Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

AUTOIMUN
(SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)

Dosen Pengampu :

Dr. Dra. Refdanita, M.Si


Lisana Sidqi Aliya, S.Farm.,M.Biomed.,Apt

Disusun Oleh :

Annisa Fikry 16330717

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah
ini disusun sebagai salah satu tuntutan tugas mata kuliah Imunologi, Institut Sains dan
Teknologi Nasional.

Dalam makalah ini akan di bahas mengenai Autoimun Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) atau sering disebut lupus. Pembahasan kali ini sangatlah berguna dalam menambah
wawasan kita tentang penyakit autoimun yaitu lupus, epidemiologi, etiologi, mekanisme,
manifestasi klinis, pemeriksaan serta digonosisnya

Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyusun makalah ini, terutama kepada pembuat jurnal, karena tanpa bantuan dan dorongan
dari mereka penulis tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Penulis pun sangat berterima kasih kepada Ibu Dr. Dra. Refdanita M.Si dan Lisana Sidqi Aliya,
S.Farm.,M.Biomed.,Apt selaku dosen dalam mata kuliah imunologi ini.

Penulis berharap dengan dibuatnya makalah ini dapat membantu proses belajar
mengajar dan menambah wawasan para pembaca. Dalam pembuatan makalah ini penulis
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat dibutuhkan guna perbaikan kedepannya.

Jakarta, Oktober 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN AWAL ......................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
1.3. Tujuan ........................................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Autoimun ................................................................................................................... 3
2.1.1 Penyakit Autoimunitas...................................................................................... 3
2.2 Systemic Lupus Erythematosus (Lupus) ..................................................................... 3
2.2.1 Definisi Lupus................................................................................................... 3
2.3 Epidemiologi Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)............................................... 3
2.4 Etiologi Systemic Lupus Erythematosus (Lupus) ....................................................... 4
2.5 Mekanisme Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (Lupus) ................................... 5
2.6 Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erythematosus (Lupus) ....................................... 6
2.7 Pemeriksaan Systemic Lupus Erythematosus (Lupus) ................................................ 7
2.7.1 Pemeriksaan Utama SLE .................................................................................. 7
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang SLE ............................................................................ 8
2.8 Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (Lupus) .................................................... 8

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian Systemic Lupus Erythematosus ........................... 10

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 14
4.2 Saran ......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16
LAMPIRAN JURNAL DAN POWER POINT .......................................................... 17
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang bersifat
kronis dan banyak ditemukan pada wanita usia muda dengan manifestasi klinis yang beragam.
Secara epidemiologi, angka kejadian SLE pada wanita muda sembilan kali lebih tinggi bila
dibanding dengan pria dengan usia yang sama (Suselo dkk, 2016).
Dari hasil studi meta-analisis, prevalensi SLE di negara-negara Asia bervariasi dari 30
sampai 50 kasus per 100.000 penduduk dan China menempati ranking pertama dengan 70
kasus. Sampai saat ini, peneliti belum mendapatkan angka pasti prevalensi SLE di Indonesia.
Data lain yang menarik adalah sejumlah wanita muda di negara barat keturunan Asia dan Afrika
mempunyai kecenderungan lebih tinggi menderita SLE dibanding dengan wanita-wanita pada
usia yang sama dari etnis lain. Namun, patogenesis SLE terkait dengan perbedaan jenis
kelamin dan ras belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab
SLE adalah faktor genetik, gangguan keseimbangan hormonal, disfungsi sistem imun, dan
faktor lingkungan (Suselo dkk, 2016).
Penyakit SLE ditandai oleh hipersekresi berbagai jenis autoantibodi terhadap molekul-
molekul yang berada di membran sel, sitoplasma, dan nukleus. Lebih lanjut, mayoritas
pasien SLE memperlihatkan reaksi positif terhadap antibodi anti double-stranded
deoxyribonucleic acid (dsDNA) beberapa tahun sebelum gejala dan tanda klinis muncul.
Abnormalitas titer antibodi ini dijadikan sebagai salah satu kriteria diagnosis SLE. Berdasarkan
studi terkini, antibodi ini banyak terlibat dalam kerusakan jaringan pada berbagai organ tubuh
melalui mekanisme yang kompleks. Salah satu mekanismenya adalah peningkatan proses
inflamasi dengan aktivasi sistem komplemen (Suselo dkk, 2016).
Maka dari itu penulis ingin membahas lebih dalam tentang SLE atau sering disebut
juga penyakit lupus yang di ambil berdasarkan jurnal yang berjudul Ekpresi CD3 dan CD26
pada Limfosit T sebagai Biomarker Potensial dari Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang disusun oleh Yuliana Heri Suselo, Balgis dan Dono Indarto.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari penyakit autoimunitas?
2. Apa definisi dari Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)?
3. Bagaimana epidemiologi dari Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)?
4. Bagaimana etiologi dari Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)?
5. Bagaimana mekanisme penyakit Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)?
6. Bagaimana manifestasi klinis Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)?
7. Apa saja pemeriksaan utama dan penunjang dari Systemic Lupus Erythematosus
(Lupus)?
8. Apa saja diagnosis dari Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang definisi dari penyakit autoimunitas
2. Untuk mengetahui tentang definisi dari Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)
3. Untuk mengetahui tentang epidemiologi dari Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)
4. Untuk mengetahui tentang etiologi dari Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)
5. Untuk mengetahui tentang mekanisme penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(Lupus)
6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari Systemic Lupus Erythematosus
(Lupus)
7. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan utama dan penunjang dari Systemic Lupus
Erythematosus (Lupus)
8. Untuk mengetahui tentang diagnosis dari Systemic Lupus Erythematosus (Lupus).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Autoimun
2.1.1 Penyakit Autoimunitas
Penyakit autoimunitas disebut dengan Penyakit Autoimune adalah penyakit dimana
sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasikan benda asing, dimana sel, jaringan
atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi.
Jadi adanya penyakit autoimune tidak memberikan dampak peningkatan ketahan tubuh dalam
melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk
Akibatnya, bisa menyebabkan terjadinya kerusakan zat-zat yang dianggap sebagai antigen
yang berada dalam tubuhnya sendiri (Kausar, 2015).
Penyakit autoimunitas terjadi karena sistem kekebalan kehilangan toleransinya
terhadap diri sendiri dan melancarkan perlawanan terhadap molekul-molekul tertentu di dalam
tubuh (Kausar, 2015).

2.2. Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)


2.2.1 Definisi Lupus
Nama Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti serigala. Pada abad ke-10, istilah ini
pertama kali digunakan untuk menggambarkan kondisi peradangan kulit yang menyerupai
gigitan serigala. Pada tahun 1872, seorang dokter yaitu Moriz Kaposi menyatakan bahwa
Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu kondisi peradangan kulit yang kadang-kadang
disertai dengan gejala sistemik, seperti : demam, nyeri sendi, mudah lelah, anemia, penurunan
berat badan, rambut rontok, luka di mulut, dan sensitif terhadap sinar matahari (Phillips, 2010
cit. Asih, 2015).
Definisi lain dari lupus adalah penyakit peradangan kronis pada sistem persendian
tubuh sehingga mampu mempengaruhi fungsi organ tubuh seperti kulit, sendi, darah dan ginjal
(Kausar, 2015).

2.3 Epidemiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Secara epidemiologi, angka kejadian SLE pada wanita muda sembilan kali lebih tinggi
bila dibanding dengan pria dengan usia yang sama. Dari hasil studi meta-analisis, prevalensi
SLE di negara-negara Asia bervariasi dari 30 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk dan China
menempati ranking pertama dengan 70 kasus (Suselo dkk, 2016).
Data lain yang menarik adalah sejumlah wanita muda di negara barat keturunan Asia
dan Afrika mempunyai kecenderungan lebih tinggi menderita SLE dibanding dengan wanita-
wanita pada usia yang sama dari etnis lain. Namun, patogenesis SLE terkait dengan perbedaan
jenis kelamin dan ras belum diketahui secara pasti (Suselo dkk, 2016).

2.4 Etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Etiologi dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti
bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan, faktor
imunologi dan faktor hormonal terhadap respons imun. (Asih, 2015).
Faktor genetik memegang peranan sebanyak 20% pada penderita lupus. Rentan pada
orang-orang yang memiliki autoantibodi dan kelainan imunoregulatorik. Resiko kejadian SLE
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot (Asih, 2015).
Faktor lingkungan juga dapat menjadi pemicu pada penderita lupus. Terdapat banyak
petunjuk bahwa beberapa faktor lingkungan atau non-genetik berperan pada patogenesis SLE.
Contoh yang paling jelas berasal dari pengamatan bahwa obat, seperti hidralazin, prokainamid,
dan D-penisilamin dapat memicu respons yang mirip-SLE pada manusia. Pajanan oleh sinar
ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang diduga juga menjadi pemicu SLE. Cara
kerja sinar ultraviolet masih belum diketahui sepenuhnya, tetapi diperkirakan sinar UV
memodulasi respons imun, misalnya sinar UV menginduksi keratinosit untuk menghasilkan
IL-1, suatu faktor yang diketahui mempengaruhi respons imun. Selain itu, iradiasi sinar UV
dapat memicu apoptosis pada sel, dan mengubah DNA sedemikian rupa sehingga menjadi
bersifat imunogenik (DCruz, 2010 cit. Asih, 2015).
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis SLE yaitu faktor imunologi. Meskipun
pada pasien SLE dapat terdeteksi beragam kelainan imunologi yang mengenai sel T dan sel B,
kita sulit untuk mengaitkan kelainan kelainan tersebut dengan penyebab penyakit. Selama
bertahun-tahun, diperkirakan bahwa hiperaktivitas intrinsik sel B merupakan hal yang
mendasar pada patogenesis SLE. Antibodi-antibodi perusak jaringan tersebut tampaknya
dirangsang oleh antigen-antigen diri dan terjadi akibat respons sel B yang bergantung pada sel
T penolong spesifik-antigen dengan banyak karakteristik respons terhadap antigen asing
(Kumar, 2010 cit. Asih, 2015).
Faktor keempat yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit SLE menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan
terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen
mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada
pasien SLE. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA
dan anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh
aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk
kulit dan ginjal (Isselbacher, 2000 cit. Asih, 2015).

2.5 Mekanisme Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Penyakit SLE ditandai oleh hipersekresi berbagai jenis autoantibodi terhadap molekul-
molekul yang berada di membran sel, sitoplasma dan nukleus. Mayoritas pasien SLE
memperlihatkan reaksi positif terhadap antibodi anti double-stranded deoxyribonucleic acid
(dsDNA) beberapa tahun sebelum gejala dan tanda klinis muncul. Abnormalitas titer antibodi
tersebut dijadikan sebagai salah satu kriteria diagnosis SLE. Berdasarkan atas studi terkini,
antibodi tersebut banyak terlibat dalam kerusakan jaringan pada berbagai organ tubuh melalui
mekanisme yang kompleks (Suselo dkk, 2016).

Gambar 2.1 Mekanisme Systemic Lupus Erythematosus

Salah satu mekanismenya adalah peningkatan proses inflamasi dengan aktivasi sistem
komplemen. Dipetidil peptidase 4 atau CD26 merupakan protease yang terletak di membran
sel-sel epitel, endotel kapiler pembuluh darah, asiner kelenjar saliva dan pankreas, serta sel-
sel imun seperti limfosit T dan limfosit B. Khusus di limfosit T, aktivitas CD26 berkaitan
erat dengan proses maturasi, migrasi, mobilitas, dan sel adhesi. Aktivitas DPP4 dalam
serum kemungkinan berhubungan dengan aktivitas proteolitiknya yang disekresikan oleh
limfosit T normal. Dalam beberapa studi dilaporkan bahwa aktivitas CD26 meningkat
pada beberapa penyakit autoimun (Suselo dkk, 2016).
Pada kondisi fisiologis, ekspresi MHC klas II pada permukaan antigen presenting
cell (APC) berfungsi untuk mempresentasikan antigen kepada limfosit T melalui ikatan
dengan T cell receptor (CD3). Kompleks ikatan tersebut belum mampu mengaktifkan
limfosit T naive dan masih memerlukan molekul costimulatory lain seperti interaksi antara

CD28-CD80/86 dan CD26-caveolin-1. Pada penyakit artritis reumatoid, sel T CD4+,


makrofag dan juga sel B menunjukkan autoaktivitas yang persisten. CD26 menstimulasi
migrasi limfosit T dengan memodifikasi beberapa kemokin seperti CXCl12 and RANTES.
Selain itu, ekspresi dan aktivitas CD26 meningkat signifikan di dalam cairan sinovial dan
sirkulasi. Peningkatan kadar protein ini mempunyai korelasi positif terhadap derajat
peradangan, sedangkan pada penyakit SLE, ekspresi dan aktivitas CD26 belum diketahui
walaupun limfosit T dan B yang hiperautoreaktif tampak pada penyakit tersebut (Suselo dkk,
2016).

2.6 Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks,
sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan
seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena
manifestasi klinis penyakit SLE ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat
saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya
keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan
sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE (DCruz, 2010, Asih, 2015).
Menurut Isbagio H (2009) cit. Asih (2015), manifestasi konstitusional dan manifestasi
mukuloskeletal yang sering dirasakan penderita SLE yaitu :
1. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan
Penurunan berat badan
Demam
2. Manifestasi Konstitusional
3. Manifestasi Kulit
4. Manifestasi Kardiovaskular
5. Manifestasi Paru-paru
6. Manifestasi Ginjal
7. Manifestasi Hemopoetik
8. Manifestasi Susunan Saraf
9. Manifestasi Gastrointestinal

2.7 Pemeriksaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


2.7.1 Pemeriksaan Utama SLE
a. Pemeriksaan Antibodi Antinuklear
Anti Nuclear Antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi
yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA pertama kali
ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita
SLE. Perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas
ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan
La/SS-B. ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode
imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada
connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita SLE
menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens
dan 40% pada penderita skleroderma. ANA juga pada 10% populasi normal
yang berusia >70 tahun (Hochberg, 2004 cit. Rizky, 2015).
b. Pemeriksaan Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam
antibodi yang reaktif terhadap DNA natif (double stranded-DNA). Anti ds-
DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan
mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Penelitian yang dilakukan
Muslikhah dkk (2012) tentang peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan
peningkatan pada keparahan penyakit. Pada penyakit SLE, anti ds-DNA
mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan tingkat keparahan
penyakit SLE (Asih, 2015).
Pemeriksaan antids-DNA dilakukan dengan metode
radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens. Pemeriksaan
Antids-DNA digunakan untuk mengetahui keberadaan autoantibodi IgG dari
ds-DNA yang dapat ditemukan secara spesifik pada individu dengan SLE dan
jarang ditemukan pada penyakit yang berhubungan dengan tulang (Asih,
2015).
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin.
Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan ada tidaknya
anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs
test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik,
dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada
penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan
kreatinin, dan ditemukannya heme granular atau sel darah merah pada urin
(Isbagio, 2009 cit. Asih, 2015).
b. Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu milekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi
aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain-lain akan menghasilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen
merupakan salah satu enzim yang terdiri dari kurang lebih 20 protein plasma
dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan
darah dan fibrinolisis (Bambang, 2014 cit. Asih, 2015).

2.8 Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.
American College of Rheumatology (1997) cit. Asih (2015) yang mengajukan 11 kriteria untuk
klasifikasi SLE. Apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis SLE dapat ditegakkan.
Kriteria tersebut menurut American College of Rheumatology (ACR) adalah :
1. Ruam malar.
2. Ruam diskoid.
3. Fotosensitivitas.
4. Ulkus di mulut.
5. Arthritis non erosif.
6. Pleuritis atau perikarditis.
7. Gangguan renal, yaitu proteinuria persisten > 0,5gr/ hari, atau silinder sel dapat berupa
eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan.
8. Gangguan neurologi, yaitu kejang-kejang atau psikosis.
9. Gangguan hematologik, yaitu anemia hemolitik dengan retikulosis, atau leukopenia atau
limfopenia atau trombositopenia.
10. Gangguan imunologik, yaitu anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes serologik
untuk sifilis yang positif palsu.
11. Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA) positif.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian Systemic Lupus Erythematosus


Pada penelitian dari jurnal yang berjudul Ekspresi CD3 dan CD26 pada Limfosit T
sebagai Biomarker Potensial Penyakit Systemic Lupus Erythematosus Suselo dkk (2016), sel-
sel sistem imun innate meningkat dan sel-sel sistem imun adaptif menurun dalam sirkulasi
darah pasien SLE. Limfositopenia pada pasien SLE ditandai oleh penurunan ekspresi CD3 dan
CD26. Setelah fraksi sel mononuklear pasien SLE dikultur dan distimulasi dengan PHA,
ekspresi CD3 dan CD26 juga menurun dan lebih rendah dibanding dengan dengan ekspresi CD3
dan CD26 dalam sirkulasi darah. Hal ini memperlihatkan bahwa penyakit SLE secara
imunologis ditandai oleh penurunan jumlah limfosit T walaupun studi lanjutan masih
diperlukan untuk mengidentifikasi apakah semua subtipe limfosit T terpengaruh dan semua
penanda permukaan limfosit T juga mengalami abnormalitas.
Jumlah leukosit dan granulosit dalam darah pasien SLE pada penelitian tersebut
berlawanan dengan jumlah leukosit dan granulosit pada penelitian lain yang sudah
dipublikasikan sebelumnya. Peneliti telah melaporkan bahwa sebagian besar penderita SLE
aktif mempunyai jumlah leukosit menurun atau leukopenia. Bahkan, leukopenia dan
granulositopenia tidak jarang ditemukan pada pasien SLE di berbagai negara di belahan dunia.
Perbedaan hasil pemeriksaan hematologi ini kemungkinan besar disebabkan oleh remisi
penyakit SLE setelah pasien minum obat-obat imunosupresif (data tidak ditunjukkan).
Penurunan jumlah limfosit pada pasien SLE dalam studi tersebut sesuai dengan
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Studi lain melaporkan bahwa limfositopenia
pada SLE kemungkinan besar mempunyai korelasi negatif dengan peningkatan laju apoptosis
limfosit T.
Selain itu, data dalam studi ini menunjukkan bahwa limfositopenia pada pasien SLE
juga ditandai dengan penurunan ekspresi CD3 dan CD26 dibanding dengan dengan ekspresi
CD3 dan CD26 kontrol pada orang sehat (dilihat pada gambar 4 dan 5).
Gambar 4. Ekspresi CD3 dan CD26 dalam Sirkulasi Darah Pasien SLE

Gambar 5. Ekspresi CD3 dan CD26 dalam Kultur Limfosit T Pasien SLE
Selain penurunan ekspresi CD3 dan CD26, beberapa abnormalitas penanda
permukaan sel juga ditemukan pada limfosit pasien SLE seperti peningkatan ekspresi CD154
yang merupakan ligan CD40 pada sel B, penurunan sekresi IL-2 dan peningkatan IFN-.
Sebagai konsekuensinya, banyak limfosit T mengalami apoptosis dan juga merupakan sumber
poten untuk mengaktifkan dan menginduksi antigen presenting cell imatur, meningkatkan
kapasitas limfosit T yang autoreaktif, memproduksi sitokin dan menstimulasi limfosit B yang
autoreaktif.
Selanjutnya, interaksi CD154 dan CD40 akan mengaktifkan limfosit B untuk
meningkatkan produksi autoantibodi yang disertai peningkatan sel-sel B dari berbagai tingkat
perkembangan. Berdasarkan atas pengetahuan peneliti, sejauh ini belum ada pusat studi yang
melaporkan penurunan ekspresi CD3 dan CD26 pada penyakit SLE baik dalam sirkulasi dan
kultur limfosit T. Dengan demikian, perubahan ekspresi kedua penanda ini potensial sebagai
biomarker penyakit SLE.
Dari kultur limfosit T pasien SLE yang distimulasi dengan PHA, ekspresi CD3 dan

CD26 menurun pada limfosit T subtipe CD4+ walaupun tidak menutup kemungkinan jika

penurunan ekspresi CD3 dapat terjadi juga pada limfosit T subtipe CD8+. Jadi, ekspresi
kedua penanda permukaan sel tersebut memang diperlukan untuk aktivasi limfosit T nave.
Penyebab lain penurunan ekspresi CD3 dan CD26 adalah limfosit T kemungkinan
tidak berproliferasi menjadi limfosit T subtipe CD4 pada saat distimulasi dengan PHA. Hal
tersebut didasarkan pada data dari sebuah penelitian yang menyatakan bahwa ko-kultur
limfosit T normal dengan sebuah antigen sintetik dapat mengoptimalkan proliferasi limfosit

T subtype CD4+. Namun, penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk membuktikan


rendahnya respons limfosit T SLE terhadap stimulasi berbagai macam antigen lain seperti
CD26 Mab, phorbol 12-miristat 13-asetat atau IL-2.
Sayangnya, penurunan ekspresi CD26 pada penelitian ini tidak diikuti dengan
penurunan aktivitas enzimnya (dilihat Tabel 1).

Peningkatan aktivitas enzim CD26 dalam kultur limfosit SLE kemungkinan besar
berasal dari anggota lain famili enzim ini seperti fibroblast activation protein serta dipeptidil
peptidase 8 dan 9. Untuk mendapatkan data aktivitas enzim CD26 yang benar dan dapat
dipercaya, metode kuantitatif baku diperlukan. Sekarang ini terdapat suatu metode standar
yang dikembangkan untuk kuantifikasi aktivitas enzim CD26 dalam serum darah yang
menggambarkan hanya aktivitas enzim dipeptidil peptidase 4.
Simpulan, limfositopenia pada pasien SLE diikuiti dengan penurunan ekspresi CD3

dan CD26 baik di dalam sirkulasi darah maupun pada kultur limfosit T subtipe CD4+.
Perubahan ekspresi ini di masa mendatang kemungkinan dapat dikembangkan sebagai
biomarker penyakit SLE yang efektif dan juga efisien meskipun riset lanjutan masih
diperlukan untuk mengetahui peran kedua marker tersebut dalam patogenesis penyakit SLE.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Penyakit Autoimunitas adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah
mengidentifikasikan benda asing, dimana sel , jaringan atau organ tubuh manusia justru
dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi.
2. Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu kondisi peradangan kulit yang kadang-
kadang disertai dengan gejala sistemik, seperti : demam, nyeri sendi, mudah lelah,
anemia, penurunan berat badan, rambut rontok, luka di mulut dan sensitif terhadap sinar
matahari.
3. Secara epidemiologi, angka kejadian SLE pada wanita muda sembilan kali lebih tinggi
bila dibanding dengan pria dengan usia yang sama.
4. Etiologi dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti
bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan,
faktor imunologi dan faktor hormonal terhadap respons imun.
5. Penyakit SLE ditandai oleh hipersekresi berbagai jenis autoantibodi terhadap molekul-
molekul yang berada di membran sel, sitoplasma dan nukleus. Mayoritas pasien SLE
memperlihatkan reaksi positif terhadap antibodi anti double-stranded deoxyribonucleic
acid (dsDNA) beberapa tahun sebelum gejala dan tanda klinis muncul.
6. Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang
kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,
kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE.
7. Pemeriksaan utama SLE yaitu pemeriksaan antibodi antinuclear dan pemeriksaan
antibody terhadap DNA. Sedangkan pemeriksaan penunjang SLE yaitu pemeriksaan
darah rutin, pemeriksaan urin dan pemeriksaan komplemen.
8. Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. ARC
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis
SLE dapat ditegakkan.
4.2 Saran
Dengan adanya tugas ini, penulis dapat lebih memahami tentang penyakit autoimun
yaitu Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dari definisi, epidemiologi, etiologi, mekanisme
penyakit, manifestasi klinik, pemeriksaan dan diagnosisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Asih, R.A.F.2015.Faktor-faktor yang behubungan dengan kelelahan pada pasien Systmic


Lupus Erythematosus (SLE).Skripsi.Fakultas Ilmu Keolahragaan.Universitas
Semarang.1-164.
Diakses pada tanggal 5 oktober 2017 :
http://lib.unnes.ac.id/20375/1/6411411052-S.pd
Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. 2014. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 3331-3419. cit. Asih,
R.A.F.2015.Faktor-faktor yang behubungan dengan kelelahan pada pasien Systmic
Lupus Erythematosus (SLE).Skripsi.Fakultas Ilmu Keolahragaan.Universitas
Semarang.1-164.
DCruz D, Espinoza G, Cervera R.2010.Systemic lupus erythematosus: pathogenesis, clinical
manifestations, and diagnosis. cit. Asih, R.A.F.2015.Faktor-faktor yang behubungan
dengan kelelahan pada pasien Systmic Lupus Erythematosus (SLE).Skripsi.Fakultas
Ilmu Keolahragaan.Universitas Semarang.1-164.
Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, et al. Systemic lupus erythematosus. In: Practical
Rheumatology. 3rd ed. 2004:417-437. cit. Asih, R.A.F.2015.Faktor-faktor yang
behubungan dengan kelelahan pada pasien Systmic Lupus Erythematosus
(SLE).Skripsi.Fakultas Ilmu Keolahragaan.Universitas Semarang.1-164.
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI,dkk. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta:
Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579. cit. Asih, R.A.F.2015.Faktor-faktor yang
behubungan dengan kelelahan pada pasien Systmic Lupus Erythematosus
(SLE).Skripsi.Fakultas Ilmu Keolahragaan.Universitas Semarang.1-164.
Isselbacher, K.J. (Ed.),dkk.2000, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13,
Volume 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. cit. Asih, R.A.F.2015.Faktor-
faktor yang behubungan dengan kelelahan pada pasien Systmic Lupus Erythematosus
(SLE).Skripsi.Fakultas Ilmu Keolahragaan.Universitas Semarang.1-164.
Baratawidjaja,K.G, Iris,R.2014.Imunologi Dasar.Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia.Edisi 11(2).860.
Kausar, A.D.2015. Metode hafalan diluar kepala kamus biologi SMA.Jakarta: ARC media.224.
Diakses pada tanggal 5 oktober 2017 :
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=KFGpCQAAQBAJ&oi=fnd&pg=PT2&dq=
materi+autoimun&ots=0_uLCHPO22&sig=9x8sprd071nrQrwOWnmZmlTYJzo&red
ir_esc=y#v=onepage&q=autoimun&f=false
Kumar Vinay,Abbas Abul K, Fausto Nelson, Mitchell Richard N, Robbins. Basic Pathology,
8th Edition, Philadelphia, USA, Saunders Elsevier 2007, Chapter 19 The Female
Genital System and Breast: 724-725. cit. Asih, R.A.F.2015.Faktor-faktor yang
behubungan dengan kelelahan pada pasien Systmic Lupus Erythematosus
(SLE).Skripsi.Fakultas Ilmu Keolahragaan.Universitas Semarang.1-164.
Phillips, R.H.2010. Coping with Lupus : Creative Coping Strategies for the Frustrating
Symptoms of this Autoimmune Disease. New York : Penguin Putan Inc. cit. Asih,
R.A.F.2015.Faktor-faktor yang behubungan dengan kelelahan pada pasien Systmic
Lupus Erythematosus (SLE).Skripsi.Fakultas Ilmu Keolahragaan.Universitas
Semarang.1-164.
Suselo, Y.H, Balgis, Dono, I.2016.Ekspresi CD3 dan CD26 pada Limfosit T sebagai
Biomarker Potensial Penyakit Systemic Lupus Erythematosus. Jurnal dari Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.48(3).140-147.
Diakses pada tanggal 25 september 2017 :
http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/article/download/843/pdf

Anda mungkin juga menyukai