Anda di halaman 1dari 7

LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA

NOMOR 381/UN4.27/KP.25/2017
TANGGAL 08 SEPTEMBER 2017
TENTANG PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI DI RUMAH SAKIT GIGI
DAN MULUT UNIVERSITAS HASANUDDIN

PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI DI RSGM UNHAS

BAB I
A. Gambaran Umum
B. Sejarah RS
C. Struktur RS
D. Latar Belakang
Kedaruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun kelompok orang pada setiap
saat dan dimana saja. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera untuk menyelamatkan
jiwa. Penderita gawat darurat ialah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit,
trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami
cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal. Dalam menghadapi penderita gawat darurat
maka faktor waktu memegang peranan yang sangat penting (time saving is life saving) atau
tindakan pada menit menit pertama dalam menangani kegawatan medik tersebut dapat
berarti besar dan sangat menentukan hidup atau mati penderita.
Pasien kritis memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dengan mengenali ciri-
ciri dengan cepat dan penatalaksanaan yang dini serta sesuai dapat membantu mencegah
perburukan lebih lanjut dan memaksimalkan peluang untuk sembuh. Pada pasien gawat
darurat yang perlu diwaspadai adalah terjadinya henti jantung dan henti napas.
Henti jantung paru biasanya terjadi secara tiba tiba dan tidak dapat diprediksikan.
Jantung paru berhenti biasanya timbul sebagai tahap akhir dari suatu sekuens penyakit yang
ada secara progresif, termasuk hipoksia dan hipotensi. Menurut penelitian dari
ACADEMIA menunjukkan bahwa dari kejadian henti jantung 55 % nya berujung
kematian. Nolan et al dalam Jevon & Ewens (2009) menyatakan hanya 17 % pasien yang
bisa bertahan hidup setelah mengalami henti jantung. Sebagian besar pasien dapat bertahan
hidup setelah mendapatkan resusitasi jantung paru atau defibrilasi dengan segera.
Resusitasi pada pasien yang mengalami henti jantung dan henti napas merupakan tindakan
kritis yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan yang kompeten. Petugas kesehatan
harus dapat membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang unik pada situasi kritis dan mampu
menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu panduan resusitasi dalam pelayanan pasien di RSGM Unhas sehingga dapat
meningkatkan mutu dan keselamatan pasien.
E. Pengertian
Beberapa definisi Resusitasi Jantung Paru :
1. Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan
fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas ( respiratory arrest ) dan atau
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA
NOMOR 381/UN4.27/KP.25/2017
TANGGAL 08 SEPTEMBER 2017
TENTANG PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI DI RUMAH SAKIT GIGI
DAN MULUT UNIVERSITAS HASANUDDIN

henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh
suatu sebab yang mungkin untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi
tersebut bekerja kembali
2. Resusutasi jantung paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada orang
yang mengalami henti nafas karena sebab sebab tertentu
3. Resusitasi jantung paru terdiri dari bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjutan
yang masing masing keduanya tidak terpisahkan
4. Tujuan dari tindakan resusitasi adalah mengembalikan fungsi jantung dan paru agar
kembali seperti semula

BAB II
RUANG LINGKUP

1. Panduan ini mengatur untuk melakukan tindakan resusitasi jantung paru baik berupa
bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjutan
2. Panduan ini diterapkan pada semua pasien yang mengalami kegawatan berupa henti
jantung dan henti nafas apapun penyebabnya baik di rawat jalan maupun rawat inap
3. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh semua petugas di RS yang telah
mendapatkan pelatihan bantuan hidup dasar (BHD) sedangkan bantuan hidup
lanjutan hanya boleh dilakukan oleh dokter dan perawat
4. Panduan ini mengatur bagaimana pelaksanaan resusitasi , team blue code dan
penanganan setelah resusitasi berhasil dilakukan.

BAB III
TATA LAKSANA

Indikasi Resusitasi Jantung Paru :


1. Henti Napas : korban tidak bernapas, ditandai dengan tidak adanya pergerakan dada
dan aliran udara napas.
2. Henti jantung : jantung berhenti berdenyut dan memompa darah ditandai dengan
ditandai tidak terabanya denyut nadi pada arteri-arteri besar, seperti arteri karotis,
arteri brakialis dan arteri femoralis.
Peralatan :
1. APD (handschoon, masker, head cap, apron, dll)
2. BVM (Bag Valve Mask)
3. Defibrilator
4. Oropharingeal Airway
5. Spatel Tounge
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA
NOMOR 381/UN4.27/KP.25/2017
TANGGAL 08 SEPTEMBER 2017
TENTANG PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI DI RUMAH SAKIT GIGI
DAN MULUT UNIVERSITAS HASANUDDIN

Langkah-langkah Resusitasi Jantung Paru :


1. Menilai kesadaran/ respon dan kesan pernapasan
2. Minta tolong (aktifkan sistem gawat darurat/ code blue)
3. Cek nadi, bila tidak ada
4. Circulation support (kompresi jantung luar)
Cara melakukan kompresi jantung luar :
- Titik kompresi terletak di bagian setengah bawah tulang dada atau diantara 2
puting susu (pada garis tengah)
- Letakkan tumit salah satu tangan di titik kompresi. Tangan yang lain diletakkan
di atas tangan pertama dengan jari jemari kedua tangan saling mengait. Tekanan
hanya diberikan melalui tumit tangan tersebut, usahakan agar jari-jari penolong
tidak menyentuh bahkan menekan tulang-tulang iga korban.
- Saat melakukan penekanan dinding dada, posisi badan penolong tegak lurus
bidang datar dengan kedua lengan lurus. Penolong menekan dinding dada
korban dengan tenaga dari berat badannya. Setiap siklus dilakukan 30 kali
kompresi, dengan kedalaman minimal 5 cm. Kompresi dilkukan dengan
kecepatan 100x/menit. Setiap kali setelah kompresi biarkan dada korban
kembali mengembang dengan sempurna. Jangan lepaskan tangan penolong dari
dada korban atau mengubah posisi.
5. Airway control dan cervical control
Pengelolaan gangguan airway :
- Melakukan manuever Head tilt/ chin lift
6. Breathing support
Cara melakukan pemberian ventilasi :
Ventilasi atau pernapasan buatan adalah memberikan udara bertekanan positif yang
mengandung oksigen, kemudian membiarkan udara mengalir keluar secara pasif.
Volume udara yang diberikan sebesar 6-7 ml/kgBB atau sampai dengan dada
korban terlihat mengembang.
- Ventilasi mulut ke mulut
Pasang alat pelindung; barrier device, face shield
Penolong menarik napas biasa saat akan memberikan napas buatan
Jepit lubang hidung korban dengan ibu jari dan jari telunjuk
Tutupi mulut korban dengan mulut penolong secara keseluruhan agar
tidak terjadi kebocoran
Berikan hembusan napas 2 kali, sambil tetap menjaga terbukanya jalan
napas. Setiap hembusan napas dilakukan selama 1 detik, beri
kesempatan untuk ekspirasi.
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA
NOMOR 381/UN4.27/KP.25/2017
TANGGAL 08 SEPTEMBER 2017
TENTANG PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI DI RUMAH SAKIT GIGI
DAN MULUT UNIVERSITAS HASANUDDIN

- Ventilasi mulut ke hidung


Dilakukan bila tidak mungkin melakukan ventilasi mulut ke mulut, misalnya
mulut korban yang tertutup rapat dan tidak bisa dibuka atau mulut korban
mengalami cedera. Langkah yang dilakukan sama seperti ventilasi mulut ke
mulut. Perbedaannya adalah ketika memberikan bantuan napas, hembusan napas
diberikan melalui hidung korban sementara mulut korban tertutup rapat. Pada
saat ekspirasi usahan mulut korban terbuka.
- Ventilasi mulut ke stoma
Langkah yang dilakukan sama dengan kedua teknik di atas, hanya saja
hembusan napas diberikan melalui stoma
- Ventilasi mulut ke masker atau sungkup muka
Hembusan napas diberikan melalui sungkup muka atau masker.
- Ventilasi dengan Bag Valve Mask (BVM)
- Gunakan alat bantu supraglotik atau lakukan intubasi. Pemasangan alat bantu
napas harus selesai dalam jangka waktu 30 detik, jika tidak hentikan dan berikan
napas buatan, lalu coba pasang lagi.
- Apabila alat bantu napas lanjutan sudah terpasang, berikan ventilasi sebanyak 8-
10 kali per menit dengan tetap melakukan RJP (resusitasi jantung paru)
7. Defibrilator
Ketika defibrilator tersedia, orang kedua memasang defibrilator tanpa menghentikan
kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar hanya dihentiikan bila defibrilator
sedang menganalisis dan ketika sedang memberikan shock. Setelah itu langsung
dilanjutkan dengan kompresi jantung luar. Penggunaan defibrilator bergantung pada
jenis alat
Defibrilator monofasik: berikan 360 J sekali kejutan
Defibrilator bifasik: berikan 120-200 J sekali kejutan
8. Pemberian obat-obatan.
- Epinefrin/Adrenalin IV/IO dengan dosis 1 mg setiap 3-5 menit.
- Amiodaron IV/IO. Dosis pertama: 300 mg bolus; dosis kedua: 150 mg.
9. Reevaluasi
Lakukan evaluasi setiap 5 siklus. Satu siklus terdiri atas 30 kompresi dan 2 ventilasi
(baik dilakukan oleh 1 penolong maupun 2 penolong)
Sembari melakukan BHL, tim penolong harus mencoba mencari penyebab henti
jantung agar dapat memberikan obat atau terapi spesifik yang tepat. Penyebab
tersering henti jantung yang harus dipertimbangkan dikenal dengan
singkatan 5H5T, yang terdiri dari: hipovolemi, hypoxia, hipo/hiperkalameia,
hydrogen ino (asidosis), hipo/hipertermia, thrombosis coronary atau pulmonary,
tamponade jantung, tension pneumothorax, toxin.
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA
NOMOR 381/UN4.27/KP.25/2017
TANGGAL 08 SEPTEMBER 2017
TENTANG PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI DI RUMAH SAKIT GIGI
DAN MULUT UNIVERSITAS HASANUDDIN

10. Return of Spontaneous Circulation (ROSC). Kembalinya sirkulasi spontan


ditandai:
Kembalinya denyut nadi dan tekanan darah;
Peningkatan PETC02 secara cepat, biasanya 4 mmHg.
Setelah tercapai ROSC, hal-hal yang harus dilakukan:
Pemeriksaan EKG 12 sadapan,
Pastikan adekuatnya oksigenasi dan ventilasi,
Jaga temperatur tubuh,
Terapi perfusi/reperfusi.
11. Pertimbangkan rujuk di perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH,
pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis,
tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler
penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil,
tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar
yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya
menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-
sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas
elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih
sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA
NOMOR 381/UN4.27/KP.25/2017
TANGGAL 08 SEPTEMBER 2017
TENTANG PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI DI RUMAH SAKIT GIGI
DAN MULUT UNIVERSITAS HASANUDDIN

ALGORITMA BANTUAN HIDUP DASAR


LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA
NOMOR 381/UN4.27/KP.25/2017
TANGGAL 08 SEPTEMBER 2017
TENTANG PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI DI RUMAH SAKIT GIGI
DAN MULUT UNIVERSITAS HASANUDDIN

ALGORITMA BANTUAN HIDUP LANJUT (ALS)


BAB IV
DOKUMENTASI

Untuk mempermudah dan sebagai bukti dukumentasi, proses-proses penanganan dan


penatalaksanan kasus Resusitasi di RSGM Unhas di Instalasi Gawat Darurat, Rawat Inap
Maupun Rawat Jalan terdokumentasi dalam status Rekam Medis, dan semua catatan
tentang tindakan Resusitasi akan di evalusi secara periodik pada Lembar Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi.

Ditetapkan di : Makassar
Pada tanggal : 08 September 2017

DIREKTUR UTAMA

MUHAMMAD RUSLIN
NIP. 19730702 200112 1 001

Anda mungkin juga menyukai