Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN APOTEK SECARA UMUM

2.1 Pengertian Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (KepMenKes RI)

No. 1332/Menkes/SK/X/2002, tentang perubahan atas peraturan MenKes RI

No. 922/Menkes/Per/X/1993 mengenai ketentuan dan tata cara pemberian

Izin Apotek, yang dimaksud dengan Apotek adalah suatu tempat tertentu,

tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian penyaluran perbekalan farmasi

kepada masyarakat.Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51

Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan

kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker.

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa apotek merupakan salah satu

sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya

derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah

satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dan Tenaga Teknis

Kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian.

Peraturan umum tentang perapotekan yang terbaru dan berlaku saat ini adalah

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014, dengan

ketentuan umum sebagai berikut :

1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik

kefarmasian oleh Apoteker.

6
7

2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan

sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan

pelayanan kefarmasian.

3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan

farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan

mutu kehidupan pasien.

4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada

apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk

menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang

berlaku.

5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan

kosmetika.

6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi

untuk manusia.

7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan

yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah,

mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat

orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau

membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.


8

8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk

penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.

10. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker

dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana

Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah

Farmasi/Asisten Apoteker.

11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian

Kesehatan yang bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat

kesehatan.

2.2 Tugas dan Fungsi Apotek

Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang apotek dijelaskan

bahwa tugas dan fungsi apotek adalah :

1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan apoteker.

2. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan

farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional dan kosmetika.
9

4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,

pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi

obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

2.3 Persyaratan Mendirikan Apotek

Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek

(SIA), Surat Izin Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau apoteker yang berkerja

sama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) untuk menyelenggarakan

pelayanan apotek disuatu tempat tertentu. Menurut Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 1332 / Menkes / SK / X / 2002,

disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah sebagai berikut :

bangunan apotek sekurang-kurangnya terdiri dari kelengkapan-kelengkapan

berikut:

1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan

brosur atau materi informasi.

3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja

dan kursi, serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.

4. Ruang racikan.

5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.


10

6. Bangunan apotek harus dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi

syarat kesehatan, penerangan yang memadai, alat pemadam kebakaran,

ventilasi dan sanitasi yang baik, dilengkapi dengan jamban ( W.C ), serta

papan nama apotek.

Setiap apotek harus memasang papan nama di bagian muka apotek, yang

terbuat dari kayu, seng atau bahan lain dengan ukuran 60 cm, lebar 40 cm,

tinggi 5 cm dan tebal 5 mm.

Papan nama tersebut harus memuat :

1. Nama Apotek

2. Nama Apoteker Pengelola Apotek ( APA )

3. Nomor Surat Izin Apotek ( SIA )

4. Nomor Surat Izin Kerja ( SIK )

5. Alamat Apotek

6. Nomor telepon, bila ada


11

2.4 Struktur Organisasi

Dalam pengelolaan apotek yang baik, organisasi yang mapan merupakan

salah satu faktor yang dapat mendukung keberhasilan suatu apotek. Oleh

karena itu dibutuhkan adanya garis wewenang dan tanggung jawab yang jelas

dan saling mengisi, disertai dengan pemberian tugas yang jelas pada masing-

masing bagian di dalam struktur organisasi tersebut. Untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan, maka secara umum apotek mempunyai struktur

organisasi sebagai berikut (Anief,2001).

Pemilik Apoteker
Sarana Pengelola Apotek
Apotek

Keuangan Asisten
Apoteker

Kasir

Bagian

Gambar. 1 Struktur Organisasi Apotek


12

2.4.1 Sarana dan Prasarana Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.35 tahun 2014,

Sarana dan Prasarana yang harus dimiliki adalah :

Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana Apotek

dapat menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis

Habis Pakai (BMHP) serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian.

Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan

Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:

1. Ruang Penerimaan Resep

Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat

penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set

komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling

depan dan mudah terlihat oleh pasien.

2. Ruang Pelayanan Resep dan Peracikan (Produksi Sediaan Secara

Terbatas)

Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara

terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang

peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan

obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan

pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan

resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya

dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin

ruangan (air conditioner).


13

3. Ruang Penyerahan Obat

Ruang penyerahan 0bat berupa konter penyerahan Obat yang dapat

digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.

4. Ruang Konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi

konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu

konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

5. Ruang Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis

Habis Pakai.

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,

kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan

keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan

rak/lemari obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari

penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan obat

khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.

6. Ruang Arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan

dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis

Habis Pakai (BMHP) serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu

tertentu.
14

2.4.2 Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan di Apotek terdiri dari:

1. Apoteker Pengelola Apotek (APA).


2. Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Asisten Apoteker.

3. Bagi apotek yang Apoteker Pengelola Apotek (APA)-nya pegawai

instansi pemerintahan harus ada Apoteker Pendamping atau Asisten

Apoteker.

Sikap karyawan apotek yang baik, ramah dan cepat melayani pembeli,

mengenal pasien di daerah sekeliling apotek sebanyak mungkin dapat

membangkitkan kesan yang baik, sehingga peran karyawan sangat penting

dalam mencapai laba yang diinginkan atau direncanakan. Untuk

mendapatkan karyawan yang baik di dalam apotek perlu dilakukan

kegiatan-kegiatan:

1. Mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi para karyawan.

2. Mendorong para karyawan untuk bekerja giat.

3. Memilih dan menempatkan sesuai dengan pendidikannya.

4. Merekrut calon karyawan dan mendidik sebagai pengganti yang tua.

2.4.3 Fungsi dan Pembagian Tugas

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.35 tahun

2014, di dalam sebuah apotek perlu adanya job description (uraian tugas)

sehingga setiap pegawai yang bekerja mengetahui apa tugas dan tanggung

jawabnya.
15

Pembagian tugas di dalam apotek yaitu sebagai berikut:

a) Apoteker

1. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan

pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem

pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.

2. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan

dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif

dan efisien.

3. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi

kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu

harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

4. Pemimpin

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.

Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil

keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan

mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik,

anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti


16

kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang

obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

6. Pembelajar seumur hidup

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan

keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing

Professional Development/CPD)

7. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam

mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian

dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan

pelayanan kefarmasian.

b) Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK)

Tugas Tenaga Teknis Kefarmasian yaitu :

1. Mengerjakan pekerjaan sesuai dengan profesinya yaitu:

- Dalam pelayanan obat bebas dan resep (mulai dari penerimaan

pasien sampai menyerahkan obat yang diperlukan).

- Menyusun buku defecta setiap pagi (membantu bagian pembelian),

memelihara buku harga sehingga selalu terkini.

- Mengerjakan pembuatan persediaan obat.

- Menyusun resep-resep menurut nomor urut dan tanggal, digulung

dan disimpan.

- Menyusun obat-obat mencatat dan memeriksa keluar masuknya

obat dengan adanya kartu stock dengan rapi.


17

2. Dalam hal darurat, dapat menggantikan pekerjaan sebagai kasir,

penjual obat bebas dan juru resep.

Tanggung jawab TTK meliputi :

Tenaga Teknis Kefarmasian bertanggung jawab kepada Apoteker

sesuai dengan tugasnya, artinya bertanggung jawab atas kebenaran

segala tugas yang diselesaikannya, tidak boleh ada kesalahan,

kekeliruan, kekurangan, kehilangan dan kerusakan.

c) Tata Usaha

Tugas keuangan yaitu:

1. Mengkoordinir dan mengawasi kerja bawahannya.

2. Membuat laporan harian:

- Pencatatan penjualan kredit (piutang)

- Perencanaan pembelian (kartu hutang) di cocokkan dengan kartu

penerimaan barang.

- Pencatatan hasil penjualan, tagihan dan pengeluaran setiap hari.

3. Dinas luar: mengurus pajak, izin-izin, dan asuransi.

4. Membuat laporan bulanan.

5. Membuat laporan tahunan tutup buku (neraca dan perhitungan rugi-

laba).

6. Surat menyurat.
Tanggung jawab Kepala Tata Usaha :
Kepala Tata Usaha bertanggung jawab kepada Apoteker Pengelola

Apotek (APA).
18

d) Pemengang Kas (Kasir)

Tugas Kasir yaitu:

1. Mencatat penerimaan uang setelah dihitung terlebih dahulu, begitu

pula dengan pengeluaran uang yang harus dilengkapi dengan

pendukung berupa kwitansi dan nota yang sudah diparaf oleh

pengelola Apotek atau pejabat yang di tunjuk.

2. Menyetorkan dan mengambil uang, baik dari kasir besar maupun


bank.
Tanggung jawab Kasir:
Kasir bertanggung jawab atas kebenaran jumlah uang yang

dipercayakan kepadanya dan bertanggung jawab langsung kepada

pengelola Apotek.

e) Kegiatan Apotek

Untuk tujuan yang maksimal di dalam suatu Apotek harus dilakukan

pengelolaan yang baik yang meliputi:

1. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, perubahan bentuk, pencampuran,

penyimpanan, penyaluran obat atau bahan obat.

2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan

farmasi lainnya.

3. Pelayanan informasi tentang obat untuk perbekalan farmasi di berikan

baik kepada dokter dan tenaga-tenaga kesehatan lainnya maupun

kepada masyarakat.

4. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan,

bahaya suatu obat dan perbekalan farmasi lainnya.


19

5. Pemusnaan obat yang telah kadaluarsa dilakukan setiap 3 tahun sekali.

Dengan membuat berita acara dan mengajukan surat ke Dinas

Kesehatan. Untuk obat yang berupa sediaan padat dibakar dengan

disaksikan instansi terkait. Sedangkan untuk obat yang berupa sediaan

cair dialirkan dengan air yang mengalir. Obat yang mudah meledak

atau tidak bisa dibakar, maka dimusnahkan dengan cara ditimbun di

tanah.

2.4.4 Surat Izin Apotek (SIA)

Apoteker harus memiliki SIA, yaitu surat izin yang diberikan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang

berkerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) untuk mendirikan

Apotek disuatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA dilimpahkan

oleh Menteri Kesehatan kepada kepala Dinas Kesehatan (DinKes)

Kabupaten / Kota. Selanjutya, Kepala Dinas wajib melaporkan

pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan

pencabutan izin apotek setahun sekali kepada Menteri dan tembusan

disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara

mengajukan permohonan izin pendirian apotek:

a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten / Kota dengan menggunakan contoh formulir model APT-1.


20

b. Dengan menggunakan formulir APT-2, Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten / Kota selambat-lambatya 6 (enam) hari kerja setelah

menerima permohonan, pejabat terkait dapat meminta bantuan teknis

kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap

kesiapan apotek dalam melakukan kegiatan.

c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota atau Kepala Balai POM

selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan

teknis dari Kepala Dinas Kabupaten / Kota wajib melaporkan hasil

pemeriksaan setempat dengan menggunakan formulir model APT-3.

d. Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam (b) dan (c) tidak

dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat peryataan siap

melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota

setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan

menggunakan contoh formulir model APT-4.

e. Dalam jangkka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan

pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (c) atau peryataan ayat (d),

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota setempat mengeluarkan SIA

dengan menggunakan contoh formulir model APT-5.

f. Apabila hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota atau

Keepala Balai POM sebagaimana dimaksud ayat (c) masih belum

memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota setempat

dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan

dengan menggunakan contoh formulir model APT-6.


21

g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (f),

Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum

dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu bulan sejak

tanggal Surat Penundaan dikeluarkan.

h. Apabila Apoteker menggunakan sarana pihak lain, yaitu mengadakan

kerja sama dengan pemilik sarana Apotek, maka harus memenuhi

keetentuan berikut:

1. Penggunaan sarana yang dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian

kerja sama antara apoteker dan pemilik sarana.

2. Pemilik sarana yang dimaksud harus memenuhi persyaratan tidak

pernah terlihat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan

dibidang obat, sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang

bersangkutan.

3. Terhadap permohonan izin apotek dan APA atau lokasi yang tidak

sesuai dengan pemohon, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten /

Kota dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari

kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasannya

dengan menggunakan fofmulir APT-7.

2.5 Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan

seorang apoteker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai

pelayanan apotek. Oleh sebab itu, seluruh kerja fungsi dan pelayanan

apotek ini menyesuaikan dengan apa yang menjadi tugas dan kewajiban
22

dari Apoteker. Maksudnya, apa yang menjadi standar pelayanan apotek

sama dengan pelayanan yang diberikan dan menjadi kewajiban serta

kewenangan Apoteker.

Pengelolaan apotek dibagi menjadi dua, yaitu pengelolaan teknis farmasi

dan pengelolaan nonteknis farmasi. Pengelolaan nonteknis kefarmasian

tersebut meliputi kegiatan administrasi, keuangan, pajak, personalia, serta

kegiatan di bidang material dan bidang lain yang berhubungan dengan

apotek. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 / Menkes /

SK / 2002 pasal 10 (sepuluh) di bidang kefarmasian, pengelolaan apotek

meliputi:

a. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,

penyimpanan dan penjualan obat atau bahan obat.

b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi

lainnya.

c. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi informasi

obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan kepada Dokter, tenaga

kesehatan lainnya maupun masyarakat. Serta pengamatan dan pelaporan

informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya, serta mutu obat dan

perbekalan farmasi lainnya.

Hal lainnya yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah:

a. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan

perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahan terjamin.


23

b. Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat

digunakan atau dilarang atau ditanam atau dengan cara lain yang telah

ditetapkan oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).

Apoteker Pengelola Apotek (APA) harus ada di apotek selama apotek

dibuka. Apabila Apoteker Pengelola Apotek (APA) berhalangan

melakukan tugasnya pada hari-hari buka Apotek, Apoteker Pengelola

Apotek (APA) dapat digantikan oleh Asisten Apoteker (AA). Asisten

Apoteker (AA) melakukan pekerjaan kefarmasian dibawah pengawasan

Apoteker Pengelola Apotek (APA) tetap ikut bertanggung jawab atas

kesalahan yang dilakukan Asisten Apoteker (AA) atau Apoteker

Pengelola Apotek (APA) tidak ikut berperan dalam membantu terjadinya

kesalahan tersebut.

Dalam hal pengelolaan keuangan, apabila Apoteker Pengelola Apotek

(APA) bukan sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA). Pengelolaan

keuangan harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat menjamin kerjasa

sama yang baik dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA), sedangkan harga

obat dan perbekalan kesehatan bidang farmasi lainnya serta jasa yang ada

di apotek ditetapkan dengan tidak didasarkan atas perhitungan komersial

semata-mata namun ditetapkan serendah mungkin tanpa pengorbanan

mutu pelayanan dan kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek.


24

2.5.1 Kegiatan Teknis Kefarmasian

a. Pengadaan Perbekalan Farmasi

Berhasil tidaknya tujuan usaha banyak tergantung pada kebijaksanaan

pengadaan. Pengadaan harus menyesuaikan dengan hasil penjualan

sehingga ada keseimbangan antara penjualan dan pengadaan, selain

itu harus sesuai dan cukup ekonomis dilihat dari segi penggunaan

dana yang tersedia.

Dalam melakukan pengadaan harus memperhitungkan faktor-faktor:

1. Waktu Pengadaan

Yang menjadi kunci untuk menetapkan waktu untuk pengadaan

barang, oleh karena itu sebelum persediaan habis pembelian harus

sudah dilakukan.

2. Lokasi Apotek

Apotek yang terletak di kota-kota besar yang terdapat PBF sangat

mudah untuk melakukan pembelian dibandingkan dengan lokasi

Apotek di daerah terpencil, sehingga pengadaan dapat dilakukan

pada saat barang hampir habis.

3. Frekuensi dan Volume Pengadaan

Makin kecil volume barang yang dibeli. Makin tinggi frekuensinya

dalam melakukan pembelian, sehingga akan memperbanyak

pekerjaan. Barang masuk berasal dari pembelian baik kontan

maupun kredit. Jenis obat yang diperlukan dapat dilihat dari buku
25

defecta(order), baik dari bagian penerimaan resep atau obat bebas

maupun dari petugas gudang.

Prosedur Pengadaan meliputi:

1. Persiapan

Yaitu pengumpulan data obat-obatan yang akan dipesan, data

tersebut diperoleh dari buku defecta, peracikan maupun gudang.

2. Pemesanan

Pemesanan barang atau perbekalan farmasi dilakukan dengan

menggunakan surat pesanan atau via telepon kepada Pedagang

Besar Farmasi (PBF). Surat pesanan barang perbekalan farmasi

tersebut harus ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek

(APA) sedangkan pembayaran barang atau perbekalan farmasi

tersebut dapat dilakukan secara tunai maupun kredit dalam

jangka waktu tertentu. Untuk setiap supplier sebaiknya

disiapkan minimal dua rangkap, satu untuk supplier yang

dilampirkan dengan faktur pada waktu pengiriman barang dan

yang satu untuk mengontrol kiriman barang yang kita pesan.

3. Penerimaan

Barang atau perbekalan farmasi yang telah dipesan akan

diantarkan oleh salesman dari Pedangan Besar Farmasi (PBF)

yang bersangkutan dengan disertai faktur sebanyak 4 (empat)

rangkap yaitu 2 (dua) rangkap untuk Pedagang Besar Farmasi

(PBF), 1 (satu) untuk Penagihan dan 1 (satu) lagi sebagai arsip


26

Apotek. Saat penerimaan barang perlu dilakukan pengecekan

kembali apakah jumlah barang telah sesuai dengan pesanan.

Petugas yang menerima barang harus mencocokkan dengan

faktur dan surat pesanan. Apabila ada tanggal kadaluarsa dicatat

dalam buku tersendiri.

4. Penyimpanan

Barang disimpan dalam tempat yang aman, tidak terkena sinar

matahari langsung, bersih dan tidak lembab, disusun secara

sistematis, untuk narkotika di dalam lemari khusus, insulin,

vaksin, dan obat-obatan yang perlu disimpan dalam lemari es.

5. Pencatatan

Dari faktur disalin dalam buku penerimaan barang yang

mencakup nama supplier, nama obat, harga satuan, potongan

harga, jumlah obat, nomor urut, dan tanggal. Tiap hari dijumlah,

sehingga diketahui banyaknya hutang. Faktur-faktur kemudian

diserahkan kepada tata usaha untuk diperiksa, lalu digulung

untuk menunggu waktu jatuh tempo.

6. Pembayaran

Barang yang sudah diterima dibayar pada saat jatuh tempo,

setelah faktur dikumpulkan per debitur, lalu masing-masing

dibuatkan bukti kas keluar atau nigo kemudian diserahkan

kepada kasir untuk ditandatangani oleh pimpinan sebelum

kepada supplier.
27

Pembelian dapat dilakukan dengan cara antara lain:

1). Hand To Mouth Buying

Pengadaan ini dilakukan dalam jumlah terbatas sesuai dengan

kebutuhan, hal ini dilakukan bila dana terbatas dan PBF

berada dalam satu kota.

2). Pengadaan secara Spekulasi

Pengadaan ini dilakukan dalam jumlah uang yang lebih besar

dari kebutuhan, dengan harapan akan ada kenaikan harga

dalam waktu dekat karena ada diskon atau bonus.

3). Pengadaan Berencana

Pengadaan ini erat hubunganya dengan pengendaliaan

sediaan barang, pengawasan stock obat atau barang dagangan

melalui kartu stock sangat penting, dengan demikian dapat

diketahui mana yang laku keras dan mana yang kurang laku.

Selanjutnya dapat dilakukan perencanaan sesuai dengan

kebutuhan per item.

b. Penyimpanan Perbekalan Farmasi

Obat atau perbekalan farmasi yang sudah dibeli tidak semuanya dapat

dijual, oleh karena itu harus disimpan dalam gudang lebih dahulu

dengan tujuan agar aman, tidak hilang, tidak mudah rusak dan mudah

terawasi. Gudang tempat penyimpanan obat harus memenuhi beberapa

ketentuan antara lain:

1. Merupakan ruang tersendiri dalam komplek Apotek.


28

2. Cukup aman, kuat dan dapat dikunci dengan baik.

3. Tersedia rak yang cukup baik.

4. Tidak dapat terkena sinar matahari langsung.

5. Dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran, kering dan bersih.

Obat yang disimpan dalam gudang tidak diletakan begitu saja, tetapi

disimpan menurut golongannya yaitu:

1) Bahan baku disusun secara abjad dan dipisahkan antara serbuk,

cairan, setengah padat dan bentuk cairan yang mudah menguap

supaya tersendiri.

2) Obat disusun menurut abjad, tanggal kadaluarsa atau menurut

sediaannya.

3) Serta, vaksin dan obat-obat yang mudah rusak atau mudah meleleh

pada suhu kamar disimpan di lemari es.

4) Barang-barang yang mudah terbakar sebaiknya disimpan

terpisahdari yang lainnya.

5) Penyimpanan obat narkotika dilakukan di lemari khusus sesuai

dengan persyaratannya.

6) Untuk obat-obat psikotropika sebaiknya disimpan sendiri.

Penyusunan obat menggunakan sistem FIFO (First In First Out)

artinya obat-obat yang masuk duluan ke dalam gudang, maka lebih

duluan keluarnya. Jadi yang duluan masuk ditempatkan di depan

sedangkan yang datang belakangan ditempatkan dibelakang.


29

Yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan obat yaitu:

1. Pencatatan tanggal kadaluarsa setiap macam obat terutama obat

antibiotik, supaya dicatat dalam buku tersendiri.

2. Untuk persediaan obat yang telah menipis jumlahnya perlu

dicatat dalam buku defecta, yang nantinya diberitahukan kepada

bagian yang bertanggung jawab dalam hal pembelian.

c. Pelayanan Kefarmasian

Sebuah apotek perlu memperhatikan hal - hal yang dapat menarik para

pembeli obat, antara lain dengan adanya ruang tunggu yang ditata

dengan baik, bersih, penerangan yang cukup pada malam hari,

memberikan pelayanan dengan baik, ramah dan cepat. Pelayanan di

apotek terdiri dari pelayanan resep dan pelayanan non resep. (Anief

2001)

1) Pelayanan Non resep

Obat - obat yang membutuhkan penataan di lemari etalase secara

farmakologis atau berdasarkan khasiat obat. Penjualan ini perlu

disertai pemberian informasi secara professional mengenai

penggunaan obatnya.

2) Pelayanan Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter

hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan

dan menyerahkan obat kepada pasien sesuai dengan undang

undang.
30

Dalam resep harus memuat :

a. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau

dokter hewan.

b. Tanggal resep

c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep, Nama setiap

obat atau komposisi obat.

d. Aturan pemakaian obat yang tertulis

e. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan

peraturan perundang undangan yang berlaku.

f. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter

hewan

g. Tanda seru atau paraf dokter untuk resep yang mengandung obat

yang jumlahnya melebihi dosis maksimal.

Menurut Kepmenkes No. 35 Tahun 2014, Apoteker atau TTK

melakukan dispensing yang meliputi :

1) Dispensing

A. Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian resep administrasi, kesesuaian

farmasetik dan pertimbangan klinis.

Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

1. bentuk dan kekuatan sediaan;

2. stabilitas; dan

3. kompatibilitas (ketercampuran Obat).


31

Pertimbangan klinis meliputi:

1. ketepatan indikasi dan dosis Obat;

2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;

3. duplikasi dan/atau polifarmasi;

4. reaksi Obat yang tidak diinginkan

5. kontra indikasi; dan

6. interaksi.

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian

maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.

2) Penyiapan

Menurut Kepmenkes No. 35 tahun 2014, langkah - langkah

penyiapan obat yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep menghitung

kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep mengambil obat

yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan

memperhatikan nama obat, tanggal kadaluarsa dan keadaan

fisik obat.

2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan

3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:

- warna putih untuk obat dalam/oral

- warna biru untuk obat luar dan suntik

-menempelkan label kocok dahulu pada sediaan bentuk

suspensi atau emulsi.


32

4. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah

untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan

menghindari penggunaan yang salah.

2) Penyerahan Obat

1. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan

pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada

etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat

(kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep)

2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;

3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;

4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat;

5. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal

yang terkait dengan obat antara lain manfaat obat, makanan

dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek

samping, cara penyimpanan bat dan lain-lain;

6. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan

cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat

mungkin emosinya tidak stabil

7. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau

keluarganya

8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf

oleh Apoteker (apabila diperlukan)

9. Menyimpan Resep pada tempatnya;


33

10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan

menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.

Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau

pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi

kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit

ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang

sesuai. nomor resep dan tanggal pembuatan.

d. Pengelola Narkotika

1. Produksi

Dalam ketentuan umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

dijelaskan bahwa definisi narkotika adalah zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun

semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

Narkotika hanya ddigunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk keperluan tersediannya narkotika setiap tahun, Menurut

Peraturan Menteri Kesehatan No.35 tahun 2014, Menteri

Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika

kepada pabrik Kimia Farma yang telah memiliki izin sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melakukana


34

pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap

proses produksi, bahan baku narkotika dan hasil akhir dari proses

produksi narkotika.

2. Pemesanan

Pemerintah mengatur dan membatasi penggunaan obat narkotika

karena memiliki efek yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Oleh sebab itu, untuk mempermudah pengawasan terhadap

pengadaan dan distribusi narkotika, pemerintah hanya

mengizinkan PT. Kimia Farma (persero) untuk memproduksi,

mengimpor dan mendistribusikan narkotika di Indonesia. Untuk

menghindari penyalahgunakan narkotika yang dapat menimbulkan

adiksi, maka pemerintah mengadakan pengawasan khusus

dalamhal pembelian, penyimpanan, penjualan, administrasi serta

pelaporannya. Apotek mendapatkan obat narkotika dari PBF

(Perusahaan Besar Farmasi) kimia sebagai distributor tunggal yang

ditetapkan oleh pemerintah. Pemesanan dilakukan dengan

menggunakan surat pesanan narkotika rangkap lima dengan warna

berbeda-beda, ditandatangani oleh APA dan dilengkapi dengan

nomor SIK / SP serta stempel apotek. Pemesanan narkotika dalam

satu lembar surat pesanan adalah satu item (satu jenis obat). Surat

pesanan narkotika tersebut masing-masing untuk Dinas Kesehatan,

BPOM, PBF Kimia Farma, PBF Penyalur dan arsip apotek.


35

3. Penyimpanan

Narkotika di apotek wajib disimpan secara khusus sesuai dengan

ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam

peraturan perundang-undangan No. 35 / Menkes / Per / 1 / 2009,

tentang Tata Cara Penyimpanan Narkotika. Dalam peraturan

tersebut, apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan

narkotika dinyatakan dalam :

a) Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus,

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 Menteri Kesehatan

RI No. 35/ Menkes / Per / 1 / 2009.

b) Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan

sediaan farmasi selain narkotika, kecuali ditentukan oleh

Menteri Kesehatan.

c) Anak kunci lemari khusus dikuasi penanggung jawab atau

pegawai lain yang dikuasakan.

d) Lemari khusus harus ditaruh di tempat yang aman dan tidak

terlihat oleh umum. Tempat khusus ini harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

- Seluruhnya harus dibuat dari kayu atau bahan lain yang kuat

dengan ukuran 40cm x 80cm x 100cm.

- Harus mempunyai kunci yang kuat.

- Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan.

Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin,


36

petidine dan garam-garamnya serta persediaan narkotika

lainnya. Sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk

menyimpan narkotika lainnya dipakai sehari-hari.

- Lemari tersebut harus menempel pada tembok atau lantai.

4. Peredaran

Narkotika hanya diberikan kepada pasien yang membawa resep

dokter. Resep yang terdapat narkotika diberi tanda garis bawah

berwarna merah, kemudian dipisahkan untuk dicatat dalam buku

register narkotika. Sedangkan pencatatannya meliputi tanggal,

nomor resep, tanggal pengeluaran, jumlah obat, nama pasien,

alamat pasien, dan nama dokter. Pencatatannya dilakukan tersendiri

untuk masing-masing nama obat narkotika.

Untuk setiap pengeluaran narkotika dicatat dalam kartu stelling,

kemudian dicatat pada buku narkotika yang digunakan sebagai

pedoman dalam pembuatan laporan bulanan yang dikirim ke Dinas

Kesehatan Provinsi dan sebagai arsip yang dilaporkan setiap

tanggal 10 setiap bulannya.

Untuk setiap penggunaan obat tersebut dicatat jumlah pengeluaran

dan sisa yang ada. Jika ada perbedaan dilakukan pengontrolan

lebih lanjut. Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan

obat, sebab menurut UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika,

disebutkan bahwa narkotika hanya digunakan dalam bidang ilmu

kedokteran, kesehatan dan pengobatan, serta berguna bagi


37

penelitian dan pengembangan ilmu farmasi atau farmakologi.

Penggunaannya untuk penyakit juga harus berdasarkan resep

dokter. Bahkan apotek pun dilarang melayani salinan resep yang

mengandung narkotika.

Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagaian atau belum

dilayani sama sekali, boleh membuat salinan resep tetapi salinan

resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang menyimpan

resep asli. Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter

tidak boleh dilayani sama sekali. Oleh karena itu, dokter tidak

boleh menambah tulisan iter pada resep yang mengandung

narkotika. Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh

Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan dan Dokter.

5. Pemusnahan

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat akan memusnahkan

obat jenis narkotika.

1) Syarat-syarat Narkotika yang Dimusnahkan

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.35 tahun 2009 pemusnahan narkotika harus

dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut:

- Dikarenakan obat kadaluarsa

- Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai

pelayanan kesehatan.

- Dilakukan dengan menggunakan berita acara yang memuat:


38

a) Nama,jenis,sifat dan jumlah.

b) Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan

tahun.

c) Tanda tangan dan identitas pelaksana serta pejabat yang

menyaksikan (ditunjuk oleh MenKes).

d) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara

pemusnahan diatur dengan Keputusan Menteri

Kesehatan.

2) Cara Pemusnahan Narkotika

Mengenai cara pemusnahan narkotika ini dapat dilihat dalam

UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Di dalam

peraturan tersebut disebutkan dalam Apoteker Pengelola

Apotek dapat melakukan pemusnahan narkotika yang rusak,

kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan

dalam pelayanan kesehatan dengan terlebih dahulu membuat

berita acara pemusnahan narkotika :

a) Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.

b) Nama APA

c) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain

dari perusahaan atau badan tersebut.

d) Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.

e) Cara pemusnahan.

f) Tanda tangan penangung jawab apotek.


39

3) Saksi-Saksi Dalam Pemusnahan Narkotika

Pemusnahan narkotika harus disaksikan oleh:

1. Petugas Direktorat Pengawas Obat dan Makanan untuk

importer, pabrik farmasi dan unit perdagangan pusat.

2. Petugas Kantor Wilayah Departemen Kesehatan untuk

Pedagang Besar Farmasi penyalur narkotika, lembaga dan

unit perdagangan provinsi.

3. Petugas Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II untuk Apotek,

Rumah Sakit, Puskesmas dan Dokter.

4) Berita Acara Pemusnahan Narkotika

Setelah dilakukan pemusnahan narkotika, dibuat berita acara

pemusnahan narkotika tersebut dikirim ke Badan POM, satu

rangkap ke Dinas Kesehatan Kota, dan satu rangkap lagi ke

Dinas Kesehatan Provinsi dan satu lagi sebagai arsip Apotek.

5) Pelaporan

Laporan penggunaan narkotika setiap bulannya dikirim ke

Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dan dibuat tembusan ke

Dinas Kesehatan Provinsi, Balai Besar POM dan untuk arsip

Apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap

bulannya. Laporan bulanan narkotika ini berisi nomor urut,

nama sediaan, satuan, jumlah pada awal bulan, pemasukan,

pengeluaran, persediaan akhir bulan dan keterangan.


40

e. Pengelolaan Psikotropika

1. Produksi

Menurut UU No. 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat

bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang berkhasiat

psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat

yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

prilaku.

Pemerintah merasa perlu untuk mengatur psikotropika adalah untuk

menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan

kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya

penyalahgunaan psikotropika, dan untuk memberantas peredaran

gelap psikotropika.

2. Pengadaan Psikotropika

Menurut UU No. 5 tahun 1997, pemesanan psikotropika dapat

dilakukan dengan menggunakan surat pesanan psikotropika

rangkap empat, ditandatangani APA, dan dilengkapi dengan nomor

SIK / SP serta stempel apotek surat pesanan tersebut, kemudian

dikirim PBF khusus untuk penyaluran obat keras.

Surat pesanan dibuat rangkap empat, 3 (tiga) lembar untuk PBF

dan 1 (satu) lembar untuk arsip apotek. Berdasarkan pasal 14 UU

No. 5 tahun 1997, penyerahan psikotropika lainnya dapat dilakukan

oleh Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan dan

pelayanan resep dari dokter.


41

3. Penyimpanan Psikotropika

Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur oleh

peraturan perundang-undangan. Karena obat-obat psikotropika

cenderung disalahgunakan, maka disarankan obat-obat golongan

psikotropika ini disimpan dalam rak tersendiri atau lemari khusus.

4. Peredaran Psikotropika

Penggunaan psikotropika perlu dimonitoring, yaitu dengan

mencatat resep-resep yang berisi psikotropika dalam buku register

psikotropika, yang berisi nomor, nama sediaan, satuan, persediaan

awal, jumlah pemasukan, nama PBF, nomor faktur PBF, jumlah

pengeluaran, persediaan akhir, nama pasien dan nama dokter.

Syarat-Syarat penyerahan psikotropika dilakukan berdasarkan pada

pasal 14 UU No. 5 tahun 1997, yaitu:

a) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat

dilakukan oleh Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai

Pengobatan, Dokter dan kepada pengguna / pasien.

b) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan

kepada Apotek lainnya, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai

Pengobatan, Dokter dan kepada pengguna / pasien.

c) Penyerahan psikotropika oleh Rumah Sakit, Balai Pengobatan,

dan Puskesmas hanya dapat dilakukan kepada pengguna /

pasien.
42

d) Penyerahan psikotropika oleh Apotek,Rumah Sakit,

Puskesmas, dan Balai Pengobatan dilaksanakan berdasarkan

resep dokter.

e) Penyerahan psikotropika oleh dokter dilaksanakan dalam hal:

- Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan.

- Menolong orang sakit dalam keadaan darurat.

- Menjalankan yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh

dari apotek.

5. Pemusnahan Psikotropika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.3 tahun 2015,

Pemusnahan psikotropika dilakukan karena:

a) Kadaluarsa

b) Tidak memenuhi syarat untuk digunakana sebagai pelayanan

kesehatan.

c) Dilakukan dengan pembuatan berita acara yang memuat

nama, jenis, sifat dan jumlah, keterangan tempat, jam, hari,

tanggal, bulan dan tahun, tandatangan dan identitas pelaksana

serta pejabat yang menyaksikan (ditunjuk MenKes).

6. Pelaporan

Pengeluaran obat psikotropika wajib dilaporkan. Pelaporan dapat

dibedakan atas penggunaan bahan baku psikotropika dan sediaan

jadi psikotropika. Pelaporan psikotropika dibuat satu bulan sekali,


43

tetapi dilaporkan satu tahun sekali (awal Januari sampai

Desember), di buat sebanyak empat rangkap yaitu satu untuk

Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota, tiga rangkap lagi sebagai

tembusan ke Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Dinas Kesehatan Provinsi dan arsip Apotek. Laporan kemudian

ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama jelas,

nomor SIK / SP, nomor SIA, dan stempel apotek. Pelaporan

selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan

psikotropika berisi nomor urut, nama sediaan jadi (paten), satuan,

jumlah awal keterangan.

2.5.2 Kegiatan non teknis kefarmasian

a. Pembukuan

Pembukuan diperlukan untuk menampung seluruh kegiatan

perusahaan dan mencatat transaksi-transaksi yang telah dilakukan.

Buku-buku harian yang diperlukan adalah :

1) Buku kas

2) Buku bank

3) Buku penerimaan barang

4) Buku permintaan barang apotek

5) Buku laporan penjualan apotek

6) Buku penjualan pedagang besar

7) Buku pembelian

8) Buku Order
44

Hal-hal yang dibukukan yaitu:

1) Pencatatan terhadap barang masuk (pembelian obat) dan

barang keluar (penjualan obat), baik obat bebas, bebas

terbatas, obat keras, obat paten maupun generik serta

perbekalan kesehatan dibidang farmasi lainnya. Untuk

pencatatan obat golongan narkotika dan psikotropika

dilakukan secara terpisah.

2) Pencatatan terhadap resep yang masuk, yang dicatat dalam

buku resep yang berisi nomor dan pasien yang bersangkutan.

3) Pencatatan terhadap setiap obat yang stocknya mulai menipis,

dicatat dalam buku order atau buku pemesanan guna

menghindari kekosongan obat yang dibutuhkan oleh pasien.

4) Pencatatan terhadap jumlah uang yang masuk (hasil

penjualan) dan jumlah uang yang keluar (biaya operasional,

pembayaran pesanan obat dan lain-lain) dalam bentuk

laporan keuangan.

b. Pelaporan

Hal-hal yang perlu dilaporkan yaitu:

1. Pelaporan terhadap penggunaan obat golongan narkotika dan

psikotropika, obat generik serta Obat Keras Tertentu (OKT).

Pelaporan tersebut dilakukan setiap bulan berdasarkan data atau

laporan keluar masuknya obat setiap harinya yang dilakukan oleh


45

Apoteker Pengelola Apotek (APA). Pelaporan untuk narkotika /

psikotropika tersebut dibuat sebanyak empat rangkap yaitu satu

untuk Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota, tiga rangkap lagi sebagai

tembusan ke Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Dinas

Kesehatan Provinsi dan Arsip. Pelaporan ini bertujuan untuk

menghindari penyalahgunaan obat.

2. Apoteker Pengelola Apotek (APA) mengatur resep yang telah

dikerjakan menurut tanggal dan nomor urut penerimaan resep serta

harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Resep yang

mengandung narkotika harus dipisahkan dari resep lain. Untuk

pelaporan resep harus dituliskan jumlah resep yang masuk dengan

mencantumkan harga dari masing-masing resep. Resep yang telah

disimpan melalui jangka waktu tersebut ddapat dimusnahkan dan

dibuat berita acara pemusnahan.

Anda mungkin juga menyukai