbedaan perilaku yang terjadi pada
setting tersebut dianalisis dengan menggunakan kriteria behavior setting antara
lain pelaku, standing pattern of behavior, millieu, spatio, synomorphic dan
temporal. Behavior setting tersebut dianalisis dengan menggunakan metode
place centered mapping dan person centered mapping. Place centered
mapping digunakan pada analisis mengenai millieu dan spatio sedangkan
person centered mapping digunakan pada analisis mengenai pelaku, aktivitas,
hubungan antara aktivitas dan tata lingkungannya (millieu) serta temporal.
Place centered mapping untuk mengetahui bagaimana individu atau
sekelompok individu menggunakan, memanfaatkan atau mengakomodasi
perilakunya pada situasi tempat dan waktu tertentu. Hal ini dilakukan dengan
membuat sketsa dari setting yang diamati dengan menggambarkan elemen fisik
apa saja yang ada pada setting. Elemen fisik yang ada yang berpengaruh pada
aktivitas penggunanya yaitu tempat duduk, pembatas ruang seperti dinding,
pagar, kaca serta lantai. Dari hasil place centered mapping ini kemudian
dianalisis mengenai millieu dan spationya.
Person centered mapping ini tidak jauh berbeda dengan proses place
centered mapping. Dibuat sketsa awal dari setting yang diamati kemudian
dilakukan pemetaan dengan pengkodean tiap pelaku dan alurnya. Dari data
person centered mapping tersebut dianalisis mengenai Sumber Daya Manusia,
Pemasaran, Tata Bangunan dan Lingkungan.
A.3.6. Instrumen Studi
Instrumen Masterplan Rumah Sakit Umum Daerah Srengattipe B
Kabupaten Blitar ini adalah sebagai berikut :
1. Pejabat Pembuat Komitmen, yang berperan besar mulai dari pemilihan topik,
hingga output yang diharapkan dari studi ini.
2. Konsultan, yang melaksanakan pekerjaan, mulai dari pengumpulan data,
analisis dan interpretasi hingga mewujudkan rekomendasi dan proyeksi studi.
3. Masyarakat, yang menjadi obyek pengamatan dari Konsultan untuk
mengidentifikasi perilaku, yang akhirnya dianalisis menjadi aspek-aspek
penunjang kelayakan Rumah Sakit.

A.4. URAIAN DETIL MENGENAI KELUARAN


Rumah Sakit yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang ada, kini
telah banyak tersedia. Disamping milik pemerintah kini telah banyak pula fasilitas
pelayanan kesehatan yang didirikan oleh pihak swasta, mulai dari balai pengobatan
hingga rumah sakit berskala internasional. Jumlah kunjungan pasien ke berbagai
fasilitas tersebut juga menunjukkan kecenderungan yang positif. Ini
mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan pelayanan
medis makin meningkat. Kesehatan menjadi suatu hal yang penting untuk
diperhatikan, karena merupakan modal dasar bagi suatu bangsa untuk maju dan
berkembang. Hal ini sudah menjadi perhatian pemerintah Indonesia, yang
tercermin dalam visi Indonesia Sehat 2020. Untuk mendukung visi tersebut, tiap
propinsi dan Kabupaten/kota mengembangkan strateginya masing-masing dengan
target-target tertentu yang diharapkan dapat menjadi titik awal tercapainya visi
tersebut.
Meskipun demikian, perlu disadari bahwa ada keterbatasan sumber daya
yang dimiliki dalam berbagai upaya pengembangan tersebut, antara lain :
a. Fasilitas infrastruktur baik pembangunan jalan maupun sarana komunikasi dan
telekomunikasi;
b. Fasilitas transportasi dan akomodasi;
c. Kemudahan perijinan lokasi;
d. Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia;
e. Ketersediaan dana.
Pengembangan pelayanan kesehatan sangat terkait dan dipengaruhi oleh
berbagai aspek baik demografi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan, serta
perkembangan lingkungan fisik dan biologi khususnya epidemiologi penyakit. Dari
sisi demografi, saat ini kecenderungan yang tampak adalah bergesernya piramida
penduduk dari muda ke dewasa dan tua. Ini menunjukkan bahwa angka kelahiran
semakin menurun dan angka harapan hidup yang semakin meningkat. Sementara
itu, gaya hidup masyarakat cenderung makin konsumtif. Meskipun krisis multi
dimensi menyebabkan keterpurukan ekonomi masyarakat, di sisi lain cukup banyak
kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan dapat meneruskan pola hidup
konsumtif.
Dengan gaya hidup tidak seimbang, mengakibatkan dari segi epidemiologi
terjadi pergeseran pola penyakit. Meskipun angka kejadian penyakit infeksi sebagai
tipikal penyakit di negara tropis masih tinggi, namun kini sudah banyak masyarakat
yang menderita penyakit-penyakit tipikal negara industri dan maju. Pergeseran ini
tentunya akan sangat berpengaruh pada penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan,
teknologi kedokteran yang harus dikuasai dan disediakan serta kecukupan tenaga
kesehatan terlatih. Faktor mutu dan manajemen pelayanan kesehatan khususnya
rumah sakit turut memegang peran penting dalam penyediaan layanan kesehatan
yang berkualitas. Kedua faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis
tenaga kesehatan, anggaran dana, obat, dan sistem pelayanan kesehatan secara
makro. Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat adalah rumah sakit. Ini terlihat dari makin meningkatnya utilisasi
fasilitas di rumah sakit dari tahun ke tahun.
Kondisi tersebut diatas menjadi semakin komplek akibat pengaruh faktor
utama yaitu kemiskinan masyarakat. Secara nyata masyarakat miskin berada pada
status kesehatan terendah. Angka kesakitan dan kematian karena penyakit menular
atau infeksi masih tinggi serta dilain pihak angka kesakitan akibat penyakit
degeneratif sudah mulai meningkat. Dari kenyataan tersebut, penting kiranya
Pemerintah Kabupaten Blitar berperan serta terhadap peningkatan kesehatan
masyarakat melalui upaya:
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan
2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata
dan terjangkau.
Dengan berbagai perubahan kondisi demografis, pola penyakit dan
perkembangan teknologi, diperlukan suatu perencanaan rumah sakit yang benar-
benar berbasis pada kondisi lingkungan yang dihadapi. Hal ini penting untuk
menghindari suatu investasi yang sia-sia karena berbeda dengan keinginan dan
kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini perlu dilakukan suatu studi khusus untuk
meneliti perubahan lingkungan tersebut, dalam rangka mengantisipasi berbagai
kemungkinan yang akan terjadi. Dan kegiatan/pekerjaan kali ini pun merupakan
cerminan dari prinsip-prinsip tersebut. Sehingga Masterplan pun akhirnya menjadi
pijakan awal alternatif solusi dari permasalahan yang ada.
Hasil pekerjaan yang diharapkan dalam pekerjaan Masterplan
Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah SrengatKabupaten Blitar, meliputi:
1. Informasi kelayakan awal pembangunan dan latar belakang kegiatan.
2. Kajian analisis dalam rangka menentukan kelayakan (kuantitas) seberapa besar
kemungkinan dibangunnya Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Blitar.
Adapun tinjauan aspek yang menjadi tolok ukur kelayakan didirikannya
sebuah Rumah Sakit, adalah seperti yang telah disebutkan pada sub-bab Lingkup
Pembahasan dan Jasa Konsultansi yang diperlukan. Dan penjabarannya adalah
seperti dijelaskan di bawah ini.

A.4.1. Tinjauan Obyek Studi


A.4.1.1. Kondisi Geografis
Studi ini dilakukan dengan mengambil lokasi di seluruh kecamatan di
Kabupaten Blitar. Kondisi topografi terdiri dari dataran rendah dan pegunungan
yang dilalui aliran Sungai Brantas yang membelah dari Selatan ke Utara. Pada
tahun 2008, tingkat curah hujan rata-rata sekitar 20,31 mm per hari.
Secara keseluruhan luas wilayah Kabupaten Blitar sekitar 138.605 hektar,
terdiri dari lahan sawah 47.320 hektar, lahan non-sawah 91.285 hektar.
A.4.1.2. Pemerintahan
Data ini dipergunakan untuk mengidentifikasi posisi Rumah Sakit Umum
Daerah Srengatdalam struktur organisasi pemerintahan di Kabupaten Blitar. Bisa
juga dipergunakan untuk memperkirakan dispersi pelayanan kesehatan yang dapat
dicapai oleh Rumah Sakit.
A.4.1.3. Penduduk
Data ini dipergunakan untuk memproyeksikan jumlah sarana dan
prasarana yang harus disediakan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Srengatdalam
kurun waktu tertentu.
A.4.1.4. Tenaga Kerja
Data ini dipergunakan untuk mengidentifikasi potensi Sumber Daya
Manusia yang dimiliki oleh Kabupaten Blitar. Sehingga dalam perencanaan
kuantitatif maupun kualitatif, data tersebut membantu proyeksi tenaga kerja pada
Rumah Sakit Umum Daerah Hadji Srengat.
A.4.1.5. Pendidikan
Data ini dipergunakan untuk menganalisis tingkat pendidikan masyarakat,
sehingga menentukan jenis-jenis kegiatan atau program kesehatan yang dapat
diupayakan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Hadji Srengat. Berkaitan pula dengan
Analisa Pasar dan Pemasaran yang akan dianalisis.
A.4.1.6. Kesehatan
Data ini dipergunakan untuk mengidentifikasi jumlah Tenaga Kesehatan
yang berada di Kabupaten Blitar. Disamping itu, Analisis SWOT (Strength,
Weakness, Opportunity, Threat) yang berkaitan dengan kunjungan pasien juga
memerlukan data seperti tersebut diatas.
A.4.1.7. Sosial
Data ini dipergunakan untuk menentukan program dan pengguna fasilitas
kesehatan di Kabupaten Blitar. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan Aspek
Pasar dan Pemasaran.
A.4.1.8. Perdagangan
Data ini dipergunakan untuk menentukan alternatif peluang kerjasama
yang mungkin dapat ditawarkan dengan menggunakan sistem health insurance
dengan beberapa perusahaan di Kabupaten Blitar.
A.4.1.9. Perhubungan
Data ini dipergunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan prasarana fisik,
terkait dengan lahan parkir; serta analisa aksesibilitas untuk kendaraan bermotor,
khususnya mobil.
A.4.1.10. Keuangan Daerah
Data ini dipergunakan untuk menilai aspek kelayakan investasi, dalam
kaitannya dengan Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Hadji Srengat.

A.4.2. Aspek Regulasi


A.4.2.1. Landasan Hukum
Selain beberapa landasan hukum seperti yang telah disebutkan dalam
KAK, maka diperlukan beberapa landasan yang bersifat perijinan yang harus
dipenuhi oleh Rumah Sakit Umum Daerah Hadji Srengat. Perijinan yang harus
dilengkapi adalah :
a. Ijin Gangguan atau HO
b. Ijin Mendirikan Rumah Sakit
1. Ijin mendirikan rumah sakit diterbitkan oleh Kanwil Departemen Kesehatan
Propinsi Jawa Timur. Lama berlakunya ijin 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali dengan lama berlaku 1 (satu) tahun.
2. Permohonan izin diajukan oleh calon pemilik rumah sakit dan ditujukan
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi Jawa
Timur dengan tembusan disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten
Blitar dan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
3. Berkas atau data-data yang harus dilampirkan dalam pengajuan
permohonan ijin mendirikan rumah sakit adalah :
a) Rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten setempat.
b) Masterplan dan Master Plan yang meliputi :
Analisis kebutuhan pelayanan dan rencana pengembangan;
Analisis keuangan;
Program fungsi;
Kebutuhan ruang;
Kebutuhan peralatan;
Kebutuhan tenaga dan rencana mendapatkannya;
Rencana kelas rumah sakit.
c) Salinan atau fotokopi yang sah dari akte notaris pendirian yayasan
atau badan hukum pemohon.
d) Salinan atau fotokopi yang sah sertifikat tanah atau surat penunjukkan
penggunaan lokasi atas nama pemohon dari instansi yang berwenang
atau akte notaris penggunaan tanah dan bangunan di atasnya dari
pemilik.
e) Izin lokasi dari Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kabupaten Blitar.
f) Surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup dari pemohon bahwa
pemohon akan tunduk serta patuh pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam bidang penyelenggaraan rumah sakit.
g) Upaya pemantauan atau pengelolaan limbah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
4. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi setempat
berdasarkan analisis kebutuhan pelayanan kesehatan di wilayahnya, harus
sudah menetapkan permohonan tersebut ditolak atau dikabulkan paling
lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja setelah diterimanya surat
permohonan dari calon pemilik rumah sakit, yang ditembuskan kepada
Direktur Jenderal Pelayanan Medik.
5. Rumah sakit harus mulai dibangun, selambat-Iambatnya 1 (satu) tahun
setelah izin mendirikan diterima.
6. Apabila sebelum habis masa berlakunya izin, rumah sakit telah memenuhi
persyaratan untuk dapat melaksanakan kegiatannya, maka pemilik rumah
sakit dapat mengajukan permohonan izin menyelenggarakan rumah sakit
kepada Direktur Jenderal Pelayanan Medik disertai hasil berita acara
pemeriksaan dari Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi
setempat.
c. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). IMB dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten
Blitar.
d. Ijin Menyelenggarakan Rumah Sakit
1. Ijin ini diberikan untuk menyelenggarakan (operasional) rumah sakit selama
rumah sakit dapat melaksanakan kegiatannya dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan.
2. ljin diajukan kepada Direktur Jenderal Pelayanan Medik oleh pemohon
setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Telah selesainya bangunan rawat jalan, rawat inap, rawat darurat,
kamar operasi, ruang laboratorium, ruang farmasi, ruang radiologi dan
ruang perkantoran yang sesuai dengan kelas dan persyaratan
bangunan rumah sakit;
b) Telah adanya Direktur rumah sakit yang penuh waktu, tenaga medis,
paramedis dan non medis sesuai dengan kelas dan persyaratan
ketenagaan rumah sakit;
c) Telah adanya peralatan dan perlengkapan medik untuk rawat jalan,
rawat inap, gawat darurat dan kamar operasi, laboratorium, farmasi
dan perkantoran sesuai dengan kelas dan persyaratan rumah sakit.
3. Ijin menyelenggarakan rumah sakit diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pelayanan Medik berdasarkan hasil berita acara pemeriksaan dari Dinas
Kesehatan Propinsi setempat bahwa rumah sakit tersebut telah memenuhi
persyaratan operasional.
4. Pemberian ijin menyelenggarakan rumah sakit dilakukan secara bertahap
sesuai dengan pemenuhan kelengkapan :
a) Ijin berlaku selama 5 (lima) tahun untuk yang sudah lengkap
(memenuhi semua persyaratan) dan dapat diperpanjang lagi setiap
habis masa berlakunya.
b) Rumah sakit yang harus memenuhi persyaratan minimal operasional
diberi ijin uji coba menyelenggarakan selama 2 (dua) tahun.
A.4.2.2. Kebijakan Daerah
Kebijakan Daerah Kota Blitar dalam hal ini adalah kebijakan yang berkaitan
dengan aspek ketataruangan dan aspek kesehatan.
A.4.2.3. Peran Berbagai Pihak dalam Pembangunan Rumah Sakit
Peran Ditjen Bina Pelayanan Medik adalah:
1. Membuat kebijakan dan standar, pedoman sarana dan prasarana kesehatan
rujukan;
2. Fasilitasi, Advokasi dan Sosialisasi kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
Peran Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur adalah:
1. Mengkoordinasikan kesinambungan kebijakan oleh pusat dengan implementasi
standar, pedoman bangunan rumah sakit, laboratorium kesehatan dan sarana
kesehatan di daerah;
2. Pemantauan, pengawasan dan pengendalian standar mutu bangunan rumah
sakit laboratorium kesehatan dan sarana kesehatan lainnya di daerah;
3. Fasilitasi dan koordinasi kepada rumah sakit swasta.
Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar adalah:
1. Sebagai regulator dengan tetap menjaga agar pelaksanaan perijinan dan
pelayanan selalu berjalan dengan baik. Pembangunan Rumah Sakit Umum
Daerah Srengatharus dilengkapi dengan:
a. Feasibility Study, Studi AMDAL dan Master Plan serta penyediaan lahan
siap bangun;
b. Sarana penunjang pelayanan rumah sakit/ laboratorium kesehatan (Iistrik,
air, telepon dan lain-lain);
c. Penyediaan sarana dan fasilitas dokter spesialis;
d. Penyiapan ijin pendirian rumah sakit, ijin operasional dan kelembagaan
rumah sakit.
2. Pemenuhan sarana dan peralatan rumah sakit harus sesuai kebutuhan
pelayanan masyarakat setempat;
Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit antara lain pelayanan
kebersihan (cleaning service) untuk menjamin citra Rumah Sakit tertib dan bersih.
A.4.3. Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran
Kajian aspek pasar dan pemasaran merupakan bagian penting dari analisis
lingkungan eksternal sebagai dasar dalam menetapkan strategi pengembangan
rumah sakit. Analisis aspek pasar dan pemasaran dilakukan dengan mengevaluasi
intensitas persaingan saat ini dengan gambaran faktor yang mempengaruhi, yaitu
aspek pembeli, pesaing baru, pemasok dan produk pengganti. Hasil analisis
memberikan gambaran posisi rumah sakit dalam konstelasi persaingan jasa
pelayanan kesehatan dan perkembangan ke depan yang menjadi pertimbangan
penting dalam strategi pengembangan dan pemasaran rumah sakit. Analisis pasar
menunjukkan potensi pasar yang menjadi syarat dalam pengembangan suatu
rumah sakit. Kajian tersebut harus dilengkapi dengan analisis lingkungan internal.
Potensi pasar yang didukung dengan kemampuan internal rumah sakit menjadi
alasan strategi pengembangan atau perluasan. Sebaliknya potensi pasar yang
tidak didukung kemampuan internal menuntut strategi penguatan produk. Sebagai
pelengkap juga disajikan analisis tren berbagai faktor lingkungan yang
mempengaruhi rumah sakit.
A.4.3.1. Kondisi Potensi dan Persaingan Pasar Fasilitas Kesehatan di
Kabupaten Blitar
Potensi pasar atau pangsa pasar pelayanan kesehatan rumah sakit
diperhitungkan dengan memperhatikan jumlah dan komposisi penduduk serta
proyeksi angka kesakitan. Rumah sakit merupakan pelaksana pelayanan
kesehatan perorangan strata kedua yang menjadi rujukan dari pelayanan kesehatan
strata pertama, yaitu Puskesmas, Perawat dan Dokter Praktek Swasta. Pelayanan
yang diberikan lebih bersifat individu dengan berfokus pada kuratif (pengobatan).
RSUD Srengat merupakan rumah sakit pada tingkat Kabupaten yang
bertanggungjawab pada kesehatan masyarakat Kabupaten Blitar. Rujukan dari
RSUD Srengat adalah RSUD Ulin di Banjarmasin, sebagai rumah sakit rujukan
Propinsi.

Tingkat efektifitas pelayanan rumah sakit dapat dilihat dari indikator kinerja
rumah sakit seperti BOR, TOI dan BTO. Indikator tersebut mencerminkan efektifitas
penyerapan atau penggunaan layanan kesehatan yang disediakan oleh
masyarakat. Gambaran indikator kinerja selama 5 tahun terakhir akan menunjukkan
ada atau tidaknya peningkatan kinerja rumah sakit.
Gambaran ini juga akan dapat menunjukkan besar atau tidaknya potensi
pasar sekaligus kuatnya porsi pasar (market share) yang diraih RSUD Srengat.
Termasuk keberadaan market loss, jika RSUD Srengat merupakan provider tunggal
RS di Kabupaten Blitar. Jika muncul market loss di RSUD Srengat, dapat
disebabkan oleh faktor kompetitor. Pada pelayanan rawat jalan kompetitor rumah
sakit adalah dokter praktek swasta, klinik dan pelayanan alternatif serta puskesmas.
Kompetitor lain yang mungkin adalah pelayanan rawat jalan di rumah sakit lain yang
potensial. Analisis konstelasi rujukan menunjukkan potensi pesaing dari beberapa
rumah sakit swasta di Banjarmasin. Kelengkapan dan kemudahan transportasi
menjadi faktor yang mempengaruhi munculnya rumah sakit lain di luar area
geografis sebagai potensial kompetitor.

RSUD Dr. Mardi


Waluyo

RSUD Srengat

Puskesmas Dokter Praktek

GAMBAR 4.2. POLA RUJUKAN

Survei pemasaran nantinya akan dilakukan pada masing-masing 100


responden pasien dan masyarakat Kabupaten Blitar yang diambil secara purposive
selama satu minggu. Berdasarkan survei tersebut, biasanya faktor yang paling
dipertimbangkan adalah kualitas, diikuti dengan faktor kemudahan transportasi dan
biaya. Pada TABEL 4.1. dapat dilihat beberapa faktor yang biasanya mempengaruhi
masyarakat dalam memilih Rumah Sakit.

TABEL 4.1. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN RS


No Faktor Prosentase
Kelengkapan 43,5
Mutu 38,9
Biaya 9,3
Jarak 18,1
Transportasi 7,3
Keahlian Dokter 10,9
Keramahan Perawat 7,3
Sumber: Hasil survey 2010

Akses pelayanan disamping mutu dan kelengkapan terbukti menjadi faktor


penting yang dipertimbangkan masyarakat pengguna. Oleh karena itu rencana
pengembangan RSUD Srengatbila harus melakukan pemindahan lokasi juga harus
memperhatikan aspek keterjangkauan dari sisi jarak, transportasi dan biaya. Hasil
survei menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat lebih memilih
pengembangan RSUD Srengat dengan syarat pemenuhan kelengkapan fasilitas,
peningkatan mutu dan keramahan pelayanan.
Kemudahan akses yang dicerminkan dengan jarak, tidak adanya sarana
transportasi, keamanan lingkungan sekitar serta belum adanya fasilitas umum
pendukung seperti pasar, warung merupakan alasan utama keberatan masyarakat.
Akses pelayanan kesehatan memegang kunci tidak hanya karena kemudahan,
tetapi mempengaruhi kecepatan penanganan dan kesembuhan.
A.4.3.2. Faktor Pembeli (Pasien)
Faktor pembeli dalam analisis pemasaran rumah sakit dibedakan menjadi
dua, yaitu pasien sebagai konsumen dan pasien serta perusahaan asuransi atau
mitra perusahaan rumah sakit sebagai pembayar.
Pasien sebagai pelanggan eksternal utama pelayanan kesehatan menjadi
bagian penting kajian dari aspek intensitas penggunaan pelayanan kesehatan dan
karakteristik pasien. Intensitas penggunaan ditinjau dari komposisi kunjungan lama
dan baru. Proporsi kunjungan lama dan baru dapat menggambarkan secara tidak
langsung pertumbuhan kebutuhan pelayanan dan kesetiaan pelanggan.
Selain RSUD Srengat, beberapa Puskesmas juga memberikan pelayanan
rawat inap disamping rawat jalan. Puskesmas merupakan provider pelayanan
kesehatan strata I, namun dengan pertimbangan keterjangkauan lokasi beberapa
Puskesmas dapat mengembangkan pelayanan rawat inap.
Faktor karakteristik pasien penting untuk dikaji karena menggambarkan
kebutuhan pelayanan kesehatan. Analisis karakteristik pasien ditinjau dari data
morbiditas, demografi dan sosio-ekonomi. Jumlah pasien rawat inap di Puskesmas
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Besarnya kunjungan di Puskesmas
menjadi potensi pasar rujukan bagi RSUD Srengat.
A. Morbiditas dan Mortalitas
Angka kesakitan (morbiditas) pada masyarakat maupun RSUD
Srengatdapat menjadi acuan dalam menganalisis pola kesakitan dan kebutuhan
masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan rumah sakit.
Perkembangan gambaran 10 besar penyebab rawat inap dalam lima tahun
terakhir dapat dijadikan indikator. Dominasi penyakit dalam kasus rawat inap
menentukan jenis layanan yang disediakan.
B. Demografi
Secara grafis, kondisi demografis dari tahun ke tahun akan menunjukkan
gambaran populasi dengan dominasi penduduk usia di segmen tertentu. Gambaran
pelanggan menurut usia mempengaruhi angka kesakitan (morbiditas) yang
membutuhkan pelayanan. Pertumbuhan demografi masyarakat Kabupaten Blitar
menunjukkan pertumbuhan positif. Dengan komposisi demografi yang menonjol
pada pertumbuhan kelompok usia tua Pemerintah dan RSUD perlu mengantisipasi
peningkatan morbiditas penyakit degenerative, seperti stroke dan decompensasi
kordis, sesuai dengan pergeseran penyakit pada pelayanan rawat inap. Di sisi lain,
pertumbuhan usia bayi dan balita juga tetap meningkat, sehingga morbiditas pada
anak yang didominasi penyakit menular terutama Diare perlu diwaspadai. Dengan
kata lain masyarakat saat ini mengalami masa transisi epidemiologi.
Jika laju pertumbuhan penduduk rata-rata di Kabupaten Blitar menunjukkan
trend meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang relative stabil, maka data ini
menunjukkan potensi pasar yang terus berkembang dan sejalan dengan data
peningkatan BOR rumah sakit meskipun setelah penambahan kapasitas TT.
Jika rasio jenis kelamin dan angka ketergantungan menunjukkan rasio
yang berimbang dan relatif tetap dari tahun ke tahun, maka rasio jenis kelamin dan
angka ketergantungan secara tidak langsung akan mempengaruhi status sosial
ekonomi masyarakat. Angka ketergantungan yang tinggi menunjukkan beban
perekonomian yang tinggi pada keluarga, terutama pada keluarga dengan budaya
keluarga batih yang kuat seperti di Indonesia. Lansia dan anak-anak menjadi
tanggungjawab kelompok usia produktif, yang pada saat yang sama juga
mengalami peningkatan kebutuhan. Angka ketergantungan yang cukup seimbang
menunjukkan beban ekonomi yang tidak terlalu besar. Tetapi sejalan dengan
pertumbuhan penduduk kelompok lanjut usia, Pemerintah perlu mengantisipasi
dengan skema jaminan sosial dan kesehatan bagi kelompok lanjut usia. Skema
jaminan sosial ini perlu disiapkan mengingat lansia mengalami peningkatan resiko
gangguan kesehatan bersamaan dengan penurunan kemampuan ekonomi, dan
tidak semua lansia memiliki tunjangan pensiun atau hari tua.
C. Sosio-ekonomi
Segmentasi pasar merupakan informasi yang penting sebagai dasar
pengembangan dan fokus pelayanan. Segmentasi pasar dikaji dengan melihat
tingkat pendapatan pelanggan, dan lapangan pekerjaan.
Berdasarkan gambaran pendapatan dan kelompok pekerjaan akan dapat
disimpulkan pelanggan RSUD Srengat sebagian besar berada pada status sosial
ekonomi tertentu. Meskipun demikian, dapat juga dilihat potensi untuk meraih
dominasi pangsa pasar lainnya.
D. Kebutuhan Pelayanan berdasarkan Demografi, Sosioekonomi dan
Morbiditas
Gambaran kondisi demografi, sosio-ekonomi dan morbiditas di masyarakat
menjadi dasar dalam mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan.
A.4.3.3. Faktor Pembeli (Pembayar)
Analisis ini dibutuhkan untuk mengidentifikasi ability to pay dan willingness
to pay. Komposisi pembayar di RSUD Srengat nantinya akan menunjukkan
dominasi masyarakat umum yang membayar langsung ataukah pembayar terjamin
(Askes, Jamkesmas) atau dapat pula asuransi perusahaan; baik pada pelayanan
rawat jalan maupun rawat inap. Oleh karena itu, rumah sakit perlu
mengembangkan strategi pemasaran yang tepat untuk mengalihkan kemauan
membayar pada kebutuhan tersier menjadi belanja kesehatan.

Di sisi lain besarnya kelompok dengan pembayaran langsung (out of


pocket) menunjukkan besarnya ketidakpastian pelanggan yang mampu membayar.
RSUD dan Pemerintah Daerah perlu melakukan strategi pelayanan dan pemasaran
yang tepat untuk meraih pelanggan tetap dengan membangun sistem pembayaran
di depan (pre-paid) dengan sistem kapitasi berbasis perusahaan maupun
masyarakat.
Untuk meningkatkan kepastian RSD perlu meraih pelanggan dengan
pembayaran terjamin melalui kerjasama dengan perusahaan. Data perusahaan di
Kabupaten Blitar menunjukkan potensi pelanggan yang besar. Pengembangan
kerjasama pembayaran berbasis perusahaan cukup potensial untuk dikembangkan
mengingat sektor industri pertanian, dan perdagangan menjadi penopang utama
perekonomian daerah secara tetap dari tahun ke tahun.

A.4.3.4. Potensi Pengembangan Sistem Kapitasi


Pelanggan potensial RSUD Srengatsebagian besar berada pada golongan
sosial ekonomi menengah ke bawah. Pada kelompok ini mengindikasikan
kelompok borderline atau antara dengan kemampuan ekonomi yang cukup tetapi
pada umumya tidak dapat menanggung beban finansial kesakitan yang serius.
Kelompok borderline sebenarnya potensial sebagai pasar asuransi bila dapat
diyakinkan faktor resiko kesakitan dan kepastian perlindungan asuransi.
Untuk mengkaji potensi pengembangan sistem asuransi berbasis
masyarakat dilakukan survei pada pengguna dan calon pengguna jasa rumah sakit.
Survei dilakukan untuk menilai kemauan masyarakat terhadap sistem asuransi dan
kemauan membayar premi. Kemauan masyarakat terhadap sistem asuransi
dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap besar resiko sakit dan resiko
finansial yang harus ditanggung. Bila persepsi kesakitan rendah dan resiko
finansial masih dapat dikelola maka kebutuhan asuransi tidak dirasakan oleh
masyarakat. Faktor lain yang dipertimbangkan adalah tingkat sosial ekonomi
masyarakat yang akan mempengaruhi kemampuan untuk membayar premi atau
biaya.
A.4.3.5. Faktor Pendatang Baru
Munculnya pendatang baru tentunya akan meningkatkan intensitas
kompetisi yang harus diwaspadai oleh RSUD Srengat. Mengingat masih rendahnya
market share RSUD, adanya kompetitor baru dapat semakin mengurangi potensi
pasar. Meskipun demikian rumah sakit harus tetap mewaspadai potensial
munculnya kompetitor baru seperti klinik bersama dengan laboratorium, klinik
bersalin yang menjadi kompetitor pada sebagian jenis layanan kesehatan rumah
sakit. Klinik bersama dan klinik bersalin pada umumnya didirikan oleh Dokter
Spesialis setempat yang sudah memiliki pasar yang loyal. Hal ini sesuai dengan
fakta penelitian bahwa rujukan oleh dokter menjadi pintu masuk utama pelayanan di
rumah sakit.
Untuk mengantisipasi munculnya kompetitor baru rumah sakit harus
meningkatkan daya saing atau dengan meningkatkan porsi captive market dengan
menjalin kerjasama asuransi. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan
strategi keunggulan dari jenis dan kualitas pelayanan maupun keunggulan harga.
Sebagai rumah sakit yang memberikan pelayanan pada strata II, harus memiliki
jenis pelayanan yang didukung provider dan teknologi yang tidak dimiliki oleh
kompetitor. Secara institusi RSUD Srengat mempunyai dukungan dari pemegang
kebijakan (pemerintah) untuk meningkatkan kompetensi teknologinya. Keunggulan
mutu pelayanan dapat dicapai dengan sistem manajemen yang meningkatkan
respon pelayanan, keramahan dan jaminan mutu pelayanan didukung dengan
desain fasilitas yang memberikan kenyamanan.
A.4.3.6. Faktor Pemasok
Pemasok pada pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat dibagi menjadi
pemasok pasien (perujuk) dalam hal ini Puskesmas, Dokter Umum dan Dokter
Spesialis, serta pemasok alat kesehatan. Analisis pemasok dapat dilakukan
dengan membandingkan posisi tawar rumah sakit terhadap masing-masing
pemasok. RSUD Srengatpada umumnya memiliki posisi tawar yang relatif kuat
terhadap pemasok alat kesehatan. Penyedia alat kesehatan lebih memiliki
kepentingan untuk menjadi rekanan RSUD Srengatkarena luasnya pangsa pasar,
dan RSUD Srengatmenjadi tempat berkumpulnya para provider yaitu dokter
spesialis. Dengan posisi demikian RSUD Srengatmempunyai pilihan sehigga dapat
menentukan pemasok dengan mutu dan harga yang bersaing. Permasalahan yang
sering muncul adalah birokrasi proses pengadaan yang menuntut rekanan dengan
kapabilitas khusus dan waktu pengadaan yang panjang sehingga menambah biaya
pengadaan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi biaya dan marjin keuntungan
rumah sakit.
Bila dihadapkan pada pemasok pasien (perujuk) dan provider jasa medis
rumah sakit memiliki posisi tawar yang relatif rendah. Posisi tawar rumah sakit
terhadap perujuk termasuk kuat bila perujuk berasal dari institusi pemerintah seperti
Puskesmas, karena sistem rujukan memastikan jalur tersebut. Meskipun demikian,
pelanggan Puskesmas pada umumnya berasal dari golongan sosial ekonomi
menengah ke bawah yang memiliki daya beli rendah. Konsumen dengan daya beli
tinggi kebanyakan dirujuk oleh Dokter praktek swasta (umum dan spesialis) yang
memiliki kebebasan memiliih RS rujukan. Fakta penelitian menunjukkan bahwa
rujukan dokter menjadi alasan utama pasien memilih rumah sakit bila dibandingkan
dengan kualitas pelayanan rumah sakit. Secara umum RSD di Indonesia terutama
di daerah dengan jumlah dokter terbatas sangat tergantung pada dokter sebagai
pembawa pasien. Kuatnya posisi tawar provider medis dapat menyulitkan RS
dalam mengendalikan standar mutu pelayanan dan biaya.

Untuk mengelola kuatnya posisi tawar provider jasa medis, RSUD Srengat
dapat mengembangkan dua strategi. Strategi pertama dilakukan dengan
menyediakan pelayanan dengan fasilitas unggul sesuai dengan perkembangan
profesi sehingga menjadi pilihan semua perujuk. Strategi tersebut harus diikuti
dengan pelibatan Dokter dalam sistem manajemen pelayanan klinis, misalnya
dengan mengembangkan Clinical Pathway dan menekankan aspek keuntungan
atau bagi pengembangan ilmu juga kesejahteraan. Pada intinya strategi tersebut
harus mampu menjadikan RSD sebagai rumah yang nyaman bagi dokter dan
pasien namun tetap dapat mengendalikan mutu dan biaya.

Strategi lain yang dapat ditempuh adalah mengurangi ketergantungan


produk pelayanan RSD terhadap Dokter Spesialis dengan mengembangkan
pelayanan yang tidak bergantung dokter, seperti Nursing Home Care. Nursing
Home Care merupakan media antara pelayanan kesehatan akut di RS dan
perawatan mandiri di rumah. Meningkatnya pola penyakit degenerative menjadi
peluang pengembangan pelayanan Nursing Home Care. Pelayanan ini ditujukan
untuk menyiapkan pasien dan keluarga hingga mampu melakukan perawatan
independen. Sasara pelayanan ini adalah pasien yang telah melewati fase akut
yang tergantung dengan fasilitas di rumah sakit, namun masih memerlukan fasilitas
perawatan profesional oleh perawat. Tidak tersedianya Nursing Home Care
menjadikan hari rawat pasien memanjang yang meningkatkan biaya bagi pasien
namun tidak memberikan banyak keuntungan bagi rumah sakit. Dengan
mengembangkan fasilitas Nursing Home Care pada satu meringankan beban
pasien, menjamin prinsip pengobatan berkesinambungan sekaligus menjadi sumber
pendapatan bagi pengembangan rumah sakit.
A.4.3.7. Faktor Produk Substitusi
Produk substitusi juga menjadi salah satu pertimbangan dalam
pengembangan rumah sakit. Contoh produk substitusi pelayanan kesehatan secara
umum adalah pengobatan alternatif. Pengobatan alternatif menjadi pilihan banyak
masyarakat karena faktor biaya, kedekatan psikologis dan keyakinan kesembuhan
meskipun data yang disajikan tidak bersifat ilmiah. Faktor psikologis memberikan
pengaruh yang kuat terhadap kesembuhan. Masyarakat Indonesia termasuk
masyarakat dengan budaya tulis yang lemah sehingga lebih mudah terprovokasi
dengan berita yang disampaikan secara lisan, misalnya berita kesembuhan yang
luar biasa. Dengan gambaran diatas, pengobatan alternatif memang menjadi faktor
produk substitusi yang penting untuk dicermati.
RSUD Srengatdapat mengelola tantangan produk substitusi tersebut
dengan mengakomodasi karakter pengobatan alternatif dalam pelayanan kesehatan
rumah sakit yang menekankan kedekatan dengan pasien dan keluarga dan
pengobatan berkelanjuta serta memperhatikan aspek psikologis pasien.
Pengembangan Nursing Home Care juga menjadi pilihan pelayanan yang lebih
bersifat holistik dan komprehensif. Strategi lain adalah dengan bekerjasama atau
menjadikan produk pengobatan alternatif sebagai pelengkap pelayanan di RSUD
Srengat.
A.4.3.8. Kesimpulan Analisis Pasar
Analisis pasar yang digunakan pada studi ini menggunakan pendekatan
analisis Porter, yang mengkaji kekuatan dan potensi kompetisi melalui kajian
kekuatan pelanggan/pembayar, pendatang baru, produk substitusi yang secara
skematis disajikan pada GAMBAR 4.3.

Tantangan
Pendatang
Baru

Posisi Tawar
Posisi Tawar Intensitas Pembeli/
Pemasok Kompetisi Pembayar

Tantangan
Produk
Substitusi

GAMBAR 4.3. ANALISIS KEKUATAN KOMPETISI PASAR

Secara keseluruhan RSUD Srengatmemiliki pangsa pasar yang luas


dengan tingkat kompetisi pada tingkat lokal yang relatif rendah dengan potensi
pesaing dari RS Rujukan. Tantangan produk substitusi dan pendatang baru hingga
saat ini sangat lemah, karena pengembangan produk baru bila akan ada
menghadapi tantangan yang lebih besar. Gambaran analisis eksternal ini
menunjukkan pangsa pasar yang potensial, dan kompetisi yang sangat
memungkinkan untuk dimenangkan dan dipertahankan oleh RSUD Srengatbila
mampu menangkap peluang dengan meningkatkan kemampuan internal.
A.4.3.9. Proyeksi Pangsa Pasar
Proyeksi pangsa pasar merupakan analisis permintaan atau kebutuhan
pelayanan kesehatan rumah sakit untuk memperhitungkan besaran volume
pelayanan rumah sakit yang dibutuhkan masyarakat. Proyeksi dilakukan dengan
memperhitungkan proyeksi pertumbuhan penduduk, data kesehatan wilayah
disamping pertumbuhan pelayanan RSUD Pare dalam lima tahun terakhir. Dengan
memperhatikan pelayanan kesehatan rumah sakit yang bersifat komprehensif,
analisis pasar diperhitungkan pada pelayanan rawat inap (secara spesifik di masing-
masing unit rawat inap), rawat jalan, dan pelayanan penunjang medik. Hasil analisa
pasar akan menentukan besaran rencana pengembangan rumah sakit dan
kebutuhan sumberdaya manusia, teknologi serta lingkungan fisik.

A.4.4. Kajian Aspek Teknis, Teknologi dan Kebutuhan Peralatan


Kajian kedua aspek ini pada dasarnya bertujuan untuk melihat sampai
berapa besar kebutuhan dana pendirian Rumah Sakit Umum Daerah
Srengattersebut. Karena itu, mengacu pada kajian pasar dan kebutuhan pelayanan
kesehatan, maka direncanakan pendirian Rumah Sakit Kabupaten Blitar mengacu
pada standar Rumah Sakit tipe B. Rumah Sakit tipe B adalah Rumah Sakit yang
menyediakan pelayanan rujukan tingkat pertama yang dilengkapi dengan 8 spesialis
besar, yaitu: Spesialis Penyakit Dalam, Bedah, Kebidanan dan Kandungan, Anak,
Syaraf, Jiwa, THT, Jantung.

A.4.4.1. Lokasi Rumah Sakit


1. Pemilihan lokasi
(1) Aksesibilitas untuk jalur transportasi dan komunikasi
Lokasi harus mudah dijangkau oleh masyarakat atau dekat ke jalan
raya dan tersedia infrastruktur dan fasilitas dengan mudah.
(2) Kontur Tanah
kontur tanah mempunyai pengaruh penting pada perencanaan
struktur, dan harus dipilih sebelum perencanaan awal dapat dimulai.
(3) Fasilitas parkir
Perancangan dan perencanaan prasarana parkir di RS sangat
penting, karena prasarana parkir dan jalan masuk kendaraan akan
menyita banyak lahan. Perhitungan kebutuhan lahan parkir pada RS
disarankan 1,5 s/d 2 kendaraan/tempat tidur (37,5m2 s/d 50m2 per
tempat tidur)1 atau menyesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi
daerah setempat. Tempat parkir harus dilengkapi dengan rambu
parkir.

1 Ernst Neufert, Data Arsitek Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, 1995


(4) Tersedianya utilitas publik
Rumah sakit membutuhkan air bersih, pembuangan air kotor/limbah,
listrik, bahan bakar dan jalur telepon. Pengembang harus membuat
utilitas tersebut selalu tersedia.
(5) Pengendalian Dampak Lingkungan
Setiap RS harus dilengkapi dengan persyaratan pengendalian
dampak lingkungan antara lain :
Masterplan Dampak Lingkungan yang ditimbulkan oleh RS
terhadap lingkungan disekitarnya.
Fasilitas pengelolaan limbah padat infeksius dan noninfeksius
(sampah RT) serta limbah cair (Instalasi Pengelolaan Air Limbah
(IPAL)).
Fasilitas Penjernihan Air Bersih (Water Supply Treatment) yang
menjamin keamanan konsumsi air bersih rumah sakit.
Fasilitas Pengelolaan Limbah Cair ataupun Padat dari Instalasi
Radiologi.
Fasilitas Pengelolaan Limbah Udara dari fasilitas R. Isolasi, R.
Laboratorium maupun R. Farmasi.
(6) Bebas dari kebisingan, asap, uap dan gangguan lain
Pasien dan petugas membutuhkan udara bersih dan lingkungan
yang tenang.
Pemilihan lokasi sebaiknya bebas dari kebisingan yang tidak
semestinya dan polusi atmosfer yang datang dari sumber seperti
rel kereta api, jalan arteri utama, bandara, sekolah dan tempat
bermain anak-anak.
(7) Pengembangan kedepan
Setiap rumah sakit menghadapi masalah pengembangan dalam
kurun waktu 10 atau 15 tahun kedepan. Hal ini sebaiknya
dipertimbangkan apabila ada rencana pembangunan bangunan baru.
2. Peruntukan Bangunan
(1) Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung di RSUD Srengatharus
memperhitungkan jarak antara massa bangunan dalam RS dengan
mempertimbangkan hal-hal berikut ini :
a. Kemudahan Evakuasi dan Penanggulangan Bencana saat terjadi
Bencana Dalam Lingkungan RS (Hospital Internal Disaster).
b. Pencahayaan alami cukup dan adanya pergantian sirkulasi udara
alami dengan baik.
c. Kenyamanan visualisasi bagi pasien, pengantar pasien maupun
pekerja RS ke arah luar/halaman bangunan.
(2) Perencanaan RSUD Srengatharus mengikuti Rencana Tata
Bangunan & Lingkungan (RTBL), yaitu :
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
c. Koefisien Daerah Hijau (KDH)
d. Garis Sepadan Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan Jalan
(GSJ)
(3) Memenuhi persyaratan Peraturan Daerah setempat (tata kota yang
berlaku).

3. Kebutuhan Total Ruang


(1) Biasanya kebutuhan minimal ruang untuk satu tempat tidur berikut
aksesnya kira-kira 10 m2. Total luas lantai rumah sakit diperkirakan 8
(delapan) sampai 10 (sepuluh) kali kebutuhan luas tempat tidur.
(2) Sebagai contoh, rumah sakit dengan 200 tempat tidur, kebutuhan
luas lantainya adalah sebesar 10 (m2/tempat tidur) x ( 8 sampai 10) x
200 tempat tidur = 16.000 m2 sampai 20.000 m2 .
(3) Dengan perkembangan teknologi yang cepat, ilmu pengetahuan
medik dan administrasi, maka kebutuhan luas ruangan meningkat.
Misalnya ruang uji laboratorium yang naik hampir dua kali lipat
selama 10 (sepuluh) tahun ini.
(4) Beberapa tahun yang lalu, kebutuhan ruangan rumah sakit antara 45
m2 sampai 55 m2 setiap tempat tidur.
(5) Kebutuhan ruang untuk rumah sakit modern kurang lebih antara 80
sampai 110 m2 setiap tempat tidur.
(6) TABEL 5.1 menunjukkan bagian-bagian penting dari rumah sakit
umum non pendidikan dan ruangan yang dibutuhkannya.
TABEL 4.2.
KEBUTUHAN RUANG MINIMAL UNTUK RUMAH SAKIT UMUM NON PENDIDIKAN. 2)

LUAS (m2) PER TEMPAT


RUANG
TIDUR
1 Administrasi 3 ~ 3,5
2 Unit Gawat Darurat 1 ~ 1,5
3 Poliklinik 1 ~ 1,5
4 Pelayanan sosial 0,1
5 Pendaftaran 0,2
6 Laboratorium Klinis, Patologi 2,5 ~ 3
7 Kebidanan dan kandungan 1,2 ~ 1,5
8 Diagnostik dan Radiologi 3~4
9 Dapur makanan 2,5 ~ 3,0
10 Fasilitas petugas 0,5 ~ 0,8
11 Ruang pertemuan, pelatihan 0,5 ~ 1
12 Terapi Wicara dan pendengaran 0,1
13 Rumah tangga/kebersihan 0,4 ~ 0,5
14 Manajemen material 0,4 ~ 0,5
15 Gudang pusat 2,5 ~ 3,5
16 Pembelian 0,2
17 Laundri 1 ~ 1,5
18 Rekam medis 0,5 ~ 0,8
19 Fasilitas staf medik 0,2 ~ 0,3
20 Teknik dan pemeliharaan 5~6
21 Pengobatan nuklir 0,4 ~ 0,5
22 Ruang anak 0,4 ~ 0,5
23 Petugas 0,3 ~ 0,4
24 Farmasi 0,4 ~ 0,6
25 Ruang publik 1 ~ 1,5
26 Ruang pengobatan kulit 0,1 ~ 0,2
27 Therapi radiasi 0,8 ~ 1
28 Therapi fisik 1 ~ 1,2
29 Therapi okupasi 0,3 ~ 0,5
30 Ruang bedah 3,5 ~ 5
31 Sirkulasi 10 ~ 15
32 Unit rawat inap 25 ~ 35

2) G.D Kunders, Hospitals, Facilities, Planning and Management, McGraw-Hill, 2004.


A.4.4.1. Perencanaan Bangunan Rumah Sakit
1. Prinsip Umum
(1) Ketentuan pertama, perlindungan terhadap pasien merupakan
ketentuan utama. Terlalu banyak lalu lintas akan menggangu pasien,
mengurangi efisiensi pelayanan pasien dan meninggikan risiko
infeksi, khususnya untuk pasien bedah dimana kondisi bersih sangat
penting. Jaminan perlindungan terhadap infeksi merupakan jantung
utama pelayanan terhadap pasien.
(2) Ketentuan kedua adalah merencanakan sependek mungkin jalur lalu
lintas. Kondisi ini membantu menjaga kebersihan (aseptic) dan
mengamankan langkah setiap orang, perawat, pasien dan petugas
rumah sakit lainnya. Rumah sakit adalah tempat dimana sesuatunya
berjalan cepat. Jiwa pasien sering tergantung padanya. Waktu yang
terbuang akibat langkah yang tidak perlu membuang biaya disamping
kelelahan orang pada akhir hari kerja.
(3) Ketentuan ketiga, pemisahan aktivitas yang berbeda, pemisahan
antara pekerjaan bersih dan pekerjaan kotor, aktivitas tenang dan
bising, perbedaan tipe pasien, (contoh sakit serius dan rawat jalan)
dan tipe berbeda dari lalu lintas di dalam dan di luar bangunan.
(4) Ketentuan keempat, mengontrol sejumlah tertentu yang datang
dengan pemisahan aktivitas yang berbeda, tetapi belum cukup.
Pos perawat sebaiknya dalam situasi membantu perawat dalam
melatih pasien di koridor pasien, dan pengunjung masuk dan ke luar
unit. Bayi harus dilindungi dari kemungkinan pencurian dan dari
kuman penyakit yang dibawa pengunjung dan petugas rumah sakit.
Pasien di ruang ICU harus dijaga terhadap infeksi. Kamar bedah
sebaiknya dilindungi dengan cara serupa.
Dua ilustrasi dari rencana lalu lintas utama ditunjukkan pada GAMBAR
5.1.A dan GAMBAR 5.1.B. GAMBAR 5.1.C juga menunjukkan rencana
zoning secara fungsional.
2. Prinsip Khusus
(1) Maksimum pencahayaan dan angin untuk semua bagian bangunan
merupakan faktor yang penting. Ini khususnya untuk rumah sakit
yang tidak menggunakan air conditioning.
(2) Jendela sebaiknya dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah
nyamuk dan binatang terbang lainnya yang berada dimana-mana di
sekitar rumah sakit.
(3) RS minimal mempunyai 3 akses/pintu masuk, terdiri dari pintu masuk
utama, pintu masuk ke Unit Gawat Darurat dan Pintu Masuk ke area
layanan Servis.

GAMBAR 5.1.A. CONTOH RENCANA LOKASI

(4) Pintu masuk untuk service sebaiknya berdekatan dengan dapur dan
daerah penyimpanan persediaan (gudang) yang menerima barang-
barang dalam bentuk curah, dan bila mungkin berdekatan dengan lif
service. Bordes dan timbangan tersedia di daerah itu. Akses ke
kamar mayat sebaiknya diproteksi terhadap pandangan pasien dan
pengunjung untuk alasan psikologis.
(5) Pintu masuk dan lobi sebaiknya dibuat cukup menarik, sehingga
pasien dan pengantar pasien mudah mengenali pintu masuk utama.
(6) Alur lalu lintas pasien dan petugas RS harus direncanakan seefisien
mungkin.
(7) Koridor publik dipisah dengan koridor untuk pasien dan petugas
medik, dimaksudkan untuk mengurangi waktu kemacetan. Bahan-
bahan, material dan pembuangan sampah sebaiknya tidak
memotong pergerakan orang. Rumah sakit perlu dirancang agar
petugas, pasien dan pengunjung mudah orientasinya jika berada di
dalam bangunan.
(8) Alur pasien rawat jalan yang ingin ke laboratorium, radiologi, farmasi,
terapi khusus dan ke pelayanan medis lain, tidak melalui daerah
pasien rawat inap.
(9) Alur pasien rawat inap jika ingin ke laboratorium, radiologi dan bagian
lain, harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan.
DAERAH PELAYANAN PASIEN
PASIEN SAKIT MASUK

PENDAFTARAN / ADMINISTRASI

INSTALASI
REHABILITASI
MEDIK

INSTALASI RAWAT
JALAN

INSTALASI
GAWAT
DARURAT

INSTALASI

INSTALASI
INSTALASI INSTALASI

C.S.S.D
DAERAH PELAYANAN KRITIS

KEBIDANAN DAN
LABORATORIUM RADIOLOGI
KANDUNGAN

INSTALASI
LAUNDRI
INSTALASI BEDAH

POWER PLANT
INSTALASI
UTILITY/
INSTALASI
INSTALASI INSTALASI RAWAT
PERAWATAN
PERAWATAN INTENSIF BAYI/
INTENSIF ANAK
INTENSIF (ICU) NATAL(NICU)
(PACU)
WORKSHOP
INSTALASI
PULANG SEHAT
SEHAT
DAERAH PELAYANAN UMUM

INSTALASI RAWAT
KELUAR

INAP
KELUAR
PULANG

INSTALASI RAWAT
INAP KEBIDANAN
GIZI/DAPUR
INSTALASI

INSTALASI MORTUARY

GAMBAR 5.1.B. ALUR LALU LINTAS PASIEN DI DALAM RUMAH SAKIT UMUM
GAMBAR 5.1. C. ALIRAN LALU LINTAS DARI LALU LINTAS DI LUAR

(10) Lebar koridor 2,40 m dengan tinggi langit-kangit minimal 2,40


m. Koridor sebaiknya lurus. Apabila ramp digunakan,
kemiringannya sebaiknya tidak melebihi 1 : 10 ( membuat sudut
maksimal 70).
A.4.4.3. Persyaratan Teknis
1. Atap
Atap harus kuat, tidak bocor, tahan lama dan tidak menjadi tempat
perindukan serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya.
(1) Penutup atap
(a) Penutup atap dari bahan beton dilapis dengan lapisan tahan air,
merupakan pilihan utama.
(b) Penutup atap bila menggunakan genteng keramik, atau genteng beton,
atau genteng tanah liat (plentong), pemasangannya harus dengan sudut
kemiringan sesuai ketentuan yang berlaku.
(c) Mengingat pemeliharaannya yang sulit, khususnya bila terjadi kebocoran,
penggunaan genteng metal sebaiknya dihindari.
(2) Rangka atap
(a) Rangka atap harus kuat memikul beban penutup atap.
(b) Apabila rangka atap dari bahan kayu, harus dari kualitas yang baik dan
kering, dan dilapisi dengan cat anti rayap.
(c) Apabila rangka atap dari bahan metal, harus dari metal yang tidak mudah
berkarat, atau di cat dengan cat dasar anti karat.
2. Langit-langit
Langit-langit harus kuat, berwarna terang, tidak berbahan asbes dan
mudah dibersihkan.
(a) Tinggi langit-langit di ruangan, minimal 2,70 m, dan tinggi di selasar (koridor)
minimal 2,40 m.
(b) Rangka langit-langit harus kuat.
(c) Langit-langit mungkin harus dari bahan kedap suara.
3. Dinding dan Partisi
Dinding harus keras, tidak porous, tahan api, kedap air, tahan karat, tidak
punya sambungan (utuh), dan mudah dibersihkan. Disamping itu dinding harus
tidak mengkilap.
(1) Pelapisan dinding dengan bahan keras seperti formika, mudah dibersihkan dan
dipelihara. Sambungan antaranya bisa di seal dengan filler plastik. Polyester
yang dilapisi (laminated polyester) atau plester yang halus dan dicat,
memberikan dinding tanpa kampuh (tanpa sambungan = seamless).
(2) Dinding yang berlapiskan keramik/porselen, mengumpulkan debu dan mikro
organisme diantara sambungannya. Semen diantara keramik/porselin tidak
bisa halus, dan kebanyakan sambungan yang diplaster cukup porous sehingga
mudah ditinggali mikro organisme meskipun telah dibersihkan.
(3) Keramik/porselin bisa retak dan patah.
(4) Cat epoksi pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk mengelupas atau
membentuk serpihan.
(5) Pelapis lembar/siku baja tahan karat (stainless steel) pada sudut-sudut tempat
benturan membantu mengurangi kerusakan.

4. Lantai
Lantai harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, permukaan rata, tidak
licin, warna terang, dan mudah dibersihkan.
(1) Lantai yang selalu kontak dengan air harus mempunyai kemiringan
yang cukup ke arah saluran pembuangan.
(2) Pertemuan lantai dengan dinding harus berbentuk konus/lengkung
agar mudah dibersihkan.
(3) Lantai harus cukup konduktif, sehingga mudah untuk menghilangkan
muatan listrik statik dari peralatan dan petugas, tetapi bukan
sedemikian konduktifnya sehingga membahayakan petugas dari
sengatan listrik.
(4) Untuk mencegah menimbunnya muatan listrik pada tempat
dipergunakan gas anestesi mudah terbakar, lantai yang konduktif
harus dipasang.
(5) Lantai yang konduktif bisa diperoleh dari berbagai jenis bahan,
termasuk vinil anti statik, ubin aspal, linolium, dan teraso. Tahanan
listrik dari bahan-bahan ini bisa berubah dengan umur dan akibat
pembersihan.
(6) Tahanan dari lantai konduktif diukur tiap bulan, dan harus memenuhi
persyaratan yang berlaku seperti dalam NFPA 56A.
(7) Permukaan lantai tersebut harus dapat memberikan jalan bagi
peralatan yang mempunyai konduktivitas listrik yang sedang antara
peralatan dan petugas yang berhubungan dengan lantai tersebut.
(8) Lantai dilokasi anestesi yang tidak mudah terbakar tidak perlu
konduktif. Semacam plastik keras (vinil), dan bahan-bahan yang
tanpa sambungan dipergunakan untuk lantai yang non konduktif.
(9) Permukaan dari semua lantai tidak boleh porous, tetapi cukup keras
untuk pembersihan dengan penggelontoran (flooding), dan
pemvakuman basah.
5.3.5. Landaian (ramp)
Landaian (ramp) adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan
kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan
tangga.
(1) Kemiringan suatu ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi 70, perhitungan
kemiringan tersebut tidak termasuk awalan dan akhiran ramp (curb
ramps/landing).
(2) Panjang mendatar dari satu ramp (dengan kemiringan 70) tidak boleh lebih dari
900 cm. Panjang ramp dengan kemiringan yang lebih rendah dapat lebih
panjang.
(3) Lebar minimum dari ramp adalah 120 cm dengan tepi pengaman. Untuk ramp
yang juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan pelayanan angkutan
barang harus dipertimbangkan secara seksama lebarnya, sedemikian sehingga
bisa dipakai untuk kedua fungsi tersebut, atau dilakukan pemisahan ramp
dengan fungsi sendiri-sendiri.
(4) Muka datar (bordes) pada awalan atau akhiran dari suatu ramp harus bebas
dan datar sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk memutar kursi
roda dan stretcher, dengan ukuran minimum 160 cm.

GAMBAR 5.2. TIPIKAL RAMP

GAMBAR 5.3. BENTUK-BENTUK RAMP


GAMBAR 5.4. KEMIRINGAN RAMP

GAMBAR 5.5. PEGANGAN RAMBAT PADA RAMP.

GAMBAR 5.6. KEMIRINGAN SISI LEBAR RAMP


GAMBAR 5.7. PINTU DI UJUNG RAMP

(5) Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ramp harus memiliki tekstur
sehingga tidak licin baik diwaktu hujan.
(6) Lebar tepi pengaman ramp (low curb) 10 cm, dirancang untuk menghalangi
roda dari kursi roda atau stretcher agar tidak terperosok atau ke luar dari jalur
ramp.
Apabila berbatasan langsung dengan lalu lintas jalan umum atau
persimpangan, harus dibuat sedemikian rupa agar tidak mengganggu jalan
umum.
(7) Ramp harus diterangi dengan pencahayaan yang cukup sehingga membantu
penggunaan ramp saat malam hari. Pencahayaan disediakan pada bagian
ramp yang memiliki ketinggian terhadap muka tanah sekitarnya dan bagian-
bagian yang membahayakan.
(8) Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang dijamin
kekuatannya dengan ketinggian yang sesuai.
6. Tangga
Tangga merupakan fasilitas bagi pergerakan vertikal yang dirancang
dengan mempertimbangkan ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan dengan
lebar yang memadai.
(1) Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran seragam Tinggi
masing-masing pijakan/tanjakan adalah 15 17 cm.
(2) Harus memiliki kemiringan tangga kurang dari 600.
(3) Lebar tangga minimal 120 cm untuk membawa usungan dalam keadaan
darurat, untuk mengevakuasi pasien dalam kasus terjadinya kebakaran atau
ancaman bom
(3) Tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan pengguna
tangga.
(4) Harus dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail).

GAMBAR 5.8. TIPIKAL TANGGA

GAMBAR 5.9. PEGANGAN RAMBAT PADA TANGGA


(5) Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65~ 80 cm
dari lantai, bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian
ujungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai, dinding
atau tiang.
(6) Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujung-
ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm.
(7) Untuk tangga yang terletak di luar bangunan, harus dirancang sehingga
tidak ada air hujan yang menggenang pada lantainya.

GAMBAR 5.10. DESAIN PROFIL TANGGA

GAMBAR 5.11. DETAIL PEGANGAN RAMBAT PADA TANGGA


GAMBAR 5.12. DETAIL PEGANGAN RAMBAT PADA DINDING

7. Lift (Elevator)
Lift merupakan fasilitas lalu lintas vertikal baik bagi petugas RS maupun
untuk pasien. Oleh karena itu harus direncanakan dapat menampung tempat tidur
pasien.
(1) Ukuran lift rumah sakit minimal 1,50 m x 2,30 m dan lebar pintunya tidak kurang
dari 1,20 m untuk memungkinkan lewatnya tempat tidur dan stretcher bersama-
sama dengan pengantarnya.
(2) Lift penumpang dan lift service dipisah bila dimungkinkan.
8. Pintu
Pintu adalah bagian dari suatu tapak, bangunan atau ruang yang
merupakan tempat untuk masuk dan ke luar dan pada umumnya dilengkapi dengan
penutup (daun pintu).
(1) Pintu ke luar/masuk utama memiliki lebar bukaan minimal 90 cm atau dapat
dilalui brankar pasien, dan pintu-pintu yang tidak menjadi akses pasien tirah
baring memiliki lebar bukaan minimal 80 cm.
(2) Di daerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau
perbedaan ketinggian lantai.
(3) Pintu Darurat
Setiap bangunan RS yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi
dengan pintu darurat.
Lebar pintu darurat minimal 100 cm membuka kea rah ruang tangga
penyelamatan (darurat) kecuali pada lantai dasar membuka ke arah luar
(halaman).
Jarak antar pintu darurat dalam satu blok bangunan gedung maksimal 25 m
dari segala arah.
(4) Pintu khusus untuk kamar mandi di rawat inap dan pintu toilet untuk aksesibel,
harus terbuka ke luar (lihat gambar 3.7.1), dan lebar daun pintu minimal 85 cm.

GAMBAR 5.13. PINTU KAMAR MANDI RUANG RAWAT INAP HARUS KE ARAH
LUAR

9. Toilet (Kamar kecil)


Fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk semua orang (tanpa terkecuali
penyandang cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil) pada bangunan atau fasilitas umum
lainnya.
(1) Toilet umum
(a) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup
untuk masuk dan keluar oleh pengguna.
(b) Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguna ( 36 ~ 38 cm).
(c) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.
(d) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup
untuk masuk dan keluar oleh pengguna.
(e) Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguna ( 36 ~ 38 cm).
(f) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.
(g) Pintu harus mudah dibuka dan ditutup.
(h) Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa dibuka
dari luar jika terjadi kondisi darurat.
(2) Toilet untuk aksesibilitas
(a) Toilet atau kamar kecil umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan
tampilan rambu/simbol "penyandang cacat" pada bagian luarnya.
(b) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup
untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda.
(c) Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguna kursi roda sekitar (45 ~ 50 cm)
(d) Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan rambat
(handrail) yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan
pengguna kursi roda dan penyandang cacat yang lain. Pegangan
disarankan memiliki bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk membantu
pergerakan pengguna kursi roda.
(e) Letak kertas tisu, air, kran air atau pancuran (shower) dan perlengkapan-
perlengkapan seperti tempat sabun dan pengering tangan harus dipasang
sedemikian hingga mudah digunakan oleh orang yang memiliki
keterbatasan keterbatasan fisik dan bisa dijangkau pengguna kursi roda.
(f) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.
(g) Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan pengguna
kursi roda.
(h) Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa dibuka
dari luar jika terjadi kondisi darurat.
(j). Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti pada daerah pintu
masuk, dianjurkan untuk menyediakan tombol bunyi darurat (emergency
sound button) bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
GAMBAR 5.14. RUANG GERAK DALAM TOILET UNTUK AKSESIBEL.
A.4.4.2. Persyaratan Keselamatan Bangunan Rumah Sakit
Persyaratan keselamatan bangunan rumah sakit meliputi persyaratan
kemampuan bangunan rumah sakit terhadap beban muatan, persyaratan
kemampuan bangunan rumah sakit terhadap bahaya kebakaran, persyaratan
kemampuan bangunan rumah sakit terhadap bahaya petir dan persyaratan
kemampuan bangunan rumah sakit terhadap bahaya kelistrikan.
1. Persyaratan Kemampuan Pembebanan Bangunan Rumah Sakit
Terhadap Beban Muatan
(1) Umum
(a) Setiap bangunan rumah sakit, strukturnya harus direncanakan dan
dilaksanakan agar kuat, kokoh, dan stabil dalam memikul
beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan keselamatan
(safety), serta memenuhi persyaratan kelayanan (serviceability) selama
umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi
bangunan rumah sakit, lokasi, keawetan, dan kemungkinan
pelaksanaan konstruksinya.
(b) Kemampuan memikul beban diperhitungkan terhadap pengaruh-
pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja
selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap maupun beban
muatan sementara yang timbul akibat gempa, angin, pengaruh korosi,
jamur, dan serangga perusak.
(c) Dalam perencanaan struktur bangunan rumah sakit terhadap pengaruh
gempa, semua unsur struktur bangunan rumah sakit, baik bagian dari
sub struktur maupun struktur gedung, harus diperhitungkan memikul
pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya.
(d) Struktur bangunan rumah sakit harus direncanakan secara detail
sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan,
apabila terjadi keruntuhan, kondisi strukturnya masih dapat
memungkinkan pengguna bangunan rumah sakit menyelamatkan diri.
(e) Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus
dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai
dengan Pedoman Teknis atau standar yang berlaku.
(f) Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan
sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan bangunan rumah
sakit, sehingga bangunan rumah sakit selalu memenuhi persyaratan
keselamatan struktur.
(g) Pemeriksaan keandalan bangunan rumah sakit dilaksanakan secara
berkala sesuai dengan pedoman teknis atau standar teknis yang
berlaku, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki
sertifikasi sesuai.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Analisis struktur harus dilakukan untuk memeriksa respon struktur
terhadap beban-beban yang mungkin bekerja selama umur kelayanan
struktur, termasuk beban tetap, beban sementara (angin, gempa) dan
beban khusus.
(b) Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya beban harus
sesuai dengan standar teknis yang berlaku, seperti :
1) SNI 031726-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
ketahanan gempa untuk rumah dan gedung.
2) SNI 03-1727-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
pembebanan untuk rumah dan gedung.

2. Persyaratan Kemampuan Struktur Atas Bangunan Rumah Sakit


Terhadap Beban Muatan
Konstruksi atas bangunan rumah sakit dapat terbuat dari konstruksi beton,
konstruksi baja, konstruksi kayu atau konstruksi dengan bahan dan teknologi
khusus
(a) Konstruksi beton
Perencanaan konstruksi beton harus memenuhi standar teknis yang berlaku,
seperti :
1) SNI 032847-1992 atau edisi terbaru; Tata cara perhitungan struktur
beton untuk bangunan gedung.
2) SNI 033430-1994 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan dinding
struktur pasangan blok beton berongga bertulang untuk bangunan
rumah dan gedung.
3) SNI 03-1734-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan beton dan
struktur dinding bertulang untuk rumah dan gedung.
4) SNI 032834 -1992 atau edisi terbaru; Tata cara pembuatan rencana
campuran beton normal.
5) SNI 033976-1995 atau edisi terbaru; Tata cara pengadukan dan
pengecoran beton.
6) SNI 033449-1994 atau edisi terbaru; Tata cara rencana pembuatan
campuran beton ringan dengan agregat ringan.
(b) Konstruksi Baja
Perencanaan konstruksi baja harus memenuhi standar yang berlaku seperti :
1) SNI 03-1729-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan bangunan
baja untuk gedung.
2) Tata Cara dan/atau pedoman lain yang masih terkait dalam
perencanaan konstruksi baja.
3) Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja.
4) Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja Selama Pelaksanaan
Konstruksi.
(c) Konstruksi Kayu
Perencanaan konstruksi kayu harus memenuhi standar teknis yang berlaku,
seperti:
1) Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untuk Bangunan Gedung.
2) Tata cara/pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan
konstruksi kayu.
3) Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu
4) SNI 03 2407 1991 atau edisi terbaru; Tata cara pengecatan kayu
untuk rumah dan gedung.

(d) Konstruksi dengan Bahan dan Teknologi Khusus


1) Perencanaan konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus harus
dilaksanakan oleh ahli struktur yang terkait dalam bidang bahan dan
teknologi khusus tersebut.
2) Perencanaan konstruksi dengan memperhatikan standar teknis padanan
untuk spesifikasi teknis, tata cara, dan metoda uji bahan dan teknologi
khusus tersebut.
(e) Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi
Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi, standar
teknis lainnya yang terkait dalam perencanaan suatu bangunan yang harus
dipenuhi, antara lain:
1) SNI 03-1735-2000 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan bangunan
dan lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan
rumah dan gedung.
2) SNI 03-1736-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan struktur
bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah
dan gedung.
3) SNI 03-1963-1990 atau edisi terbaru; Tata cara dasar koordinasi
modular untuk perancangan bangunan rumah dan gedung.
4) SNI 032395-1991 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan dan
perancangan bangunan radiologi di rumah sakit.
5) SNI 032394-1991 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan dan
perancangan bangunan kedokteran nuklir di rumah sakit.
6) SNI 032404-1991 atau edisi terbaru; Tata cara pencegahan rayap
pada pembuatan bangunan rumah dan gedung.
7) SNI 032405-1991 atau edisi terbaru; Tata cara penanggulangan rayap
pada bangunan rumah dan gedung dengan termitisida.
3. Persyaratan Kemampuan Struktur Bawah Bangunan Rumah Sakit
Terhadap Beban Muatan
Struktur bawah bangunan rumah sakit dapat berupa pondasi langsung atau
pondasi dalam, disesuaikan dengan kondisi tanah di lokasi didirikannya rumah sakit.
(a) Pondasi Langsung
1) Kedalaman pondasi langsung harus direncanakan sedemikian rupa
sehingga dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan
daya dukung tanah yang cukup kuat dan selama berfungsinya
bangunan tidak mengalami penurunan yang melampaui batas.
2) Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori
mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan
parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan
memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah
yang lain.
3) Pelaksanaan pondasi langsung tidak boleh menyimpang dari rencana
dan spesifikasi teknik yang berlaku atau ditentukan oleh perencana ahli
yang memiiki sertifikasi sesuai.
4) Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi
beton bertulang.
(b) Pondasi Dalam
1) Dalam hal penggunaan tiang pancang beton bertulang harus mengacu
pedoman teknis dan standar yang berlaku.
2) Dalam hal lokasi pemasangan tiang pancang terletak di daerah tepi laut
yang dapat mengakibatkan korosif harus memperhatikan pengamanan
baja terhadap korosi memenuhi pedoman teknis dan standar yang
berlaku.
3) Dalam hal perencanaan atau metode pelaksanaan menggunakan
pondasi yang belum diatur dalam SNI dan/atau mempunyai paten
dengan metode konstruksi yang belum dikenal, harus mempunyai
sertifikat yang dikeluarkan instansi yang berwenang.
4) Dalam hal perhitungan struktur menggunakan perangkat lunak, harus
menggunakan perangkat lunak yang diakui oleh asosiasi terkait).
5) Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah
dengan daya dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan
tanah, sehingga penggunaan pondasi langsung dapat menyebabkan
penurunan yang berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi.
6) Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori
mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan
parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan
memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah
yang lain.
7) Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus diverifikasi
dengan percobaan pembebanan, kecuali jika jumlah pondasi dalam
direncanakan dengan faktor keamanan yang jauh lebih besar dari faktor
keamanan yang lazim.
8) Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan dengan
berdasarkan tata cara yang lazim dan hasilnya harus dievaluasi oleh
perencana ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
9) Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1% dari
jumlah titik pondasi yang akan dilaksanakan dengan penentuan titik
secara random, kecuali ditentukan lain oleh perencana ahli serta
disetujui oleh instansi yang bersangkutan.
(c) Keselamatan Struktur
1) Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus
dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai
dengan ketentuan dalam Pedoman Teknis Tata Cara Pemeriksaan
Keandalan Bangunan Gedung.
2) Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan
sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan bangunan rumah
salikit, sehingga rumah sakit selalu memenuhi persyaratan keselamatan
struktur.
3) Pemeriksaan keandalan bangunan rumah sakit dilaksanakan secara
berkala sesuai klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan atau
didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
(d) Keruntuhan Struktur
Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan,
pemeriksaan keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai
dengan pedoman/petunjuk teknis yang berlaku.
(e) Persyaratan Bahan
1) Bahan struktur yang digunakan harus sudah memenuhi semua
persyaratan keamanan, termasuk keselamatan terhadap lingkungan dan
pengguna bangunan, serta sesuai pedoman teknis atau standar teknis
yang berlaku.
2) Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum mempunyai SNI,
dapat digunakan standar baku dan pedoman teknis yang diberlakukan
oleh instansi yang berwenang.
3) Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus diproses
sesuai dengan standar tata cara yang baku untuk keperluan yang
dimaksud.
4) Bahan bangunan prefabrikasi harus dirancang sehingga memiliki sistem
hubungan yang baik dan mampu mengembangkan kekuatan bahan-
bahan yang dihubungkan, serta mampu bertahan terhadap gaya angkat
pada saat pemasangan/pelaksanaan.
4. Persyaratan Kemampuan Bangunan Rumah sakit Terhadap Bahaya
Kebakaran
1) Sistem Proteksi Pasif
Setiap bangunan rumah sakit harus mempunyai sistem proteksi pasif
terhadap bahaya kebakaran yang berbasis pada desain atau pengaturan
terhadap komponen arsitektur dan struktur rumah sakit sehingga dapat
melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran.
Penerapan sistem proteksi pasif didasarkan pada fungsi/klasifikasi resiko
kebakaran, geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/atau jumlah dan
kondisi penghuni dalam rumah sakit.
(1) Rumah sakit harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran.
(2) Kompartemenisasi dan konstruksi pemisah untuk membatasi kobaran
api yang potensial, perambatan api dan asap, agar dapat:
(a) melindungi penghuni yang berada di suatu bagian bangunan
terhadap dampak kebakaran yang terjadi ditempat lain di dalam
bangunan.
(b) mengendalikan kobaran api agar tidak menjalar ke bangunan lain
yang berdekatan.
(c) menyediakan jalan masuk bagi petugas pemadam kebakaran
(3) Proteksi Bukaan
Seluruh bukaan harus dilindungi, dan lubang utilitas harus diberi
penyetop api (fire stop) untuk mencegah merambatnya api serta
menjamin pemisahan dan kompartemenisasi bangunan.
2) Sistem Proteksi Aktif
Sistem proteksi aktif adalah peralatan deteksi dan pemadam yang dipasang
tetap atau tidak tetap, berbasis air, bahan kimia atau gas, yang digunakan
untuk mendeteksi dan memadamkan kebakaran pada bangunan rumah sakit.
(1) Pipa tegak dan slang Kebakaran
Sistem pipa tegak ditentukan oleh ketinggian gedung, luas per lantai,
klasifikasi hunian, sistem sarana jalan ke luar, jumlah aliran yang
dipersyaratkan dan sisa tekanan, serta jarak sambungan selang dari
sumber pasokan air.
(2) Hidran Halaman
Hidran halaman diperlukan untuk pemadaman api dari luar bangunan
gedung. Sambungan slang ke hidran halaman harus memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh instansi kebakaran setempat.
(3) Sistem Sprinkler Otomatis
Sistem sprinkler otomatis harus dirancang untuk memadamkan
kebakaran atau sekurang-kurangnya mampu mempertahankan
kebakaran untuk tetap, tidak berkembang, untuk sekurang-kurangnya 30
menit sejak kepada sprinkler pecah.
(4) Pemadam Api Ringan (PAR)
Alat pemadam api ringan kimia (APAR) harus ditujukan untuk
menyediakan sarana bagi pemadaman api pada tahap awal. Konstruksi
APAR dapat dari jenis portabel (jinjing) atau beroda,
(5) Sistem Pemadam Kebakaran Khusus
Sistem pemadaman khusus yang dimaksud adalah sistem pemadaman
bukan portable (jinjing) dan beroperasi secara otomatis untuk
perlindungan dalam ruang-ruang dan atau penggunaan khusus.
Sistem pemadam khusus meliputi sistem gas dan sistem busa.
(6) Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran
Sistem deteksi dan alarm kebakaran berfungsi untuk mendeteksi secara
dini terjadinya kebakaran, baik secara otomatis maupun manual.
(7) Sistem Pencahayaan Darurat
Pencahayaan darurat di dalam rumah sakit diperlukan khususmya pada
keadaan darurat, misalnya tidak berfungsinya pencahayaan normal dari
PLN atau tidak dapat beroperasinya dengan segera daya siaga dari
generator.
(8) Tanda Arah
Bila petunjuk pintu keluar darurat tidak dapat terlihat secara langsung
dengan jelas oleh pengunjung atau pengguna bangunan, maka harus
dipasang tanda penunjuk dengan tanda panah menunjukkan arah, dan
dipasang di koridor, jalan menuju ruang besar (hall), lobi dan
semacamnya yang memberikan indikasi penunjukkan arah ke pintu
keluar darurat yang disyaratkan.
(9) Sistem Peringatan Bahaya
Sistem peringatan bahaya dapat juga difungsikan sebagai sistem
penguat suara (public address), diperlukan guna memberikan panduan
kepada penghuni dan tamu sebagai tindakan evakuasi atau
penyelamatan dalam keadaan darurat. Ini dimaksudkan agar penghuni
bangunan memperoleh informasi panduan yang tepat dan jelas.
5. Persyaratan Komunikasi Telepon Dalam Rumah sakit
Persyaratan komunikasi dalam rumah sakit dimaksudkan sebagai
penyediaan sistem komunikasi baik untuk keperluan internal bangunan maupun
untuk hubungan ke luar, pada saat terjadi kebakaran dan/atau kondisi darurat
lainnya. Termasuk antara lain: sistem telepon, sistem tata suara, sistem voice
evacuation, dan sistem panggil perawat.
Penggunaan instalasi tata suara pada waktu keadaan darurat dimungkinkan asal
memenuhi pedoman dan standar teknis yang berlaku.
(a) Sistem instalasi komunikasi telepon dan sistem tata komukasi gedung,
penempatannya harus mudah diamati, dioperasikan, dipelihara, tidak
membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan dan bagian
bangunan serta sistem instalasi lainnya, serta direncanakan dan dilaksanakan
berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan yang berlaku.
(b) Peralatan dan instalasi sistem komunikasi harus tidak memberi dampak, dan
harus diamankan terhadap gangguan seperti interferensi gelombang elektro
magnetik, dan lain-lain.
(c) Secara berkala dilakukan pengukuran/pengujian terhadap EMC (Electro
Magnetic Campatibility). Apabila hasil pengukuran terhadap EMC melampaui
ambang batas yang ditentukan, maka langka penanggulangan dan
pengamanan harus dilakukan.
(d) Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum mempunyai SNI, dapat
digunakan standar baku dan pedoman teknis yang diberlakukan oleh instansi
yang berwenang
(e) Tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada genangan air,
aman dan mudah dikerjakan.
(f) Ukuran lubang orang (manhole) yang melayani saluran masuk ke dalam
gedung untuk instalasi telepon minimal berukuran 1,50 m x 0,80 m dan harus
diamankan agar tidak menjadi jalan air masuk ke rumah sakit pada saat
hujan dll.
(g) Diupayakan dekat dengan kabel catu dari kantor telepon dan dekat dengan
jalan besar.
(h) Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal berjarak
0,10 m atau sesuai ketentuan yang berlaku.
(i) Ruang PABX/TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
(j) Ruang yang bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup dan tidak
boleh kena sinar matahari langsung, serta memenuhi persyaratan untuk
tempat peralatan.
(k) Tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas.
(l) Tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon.
(m) Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai dinding dan
lantai tahan asam, sirkulasi udara cukup dan udara buangnya harus dibuang
ke udara terbuka dan tidak ke ruang publik, serta tidak boleh kena sinar
matahari langsung.
6. Persyaratan Tata Suara Dalam Rumah sakit
(a) Setiap bangunan rumah sakit dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m keatas,
harus dipasang sistem tata suara yang dapat digunakan untuk menyampaikan
pengumuman dan instruksi apabila terjadi kebakaran atau keadaan darurat
lainnya.
(b) Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud pada butir a) di
atas harus menggunakan sistem khusus, sehingga apabila sistem tata suara
umum rusak, maka sistem telepon darurat tetap dapat bekerja.
(c) Kabel instalasi komunikasi darurat harus terpisah dari instalasi lainnya, dan
dilindungin terhadap bahaya kebakaran, atau terdiri dari kabel tahan api.
(d) Harus dilengkapi dengan sumber/pasokan daya listrik untuk kondisi normal
maupun pada kondisi daya listrik utama mengalami gangguan, dengan
kapasitas dan dapat melayani dalam waktu yang cukup sesuai ketentuan
yang berlaku.
(e) Persyaratan sistem komunikasi dalam gedung harus memenuhi:
1) UU No. 32 tahun 1999, tentang Telekomunikasi.
2) PP No. 52/2000, tentang Telekomunikasi Indonesia.
7. Instalasi Panggilan Perawat (Nurse Call)
(1) Peralatan sistem panggil perawat dimaksudkan untuk memberikan pelayanan
kepada pasien yang memerlukan bantuan perawat, baik dalam kondisi rutin
atau darurat.
(2) Sistem panggil perawat bertujuan menjadi alat komunikasi antara perawat dan
pasien dalam bentuk visual dan audible (suara), dan memberikan sinyal pada
kejadian darurat pasien.
8. Instalasi Proteksi Terhadap Bahaya Petir
Suatu instalasi proteksi petir dapat melindungi semua bagian dari
bangunan rumah sakit, termasuk manusia yang ada di dalamnya, dan instalasi serta
peralatan lainnya terhadap bahaya sambaran petir.
9. Sistem Kelistrikan
(1) Sistem tegangan rendah (TR) dalam gedung adalah 3 fase 220/380 Volt,
dengan frekuensi 50 Hertz. Sistem tegangan menengah (TM) dalam gedung
adalah 20 KV atau kurang, dengan frekuensi 50 Hertz, mengikuti ketentuan
yang berlaku.
Untuk Rumah Sakit yang memiliki kapasitas daya listrik tersambung dari PLN
minimal 200 KVA disarankan agar sudah memiliki sistem jaringan listrik
Tegangan Menengah 20 KV (jaringan listrik TM 20 KV), sesuai pedoman
bahwa Rumah Sakit Daerah Blitar mempunyai Kapasitas daya listrik 300
KVA s/d 600 KVA, dengan perhitungan 3 KVA per Tempat Tidur (TT).
(2) Instalasi listrik tegangan menengah tersebut antara lain :
a. Penyediaan bangunan gardu listrik rumah sakit (ukuran sesuai standar
gardu PLN).
b. Peralatan Transformator (kapasitas sesuai daya terpasang).
c. Peralatan panel TM 20 KV dan aksesorisnya.
d. Peralatan pembantu dan sistem pengamanan (grounding).
(3) Harus tersedia peralatan UPS (Uninterruptable Power Supply) untuk melayani
Kamar Operasi (Central Operating Theater), Ruang Perawatan Intensif
(Intensive Care Unit), Ruang Perawatan Intensif Khusus Jantung (Intensive
Cardiac Care Unit).
a. Harus tersedia Ruang UPS minimal 2 X 3 m2 (sesuai kebutuhan)
terletak di Gedung COT, ICU, ICCU dan diberi pendingin ruangan.
b. Kapasitas UPS setidaknya 30 KVA.
(4) Sistem Penerangan Darurat (emergency lighting) harus tersedia pada ruang-
ruang tertentu.
(5) Harus tersedia sumber listrik cadangan berupa diesel generator (Genset).
Genset harus disediakan 2 (dua) unit dengan kapasitas minimal 60% dari
jumlah daya terpasang pada masing-masing unit. Genset dilengkapi sistem
AMF dan ATS.
(6) Sistem kelistrikan RS Kelas C harus dilengkapi dengan transformator isolator
dan kelengkapan monitoring sistem IT kelompok 2E minimal berkapasitas 5
KVA untuk titik-titik stop kontak yang mensuplai peralatan-peralatan medis
penting (life support medical equipment).
(7) Sistem Pembumian (grounding system) harus terpisah antara grounding panel
gedung dan panel alat. Nilai grounding peralatan tidak boleh kurang dari 0,2
Ohm.
A.4.4.3. Persyaratan Kesehatan Bangunan Rumah Sakit
Persyaratan kesehatan rumah sakit meliputi persyaratan sistem
penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan rumah
sakit.
1. Persyaratan Sistem Penghawaan (Ventilasi)
(a) Setiap bangunan rumah sakit harus mempunyai ventilasi alami dan/atau
ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya.
(b) Bangunan rumah sakit harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada
pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk
kepentingan ventilasi alami.
(c) Jika ventilasi alami tidak mungkin dilaksanakan, maka diperlukan ventilasi
mekanis seperti pada bangunan fasilitas tertentu yang memerlukan
perlindungan dari udara luar dan pencemaran.
(d) Persyaratan teknis sistem ventilasi, kebutuhan ventilasi, mengikuti
Persyaratan Teknis berikut:
1) SNI 03 6572 - 2000 atau edisi terbaru; Tata cara perancangan sistem
ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan gedung.
2) SNI 03 6390 - 2000 atau edisi terbaru; Konservasi energi sistem tata
udara pada bangunan gedung
2. Persyaratan Sistem Pencahayaan
Setiap rumah sakit untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan
harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan/ mekanik,
termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.
(a) Rumah sakit tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan
pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.
(b) Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi rumah sakit
dan fungsi masing-masing ruang di dalam rumah sakit.
(c) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang
dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam rumah sakit dengan
mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi yang digunakan, dan
penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan.
(d) Pencahayaan di RS harus memenuhi standar kesehatan dalam
melaksanakan pekerjaannya sesuai standar intensitas cahaya sebagai berikut
:
TABEL 5.2. TABEL INDEKS PENCAHAYAAN MENURUT JENIS RUANG ATAU UNIT
INTENSITAS
NO. RUANG ATAU UNIT CAHAYA KKETERANGAN
(lux)
Ruang pasien
Warna cahaya
1 - saat tidak tidur 100 200
sedang
- saat tidur maks. 50
2 R. Operasi umum 300 500
Warna cahaya
3 Meja operasi 10.000 20.000 sejuk atau sedang
tanpa bayangan
4 Anastesi, pemulihan 300 500
5 Endoscopy, lab 75 100
6 Sinar X minimal 60
7 Koridor Minimal 100
8 Tangga Minimal 100 Malam hari
9 Administrasi/kantor Minimal 100
10 Ruang alat/gudang Minimal 200
11 Farmasi Minimal 200
12 Dapur Minimal 200
13 Ruang cuci Minimal 100
14 Toilet Minimal 100
R. Isolasi khusus penyakit Warna cahaya
15 0,1 0,5
Tetanus biru
16 Ruang luka bakar 100 200

3. Persyaratan Sanitasi
Persyaratan Sanitasi Rumah Sakit dapat dilihat pada Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit.
A) Persyaratan Air Bersih
(1) Harus tersedia air bersih yang cukup dan memenuhi syarat kesehatan,
atau dapat mengadakan pengolahan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(2) Tersedia air bersih minimal 500 lt/tempat tidur/hari.
(3) Air minum dan air bersih tersedia pada setiap tempat kegiatan yang
membutuhkan secara berkesinambungan.
(4) Tersedia penampungan air (reservoir) bawah atau atas.
(5) Distribusi air minum dan air bersih di setiap ruangan/kamar harus
menggunakan jaringan perpipaan yang mengalir dengan tekanan positif.
(6) Penyediaan Fasilitas air panas dan uap terdiri atas Unit Boiler, sistem
perpipaan dan kelengkapannya untuk distribusi ke daerah pelayanan.
(7) Dalam rangka pengawasan kualitas air maka RS harus melakukan
inspeksi terhadap sarana air minum dan air bersih minimal 1 (satu)
tahun sekali.
(8) Pemeriksaan kimia air minum dan atau air bersih dilakukan minimal 2
(dua) kali setahun (sekali pada musim kemarau dan sekali pada musim
hujan), titik sampel yaitu pada penampungan air (reservoir) dan keran
terjauh dari reservoir.
(9) Kualitas air yang digunakan di ruang khusus, seperti ruang operasi.
(10) RS yang telah menggunakan air yang sudam diolah seperti dari PDAM,
sumur bor dan sumber lain untuk keperluan operasi dapat melakukan
pengolahan tambahan dengan cartridge filter dan dilengkapi dengan
desinfeksi menggunakan ultra violet.
(11) Ruang Farmasi dan Hemodialisis : yaitu terdiri dari air yang dimurnikan
untuk penyiapan obat, penyiapan injeksi dan pengenceran dalam
hemodialisis.
(12) Tersedia air bersih untuk keperluan pemadaman kebakaran dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku.
(13) Sistem Plambing air bersih/minum dan air buangan/kotor mengikuti
persyaratan teknis sesuai SNI 03-6481-2000 atau edisi terbaru, Sistem
Plambing 2000.
B) Sistem Pengolahan dan Pembuangan Limbah
Persyaratan Pengolahan dan Pembuangan Limbah Rumah Sakit dalam
bentuk padat, cair dan gas, baik limbah medis maupun non-medis dapat
dilihat pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit.
C) Persyaratan Instalasi Gas Medik
Sistem gas medik dan vakum medik harus direncanakan dan dipasang
dengan mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya.
(a) Persyaratan ini berlaku wajib untuk fasilitas pelayanan kesehatan di
rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas hiperbarik, klinik bersalin dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
(b) Bila terdapat istilah gas medik atau vakum, ketentuan tersebut berlaku
wajib bagi semua sistem perpipaan untuk oksigen, nitrous oksida, udara
tekan medik, karbon dioksida, helium, nitrogen, vakum medik untuk
pembedahan, pembuangan sisa gas anestesi, dan campuran dari gas-
gas tersebut. Bila terdapat nama layanan gas khusus atau vakum,
maka ketentuan tersebut hanya berlaku bagi gas tersebut.
(c) Sistem yang sudah ada yang tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan ini
boleh tetap digunakan sepanjang pihak yang berwenang telah
memastikan bahwa penggunaannya tidak membahayakan jiwa.
(d) Potensi bahaya kebakaran dan ledakan yang berkaitan dengan sistem
perpipaan sentral gas medik dan sistem vakum medik harus
dipertimbangkan dalam perancangan, pemasangan, pengujian,
pengoperasian dan pemeliharaan sistem ini.
(e) Identifikasi dan pelabelan sistem pasokan terpusat (sentral) harus jelas.
(f) Silinder/tabung dan kontainer yang boleh digunakan harus yang telah
dibuat, diuji, dan dipelihara sesuai spesifikasi dan ketentuan dari pihak
berwenang.
(g) Isi silinder/tabung harus diidentifikasi dengan suatu label atau cetakan
yang ditempelkan yang menyebutkan isi atau pemberian warna pada
silinder/tabung sesuai ketentuan yang berlaku.
(h) Sebelum digunakan harus dipastikan isi silinder/tabung atau kontainer
dengan memperhatikan warna tabung, keterangan isi tabung yang
diemboss pada badan tabung, label (bila ada).
(i) Label tidak boleh dirusak, diubah atau dilepas, dan fiting penyambung
tidak boleh dimodifikasi.
(j) Pengoperasian sistem pasokan sentral.
1) Harus dilarang penggunaan adaptor atau fiting konversi untuk
menyesuaikan fiting khusus suatu gas ke fiting gas lainnya.
2) Hanya silinder gas medik dan perlengkapannya yang boleh
disimpan dalam ruangan tempat sistem pasokan sentral atau
silinder gas medik.
3) Harus dilarang penyimpanan bahan mudah menyala, silinder berisi
gas mudah menyala atau yang berisi cairan mudah menyala, di
dalam ruangan bersama silinder gas medik.
4) Dibolehkan pemasangan rak kayu untuk menyimpan silinder gas
medik.
5) Bila silinder terbungkus pada saat diterima, pembungkus tersebut
harus dibuang sebelum disimpan.
6) Tutup pelindung katup harus dipasang erat pada tempatnya bila
silinder sedang tidak digunakan.
7) Harus dilarang penggunaan silinder tanpa penandaan yang benar,
atau yang tanda dan fiting untuk gas spesifik tidak sesuai.
8) Unit penyimpan cairan kriogenik yang dimaksudkan memasok gas
ke dalam fasilitas harus dilarang digunakan untuk mengisi ulang
bejana lain penyimpan cairan.
(k) Perancangan dan pelaksanaan
Lokasi untuk sistem pasokan sentral dan penyimpanan gas-gas medik
harus memenuhi persyaratan berikut :
1) Dibangun dengan akses ke luar dan masuk lokasi untuk
memindahkan silinder, peralatan, dan sebagainya.
2) Dijaga keamanannya dengan pintu atau gerbang yang dapat
dikunci, atau diamankan dengan cara lain.
3) Jika di luar ruangan/bangunan, harus dilindungi dengan dinding
atau pagar dari bahan yang tidak dapat terbakar.
4) Jika di dalam ruangan/bangunan, harus dibangun dengan
menggunakan bahan interior yang tidak dapat terbakar atau sulit
terbakar, sehingga semua dinding, lantai, langit-langit dan pintu
sekurang-kurangnya mempunya tingkat ketahanan api 1 jam.
5) Dilengkapi dengan rak, rantai, atau pengikat lainnya untuk
mengamankan masing-masing silinder, baik yang terhubung
maupun tidak terhubung, penuh atau kosong, agar tidak roboh.
6) Dipasok dengan daya listrik yang memenuhi persyaratan sistem
kelistrikan esensial.
7) Apabila disediakan rak, lemari, dan penyangga, harus dibuat dari
bahan tidak dapat terbakar atau bahan sulit terbakar.
(l) Standar dan pedoman teknis.
1) Untuk sistem gas medik pada bangunan gedung, harus dipenuhi
SNI 03-7011-2004, tentang Keselamatan pada bangunan fasilitas
pelayanan kesehatan, atau edisi terakhir.
2) Dalam hal persyaratan diatas belum ada SNI-nya, dipakai Standar
baku dan ketentuan teknis yang berlaku.

D) Persyaratan Penyaluran Air Hujan


Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah, permeabilitas tanah, dan
ketersediaan jaringan drainase lingkungan/kota.
(a) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi dengan
sistem penyaluran air hujan.
(b) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diresapkan ke dalam
tanah pekarangan dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum
dialirkan ke jaringan drainase lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(c) Pemanfaatan air hujan diperbolehkan dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku.
(d) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain yang
dapat diterima, maka penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara
lain yang dibenarkan oleh instansi yang berwenang.
(e) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya
endapan dan penyumbatan pada saluran.
(f) Pengolahan dan penyaluran air hujan mengikuti persyaratan teknis
berikut:
1) SNI 03-2453-2002 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan.
2) SNI 03-2459-2002 atau edisi terbaru; Spesifikasi sumur resapan
air hujan untuk lahan pekarangan.
3) Tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem
penyaluran air hujan pada bangunan gedung.
A.4.4.4. Persyaratan Kenyamanan Bangunan Rumah Sakit
Persyaratan kenyamanan bangunan rumah sakit meliputi kenyamanan
ruang gerak dan hubungan antarruang, kenyamanan termal dalam ruang,
kenyamanan pandangan (visual), serta kenyamanan terhadap tingkat
getaran dan kebisingan.
1 Persyaratan Kenyamanan Ruang Gerak dalam Bangunan rumah sakit
(1) Umum
Persyaratan Kenyamanan Ruang Gerak dan Hubungan Antar Ruang
(a) Untuk mendapatkan kenyamanan ruang gerak dalam bangunan
rumah sakit, harus mempertimbangkan:
1) fungsi ruang, jumlah pengguna, perabot/peralatan,
aksesibilitas ruang, di dalam bangunan rumah sakit; dan
2) persyaratan keselamatan dan kesehatan.

(b) Untuk mendapatkan kenyamanan hubungan antarruang harus


mempertimbang kan :
1) fungsi ruang, aksesibilitas ruang, dan jumlah pengguna
dan perabot/ peralatan di dalam bangunan rumah sakit;
2) sirkulasi antarruang horizontal dan vertikal; dan
3) persyaratan keselamatan dan kesehatan.
(2) Persyaratan Teknis
Dalam hal persyaratan kenyamanan ruang gerak pada bangunan
rumah sakit belum mempunyai SNI, dapat digunakan standar baku
dan pedoman teknis yang diberlakukan oleh instansi yang
berwenang.

2. Persyaratan Kenyamanan Termal Dalam Ruang


(1) Umum
(a) Untuk kenyamanan termal dalam ruang di dalam bangunan
rumah sakit harus mempertimbangkan temperatur dan
kelembaban udara.
(b) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara
di dalam ruangan dapat dilakukan dengan alat pengkondisian
udara yang mempertimbangkan :
1) fungsi bangunan rumah sakit/ruang, jumlah pengguna,
letak geografis, orientasi bangunan, volume ruang, jenis
peralatan, dan penggunaan bahan bangunan;
2) kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan
3) prinsip-prinsip penghematan energi dan ramah lingkungan
(2) Persyaratan Teknis
Untuk kenyamanan termal pada bangunan gedung harus memenuhi
SNI 03-6572-2001 atau edisi terbaru; Tata cara perancangan sistem
ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan gedung.
3. Persyaratan Kenyamanan Pandangan (Visual)
(a) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan (visual) harus
mempertimbangkan kenyamanan pandangan dari dalam bangunan
ke luar dan dari luar bangunan ke ruang-ruang tertentu dalam
bangunan rumah sakit.
(b) Kenyamanan pandangan (visual) dari dalam bangunan ke luar harus
mempertimbangkan :
1) gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang-
dalam dan luar bangunan, dan rancangan bentuk luar
bangunan;
2) pemanfaatan potensi ruang luar bangunan rumah sakit.
(c) Kenyamanan pandangan (visual) dari luar ke dalam bangunan harus
mempertimbangkan :
1) rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar bangunan, dan
rancangan bentuk luar bangunan rumah sakit;
2) keberadaan bangunan rumah sakit yang ada dan/atau yang
akan ada di sekitarnya.
3) pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.
4. Kenyamanan Terhadap Tingkat Getaran
Kenyamanan terhadap getaran adalah suatu keadaan dengan tingkat
getaran yang tidak menimbulkan gangguan bagi kesehatan dan
kenyamanan seseorang dalam melakukan kegiatannya.
Getaran dapat berupa getaran kejut, getaran mekanik atau seismik baik
yang berasal dari penggunaan peralatan atau sumber getar lainnya baik
dari dalam bangunan maupun dari luar bangunan.

5. Persyaratan Kenyamanan Terhadap Kebisingan


(a) Kenyamanan terhadap kebisingan adalah keadaan dengan tingkat
kebisingan yang tidak menimbulkan gangguan pendengaran,
kesehatan, dan kenyamanan bagi seseorang dalam melakukan
kegiatan
(b) Gangguan kebisingan pada bangunan gedung dapat berisiko cacat
pendengaran. Untuk memproteksi gangguan tersebut perlu
dirancang lingkungan akustik di tempat kegiatan dalam bangunan
yang sudah ada dan bangunan baru.
(c) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada
bangunan rumah sakit harus mempertimbangkan jenis kegiatan,
penggunaan peralatan, dan/atau sumber bising lainnya baik yang
berada pada bangunan gedung maupun di luar bangunan rumah
sakit.
(d) Setiap bangunan rumah sakit dan/atau kegiatan yang karena
fungsinya menimbulkan dampak kebisingan terhadap lingkungannya
dan/atau terhadap bangunan rumah sakit yang telah ada, harus
meminimalkan kebisingan yang ditimbulkan sampai dengan tingkat
yang diizinkan.
(e) Untuk kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan rumah sakit
harus dipenuhi standar tata cara perencanaan kenyamanan terhadap
kebisingan pada bangunan gedung.
(f) Persyaratan kebisingan untuk masing-masing ruangan/ unit dalam
RS adalah sebagai berikut :
TABEL 5.3. TABEL INDEKS KEBISINGAN MENURUT JENIS RUANG ATAU UNIT3
MAKSIMUM KEBISINGAN
NO. RUANG ATAU UNIT (WAKTU PEMAPARAN 8
JAM DAN SATUAN dBA)
Ruang pasien
45
1 - saat tidak tidur
40
- saat tidur
2 R. Operasi umum 45
3 Anastesi, pemulihan 45
4 Endoscopy, lab 65
5 Sinar X 40
6 Koridor 40
7 Tangga 45
8 Kantor/Lobi 45
9 Ruang Alat/ Gudang 45
10 Farmasi 45
11 Dapur 78
12 Ruang Cuci 78
13 Ruang Isolasi 40
14 Ruang Poli Gigi 80

A.4.4.5. Persyaratan Kemudahan Bangunan Rumah Sakit


Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan horisontal dalam
rumah sakit, serta melengkapi fasilitas prasarana dalam pemanfaatan bangunan
rumah sakit.
1. Persyaratan Hubungan Horisontal dalam Rumah Sakit
(1) Umum
(a) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan rumah
sakit meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang
mudah, aman, dan nyaman bagi orang yang berkebutuhan
khusus, termasuk penyandang cacat.
(b) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas harus
mempertimbangkan tersedianya hubungan horizontal
antarruang dalam bangunan rumah sakit, akses evakuasi,
termasuk bagi orang yang berkebutuhan khusus, termasuk
penyandang cacat.

3Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan


RS.
(c) Kelengkapan prasarana disesuaikan dengan fungsi bangunan
rumah sakit.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Setiap bangunan rumah sakit harus memenuhi persyaratan
kemudahan hubungan horizontal berupa tersedianya pintu
dan/atau koridor yang memadai untuk terselenggaranya fungsi
bangunan rumah sakit tersebut.
(b) Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan
dipertimbangkan berdasarkan besaran ruang, fungsi ruang, dan
jumlah pengguna ruang.
(c) Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan dipertimbangkan
berdasarkan fungsi ruang dan aspek keselamatan.
(d) Ukuran koridor sebagai akses horizontal antarruang
dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi ruang, dan
jumlah pengguna.
2. Persyaratan Kemudahan Hubungan Vertikal dalam Bangunan Rumah
Sakit
(1) Umum
Setiap bangunan rumah sakit bertingkat harus menyediakan sarana
hubungan vertikal antar lantai yang memadai untuk terselenggaranya
fungsi bangunan rumah sakit tersebut berupa tersedianya tangga,
ramp, lift, tangga berjalan/eskalator, dan/atau lantai
berjalan/travelator.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus
berdasarkan fungsi bangunan rumah sakit, luas bangunan, dan
jumlah pengguna ruang, serta keselamatan pengguna
bangunan gedung.
(b) Setiap bangunan rumah sakit dengan ketinggian di atas lima
lantai harus menyediakan sarana hubungan vertikal berupa lif.
(c) Bangunan rumah sakit umum yang fungsinya untuk
kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi
usaha, maupun fungsi sosial dan budaya harus menyediakan
fasilitas dan kelengkapan sarana hubungan vertikal bagi orang
yang berkebutuhan khusus, termasuk penyandang cacat.
(d) Jumlah, kapasitas, dan spesifikasi lif sebagai sarana hubungan
vertikal dalam bangunan gedung harus mampu melakukan
pelayanan yang optimal untuk sirkulasi vertikal pada bangunan,
sesuai dengan fungsi dan jumlah pengguna bangunan rumah
sakit.
(e) Setiap bangunan rumah sakit yang menggunakan lif harus
tersedia lif kebakaran yang dimulai dari lantai dasar bangunan
(ground floor).
(f) Lif kebakaran dapat berupa lif khusus kebakaran atau lif
penumpang biasa atau lif barang yang dapat diatur
pengoperasiannya, sehingga dalam keadaan darurat dapat
digunakan secara khusus oleh petugas kebakaran.
5.7.3 Persyaratan Sarana Evakuasi
(1) Umum
Setiap bangunan rumah sakit harus menyediakan sarana evakuasi
bagi orang yang berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat
yang meliputi :
(a) sistem peringatan bahaya bagi pengguna,
(b) pintu keluar darurat, dan
(c) jalur evakuasi yang dapat menjamin pengguna bangunan
rumah sakit untuk melakukan evakuasi dari dalam bangunan
rumah sakit secara aman apabila terjadi bencana atau keadaan
darurat.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Untuk persyaratan sarana evakuasi pada bangunan rumah
sakit harus dipenuhi standar tata cara perencanaan sarana
evakuasi pada bangunan gedung.
(b) Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum
mempunyai SNI, dapat digunakan standar baku dan pedoman
teknis yang diberlakukan oleh instansi yang berwenang.
4. Persyaratan Aksesibilitas Penyandang Cacat
(1) Umum
Setiap bangunan rumah sakit, harus menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi
penyandang cacat dan lanjut usia masuk dan keluar ke dan dari
bangunan rumah sakit serta beraktivitas dalam bangunan rumah
sakit secara mudah, aman, nyaman dan mandiri.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Fasilitas dan aksesibilitas meliputi toilet, tempat parkir, telepon
umum, jalur pemandu, rambu dan marka, pintu, ram, tangga,
dan lif bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
(b) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan
fungsi, luas, dan ketinggian bangunan rumah sakit.
5. Persyaratan Prasarana/Sarana Umum
(1) Umum
(a) Guna memberikan kemudahan bagi pengguna bangunan
rumah sakit untuk beraktivitas di dalamnya, setiap bangunan
rumah sakit untuk kepentingan umum harus menyediakan
kelengkapan prasarana dan sarana pemanfaatan bangunan
rumah sakit, meliputi: ruang ibadah, toilet, tempat parkir, tempat
sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.
(b) Penyediaan prasarana dan sarana disesuaikan dengan fungsi
dan luas bangunan rumah sakit, serta jumlah pengguna
bangunan rumah sakit
(2) Persyaratan Teknis
Perencanaan sarana dan prasarana dalam bangunan rumah sakit
mengikuti:
(a) SNI 03-1735-2000 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
akses bangunan dan akses lingkungan untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
(b) SNI 03-1746-2000 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
dan pemasangan sarana jalan keluar untuk penyelamatan
terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
(c) SNI 03-6573-2001 atau edisi terbaru; Tata cara perancangan
sistem transportasi vertikal dalam gedung (lif).
(d) Ketentuan teknis Kelengkapan Prasarana dan Sarana
bangunan rumah sakit.
(e) Ketentuan teknis Prasarana dan Sarana pemanfaatan
Bangunan rumah sakit dan Kelengkapannya.
(f) Ketentuan teknis Ukuran, Konstruksi, Jumlah Fasilitas dan
Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat.
(g) Dalam hal persyaratan di atas belum mempunyai SNI, dapat
digunakan standar baku dan pedoman teknis yang diberlakukan
oleh instansi yang berwenang.
A.4.4.6. Uraian Bangunan Rumah Sakit
1. INSTALASI RAWAT JALAN
Fungsi Instalasi Rawat Jalan adalah sebagai tempat konsultasi,
penyelidikan, pemeriksaan dan pengobatan pasien oleh dokter ahli di bidang
masing-masing yang disediakan untuk pasien yang membutuhkan waktu singkat
untuk penyembuhannya atau tidak memerlukan pelayanan perawatan. Poliklinik
juga berfungsi sebagai tempat untuk penemuan diagnosa dini, yaitu tempat
pemeriksaan pasien pertama dalam rangka pemeriksaan lebih lanjut di dalam tahap
pengobatan penyakit.
Konsep dasar poliklinik pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Letak Poliklinik berdekatan dengan jalan utama, mudah dicapai dari bagian
administrasi, terutama oleh bagian rekam medis, berhubungan dekat dengan
apotek, bagian radiologi dan laboratorium.
2. Ruang tunggu di poliklinik, harus cukup luas. Diusahakan ada pemisahan
ruang tunggu pasien untuk penyakit infeksi dan non infeksi.
3. Sistem sirkulasi pasien dilakukan dengan satu pintu (sirkulasi masuk dan
keluar pasien pada pintu yang sama).
4. Poli-poli yang ramai sebaiknya tidak saling berdekatan.
5. Poli anak tidak diletakkan berdekatan dengan Poli Paru, sebaiknya Poli Anak
dekat dengan Poli Kebidanan.
6. Sirkulasi petugas dan sirkulasi pasien dipisahkan.
7. Pada tiap ruangan harus ada wastafel (air mengalir).
8. Letak poli jauh dari ruang incenerator, IPAL dan bengkel ME.
9. Bila konsep Rumah Sakit dengan Sterilisasi Sentral, tidak perlu ada ruang
sterilisasi, namun pada beberapa Poliklinik seperti Poli Gigi/THT/Bedah tetap
harus ada ruang sterilisasi, karena alat-alat yang digunakan harus langsung
disterilkan untuk digunakan kembali (bila pasien banyak).
Alur kegiatan pada instalasi rawat jalan dapat dilihat pada bagan alir berikut :

Pasien Datang tanpa Rujukan


Pasien Datang dengan Rujukan

Pendaftaran
Awal (pasien baru) / Ulang (& rekam medik)

R. Tunggu
Penunjang Medik:
- Laboratorium
- Radiologi Dokter
- Fisioterapi, dll R. Periksa Perawat
Poli umum /
spesialis
Dirujuk ke klinik
spesialis lain/ Alat
RS lain
Pasien
Staf Dirawat di Pulang
Alat Inst. Rawat
Inap
GAMBAR 5.15. ALUR KEGIATAN PADA INSTALASI RAWAT JALAN
2. INSTALASI GAWAT DARURAT
Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki
kemampuan :
Melakukan pemeriksaan awal kasuskasus gawat darurat
Melakukan resusitasi dan stabilisasi
Pelayanan di Unit Gawat Darurat rumah sakit harus dapat memberikan pelayanan
24 jam secara terus menerus 7 hari dalam seminggu.
Memiliki dokter spesialis empat besar yang siap panggil (on-call), dokter umum
yang siaga di tempat (on-site) dalam 24 jam yang memiliki kualifikasi pelayanan
GELS (General Emergency Life Support) dan atau ATLS + ACLS dan mampu
memberikan resusitasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, Circulation) serta
memiliki alat transportasi untuk rujukan dan komunikasi yang siaga 24 jam.
A. Program Pelayanan pada UGD :
True Emergency (Kegawatan darurat)
1. False Emergency (Kegawatan tidak darurat)
2. Cito Operation.
3. Cito/ Emergency High Care Unit (HCU).
4. Cito Lab.
5. Cito Radiodiagnostik.
6. Cito Darah.
7. Cito Depo Farmasi.
B. Pelayanan Kegawatdaruratan pada UGD :
1. Pelayanan Kegawatdaruratan Bedah
2. Pelayanan Kegawatdaruratan Obgyn
3. Pelayanan Kegawatdaruratan Anak
4. Pelayanan Kegawatdaruratan Penyakit Dalam
5. Pelayanan Kegawatdaruratan Kardiovaskuler
Konsep dasar rawat darurat pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Area IGD harus terletak pada area depan atau muka dari tapak RS.
2. Area IGD harus mudah dilihat serta mudah dicapai dari luar tapak rumah sakit
(jalan raya) dengan tanda-tanda yang sangat jelas dan mudah dimengerti
masyarakat umum.
3. Area IGD disarankan untuk memiliki pintu masuk kendaraan yang berbeda
dengan pintu masuk kendaraan ke area Instalasi Rawat Jalan/Poliklinik,
Instalasi rawat Inap serta Area Zona Servis dari rumah sakit.
4. Untuk tapak RS yang berbentuk memanjang mengikuti panjang jalan raya maka
pintu masuk kearea IGD harus terletak pada pintu masuk yang pertama kali
ditemui oleh pengguna kendaraan untuk masuk kearea RS.
5. Untuk bangunan RS yang berbentuk bangunan bertingkat banyak (Super Block
Multi Storey Hospital Building) yang memiliki ataupun tidak memiliki lantai
bawah tanah (Basement Floor) maka perletakan IGD harus berada pada lantai
dasar (Ground Floor) atau area yang memiliki akses langsung.
6. IGD disarankan untuk memiliki Area yang dapat digunakan untuk penanganan
korban bencana massal (Mass Disasster Cassualities Preparedness Area).
7. Disarankan pada area untuk menurunkan atau menaikan pasien (Ambulance
Drop-In Area) memiliki sistem sirkulasi yang memungkinkan ambulan bergerak
1 arah (One Way Drive / Pass Thru Patient System).
8. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Bedah Sentral.
9. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Rawat Inap Intensif
(ICU (Intensive Care Unit)/ ICCU (Intensive Cardiac Care Unit)/ HCU (High
Care Unit)).
10. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Kebidanan.
11. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Laboratorium.
12. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Instalasi Radiologi.
3. INSTALASI RAWAT INAP
Lingkup kegiatan di Ruang Rawat Inap rumah sakit meliputi kegiatan
asuhan dan pelayanan keperawatan, pelayanan medis, gizi, administrasi pasien,
rekam medis, pelayanan kebutuhan keluarga pasien (berdoa, menunggu pasien,
mandi, bab, dapur kecil/pantry, konsultasi medis).
Pelayanan kesehatan di Instalasi Rawat Inap mencakup antara lain :
1). Pelayanan keperawatan.
2). Pelayanan medik (Pra dan Pasca Tindakan Medik).
3). Pelayanan penunjang medik :
Konsultasi Radiologi.
Pengambilan Sample Laboratorium.
Konsultasi Anestesi.
Gizi (Diet dan Konsultasi).
Farmasi (Depo dan Klinik).
Rehab Medik (Pelayanan Fisioterapi dan Konsultasi).
Konsep dasar rawat inap pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
Perletakan ruangannya secara keseluruhan perlu adanya hubungan antar
ruang dengan skala prioritas yang diharuskan dekat dan sangat berhubungan/
membutuhkan.
Kecepatan bergerak merupakan salah satu kunci keberhasilan perancangan,
sehingga blok unit sebaiknya sirkulasinya dibuat secara linier/lurus
(memanjang).
Konsep Rawat Inap yang disarankan Rawat Inap Terpadu (Integrated Care)
untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan ruang.
Apabila Ruang Rawat Inap tidak berada pada lantai dasar, maka harus ada
tangga landai (Ramp) atau Lift Khusus untuk mencapai ruangan tersebut.
Bangunan Ruang Rawat Inap harus terletak pada tempat yang tenang (tidak
bising), aman dan nyaman tetapi tetap memiliki kemudahan aksesibilitas dari
sarana penunjang rawat inap.
Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ruangan.
Alur petugas dan pengunjung dipisah.
Masing-masing ruang Rawat Inap 4 spesialis dasar mempunyai ruang isolasi.
Ruang Rawat Inap anak disiapkan 1 ruangan neonatus.
Lantai harus kuat dan rata tidak berongga, bahan penutup lantai dapat terdiri
dari bahan vinyl yang rata atau terasso keramik dengan nat yang rata sehingga
abu dari kotoran-kotoran tidak tertumpuk, mudah dibersihkan, bahan tidak
mudah terbakar.
Pertemuan dinding dengan lantai disarankan berbentuk lengkung agar
memudahkan pembersihan dan tidak menjadi tempat sarang debu/kotoran.
Plafon harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan debu/kotoran
lain.
Tipe R. Rawat Inap adalah VIP, Kelas I (2 tempat tidur), Kelas II (4 tempat tidur)
dan Kelas III (6 tempat tidur)
Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan seperti :
- Pasien yang menderita penyakit menular.
- Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau (seperti penyakit
tumor, ganggrein, diabetes, dsb).
- Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam ruangan)
Nurse Station harus terletak di pusat blok yang dilayani, agar perawat dapat
mengawasi pesiennya secara efektif, maksimum melayani 25 tempat tidur.
Alur kegiatan pada instalasi rawat inap dapat dilihat pada bagan alir berikut
:
4. INSTALASI PERAWATAN INTENSIF (ICU)
Merupakan instalasi untuk perawatan pasien yang dalam keadaan sakit
berat sesudah operasi berat yang memerlukan secara intensif pemantauan ketat
dan tindakan segera. Instalasi ICU (Intensive Care Unit) merupakan unit pelayanan
khusus di rumah sakit yang menyediakan pelayanan yang komprehensif dan
berkesinambungan selama 24 jam.
1. Letak bangunan instalasi ICU harus berdekatan dengan instalasi gawat
darurat, laboratorium, instalasi radiologi dan instalasi bedah sentral.
2. Harus bebas dari gelombang elektromagnetik dan tahan terhadap getaran.
3. Gedung harus terletak pada daerah yang tenang.
4. Temperatur ruangan harus terjaga tetap dingin.
5. Aliran listrik tidak boleh terputus.
6. Harus tersedia pengatur kelembaban udara.
7. Disarankan sirkulasi udara yang dikondisikan seluruhnya udara segar (fresh
air).
8. Perlu disiapkan titik grounding untuk peralatan elektrostatik.
9. Tersedia aliran Gas Medis (O2, udara bertekanan dan suction).
10. Pintu kedap asap & tidak mudah terbakar, terdapat penyedot asap bila terjadi
kebakaran.
11. Terdapat pintu evakuasi yang luas dengan fasilitas ramp apabila letak
instalasi ICU tidak pada lantai dasar.
12. Ruang ICU/ICCU sebaiknya kedap api (tidak mudah terbakar baik dari
dalam/dari luar).
13. Pertemuan dinding dengan lantai dan pertemuan dinding dengan dinding tidak
boleh berbentuk sudut/harus melengkung agar memudahkan pembersihan
dan tidak menjadi tempat sarang debu dan kotoran.
5. INSTALASI KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN (OBSTETRI DAN
GINEKOLOGI)
Pelayanan yang terdapat pada Fasilitas Kebidanan dan Penyakit
Kandungan Rumah Sakit Umum Daerah Srengattipe B Kabupaten Blitar meliputi :
1. Pelayanan persalinan.
Pelayanan persalinan meliputi : pemeriksaan pasien baru, asuhan persalinan
kala I, asuhan persalinan kala II (pertolongan persalinan), dan asuhan bayi baru
lahir.
2. Pelayanan nifas.
Pelayanan nifas meliputi : pelayanan nifas normal dan pelayanan nifas
bermasalah (post sectio caesaria, infeksi, pre eklampsi/eklampsi).
3. Pelayanan gangguan kesehatan reproduksi/penyakit kandungan.
Pelayanan gangguan kesehatan reproduksi penyakit kandungan meliputi
pelayanan keguguran, penyakit kandungan dan kelainan kehamilan.
4. Pelayanan tindakan/operasi kebidanan
Pelayanan tindakan/operasi kebidanan adalah untuk memberikan tindakan,
misalnya ekserpasi polip vagina, operasi sectio caesaria, operasi myoma uteri,
dll. Kegiatan ini dilakukan pada ruang operasi yang berada di Instalasi Bedah
Sentral dan baru dapat dilaksanakan pada Instalasi Kebidanan apabila telah
memiliki peralatan operasi yang memadai (misalnya: peralatan anaestesi, meja
operasi, monitor pasien serta lampu operasi).
5. Pelayanan KB (Keluarga Berencana).
Dalam rangka meningkatkan kesehatan ibu dan anak telah ditetapkan bahwa
Sarana Pelayanan Kesehatan Kabupaten/Kota Bahwa 75% RS di Kab/Kota
menyelenggarakan PONEK (penambahan ruangan untuk Emergency Ibu &
Anak).
Konsep dasar instalasi Kebidanan dan Kandungan pada prinsipnya ditetapkan
sebagai berikut :
1. Letak bangunan instalasi kebidanan dan penyakit kandungan harus mudah
dicapai, disarankan berdekatan dengan instalasi gawat darurat, ICU dan
Instalasi Bedah Sentral, apabila tidak memiliki ruang operasi atau ruang
tindakan yang memadai.
2. Bagunan harus terletak pada daerah yang tenang/ tidak bising.
3. Ruang bayi dan ruang pemulihan ibu disarankan berdekatan untuk
memudahkan ibu melihat bayinya, tapi sebaiknya dilakukan dengan sistem
rawat gabung.
4. Memiliki sistem sirkulasi udara yang memadai dan tersedia pengatur
kelembaban udara untuk kenyamanan termal.
5. Terdapat pintu evakuasi yang luas dengan fasilitas ramp apabila letak instalasi
kebidanan dan penyakit kandungan tidak pada lantai dasar.
6. Harus disediakan pintu ke luar tersendiri untuk jenazah dan bahan kotor yang
tidak terlihat oleh pasien dan pengunjung.
6. INSTALASI BEDAH SENTRAL (COT/Central Operation Theatre)
Instalasi bedah, adalah suatu unit khusus di rumah sakit yang berfungsi
sebagai tempat untuk melakukan tindakan pembedahan secara efektif maupun
akut, yang membutuhkan kondisi steril dan kondisi khusus lainnya.
1. Jalan masuk barang-barang steril harus terpisah dari jalan keluar barang-barang
& pakaian kotor.
1. Pembagian daerah sekitar kamar bedah:
a. Daerah Publik, artinya daerah yang boleh dimasuki oleh semua orang
tanpa syarat khusus.
Daerah ini misalnya : ruang tunggu, koridor, selasar kamar bedah.
b. Daerah Semi Publik, artinya daerah ini hanya boleh dimasuki oleh orang-
orang tertentu saja, yaitu para petugas, dan sudah ada pembatasan
tentang jenis pakaian yang dipakai petugas-petugas ini (pakaian khusus
atau lepas-sandal/sepatu, dan sebagainya).
c. Daerah ASEPTIK, yaitu daerah kamar bedah sendiri, yang hanya boleh
dimasuki oleh orang-orang yang langsung ada hubungannya dengan
kegiatan pembedahan saat itu, umumnya dianggap daerah yang harus
dijaga ke-sucihama-annya. Di daerah ini sering masih ada istilah
tambahan: yaitu apa yang disebut daerah HIGH-ASEPTIC, yaitu
dimaksudkan dengan daerah tempat dilakukannya pembedahan dan
sekitarnya (lapangan bedah).
2. Setiap 2 kamar operasi harus dilayani oleh setidaknya 1 ruang scrub up.
3. Harus disediakan pintu ke luar tersendiri untuk jenazah dan bahan kotor yang
tidak terlihat oleh pasien dan pengunjung.
4. Persyaratan ruang operasi :
a. Pintu kamar operasi yang ideal harus selalu tertutup selama operasi.
b. Pergantian udara yang dianjurkan sekitar 18-25 kali/jam.
c. Tekanan udara yang positif di dalam kamar pembedahan, dengan demikian
akan mencegah terjadinya infeksi airborne.
d. Sistem AC Sentral, suhu kamar operasi yang ideal 26 280C yang harus
terjaga kestabilannya dan harus menggunakan filter absolut untuk
menjaring mikroorganisme.
e. Kelembaban ruang yang dianjurkan 70% (jika menggunakan bahan
anaestesi yang mudah terbakar, maka kelembaban maksimum 50%).
f. Penerangan alam menggunakan jendela mati, yang diletakkan dengan
ketinggian diatas 2 m.
g. Lantai harus kuat dan rata atau ditutup dengan vinyl yang rata atau teras
sehingga debu dari kotoran-kotoran tidak tertumpuk, mudah dibersihkan,
bahan tidak mudah terbakar.
h. Pertemuan dinding dengan lantai dan dinding dengan dinding harus
melengkung agar mudah dibersihkan dan tidak menjadi tempat sarang abu
dan kotoran.
i. Plafon harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan
debu/kotoran lain.
j. Pintu harus yang mudah dibuka dengan sikut, untuk mencegah terjadinya
nosokomial.
k. Harus ada kaca tembus pandang di dinding ruang operasi yang
menghadap pada sisi dinding tempat ahli bedah mencuci tangan.
7. INSTALASI FARMASI (PHARMACY)
Unit Farmasi pada Rumah Sakit direncanakan mampu untuk melakukan
pelayanan :
1. Melakukan perencanaan, pengadaan dan penyimpanan obat, alat kesehatan
reagensia, radio farmasi, gas medik sesuai formularium RS.
2. Melakukan kegiatan peracikan obat sesuai permintaan dokter baik untuk pasien
rawat inap maupun pasien rawat jalan.
3. Pendistribusian obat, alat kesehatan, regensia radio farmasi & gas medis.
4. Memberikan pelayanan informasi obat dan melayani konsultasi obat.
5. Mampu mendukung kegiatan pelayanan unit kesehatan lainnya selama 24 jam.
Konsep dasar farmasi pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
Lokasi instalasi farmasi harus menyatu dengan sistem pelayanan RS.
Antara fasilitas untuk penyelenggaraan pelayanan langsung kepada pasien,
distribusi obat dan alat kesehatan dan manajemen dipisahkan.
Harus disediakan penanganan mengenai pengelolaan limbah khusus sitotoksis
dan obat berbahaya untuk menjamin keamanan petugas, pasien dan
pengunjung.
Harus disediakan tempat penyimpanan untuk obat-obatan khusus seperti
Ruang Administrasiuntuk obat yang termolabil, narkotika dan obat psikotropika
serta obat/ bahan berbahaya.
Gudang penyimpanan tabung gas medis (Oksigen dan Nitrogen) Rumah Sakit
diletakkan pada gudang tersendiri (di luar bangunan instalasi farmasi).
Tersedia ruang khusus yang memadai dan aman untuk menyimpan dokumen
dan arsip resep.
8. INSTALASI RADIOLOGI
Radiologi adalah ilmu kedokteran yang menggunakan teknologi pencitraan
(imaging technologies) untuk mendiagnosa dan pengobatan penyakit. Merupakan
cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan penggunaan sinar-X (X-Ray) yang
dipancarkan oleh pesawat sinar-X atau peralatan-peralatan radiasi lainnya dalam
rangka memperoleh informasi visual sebagai bagian dari pencitraan/imejing
kedokteran (medical imaging).
Instalasi Radiologi melakukan pelayanan sesuai kebutuhan dan permintaan
dari unit-unit kesehatan lain di RSU tersebut. Unit Radiologi dapat pula melayani
permintaan dari luar.
Pelayanan Radiologi pada Rumah Sakit Daerah Blitar adalah memberikan
pelayanan radiodiagnostik non invasif dengan dan tanpa kontras, yaitu :
1. Radiodiagnostik (non invasif)
a. Non Kontras
Tulang-tulang
Toraks
Jaringan lunak
Abdomen
b. Dengan Kontras
IVP
Cholecistografi
Fistulografi
Ceptografi
Histero Salfingografi
Esofagografi
Maag duodenografi
Colon inloop (barium enema)
Cor anaupe
2. Pemeriksaan USG untuk kelainan-kelainan abdominal, kebidanan dan
penyakit kandungan.
3. Mampu mendukung kegiatan unit lainnya selama 24 jam sehari dan 7 hari
dalam seminggu.
Konsep dasar radiologi pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
Lokasi ruang radiologi mudah dicapai, berdekatan dengan instalasi gawat
darurat, laboratorium, ICU, dan instalasi bedah sentral.
Sirkulasi bagi pasien dan pengantar pasien disarankan terpisah dengan
sirkulasi staf.
Ruang konsultasi dilengkapi dengan fasilitas untuk membaca film.
Dinding/pintu mengikuti persyaratan khusus sistem labirin proteksi radiasi.
Ruangan gelap dilengkapi exhauster.
Persyaratan pengkondisian udara :
O
a. Suhu sejuk dan nyaman lingkungan ialah pada 22 ~ 26 C dengan
tekanan seimbang.
b. Kelembaban udara pada ruang radiasi/pemeriksaan/penyinaran ialah
antara 45~60%.
Tersedia pengelolaan limbah radiologi khusus.
9. INSTALASI STERILISASI PUSAT (CSSD/CENTRAL SUPPLY
STERILIZATION DEPARTEMEN)
Instalasi Sterilisasi Pusat (CSSD) mempunyai kegiatan mencuci dan
mensterilkan (menghilangkan semua mikroorganisme baik dengan cara fisik
maupun kimiawi) barang/ bahan seperti Instrumen kedokteran, sarung tangan, kasa/
pembalut/ linen.
Sistem ini merupakan salah satu program pengendalian infeksi di rumah
sakit, dimana merupakan suatu keharusan untuk melindungi pasien dari kejangkitan
infeksi.
Kegiatan yang termasuk dalam lingkup instalasi CSSD adalah sebagai
berikut:
1. Menerima bahan, terdiri dari
a. Barang/linen/bahan perbekalan baru dari instalasi farmasi yang perlu
disterilisasi.
b. Instrumen dan linen yang akan digunakan ulang (reuse).
2. Mensortir, menghitung dan mencatat volume serta jenis bahan, barang dan
instrumen yang diserahkan oleh ruang/unit Instalasi Rumah Sakit Umum.
3. Melaksanakan proses sterilisasi.
Dekontaminasi
Proses fisik atau kimia untuk mengurangi dan atau menghilangkan
kontaminasi pada orang, peralatan, bahan, dan ruang oleh mikroba yang
berbahaya bagi kehidupan, sehingga aman untuk proses-proses
selanjutnya.
Pengemasan
Membungkus, mengemas dan menampung alat-alat yang dipakai untuk
sterilisasi, penyimpanan dan pemakaian. Tujuan pengemasan adalah
mnjaga keamanan bahan agar tetap dalam kondisi steril.
4. Menyerahkan dan mencatat pengambilan barang steril oleh ruang/unit /Instalasi
Rumah Sakit Umum yang membutuhkan.
10. INSTALASI LABORATORIUM
Laboratorium direncanakan mampu melayani tiga bidang keahlian yaitu
patologi klinik, patologi anatomi dan forensik sampai batas tertentu dari pasien
rawat inap, rawat jalan serta rujukan dari rumah sakit umum lain, Puskesmas atau
Dokter Praktek Swasta.
Pemeriksaan laboratorium pada Rumah Sakit Daerah Blitar adalah :
1. Patologi klinik (Hematologi, analisa urine dan tinja, kimia klinik, serologi/
immunologi, Mikrobiologi (secara terbatas)).
2. Diagnostik patologi, melakukan pemeriksaan lengkap untuk histopatologi,
potong beku, sitopatologi dan sitologi.
3. Forensik dapat melakukan perawatan mayat dan bedah mayat.
Pelayanan laboratorium tersebut dilengkapi pula oleh fasilitas sebagai berikut:
Blood Sampling dan Bank Darah
Administrasi penerimaan spesimen
Gudang regensia & bahan kimia
Fasilitas pembuangan limbah
Perpustakaan, atau setidaknya rak-rak buku
Konsep dasar laboratorium pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
Dinding dilapisi oleh bahan yang mudah dibersihkan, tidak licin dan kedap air
setinggi 1,5 m dari lantai (misalnya dari bahan keramik atau porselen).
Lantai dan meja kerja laboratorium dilapisi bahan yang tahan terhadap bahan
kimia dan getaran serta tidak mudah retak.
Akses masuk petugas dengan pasien/pengunjung disarankan terpisah.
Pada tiap-tiang ruang laboratorium dilengkapi sink (wastafel) untuk cuci
tangan dan tempat cuci alat
Harus mempunyai instalasi pengolahan limbah khusus.
11. INSTALASI REHABILITASI MEDIK
Pelayanan Rehabilitasi Medik bertujuan memberikan tingkat pengembalian
fungsi tubuh semaksimal mungkin kepada penderita sesudah kehilangan/
berkurangnya fungsi dan kemampuan yang meliputi, upaya pencegahan/
penanggulangan, pengembalian fungsi dan mental pasien.
Lingkup pelayanan Instalasi Rehabilitasi Medik pada Rumah Sakit Daerah
Blitar mencakup :
1. Rehabilitasi fisik
Rehabilitasi sistem kardiovaskular
Rehabilitasi sistem pernafasan
Rehabilitasi sistem neuromuskuler dan lokomotor
2. Rehabilitasi Mental
3. Rehabilitasi Sosial
Pada dasarnya tata ruang Unit Rehabilitasi Medik ditetapkan atas dasar:
1. Lokasi mudah dicapai oleh pasien, disarankan letaknya dekat dengan instalasi
rawat jalan/ poliklinik dan rawat inap.
2. Ruang tunggu dapat dicapai dari koridor umum dan dekat pada loket
pendaftaran, pembayaran dan administrasi.
3. Disarankan akses masuk untuk pasien terpisah dari akses masuk staf.
4. Disarankan menggunakan sistem sirkulasi udara/ ventilasi udara alami.
5. Untuk pasien yang menggunakan kursi roda disediakan toilet khusus yang
memiliki luasan cukup untuk bergeraknya kursi roda.
12. BAGIAN ADMINISTRASI DAN KESEKRETARIATAN RUMAH SAKIT
Suatu bagian dari rumah sakit tempat dilaksanakannya manajemen rumah
sakit. Terdiri dari :
Dewan Direksi RS
Komite Medis
Seksi Keperawatan
Seksi Pelayanan
Seksi Keuangan dan Program
Kesekretariatan dan Rekam Medis
Suatu sub-bagian dari Kesekretariatan yang merekam dan menyimpan berkas-
berkas jati diri, riwayat penyakit, hasil pemeriksaan dan pengobatan pasien.
Sistem rekam medik yang diterapkan di rumah sakit umum adalah sentralisasi,
sehingga :
1. Setiap pasien hanya akan memiliki 1 nomor.
2. Tempat penyimpanan berkas rekam medik pasien rawat jalan dan rawat
inap menjadi satu.
Satuan Pengawasan Internal (SPI)
Penempatan Administrasi sedapat mungkin mudah dicapai dan dapat
berhubungan langsung dengan poliklinik.
13. PEMULASARAAN JENAZAH RUMAH SAKIT
Fungsi Ruang Jenazah adalah :
1. Tempat meletakkan/penyimpanan sementara jenazah sebelum diambil
keluarganya.
2. Tempat memandikan/dekontaminasi jenazah.
3. Tempat mengeringkan jenazah setelah dimandikan
4. Otopsi jenazah.
5. Ruang duka dan pemulasaraan.
Konsep dasar pemulasaraan jenasah pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Kapasitas ruang jenazah minimal memiliki jumlah lemari pendingin 1% dari
jumlah tempat tidur (pada umumnya 1 lemari pendingin dapat menampung 4
jenazah) atau tergantung kebutuhan.
2. Ruang jenazah disarankan mempunyai akses langsung dengan beberapa
instalasi lain yaitu instalasi gawat darurat, Instalasi Kebidanan dan Penyakit
Kandungan, Instalasi Rawat Inap, Instalasi Bedah Sentral, dan Instalasi
ICU/ICCU.
3. Area tertutup, tidak dapat diakses oleh orang yang tidak berkepentingan.
4. Area yang merupakan jalur jenazah disarankan berdinding keramik, lantai
kedap air, tidak berpori, mudah dibersihkan.
5. Akses masuk-keluar jenazah menggunakan daun pintu ganda/double fold.
6. Memiliki sistem pembuangan limbah khusus.
14. INSTALASI GIZI/DAPUR
Sistem pelayanan dapur yang diterapkan di rumah sakit adalah sentralisasi
kecuali untuk pengolahan formula bayi. Instalasi Gizi/ Dapur mempunyai fungsi
untuk mengolah, mengatur makanan pasien setiap harinya, serta konsultasi gizi.
Konsep dasar instalasi gizi pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Mudah dicapai, dekat dengan Instalasi Rawat Inap sehingga waktu
pendistribusian makanan bisa merata untuk semua pasien, terutama pasien
rawat inap.
2. Letak dapur diatur sedemikian rupa sehingga kegaduhan (suara) dari dapur
tidak mengganggu ruangan disekitarnya.
3. Tidak dekat dengan tempat pembuangan sampah dan kamar jenazah.
4. Mempunyai jalan dan pintu masuk sendiri.
15. INSTALASI PENCUCIAN LINEN (LAUNDRY)
Laundry adalah tempat pencucian linen yang dilengkapi dengan sarana
penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan desinfektan, mesin uap (steam boiler),
pengering, meja, dan mesin setrika.
Kegiatan pencucian linen terdiri dari :
1. Pengumpulan
a. Pemilahan antara linen infeksius dan non-infeksius dimulai dari sumber dan
memasukkan linen ke dalam kantong plastic sesuai jenisnya serta diberi
label.
b. Menghitung dan mencatat linen di ruangan.
2. Penerimaan
a. Mencatat linen yang diterima dan telah terpilah antara infeksius dan non-
infeksius.
b. Linen dipilah berdasarkan tingkat kekotorannya.
3. Pencucian
a. Menimbang berat linen untuk menyesuaikan dengan kapasitas mesin cuci
dan kebutuhan deterjen dan desinfektan.
b. Membersihkan linen kotor dari tinja, urin, darah, dan muntahan kemudian
merendamnya dengan menggunakan desinfektan.
c. Mencuci dikelompokkan berdasarkan tingkat kekotorannya.
4. Pengeringan
5. Penyetrikaan
6. Penyimpanan
a. Linen harus dipisahkan sesuai dengan jenisnya.
b. Linen baru yang diterima ditempatkan di lemari bagian bawah.
c. Pintu lemari selalu tertutup.
7. Distribusi dilakukan berdasarkan kartu tanda terima dari petugas penerima,
kemudian petugas menyerahkan linen bersih kepada petugas ruangan sesuai
kartu tanda terima.
8. Pengangkutan
a. Kantong untuk membungkus linen bersih harus dibedakan dengan kantong
untuk membungkus linen kotor.
b. Menggunakan kereta dorong yang berbeda warna dan tertutup antara linen
bersih dan linen kotor. Kereta dorong harus dicuci dengan desinfektan
setelah digunakan mengangkut linen kotor.
c. Waktu pengangkutan linen bersih dan kotor tidak boleh dilakukan
bersamaan.
d. Linen bersih diangkut dengan kereta dorong yang berbeda warna.
e. RS yang tidak mempunyai laundry tersendiri, pengangkutannya dari dan ke
tempat laundry harus menggunakan mobil khusus.
Konsep dasar laundry pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran yang memadai, air
panas untuk desinfeksi dengan desinfektan yang ramah terhadap lingkungan.
Suhu air panas mencapai 700C dalam waktu 25 menit (atau 950C dalam waktu
10 menit) untuk pencucian pada mesin cuci.
2. Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran
pembuangan air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-
jenis linen yang berbeda.
3. Tersedia saluran air limbah tertutup yang dilengkapi dengan pengolahan awal (;
pre-treatment) khusus laundry sebelum dialirkan ke IPAL RS.
4. Untuk linen non-infeksius (misalnya dari ruang-ruang administrasi perkantoran)
dibuatkan akses ke ruang pencucian tanpa melalui ruang dekontaminasi.
5. Tidak disarankan untuk mempunyai tempat penyimpanan linen kotor.
6. Standar kuman bagi linen bersih setelah keluar dari proses tidak mengandung 6
x 103 spora spesies Bacillus per inci persegi.
16. INSTALASI PEMELIHARAAN SARANA/BENGKEL MEKANIKAL DAN
ELEKTRIKAL (WORKSHOP)
Tugas pokok dan fungsi yang harus dirangkum unit workshop adalah,
sebagai berikut :
1. Pemeliharaan dan perbaikan ringan pada :
Peralatan medik (Optik, elektromedik, mekanis dll)
Peralatan penunjang medik
Peralatan rumah tangga dari metal/ logam (termasuk tempat tidur)
Peralatan rumah tangga dari kayu
Saluran dan perpipaan
Listrik dan elektronik
2. Kegiatan perbaikan dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut :
Laporan dari setiap unit yang mengalami kerusakan alat
Peralatan diteliti tingkat kerusakannya untuk mengetahui tingkat perbaikan
yang diperlukan kepraktisan teknis pelaksanaan perbaikannya (apakah
cukup diperbaiki ditempatnya, atau harus dibawa ke ruang workshop)
Analisa kerusakan
Proses pengadaan komponen/suku cadang
Pelaksanaan perbaikan/pemasangan komponen
Perbaikan bangunan ringan
Listrik/ Elektronik
Telepon/Audio Visual.
Terletak jauh dari daerah perawatan dan gedung penunjang medik,
sebaiknya diletakan di daerah servis karena banyak menimbulkan kebisingan.
A.4.4.8. Evaluasi Pasca Huni Bangunan Rumah Sakit Pare
Fasilitas Bangunan Rumah Sakit Pare sekarang berada dalam tahap
penghunian dan pemanfaatan. Dan karenanya, sesungguhnya sangat diperlukan
evaluasi terhadap fasilitas yang ada sekarang, yang lazim disebut dengan evaluasi
pasca huni atau EPH (post occupancy evaluation/POE). Tahap evaluasi pasca huni
adalah tahap yang sangat penting untuk melihat kesesuaian antara kondisi
sekarang dengan pola-pola pemanfaatan oleh perilaku manusia.
Kegunaan evaluasi pasca huni terbagi dalam 3 jangka waktu, yang antara
lain adalah:
1. Kegunaan Jangka Pendek; meliputi peningkatan dalam hal-hal seperti:
identifikasi masalah dan solusi dalam manajemen fasilitas, manajemen fasilitas
yang proaktif terhadap aspirasi pengguna, peningkatan pemanfaatan ruang dan
umpan balik terhadap kinerja bangunan, peningkatan sikap pengguna melalui
keterlibatan dalam proses evaluasi, pemahaman implikasi kinerja dalam
kaitannya dengan ketersediaannya anggaran, serta proses pengambilan
keputusan yang lebih rasional dan objektif.
2. Kegunaan Jangka Menengah; meliputi peningkatan dalam hal-hal seperti:
kemampuan pengembangan fasilitas sesuai dengan pertumbuhan organisasi,
penghematan biaya dalam proses pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan
serta peningkatan usia bangunan, akuntabilitas kinerja bangunan oleh semua
bangunan.
3. Kegunaan Jangka Panjang; meliputi peningkatan dalam hal-hal berikut: kinerja
fasilitas dalam jangka panjang, perbaikan basis data, standar dan kriteria untuk
perancangan fasilitas, serta perbaikan sistem penilaian fasilitas melalui
kuantifikasi.
Jenis Kegiatan dalam evaluasi pasca huni akan tergantung pada interaksi
antar komponen dalam proses evaluasi pasca huni:
a) Kriteria Kinerja; yaitu Teknikal, Fungsional dan Behavioral. Terdapat beberapa
kriteria yang perlu diikuti, antara lain Standar Fasilitas Kesehatan, Standar
Arsitektural untuk Fasilitas Kesehatan, khususnya Fasilitas Kesehatan, maupun
hasil-hasil penelitian mengenai fasilitas kesehatan komunitas seperti Fasilitas
Kesehatan.
b) Pengguna; yaitu Individu, Kelompok dan Organisasi. Meliputi penyedia jasa
dalam Fasilitas Kesehatan (pengelola, dokter, paramedis dan manajemen)
maupun pengguna jasa Fasilitas Kesehatan (individu maupun kelompok
masyarakat).
c) Seting; yaitu Ruang, Bangunan dan Fasilitas. Perlu juga ditinjau komponen-
komponen seting Fasilitas Kesehatan yang terdiri atas berbagai unit, bagian
ataupun kelompok fasilitas tertentu.
Selain itu, evaluasi pasca huni juga memiliki tingkatan kecermatan sesuai
dengan kebutuhan penggunanya, yang meliputi:
1) Evaluasi Pasca Huni Indikatif
2) Evaluasi Pasca Huni Investigatif
3) Evaluasi Pasca Huni Diagnostik

A.4.5. Tinjauan Aspek Lingkungan


Tinjauan aspek Iingkungan dalam studi ini akan diarahkan pada usaha
pengidentifikasian berbagai jenis kegiatan yang diduga dapat berpotensi
menimbulkan dampak Iingkungan, serta usaha untuk mengantisipasi terjadinya
dampak yang lebih besar.
Berdasarkan ketetapan pemerintah No 51 tahun 1993 tentang AMDAL,
maka kegiatan pembangunan RSUD SrengatKabupaten Blitar termasuk dalam
klasifikasi wajib menyusun upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya
pemantauan lingkungan (UPL). Upaya ini bukanlah merupakan bagian dari analisis
AMDAL melainkan diarahkan langsung oleh instansi teknis yang membidangi dan
bertanggung jawab atas pembinaan usaha tersebut yang dikaitkan dengan dampak
yang ditimbulkan. Oleh karena itu pedoman teknis UKL dan UPL ditetapkan oleh
instansi yang bertanggung jawab (sektoral) untuk setiap jenis usaha yang
bersangkutan.
Adapun peraturan perundangan yang mendasari pelaksanaan pengelolaan dan
pelestarian Iingkungan yang terkait dengan UKL dan UPL RSUD Blitar adalah:
1. Undang-undang No 1 Tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok
pengelolaan Iingkungan hidup.
2. Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 1993, tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL).
3. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No Kep-
23/MENKLH/I/1987, tentang prosedur penanggulangan kasus pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup.
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No Kep-11IMENKLH/3/94
tentang jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL.
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No Kep-12/MENKLH/3/94
tentang pedoman umum upaya pengelolaan lingkungan dan upaya
pemantauan lingkungan.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 986/1992 tentang persyaratan kesehatan
rumah sakit.
7. Keputusan Dirjen PPM dan PLP No.KH.00.06.6.44 Tahun 1993 tentang
petunjuk teknis tata cara pelaksanaan penyehatan lingkungan rumah sakit.
8. Keputusan Menteri Kesehatan No 512/MENKES/SK/VI/1990, tentang AMDAL
rumah sakit.

A.4.6. Kajian Aspek Sumberdaya Manusia


Rumah sakit merupakan organisasi yang padat modal, tekhnologi dan
padat karya. Kondisi ini memerlukan perencanaan sumberdaya manusia yang
menjadi inti organisasi secara tepat. Sumberdaya manusia dalam pelayanan
kesehatan rumah sakit merupakan representasi teknologi dan pelayanan
kesehatan. Investasi sumber daya manusia harus dialokasikan dengan tepat dan
dikembangkan secara optimal.
Pelayanan jasa kesehatan oleh rumah sakit terdiri dari pelayanan medis dan
penunjang, pelayanan administratif dan pelayanan hotel. Dimata pasien, ketiga
komponen tersebut diterima sebagai satu kesatuan yang mempengaruhi kepuasan
pasien. Sehingga strategi pengembangan SDM di rumah sakit harus seimbang dan
memperhatikan semua komponen profesi. Sebagai ilustrasi, kebersihan dan
kenyamanan kamar sering menjadi keluhan pasien, meskipun penilaian terhadap
pelayanan medis bagus. Kerumitan administrasi juga sering menjadi sumber
ketidakpuasan pasien.
A.4.6.1. Analisis Kondisi Sumberdaya Manusia
Kajian kapabilitas sumberdaya manusia dinilai dengan perbandingan
kondisi RSUD SrengatKabupaten Blitar dan kebutuhan SDM sesuai standar
pelayanan rumah sakit tipe B. Pertimbangan lainnya adalah jenis profesi
sumberdaya yang diperlukan sesuai dengan sifat pelayanan rumah sakit.
Pelayanan medis rumah sakit membutuhkan tenaga dokter spesialis, dokter umum,
perawat dan bidan. Pelayanan penunjang medis membutuhkan tenaga gizi,
farmasi, laboratorium dan radiologi juga sterilisasi. Pelayanan penunjang non medis
yang diperlukan adalah pelayanan sterilisasi dan laundry, pemeliharaan sarana dan
pengelolaan lingkungan. Komponen lain yang juga memberikan kontribusi adalah
kebersihan dan keamanan yang juga memerlukan tenaga profesional. Disamping
aspek fungsional, fungsi administrasi dan manajemen juga harus dipertimbangkan
dalam pengembangan sumberdaya manusia. Pelayanan penunjang dan
administrasi manajemen meskipun tidak memberikan kontribusi pendapatan
langsung, tetapi merupakan keharusan untuk bisa berjalannya fungsi unit penghasil
pendapatan dalam hal ini pelayanan medis. Secara skematis sistem pelayanan dan
sumberdaya manusia di rumah sakit digambarkan pada skema berikut.

MEDICAL AND NURSING


SERVICE

OUTPATIENT SERVICE

ONE DAY CARE

INPATIENT SERVICE
SUPPORTING HOTEL AND PUBLIC
SERVICE SERVICE

ADMINISTRATION
SERVICE

GAMBAR 7.1. SKEMA PELAYANAN RUMAH SAKIT

Untuk menggambarkan kondisi sumberdaya manusia disajikan tabel


komposisi sumberdaya manusia berdasarkan kelompok profesi dan instalasi
dengan kualifikasi pendidikan pada kondisi tahun 2004-2009. Sebagai pembanding
disajikan kebutuhan standar sumberdaya manusia yang diperhitungkan dengan
memperhatikan kapasitas pelayanan, intensitas pekerjaan, dan profesionalisme.
Kebutuhan tenaga perawat dan bidan diperhitungkan dengan menggunakan standar
Departemen Kesehatan yang memperhitungkan beban kerja, jumlah
pasien,pelayanan, shift dan kualifikasi sesuai tingkat profesionalisme pekerjaan.
Kebutuhan tenaga gizi diperhitungkan berdasarkan organisasi pelayanan, volume
kegiatan (jumlah pasien dan menu). Kebutuhan tenaga cleaning service
diperhitungkan dengan mempertimbangkan luas area dan jenis fasilitas yang harus
dibersihkan sedangkan tenaga keamanan mempertimbangkan jumlah blok gedung
dan pintu. Standar kebutuhan tenaga penunjang lain dihitung dengan
mempertimbangkan fungsi, kapasitas pekerjaan dan pelayanan.

Pelayanan penunjang medik dan non medik juga memegang peranan yang
penting untuk menciptakan mutu pelayanan medik. Secara keseluruhan didapatkan
kekurangan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pada instalasi laboratorium
diperlukan kualifikasi setara SMA, menjadi D3 analis kesehatan serta masih
diperlukan staf tambahan dengan kualifikasi D3 analis kesehatan. Apabila mengacu
pada standar dan perkembangan pelayanan diperlukan tenaga Spesialis Patologi
Klinis yang dapat dipenuhi dengan tugas belajar satu dari staf Dokter Umum dengan
status PNS.
Pelayanan Gizi biasanya sering menjadi keluhan pasien dan merupakan
bagian dari program manajemen terapi, sehingga juga harus dikelola secara
profesional. Setidaknya diperlukan satu orang Kepala Instalasi dengan kualifikasi
S1 Gizi serta penambahan 6 orang sebagai juru masak dengan kualifikasi setara
SMA dengan jurusan Boga atau kursus Boga.
Tenaga Administrasi dimasing-masing bagian/instalasi memegang peranan
penting yang tidak selalu harus dirangkap oleh tenaga fungsional sejalan dengan
semakin berkembangnya pelayanan. Akurasi rekaman data pelayanan akan
mendukung perencanaan dan pengembangan. Proses administrasi yang tepat juga
mendukung kecepatan pelayanan secara keseluruhan.
Instalasi pemeliharaan sarana memegang peran penting yang sering
diabaikan mengingat banyaknya peralatan dan teknologi kedokteran yang
memerlukan pemeliharaan khusus. Untuk mengelola IPS diperlukan satu ahli
dengan kualifikasi S1 elektromedik sekaligus sebagai kepala ditunjang dengan staf
teknis yang mampu mengelola workshop dan perbengkelan yang terdiri dari empat
macam yaitu perkayuan, logam, elektromedik dan penunjang medik lain.
Fungsi penunjang non medik yang masih harus dikembangkan adalah
pelayanan sterilisasi, laundry dan linen. Sejalan dengan perkembangan pelayanan
trauma, OK dan intensif care perlu didukung dengan sterilitas alat, di samping
sanitasi lingkungan yang adekuat. Menurut proses dan fungsi diperlukan tenaga
Kepala Instalasi dan bagian administrasi, bagian penerimaan, pengolahan
sterilisasi, pengemasan dan distribusi. Organisasi dan fungsi yang mirip juga
ditemukan pada pelayanan laundry yang dapat ditambahkan dengan fungsi
pengembangan linen secara mandiri oleh rumah sakit.
Fungsi penunjang lain yang diperlukan adalah sopir, keamanan dan
kebersihan yang juga perlu diperhatikan. Tenaga sopir terutama sopir ambulans
dan kereta jenazah memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat dengan
respon yang cepat. Keamanan memberikan rasa kenyamanan pada pengguna jasa
pelayanan yang bersifat dua puluh empat jam. Demikian juga dengan pelayanan
kebersihan dan taman yang tidak hanya menunjang keindahan tetapi berperan
dalam mencegah infeksi di rumah sakit. Secara kuantitatif diperlukan tenaga
keamanan sejumlah 10-15 orang dengan penempatan pada pintu masuk bangunan,
dan di setiap gedung. Satpam selain berfungsi untuk keamanan juga mengatur
ketertiban pelayanan sekaligus sumber informasi pertama bagi pelanggan.
Profesionalisme dan pengawasan diperlukan untuk memastikan kondisi semua
ruang dan fasilitas pelayanan di rumah dalam keadaan bersih selama 24 jam.
Pemenuhan tenaga manajemen dan administrasi secara umum sudah
memenuhi kebutuhan minimal. Sejalan dengan peningkatan mutu pelayanan masih
tetap diperlukan pelatihan dalam bidang stratejik dan perencanaan serta
kepemimpinan. Pelayanan manajemen dan administrasi perlu ditunjang dengan
sistem informasi berbasis komputer yang adekuat sehingga dapat menunjang fungsi
manajemen.

Program pendidikan dan pelatihan secara berjenjang dan berkelanjutan


merupakan keharusan bagi RSUD Srengatyang harus ditunjang dengan
restrukturisasi. Ketimpangan ditemukan pada tenaga paramedik yang kualifikasinya
masih banyak dibawah standar meskipun secara jumlah sudah memenuhi. RSUD
Srengatdan Pemda harus mengembangkan program Tugas Belajar secara
terstruktur dan bertahap. Dengan memperhitungkan masa pendidikan selama tiga
tahun disarankan pada periode pertama difokuskan memenuhi persyaratan S1
untuk jabatan Kepala Bidang Keperawatan dan Kepala Ruang. Pada periode
berikutnya dapat ditingkatkan dengan program yang sama untuk 2-3 orang secara
bertahap.

A.4.6.2. Proyeksi Kebutuhan Sumberdaya Manusia


Proyeksi kebutuhan sumberdaya manusia disusun berdasarkan proyeksi
perkembangan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat dari kajian pasar dan
pemasaran. Secara ringkas kajian pasar dan pemasaran menunjukkan
perkembangan kebutuhan pelayanan medik rawat inap dan rawat jalan sebagai
bisnis utama rumah sakit. Peningkatan kebutuhan pelayanan rawat inap dan rawat
jalan tentunya diikuti dengan peningkatan kebutuhan pelayanan penunjang medis,
non medis, fasilitas penunjang yang tentunya membutuhkan peningkatan kuantitas
dan kualitas sumberdaya manusia.
Peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia tentunya harus
disesuaikan dengan kemampuan daerah dan pendapatan RSUD Srengat nantinya.

A.4.6.3. Strategi Pengembangan Sumberdaya Manusia


Hasil analisis nantinya akan menunjukkan besarnya kebutuhan
pengembangan kapasitas pelayanan yang menuntut peningkatan kapasitas dan
kapabilitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya meningkatkan pembiayaan
rutin rumah sakit. Investasi pada SDM harus dilaksanakan seimbang dengan
pengembangan fasilitas pelayanan. Sebagai industri padat teknologi, investasi pada
sumberdaya manusia bahkan menjadi persyaratan yang harus menjadi prioritas
pengembangan rumah sakit. Di sisi lain keterbatasan anggaran dan fungsi sosial
rumah sakit mengharuskan Direktur dan Pemerintah Daerah harus berhati-hati
dalam mengalokasikan kebutuhan pengembangan sumberdaya manusia. Strategi
pertama yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kualifikasi tenaga
paramedik non keperawatan, yang pada akhirnya harus diikuti dengan rekruitmen.
Sulitnya rekruitmen tenaga dengan kualifikasi pendidikan profesional kesehatan
dapat dilakukan dengan beasiswa putra daerah dan kerjasama dengan institusi
penyelenggara pendidikan sebagai pemasok tenaga profesional.
Disamping tenaga medik, tenaga administrasi juga harus mempunyai
kecakapan dibidang masing-masing. Profesi administrasi kesehatan juga semakin
berkembang misalnya tenaga pengelola data kesehatan, keuangan dan
kepegawaian. Pengelola dan pelaksana pelayanan penunjang medis juga menuntut
profesionalisme yang tinggi. Kualitas pelayanan medik tidak dapat dilepaskan dari
kualitas teknologi kesehatan yang merupakan investasi mahal dan memerlukan
pemeliharaan khusus. Oleh karena itu pengelolaan Instalasi Pemeliharaan Sarana
juga menuntut profesi elektromedis dari sisi praktis dan manajemen. Pengelolaan
lingkungan juga menjadi kunci untuk pengendalian infeksi nosokomial. Rumah sakit
seharunya menjadi tempat dengan standar kebersihan tertinggi karena mempunyai
resiko tinggi pula. Selain itu, RSUD Srengatjuga harus menyiapkan rencana
pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sesuai dengan
perkembangan profesi dan ilmu pengetahuan serta teknologi pelayanan kesehatan.
A.4.7. Kajian Aspek Bisnis dan Keuangan
A.4.7.1. Analisis Pendapatan Daerah dan Pembiayaan Rumah Sakit
RSUD Srengatmerupakan rumah sakit milik pemerintah daerah, sehingga
keberlangsungan usaha rumah sakit sangat dipengaruhi kondisi keuangan daerah
dan sebaliknya. Sebagai unit yang memberikan pelayanan dasar yaitu kesehatan,
mempertahankan keberlangsungan usaha dan mutu pelayanan rumah sakit
merupakan tanggungjawab bersama pemerintah untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
RSD Srengat merupakan rumah sakit milik pemerintah daerah, sehingga
keberlangsungan usaha rumah sakit sangat dipengaruhi kondisi keuangan daerah
dan sebaliknya. Sebagai unit yang memberikan pelayanan dasar yaitu kesehatan,
mempertahankan keberlangsungan usaha dan mutu pelayanan rumah sakit
merupakan tanggungjawab bersama pemerintah untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Sumber pembiayaan RSUD Srengat diperoleh dari PAD dan Dana
Perimbangan. Proporsi pendapatan rumah sakit terhadap sumber pembiayaan
rumah sakit cenderung tetap dengan kisaran 12,4%. Sedangkan proporsi
pembiayaan APBD cenderung meningkat seiring meningkatnya pengeluaran rumah
sakit dan menurunnya kontribusi APBN.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah memberikan kontribusi terbesar
sumber pembiayaan rumah sakit dengan kontribusi sebesar 76% yang dialokasikan
untuk pembelanjaan rutin dan pembangunan. Proporsi pembelanjaan rutin rumah
sakit pada setiap tahun mengalami peningkatan. Sebaliknya pembelanjaan
pembangunan setiap tahun mengalami penurunan. Bila dibandingkan dengan
pendapatan RSUD Pare, rata-rata belanja rutin mencapai enam (6) kali lipat
pendapatan. Proporsi belanja rutin dan pembangunan tersebut menunjukkan
besarnya beban anggaran pembiayaan rutin rumah sakit.

Gambaran perkembangan sumber pembiayaan dan pengeluaran rumah


sakit menunjukkan adanya peningkatan pengeluaran belanja rutin dengan sumber
biaya yang didominasi APBD dan menurunnya kontribusi APBN. Meskipun
pendapatan RSUD Pare juga mengalami peningkatan, namun kontribusi besar
masih diberikan oleh APBD.

Data realisasi pendapatan daerah menunjukkan masih kecilnya kemampuan


daerah dalam membiayai pembangunan daerah. Oleh karena setiap bentuk
kegiatan belanja pembangunan harus diperhitungkan dengan sangat hati-hati,
termasuk rencana pengembangan RSUD Srengat. Sebagai institusi publik yang
memberikan pelayanan kesehatan dasar yang menjadi kewajiban pemerintah,
sedapat mungkin harus menghindari pembebanan pada pembiayaan langsung oleh
masyarakat. RSUD Srengatdan Pemerintah Daerah harus mencari sumber
pembiayaan dari Pemerintah Pusat atau sumber pendapatan lain misalnya dengan
kerjasama perusahaan maupun bantuan luar negeri.

A.4.7.2. Proyeksi Pendapatan dan Biaya


Proyeksi Pendapatan dan Biaya ini akan disesuaikan dengan kesepakatan
tentang masa berlaku produk Masterplan ini. Kisaran masa berlaku produk ini
adalah 5-10 tahun ke depan. Apabila lebih lama daripada itu akan dianggap kurang
layak untuk sebuah nilai investasi.

B. PROGRAM KERJA
Dalam pekerjaan ini, konsultan diharuskan melaksanakan kegiatan-
kegiatan sebagai berikut :
1) Persiapan (mobilisasi pekerjaan), berupa perencanaan yang dilakukan oleh
konsultan, berupa tahapan penetapan alternatif terpilih dan skenario untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
2) Persiapan Teknik Survey Lapangan, berupa persiapan administrasi,
penyiapan program survey lapangan dan penyiapan daftar data-data yang
diperlukan.
3) Pengumpulan Data Primer dan Sekunder, yang secara kuantitatif dan visual
mampu mendiskripsikan kondisi kawasan yang menjadi sasaran lokasi
pengembangan baru sebagai alternatif lahan (site) Rumah Sakit.
4) Verifikasi, validasi, dan identifikasi data serta potensi wilayah, konsultan
melaksanakan verifikasi, validasi dan identifikasi data dengan cara
membandingkan data yang diperoleh di lapangan dengan data aset yang
tersedia agar didapat data akurat sebagai produk pelaksanaan kegiatan ini.
5) Analisis dan Proyeksi potensi Rumah Sakit merupakan identifikasi dan
analisis berdasarkan data yang diperoleh, yang menghasilkan potensi dan
permasalahan dalam pengembangan rumah sakit. Kajian proyeksi
pengembangan rumah sakit yang sesuai juga sangat diperlukan. Pada bagian
ini metodologi dan pendekatan yang dikembangkan menjadi kunci ketajaman
analisis dan aktualisasi proyeksi yang ditawarkan.
6) Konsep Perancangan, merupakan penetapan alternatif-alternatif terpilih dan
skenario untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Termasuk di dalamnya
plotting sumberdaya manusia, program pemasaran, analisis lingkungan,
prognosa investasi dan perencanaan kegiatan pendukung (sosial ekonomi)
serta indikasi program yang menggambarkan komitmen berbagai stakeholder
dalam mewujudkan pengembangan rumah sakit.
7) Rencana Pentahapan, atau phasing plan, merupakan tahapan penetapan
skenario perkembangan fisik, sesuai dengan kemampuan domestik dengan
tanpa meninggalkan kepentingan operasionalisasi RSUD sebagai prioritas.
8) Pemaparan dan Sosialisasi, merupakan bagian upaya koreksi dan masukan
dari berbagai pihak, khususnya Tim Teknis Kabupaten Blitar. Selama proses
pekerjaan ini diharuskan dilaksanakan diskusi bersama Tim Teknis sebanyak 3
(tiga) kali.
9) Persiapan Legalisasi, selain Buku Laporan Pendahuluan, Buku Laporan
Antara, Buku Laporan Akhir dan Buku Laporan Executive Summary, diperlukan
masukan dan juga dukungan draft hukum bagi pengembangan rumah sakit.
Secara teknis, Pekerjaan Penyusunan Masterplan Pembangunan Rumah
Sakit Umum Daerah SrengatTipe B Kabupaten Blitar memiliki penjadwalan dari
penyusunan pekerjaan melalui tahapan sebagai berikut :
1. Langkah Kegiatan Persiapan Pekerjaan (Mobilisasi Pekerjaan)
2. Langkah Kegiatan Persiapan Teknik Survey Lapangan
3. Langkah Kegiatan Pengumpulan Data
4. Langkah Kegiatan Verifikasi, Validasi, dan Identifikasi Data serta Potensi
Wilayah
5. Langkah Kegiatan Analisis dan Proyeksi
6. Langkah Kegiatan Perancangan Masterplan
7. Langkah Kegiatan Pemaparan dan Sosialisasi
8. Langkah Kegiatan Persiapan Legalisasi dan Pembuatan Buku Laporan
Jadwal pelaksanaan kegiatan ini disusun sesuai urutan langkah-langkah
kegiatan sebagai berikut :
1) Kegiatan Persiapan Pekerjaan (Mobilisasi Pekerjaan)
Waktu yang diperlukan lebih kurang 1 minggu.
2) Kegiatan Persiapan Teknik Survey Lapangan
Waktu yang diperlukan lebih kurang 2 minggu.
3) Kegiatan Pengumpulan Data
Waktu yang diperlukan lebih kurang 4 minggu.
4) Kegiatan Verifikasi, Validasi, dan Identifikasi Data serta Potensi Wilayah
Waktu yang diperlukan lebih kurang 4 minggu.
5) Kegiatan Persiapan Analisis dan Proyeksi
Waktu yang diperlukan lebih kurang 4 minggu.
6) Kegiatan Persiapan Perancangan Masterplan
Waktu yang diperlukan lebih kurang 4 minggu.
7) Kegiatan Persiapan Pemaparan dan Sosialisasi
Waktu yang diperlukan lebih kurang 3 minggu.
8) Kegiatan Persiapan Persiapan Legalisasi dan Pembuatan Buku Laporan
Waktu yang diperlukan lebih kurang 10 minggu.
TABEL 4.3. JADWAL PELAKSANAAN PEKERJAAN
PENYUSUNAN MASTERPLAN PEMBANGUNAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRENGATTIPE B KABUPATEN BLITAR

NO K E G I A T A N BULAN I BULAN II BULAN III BULAN IV


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan Pekerjaan (Mobilisasi Pekerjaan)
2 Persiapan Teknik Survey Lapangan
3 Pengumpulan Data
4 Verifikasi, Validasi, dan Identifikasi Data serta Potensi Wilayah
5 Analisis dan Proyeksi
6 Rekomendasi Konsep Perancangan & Rencana Pentahapan
7 Pemaparan dan Sosialisasi
8 Persiapan Legalisasi dan Pembuatan Buku Laporan
C. ORGANISASI DAN PERSONIL
Sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Kerangka Acuan Kerja, maka
dalam menangani pekerjaan ini, konsultan mengajukan usulan Susunan Tenaga
Ahli antara lain:
1) Tenaga Ahli Bidang Manajemen Rumah Sakit (Team Leader)
2) Tenaga Ahli Bidang Arsitek Sub Bidang Arsitektur
3) Tenaga Ahli Bidang Sipil Sub Budang Teknik Sipil
4) Tenaga Ahli Bidang Kesehatan Masyarakat
5) Tenaga Ahli Bidang Mekanikal
6) Tenaga Ahli Bidang Elektrikal
Selain tenaga ahli tersebut di atas, Susunan Tenaga Pendukung yang
diperlukan meliputi:
1) Asisten Ahli Bidang Arsitek
2) Asisten Ahli Bidang Sipil
3) Asisten Ahli Bidang Kesehatan Masyarakat
4) Asisten Ahli Bidang Mekanikal
5) Asisten Ahli Bidang Elektrikal
6) CAD dan Komputer
7) Administrasi dan Keuangan
TABEL 4.3. JADWAL PELAKSANAAN PEKERJAAN
PENYUSUNAN MASTERPLAN PEMBANGUNAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRENGATTIPE B KABUPATEN BLITAR

NO K E G I A T A N BULAN I BULAN II BULAN III BULAN IV


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
TENAGA AHLI
1 Tenaga Ahli Bidang Manajemen Rumah Sakit (Team Leader)
2 Tenaga Ahli Bidang Arsitek Sub Bidang Arsitektur
3 Tenaga Ahli Bidang Sipil
4 Tenaga Ahli Bidang Kesehatan Masyarakat
5 Tenaga Ahli Bidang Mekanikal
6 Tenaga Ahli Bidang Elektrikal
TENAGA PENDUKUNG
1 Asisten Ahli Bidang Arsitek
2 Asisten Ahli Bidang Sipil
3 Asisten Ahli Bidang Kesehatan Masyarakat
4 Asisten Ahli Bidang Mekanikal
5 Asisten Ahli Bidang Elektrikal
6 CAD dan Komputer
7 Administrasi dan Keuangan
Organisasi kerja yang dimaksud akan menyangkut hubungan kerjasama
antara Pemberi Tugas dengan Penerima atau Pelaksana Pekerjaan (konsultan).
Gambaran mengenai organisasi kerja eksternal yang menyangkut hubungan antara
konsultan dengan pihak pemberi tugas serta keorganisasian didalam konsultan
dapat dijelaskan dalam bagan berikut:

PEMBERI TUGAS

KONSULTAN

TEAM LEADER
(TA.
MANAJEMEN
RS)

TENAGA TENAGA TENAGA TENAGA TENAGA


AHLI AHLI AHLI AHLI AHLI
SIPIL ARSITE KES. MEKANI ELEKTRI
KTUR MASYA- KAL KAL
RAKAT

ASISTEN ASISTEN ASISTEN ASISTEN ASISTEN


AHLI AHLI AHLI AHLI AHLI
SIPIL ARSITE KES. MEKA- ELEK-
K-TUR MASYA- NIKAL TRIKAL
RAKAT

TENAGA PENDUKUNG (KOMPUTER DAN ADMINISTRASI)


Sebagai bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan adalah
penyampaian serangkaian laporan kepada pihak Pemberi Tugas. Laporan-laporan
yang akan diserahkan konsultan adalah sebagai berikut :
a. Laporan Pendahuluan (inception report)
Laporan ini berisi pemahaman terhadap KAK (TOR), rencana kegiatan
lapangan, jadwal pelaksanaan dan penempatan personil, berikut tanggung
jawab masing-masing tenaga ahli. Selain itu, secara substansial juga berisi
tentang laporan fakta yang didasarkan kepada data awal (sekunder). Laporan
ini dibuat sebanyak 6 (enam) eksemplar dan 2 (dua) Cakram Digital sebagai soft
copy. Laporan ini harus dipresentasikan di hadapan Tim Pendamping pekerjaan
ini.
b. Laporan Antara (interim report/draft final report)
Laporan ini berisi uraian dan analisis yang didasarkan kepada data primer dan
data sekunder. Laporan ini dibuat sebanyak 6 (enam) eksemplar dan 2 (dua)
Cakram Digital sebagai soft copy. Laporan ini harus dipresentasikan di hadapan
Tim Teknis dari instansi yang berwenang.
c. Laporan Akhir (final report)
Laporan ini merupakan hasil pemantauan dan analisis yang menghasilkan
sebuah rekomendasi untuk tahap selanjutnya. Laporan ini dibuat sebanyak 6
(enam) eksemplar dan 2 (dua) Cakram Digital sebagai soft copy. Laporan ini
harus dipresentasikan di hadapan Tim Teknis dari disahkan oleh instansi yang
berwenang.
d. Laporan Eksekutif (executive summary)
Laporan ini merupakan ringkasan materi dan kegiatan dari keseluruhan proses
pekerjaan. Laporan ini dibuat sebanyak 6 (enam) eksemplar dan 2 (dua)
Cakram Digital sebagai soft copy, dan tidak perlu dipresentasikan.
e. Pemodelan 3 Dimensi (maket)
Produk maket ini merupakan visualisasi dari hasil akhir dan dibutuhkan sebagai
pelengkap laporan. Produk ini cukup dibuat 1 (satu) buah saja dengan skala
menyesuaikan.

Secara umum, dimulai dari proses aanwijzing, isi Kerangka Acuan Kerja
yang telah dikeluarkan oleh Panitia Pengadaan Jasa Konsultan Masterplan Rumah
Sakit Umum Daerah Srengat tipe C Kabupaten Blitar, telah diikuti, dipelajari dan
dimengerti dengan baik oleh Konsultan. Demikian pula mengenai uraian syarat-
syarat administrasi, syarat-syarat teknis, kualifikasi dan penugasan personil, serta
ketentuan-ketentuan lainnya yang dikeluarkan oleh Pihak Panitia Pengadaan Jasa
Konsultan Masterplan Rumah Sakit Umum Daerah Srengat tipe C Kabupaten
Blitar seluruhnya telah dimengerti oleh Konsultan.

Anda mungkin juga menyukai