AUTOIMUN
(SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
FAKULTAS FARMASI
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah
ini disusun sebagai salah satu tuntutan tugas mata kuliah Imunologi, Institut Sains dan
Teknologi Nasional.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai Autoimun Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) atau sering disebut lupus. Pembahasan kali ini sangatlah berguna dalam menambah
wawasan kita tentang penyakit autoimun yaitu lupus, epidemiologi, etiologi, mekanisme,
manifestasi klinis, pemeriksaan serta digonosisnya
Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyusun makalah ini, terutama kepada pembuat jurnal, karena tanpa bantuan dan dorongan
dari mereka penulis tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Penulis pun sangat berterima kasih kepada Ibu Dr. Dra. Refdanita M.Si dan Lisana Sidqi Aliya,
S.Farm.,M.Biomed.,Apt selaku dosen dalam mata kuliah imunologi ini.
Penulis berharap dengan dibuatnya makalah ini dapat membantu proses belajar
mengajar dan menambah wawasan para pembaca. Dalam pembuatan makalah ini penulis
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat dibutuhkan guna perbaikan kedepannya.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
1.3. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 14
4.2 Saran ......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16
LAMPIRAN JURNAL DAN POWER POINT .......................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Autoimun
2.1.1 Penyakit Autoimunitas
Penyakit autoimunitas disebut dengan Penyakit Autoimune adalah penyakit dimana
sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasikan benda asing, dimana sel, jaringan
atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi.
Jadi adanya penyakit autoimune tidak memberikan dampak peningkatan ketahan tubuh dalam
melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk
Akibatnya, bisa menyebabkan terjadinya kerusakan zat-zat yang dianggap sebagai antigen
yang berada dalam tubuhnya sendiri (Kausar, 2015).
Penyakit autoimunitas terjadi karena sistem kekebalan kehilangan toleransinya
terhadap diri sendiri dan melancarkan perlawanan terhadap molekul-molekul tertentu di dalam
tubuh (Kausar, 2015).
Salah satu mekanismenya adalah peningkatan proses inflamasi dengan aktivasi sistem
komplemen. Dipetidil peptidase 4 atau CD26 merupakan protease yang terletak di membran
sel-sel epitel, endotel kapiler pembuluh darah, asiner kelenjar saliva dan pankreas, serta sel-
sel imun seperti limfosit T dan limfosit B. Khusus di limfosit T, aktivitas CD26 berkaitan
erat dengan proses maturasi, migrasi, mobilitas, dan sel adhesi. Aktivitas DPP4 dalam
serum kemungkinan berhubungan dengan aktivitas proteolitiknya yang disekresikan oleh
limfosit T normal. Dalam beberapa studi dilaporkan bahwa aktivitas CD26 meningkat
pada beberapa penyakit autoimun (Suselo dkk, 2016).
Pada kondisi fisiologis, ekspresi MHC klas II pada permukaan antigen presenting
cell (APC) berfungsi untuk mempresentasikan antigen kepada limfosit T melalui ikatan
dengan T cell receptor (CD3). Kompleks ikatan tersebut belum mampu mengaktifkan
limfosit T naive dan masih memerlukan molekul costimulatory lain seperti interaksi antara
PEMBAHASAN
Gambar 5. Ekspresi CD3 dan CD26 dalam Kultur Limfosit T Pasien SLE
Selain penurunan ekspresi CD3 dan CD26, beberapa abnormalitas penanda
permukaan sel juga ditemukan pada limfosit pasien SLE seperti peningkatan ekspresi CD154
yang merupakan ligan CD40 pada sel B, penurunan sekresi IL-2 dan peningkatan IFN-.
Sebagai konsekuensinya, banyak limfosit T mengalami apoptosis dan juga merupakan sumber
poten untuk mengaktifkan dan menginduksi antigen presenting cell imatur, meningkatkan
kapasitas limfosit T yang autoreaktif, memproduksi sitokin dan menstimulasi limfosit B yang
autoreaktif.
Selanjutnya, interaksi CD154 dan CD40 akan mengaktifkan limfosit B untuk
meningkatkan produksi autoantibodi yang disertai peningkatan sel-sel B dari berbagai tingkat
perkembangan. Berdasarkan atas pengetahuan peneliti, sejauh ini belum ada pusat studi yang
melaporkan penurunan ekspresi CD3 dan CD26 pada penyakit SLE baik dalam sirkulasi dan
kultur limfosit T. Dengan demikian, perubahan ekspresi kedua penanda ini potensial sebagai
biomarker penyakit SLE.
Dari kultur limfosit T pasien SLE yang distimulasi dengan PHA, ekspresi CD3 dan
CD26 menurun pada limfosit T subtipe CD4+ walaupun tidak menutup kemungkinan jika
penurunan ekspresi CD3 dapat terjadi juga pada limfosit T subtipe CD8+. Jadi, ekspresi
kedua penanda permukaan sel tersebut memang diperlukan untuk aktivasi limfosit T nave.
Penyebab lain penurunan ekspresi CD3 dan CD26 adalah limfosit T kemungkinan
tidak berproliferasi menjadi limfosit T subtipe CD4 pada saat distimulasi dengan PHA. Hal
tersebut didasarkan pada data dari sebuah penelitian yang menyatakan bahwa ko-kultur
limfosit T normal dengan sebuah antigen sintetik dapat mengoptimalkan proliferasi limfosit
Peningkatan aktivitas enzim CD26 dalam kultur limfosit SLE kemungkinan besar
berasal dari anggota lain famili enzim ini seperti fibroblast activation protein serta dipeptidil
peptidase 8 dan 9. Untuk mendapatkan data aktivitas enzim CD26 yang benar dan dapat
dipercaya, metode kuantitatif baku diperlukan. Sekarang ini terdapat suatu metode standar
yang dikembangkan untuk kuantifikasi aktivitas enzim CD26 dalam serum darah yang
menggambarkan hanya aktivitas enzim dipeptidil peptidase 4.
Simpulan, limfositopenia pada pasien SLE diikuiti dengan penurunan ekspresi CD3
dan CD26 baik di dalam sirkulasi darah maupun pada kultur limfosit T subtipe CD4+.
Perubahan ekspresi ini di masa mendatang kemungkinan dapat dikembangkan sebagai
biomarker penyakit SLE yang efektif dan juga efisien meskipun riset lanjutan masih
diperlukan untuk mengetahui peran kedua marker tersebut dalam patogenesis penyakit SLE.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Penyakit Autoimunitas adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah
mengidentifikasikan benda asing, dimana sel , jaringan atau organ tubuh manusia justru
dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi.
2. Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu kondisi peradangan kulit yang kadang-
kadang disertai dengan gejala sistemik, seperti : demam, nyeri sendi, mudah lelah,
anemia, penurunan berat badan, rambut rontok, luka di mulut dan sensitif terhadap sinar
matahari.
3. Secara epidemiologi, angka kejadian SLE pada wanita muda sembilan kali lebih tinggi
bila dibanding dengan pria dengan usia yang sama.
4. Etiologi dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti
bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan,
faktor imunologi dan faktor hormonal terhadap respons imun.
5. Penyakit SLE ditandai oleh hipersekresi berbagai jenis autoantibodi terhadap molekul-
molekul yang berada di membran sel, sitoplasma dan nukleus. Mayoritas pasien SLE
memperlihatkan reaksi positif terhadap antibodi anti double-stranded deoxyribonucleic
acid (dsDNA) beberapa tahun sebelum gejala dan tanda klinis muncul.
6. Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang
kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,
kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE.
7. Pemeriksaan utama SLE yaitu pemeriksaan antibodi antinuclear dan pemeriksaan
antibody terhadap DNA. Sedangkan pemeriksaan penunjang SLE yaitu pemeriksaan
darah rutin, pemeriksaan urin dan pemeriksaan komplemen.
8. Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. ARC
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis
SLE dapat ditegakkan.
4.2 Saran
Dengan adanya tugas ini, penulis dapat lebih memahami tentang penyakit autoimun
yaitu Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dari definisi, epidemiologi, etiologi, mekanisme
penyakit, manifestasi klinik, pemeriksaan dan diagnosisnya.
DAFTAR PUSTAKA