TINJAUAN PUSTAKA
karena adanya kontak langsung dengan bahan eksogen yang bersifat iritan baik
berupa bahan kimia, fisik, atau biologik (Tan dkk, 2014). Awalnya DKI dianggap
sebagai proses monomorf namun saat ini dipahami sebagai sindrom biologis yang
pekerjaan dan deterjen menjadi bahan penyebab tersering (32,1%) (Amado dkk,
2012; Tan dkk, 2014). Dermatitis kontak iritan juga ditemukan pada hampir
separuh kasus hand eczema (Agarwal dkk, 2014). Insidensi DKI sebenarnya sulit
ditentukan dengan akurat, hal ini dikarenakan data epidemiologi yang terbatas
Beberapa jalur yang saling terkait diduga terlibat pada DKI antara lain gangguan
fungsi barier kulit, stimulasi sel epidermis, dan pelepasan mediator proinflamasi
dari keratinosit (Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014). Terjadinya DKI diawali
dengan adanya paparan iritan yang mampu penetrasi menembus pertahanan kulit
7
8
dan menyebabkan kerusakan keratinosit (Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014;
iritan dengan bentuk bervariasi tergantung tipe iritan yang digunakan. Sodium
lipid akibat hilangnya kohesi korneosit dan deskuamasi. Kondisi ini selanjutnya
terganggunya fungsi barier kulit (Chew dan Maibach, 2006; Elberting dkk, 2014).
dari keratinosit. Sitokin ini kemudian beraksi sebagai sinyal pelepasan kemokin
proinflamasi yang akan menarik sel mononuklear dan polimorfonuklear pada area
yang terpapar bahan iritan (Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014; Tan dkk,
2014).
dipengaruhi oleh kombinasi faktor eksogen dan endogen (Amado dkk, 2012).
a) Karakteristik iritan
Potensi iritasi dari suatu iritan sulit untuk diprediksi, beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi meliputi sifat fisikokimia yaitu pH, kondisi fisik,
b) Karakteristik paparan
(Amado dkk, 2012). Paparan jangka lama akan meningkatkan penetrasi iritan
iritan diulang maka masa pulih dari paparan sebelumnya akan mempengaruhi
c) Faktor lingkungan
fungsi barier dan meningkatkan penetrasi SLS deterjen melalui kulit. Larutan
deterjen yang panas akan lebih iritan dibandingkan larutan deterjen yang
lebih permeabel terhadap iritan (Wilkinson dan Beck, 2010; Amado dkk,
2012).
a) Faktor genetik
b) Usia
barier kulit yang dipengaruhi oleh proses penuaan, diantaranya kadar sebum
dan pH kulit. Hidrasi kulit dan TEWL tidak menunjukkan korelasi yang
c) Jenis kelamin
Kasus DKI lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan pria. Hal tersebut
bukan karena wanita lebih rentan terhadap iritan namun karena lebih sering
terpapar dengan iritan dan pekerjaan yang basah (Amado dkk, 2012).
11
Wajah, punggung tangan, dan sela jari lebih peka terhadap iritan
dibandingkan telapak tangan, telapak kaki, dan punggung (Amado dkk, 2012;
e) Atopi
terhadap iritan yang disebabkan adanya gangguan fungsi barier kronis (Tan
dkk, 2014).
manifestasi klinis DKI dibagi menjadi 10 tipe, antara lain (Chew dan Maibach,
a) Reaksi iritasi
Reaksi iritasi secara klinis ditandai dengan reaksi monomorfik akut berupa
skuama, eritem derajat ringan, vesikel, atau erosi yang berlokasi umumnya di
punggung dan jari tangan. Kondisi ini sering terjadi pada individu yang
Dermatitis kontak iritan akut umumnya terjadi akibat paparan kulit tunggal
berupa asam dan basa kuat, paparan singkat serial bahan kimia maupun akibat
kontak fisik. Sebagian besar kasus DKI akut merupakan akibat kecelakaan
kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema, edema, vesikel, dapat
12
disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis jaringan pada kasus yang
berat.
Iritasi akut tertunda merupakan reaksi akut tanpa tanda inflamasi yang
perjalanan klinis menyerupai DKI akut. Waktu munculnya lesi seperti pada
terjadi akibat adanya paparan berulang pada kulit, dimana bahan kimia yang
terlibat sering lebih dari satu dan bersifat lemah. Bahan tersebut antara lain
e) Iritasi subyektif
Pasien mengeluhkan gatal, pedih, rasa terbakar, atau perih pada hitungan
menit setelah kontak dengan iritan, namun tanpa terlihat perubahan pada
kulit. Kondisi ini diduga akibat stimulasi nosiseptor tipe C kulit, meskipun
saat ini perubahan pada vaskularisasi kulit diduga juga turut berperan.
Kondisi dimana iritasi tidak tampak namun tampak secara histologik. Gejala
yang sering timbul berupa rasa seperti terbakar, gatal, dan pedih. Iritasi
sejumlah surfaktan.
13
g) Dermatitis gesekan
hiperkeratotik pada kulit yang terabrasi dan kulit lebih rentan terhadap iritan.
h) Reaksi traumatik
Reaksi traumatik dapat terjadi setelah trauma kulit akut seperti terbakar atau
laserasi, biasanya sering timbul pada tangan dan dapat bertahan 6 minggu
atau lebih. Proses penyembuhan dermatitis tipe ini lama dan dapat muncul
lesi berupa eritema, skuama, papul, atau vesikel. Perjalanan klinis dapat
Dermatitis tipe ini sering terjadi setelah paparan pekerjaan dengan minyak,
tar, logam berat, halogen dan setelah penggunaaan beberapa kosmetik. Lesi
pustular steril, bersifat transien dan muncul setelah beberapa hari kontak
dengan iritan. Biasanya sering dijumpai pada pasien dengan dermatitis atopik
Kondisi ini sering didapatkan pada pasien usia lanjut yang tidak mengoleskan
pelembab pada kulit setelah mandi. Gambaran klinis yang khas untuk DKI
DKI. Tes tempel dan uji provokasi tidak dianjurkan karena tingkat positif palsu
yang tinggi. Tetapi pada beberapa literatur, tes tempel dilakukan untuk
14
membedakan DKA dan DKI. Sensitifitas dan spesifisitas uji tempel berkisar 70%,
hal ini menyebabkan hasil positif palsu masih sering dapat terjadi sehingga data
B. Deterjen
Istilah deterjen telah digunakan sejak tahun 1676, berasal dari bahasa Latin
pembersih. Saat ini deterjen dimaksudkan sebagai semua agen pembersih yang
menjadi 4 yaitu solid, bubuk, paste-like dan cair. Deterjen bubuk lebih disukai
anionik 10 20%. Surfaktan atau surface active agent adalah zat aktif permukaan
15
25% dari keseluruhan kandungan deterjen bubuk. Bahan ini tidak mempunyai
ditambahkan bahan aditif (tambahan) pada deterjen. Bahan tersebut antara lain
seperti enzim (0 2%), pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan lain-lain yang
tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Bahan yang berperan
sebagai agen pemutih antara lain perborat 15%, aktivator 0 3%, dan fluorescent
empat jenis, yaitu (Morelli dan Szajer, 2000; Effendy dan Maibach, 2006) :
pada industri deterjen. Gugus anion yang sering dipakai pada surfaktan
ditemukan pada produk sabun zaman dahulu. Gugus sulfat merupakan gugus
yang saat ini paling banyak dipakai berbagai produk deterjen dan yang paling
personal cleansing.
ionik yang paling banyak digunakan adalah alkohol etoksilat. Surfaktan non-
ionik banyak digunakan sebagai deterjen dengan busa minimal pada deterjen
maupun positif pada bagian aktif permukaannya. Surfaktan ini memiliki sifat
surfaktan anionik misalnya pada deterjen dan juga sifat surfaktan kationik
Top Brand 2012 dan 2013 ada 5 yaitu antara lain Rinso, Daia, Attack, So
Klin dan Boom. Top Brand Award diberikan kepada berbagai merek di dalam
kategori produk tertentu yang memenuhi dua kriteria, yaitu merek yang
17
memperoleh indeks Top Brand minimum 10% dan yang menurut hasil survei
berada dalam posisi tiga teratas pada kategori produknya. Kedua kriteria ini harus
dipenuhi oleh sebuah merek agar berhak menyandang predikat Top Brand
Indeks Top Brand diukur dengan menggunakan tiga parameter, yaitu (a)
Top of mind awareness yaitu didasarkan atas merek yang pertama kali disebut
oleh responden ketika kategori produknya disebutkan; (b) Last used yaitu
didasarkan atas merek yang terakhir kali digunakan oleh responden dalam satu re-
purchase cycle; (c) Future intention yaitu didasarkan atas merek yang ingin
parameter. Survei Top Brand terbagi menjadi dua jenis yaitu survei dengan target
penyusun deterjen pencuci pakaian adalah surfaktan (Yangxin dkk, 2008). Pada
proses mencuci terjadi interaksi langsung antara surfaktan dan kulit, yang
imunologik (Effendy dan Maibach, 2006; Wolf dan Parish, 2012). Meskipun
18
surfaktan telah banyak diketahui merupakan bahan yang bersifat iritan, namun
mekanisme pastinya belum diketahui secara jelas (Effendy dan Maibach, 2006).
memiliki efek iritasi yang kurang lebih sama dengan surfaktan anionik. Surfaktan
kationik memliki efek sitotoksik yang lebih besar dibandingkan surfaktan anionik.
Surfaktan nonionik memiliki efek iritasi paling rendah diantara surfaktan lainnya,
hanya berdasarkan sifat gugus hidrofilik surfaktan (Effendy dan Maibach, 2006).
iritasinya pada kulit, saat ini deterjen pencuci pakaian diformulasikan dengan
kandungan lemak (Boonchai dan Iamthorachai, 2010). Barier kulit yang rusak
akan meningkatkan penetrasi iritan dan menjadi faktor penyebab utama pada DKI
Penilaian efek sitotoksik dan iritasi deterjen dapat dilakukan baik secara in
vivo maupun in vitro. Secara umum, kedua efek deterjen tersebut dapat dinilai
dengan uji in vivo sedangkan uji in vitro hanya dapat digunakan untuk menilai
efek sitotoksik. Pengujian in vivo dapat dilakukan dengan beberapa metode uji
iritasi yang cara paparannya sering disesuaikan dengan jenis produk yang akan
Pada dasarnya metode uji iritasi dapat dikelompokkan menjadi uji tertutup
dan uji terbuka. Uji tertutup berupa uji tempel, dapat dilakukan dengan cara
oklusif maupun semi-oklusif (Corazza dkk, 2010). Uji iritasi dengan uji terbuka
yang dikenal secara umum adalah wash test, immersion test dan ROAT. Cara
penggunaan deterjen umumnya berupa paparan langsung pada kulit dalam waktu
relatif singkat dan berulang-ulang. Metode uji iritasi yang dianggap memiliki
kesamaan dengan kondisi tersebut adalah uji terbuka (Simion, 2006, Williams
dkk, 2011).
efek iritasi dari cara pemakaian deterjen dalam keseharian. Wash test memerlukan
jumlah sampel yang besar karena permukaan kedua lengan bawah hanya dapat
sehingga metode ini juga memerlukan jumlah sampel yang banyak karena 1
20
subjek hanya dapat diuji iritasi dengan 2 iritan yang berbeda. Tes ini juga tidak
dapat menunjukkan perbedaan efek iritasi antara iritan lemah dan kuat karena
perubahan kulit yang terjadi setelah paparan dengan imersi yang berbeda sangat
ringan. Diantara ketiga uji terbuka tersebut ROAT merupakan metode uji iritasi
Repeat open application test merupakan salah satu uji terbuka yang dapat
digunakan untuk menilai efek iritasi beberapa deterjen pada waktu yang
bersamaan pada satu individu. Metode uji iritasi ini biasanya dilakukan pada
lengan bawah bagian volar. Bahan uji iritan 0,1 ml dengan konsentrasi 10%
dibiarkan selama 20 - 45 menit satu kali sehari. Reaksi iritasi dapat terjadi
umumnya dalam 4 hari, namun dapat terjadi lebih lambat pada hari ke-5 sampai
hari ke-7, namun 7 hari biasanya menjadi periode waktu yang dipilih untuk
Efek iritasi pada kulit akibat paparan berulang deterjen secara obyektif
dapat dinilai dengan pemeriksaan biosifik non invasif berupa pengukuran TEWL
memiliki kekurangan dan kelebihan (Tupker dkk, 1999; Fluhr dkk, 2001).
21
Perubahan fisiologik dapat terjadi pada proses awal iritasi yang kadang
timbul sebelum beberapa reaksi iritasi terlihat pada kulit. Skor visual dapat
menilai seluruh reaksi iritasi secara simultan dan lebih diskriminatif dalam
mendeteksi perubahan kulit dibandingkan dengan nilai TEWL. Namun skor visual
tidak dapat mengukur secara langsung perubahan fisiologik dan kurang sensitif
diharapkan dapat saling melengkapi dalam penilaian efek iritasi deterjen (Fluhr
Air secara terus menerus berdifusi dari kulit ke lingkungan sekitar karena
tingginya kandungan dan aktivitas air dalam tubuh, proses ini dikenal sebagai
invasif yang sering digunakan untuk menilai integritas stratum korneum dan
sebagai alat pengukur tidak langsung fungsi barier kulit. Evaporasi transepidermal
atau TEWL juga merupakan metode yang akurat dan sensitif untuk mendeteksi
serta mengukur perubahan kulit yang disebabkan iritan (Schnetz dkk, 1999).
Stratum korneum merupakan bagian kulit yang letaknya paling luar dan
berperan penting dalam pembentukan barier terhadap difusi air (Rogiers dkk,
1999). Nilai TEWL dipengaruhi tiga variabel yaitu kelembaban relatif, temperatur
ruangan dan temperatur dari obyek yang diukur (kulit), oleh karena itu diperlukan
jam pada standar kelembaban 31 65% dan standar suhu 19 22oC (Thoma dkk,
22
1997; Fluhr dan Darlenski, 2014). Satuan pengukur TEWL adalah gram/meter
persegi/jam dan alat pengukur TEWL yang sering digunakan antara lain
E. Landasan Teori
menjadi alasan untuk meneliti potensi iritasi berbagai deterjen bubuk yang banyak
2. Berbagai merek deterjen bubuk memiliki bahan aktif, komposisi, dan sifat
F. Kerangka Teori
Deterjen
Surfaktan pH alkali
Kerusakan membran
pertahanan kulit Peningkatan pH air
Peningkatan Peningkatan pH
permeabilitas kulit kulit
G. Kerangka Konsep
Genetik Deterjen
Deterjen : Merek
bahan aktif dan komposisi Derajat pH
Efek Iritasi
H. Hipotesis
a. Terdapat perbedaan efek iritasi pada berbagai deterjen bubuk yang umum
digunakan di Indonesia.
ditimbulkan.