Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDHULUAN

1.1 Latar belakang

Beberapa riset akuntansi mulai mencoba menghubungkan dan menganggap penting untuk memasukkan
aspek keperilakuan dalam akuntansi. Sejak meningkatnya orang yang sudah memberikan pengakuan terhadap
beberapa aspek perilaku dari akuntansi terdapat suatu kecenderungan untuk memandang secara lebih luas
terhadap bagian akuntansi yang lebih subtansial. Perspektif perilaku menurut pandangan ini telah dipenuhi dengan
baik sehingga membuat sistem akuntansi yang lebih dapat dicerna dan lebih bisa diterima oleh para
manajer/pimpinan dan karyawannya. Pelayanan akuntansimungkin juga telah sampai pada puncak permasalahan
yang rumit dan gagasan akuntansi dapat muncul dari beberapa nilai yang ada. Tetapi, pertimbangan perilaku dan
sosial tidak berarti mengubah dari tugas akuntansi secara radikal. Namun mulaimengembangkan perspektif dalam
mendekati beberapa pengertian yang mendalam mengenai pemahaman atas perilaku manusia pada organisasi.
Manusia dan faktor sosial diikut sertakan secara jelas dalam aspek-aspek operasional utama dari seluruh sistem
akuntansi, karena para akuntan membuat asumsi mengenai bagaimana mereka termotivasi, bagaimana mereka
menginterpretasikan dan menggunakan informasi akuntansi, dan bagaimana sistem akuntansi mereka sesuai
dengan kenyataan manusia dan mempengaruhi organisasi Berdasarkan pengalaman, banyak manajer dan akuntan
telah memperoleh suatupemahaman yang lebih dari sekadar aspek manusia dalam tugas mereka. Bagaimanapun
harus diakui bahwa banyak sistem akuntansi masih dihadapkan pada berbagai kesulitan manusia yang tidak
terhitung, bahkan penggunaan dan penerimaan seluruh sistem akuntansi terkadang dapat menjadi meragukan.
Pertanggungjawaban dan pengambilan keputusan dilakukan atas dasar sudut pandang hasil laporan mereka dan
bukan atas dasar kontribusi mereka yang lebih luas terhadap efektivitas organisasi. Sebagian prosedur saat ini juga
dapat menimbulkan pembatasan yang tidak diinginkan terhadap inisiatif manajerial. Prosedur dapat menjadi
tujuan akhir itu sendiri jika semata-mata dibandingkan dengan teknik organisasi yang lebih luas.Dalam organisasi,
semua anggota mempunyai peran yang harus dimainkandalam mencapai tujuan organisasi. Peran tersebut
bergantung pada seberapa besar porsi tanggung jawab dan rasa tanggung jawab anggota terhadap pencapaian
tujuan.

Rasa tanggung jawab tersebut pada sebagian organisasi dihargai dalam bentukpenghargaan tertentu.
Dalam organisasi, masing-masing mempunyai tujuan dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan organisasi
tersebut. Keselarasan tersebut akan dapat lebih diwujudkan manakala individu memahami dan patuh pada
ketetapan-ketetapan yang ada di dalam anggaran.

17
1.2 Tujuan
Membuat system akuntansi yang lebih dapat dicerna dan lebih bias diterima olehpara manager atau
pimpinan dan karyawan.

1.3 Manfaat
Bagi manager dan akuntan yaitu dapat memperoleh suatu pemahaman yanglebih dari sekedar aspek
manusia dalam tugas mereka

17
BAB II

PEMBAHASAN

1. Akuntansi adalah tentang manusia

Berdasarkan pemikiran perilaku, manusia dan faktor sosial sesungguhnya didesain


secara jelas dalam aspek-aspek operasional utama dari seluruh sistem akuntansi. Namun
selama ini belum pernah ada yang melihatnya dari sudut pandang semacam itu dan para
akuntan belum pernah ada yang mengoperasikan perilaku pada sesuatu yang vakum.

2. Akuntansi adalah tindakan

Dalam organisasi semua anggota mempunyai peran yang harus dimainkan guna
mencapai tujuan organisasi. Peran tersebut bergantung pada besarnya porsi tanggungjawab dan
rasa tanggungjawab anggota tersebut terhadap pencapaian tujuan organisasi. Pencapaian tujuan
dalam bentuk kuantitatif juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawab anggota organisasi
dalam memenuhi keinginannya untuk mencapai tujuan dan sasaran organisas

2.1. Dimensi Akuntansi Keperilakuan

Informasi ekonomi dapat ditambah dengan tidak hanya melaporkan data-data keuangan
saja, tetapi juga data-data nonkeuangan yang terkait dengan proses pengambilan keputusan.

1. Lingkup Akuntansi Keperilakuan

Akuntansi keperilakuan berada dibalik akuntansi tradisional yang berarti


mengumpulkan, mengukur, mencatat dan melaporkan informasi keuangan. Dengan demikian,
dimensi akuntansi berkaitan dengan perilaku manusia dan juga dengan desaian, konstruksi,
serta penggunaan suatu system informasi akuntansi yang efisien. Akuntansi keperilakuan
dengan mempertimbangkan hubungan antara perilaku manusia dengan sistem akuntansi
mencerminkan dimensi sosial dan budaya manusia dalam suatu organisasi.

Secara umum, lingkup dari akuntansi keperilakuan dapat dibagi menjadi tiga bidang besar.

a. Pengaruh perilaku manusia berdasarkan desain, konstruksi, dan penggunaan system


akuntansi. Bidang dari akuntansi keperilakuan ini mempunyai kaitan dengan sikap dan

17
filosofi manajemen yang memengaruhi sifat dasar pengendalian akuntansi yang berfungsi
dalam organisasi.

b. Pengaruh system akuntansi terhadap perilaku manusia. Bidang dari akuntansi keperilakuan
ini berkenaan dengan bagaimana system akauntansi memengaruhi motivasi, produktivitas,
pengambilan keputusan , kepuasan kerja, serta kerja sama.

c. Metode untuk memprediksi dan strategi untuk mengubah perilaku manusia. Bidang ketiga
dari akuntansi keperilakuan ini mempunyai hubungan dengan cara system akuntansi
digunakan sehingga memengaruhi perilaku.

2. Akuntansi Keperilakuan : Perluasan Logis dari Peran Akuntansi Tradisional

Para akuntan yang berkualitas akan memilih gejala keperilakuan untuk melakukan
penyelidikan, karena mereka mengetahui bahwa data keperilakuan sangat berarti untuk
melengkapi data keuangan.

2.2. Lingkup dan Sasaran Hasil Ilmu Keperilakuan

Bernard Berelson dan G.A Stainer menjelaskan secara singkat mengenai definisi
keperilakuan, yaitu sebagai suatu riset ilmiah yang berhadapan secara langsung dengan
perilaku manusia. Definisi ini menangkap permasalahan inti dari ilmu keperilakuan, yaitu riset
ilmiah dan perilaku manusia.

2.3. Lingkup dan Sasaran Hasil Dari Akuntansi Keperilakuan

Pada masa lalu, para akuntan semata-mata fokus pada pengukuran pendapatan dan
biaya yang mempelajari pencapaian kinerja perusahaan di masa lalu guna memprediksi masa
depan. Mereka mengabaikan fakta bahwa kinerja masa lalu adalah hasil masa lalu dari perilaku
manusia dan kinerja masa lalu itu sendiri merupakan suatu faktor yang akan mempengaruhi
perilaku di masa depan. Mereka melewatkan fakta bahwa arti pengendalian secara penuh dari
suatu organisasi harus diawali dengan memotivasi dan mengendalikan perilaku, tujuan, serta
cita-cita individu yang saling berhubungan dalam organisasi.

Persamaan dan Perbedaan Ilmu Keperilakuan dan Akuntansi Keperilakuan

Ilmu keperilakuan mempunyai kaitan dengan penjelasan dan prediksi keperilakuan


manusia. Akuntansi keperilakuan menghubungkan antara keperilakuan manusia dengan
akuntansi. Ilmu keperilakuan merupakan bagian dari ilmu sosial, sedangkan akuntansi
keperilakuan merupakan bagian dari ilmu akuntasi dan pengetahuan keperilakuan. Namun

17
ilmu keperilakuan dan akuntansi keperilakuan sama-sama menggunakan prinsip sosiologi dan
psikologi untuk menilai dan memecahkan permasalahan organisasi.

Perspektif Berdasarkan Perilaku Manusia : Psikologi, Sosiologi dan Psikologi Sosial

Menurut Robbins (2003), Ketiga hal tersebut, yaitu psikologi, sosiologi dan psikologi
sosial menjadi kontribusi utama dari ilmu keperilakuan. Ketiganya melakukan pencarian untuk
menguraikan dan menjelaskan perilaku manusia, walaupun secara keseluruhan mereka
memiliki perspektif yang berbeda mengenai kondisi manusia. terutama merasa tertarik dengan
bagaimana cara individu bertindak. Fokusnya didasarkan pada tindakan orang-orang ketika
mereka bereaksi terhadap stimuli dalam lingkungan mereka, dan perilaku manusia dijelaskan
dalam kaitannya dengan ciri, arah dan motivasi individu. Keutamaan psikologi didasarkan
pada seseorang sebagai suatu organisasi.

Psikologi, merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha mengukur, menjelaskan dan


kadang mengubah perilaku manusia. Para psikolog memperhatikan studi dan upaya memahami
perilaku individual. Mereka yang telah menyumbangkan dan terus menambah pengetahuan
tentang perilaku organisasional teoritikus pembelajaran, teoritikus keperibadian, psikologi
konseling dan psikologi industri dan organisasi.

Bila psikologi memfokuskan perhatian mereka pada individu, sosiologi mempelajari


sistem sosial di mana individu-individu mengisi peran-peran mereka, jadi sosiologi
mempelajari orang-orang dalam hubungan dengan manusia-manusia sesamanya. Secara
spesifik, sosiolog telah memberikan sumbangan mereka yang terbesar kepada perilaku
organisasi melalui studi mereka terhadap perilaku kelompok dalam organisasi, terutama
organisasi yang formal dan rumit. Beberapa bidang dalam perilaku organisasi yang menerima
masukan yang berharga dari para sosiolog adalah dinamika kelompok, desain tim kerja,
budaya organisasi, teknologi organisasi, birokrasi, komunikasi, kekuasaan dan konflik.

Psikologi sosial, adalah suatu bidang dalam psikologi, tetapi memadukan konsep-konsep baik
dari psikologi maupun sosiologi yang memusatkan perhatian pada perilaku kelompok sosial.
Penekanan keduanya adalah pada interaksi antara orang-orang dan bukan pada rangsangan
fisik. Perilaku diterangkan dalam hubungannya dengan ilmu sosial, pengaruh sosial dan ilmu
dinamika kelompok. Disamping itu para psikologi sosial memberikan sumbangan yang berarti
dalam bidang-bidang pengukuran, pemahaman, dan perubahan sikap, pola komunikasi, cara-

17
cara dalam kegiatan dapat memuaskan kebutuhan individu dan proses pengambilan keputusan
kelompok.

Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang berkaitan dengan
persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya. Dan kalau berpikir tentang
sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan kemasyarakatan. Kajian utama
psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental, perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang
ada dalam diri manusia sebagai individu. Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya
dan struktur sosial yang keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua
bidang ilmu tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial.

Dengan demikian para psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para
sosiolog. Namun karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan
pengaruh situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal - persepsi, kognisi, emosi, dan
sejenisnya. Sedangkan para sosiolog akan lebih menekankan pada bagaimana budaya dan
struktur sosial mempengaruhi perilaku dan interaksi para individu dalam konteks sosial, dan
lalu bagaimana pola perilaku dan interaksi tadi mengubah budaya dan struktur sosial. Jadi
psikologi akan cenderung memusatkan pada atribut dinamis dari seseorang; sedangkan
sosiologi akan mengkonsentrasikan pada atribut dan dinamika seseorang, perilaku, interaksi,
struktur sosial, dan budaya, sebagai faktor-faktor yang saling mempengaruhi satu sama
lainnya.

Beberapa Hal Penting Dalam Perilaku Organisasi

Ada beberapa teori perilaku organisasional yang mencerminkan inti yang ditangani oleh teori-
teori, yaitu :

1. Teori Peran

Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan
peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah
mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi
aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan
teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran
tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya,
diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang

17
mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter
maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran
sosial

Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan
teori peran. Pendekatannya yang dinamakan life-course memaknakan bahwa setiap
masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu
sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya,
sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau
lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh
belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh
tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup
sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan
tahapan usia (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam
masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai
bermacam-macam pembagian lagi.

2. Struktur Sosial

Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal
menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat
dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang
bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu
menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey
menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa
kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat atau
struktur sosial. Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar
manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku
yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi.
Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James
menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas "diri" (self) - perasaan kita terhadap diri
kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri (self).

Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat
mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu-
individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa

17
diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam,
Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam
masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role
Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme.

3. Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan
menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai
yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya
seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-
anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan
nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh
rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang
lain.

4.Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi adalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak
organisasi tertentu serta tujuan tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan

17
dalam organisasi tersebut. Menurut Robbins (2003), didefinisikan bahwa keterlibatan
pekerjaaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara
komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu
tersebut. Dalam organisasi sekolah guru merupakan tenaga profesional yang berhadapan
langsung dengan siswa, maka guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik mampu
menjalankan kebijakan-kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai komimen
yang kuat terhadap sekolah tempat dia bekerja.

Menurut L. Mathis-John H. Jackson, komitmen organisasi adalah tingkat sampai dimana


karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama
atau meninggalkan perusahaan pada akhirnya tercermin dalam ketidakhadiran dan angka
perputaran karyawan.

Menurut Griffin, komitmen organisasi (organisational commitment) adalah sikap yang


mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya.
Seseorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai
anggota sejati organisasi.

Menurut Luthan (1998), komitmen organisasi didefinisikan sebagai :

keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu;

keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan

keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.

Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi
dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap
organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan

Menurut Allen dan Meyer (1991), ada tiga Dimensi komitment organisasi adalah :

1) Komitmen afektif (affective comitment): Keterikatan emosional karyawan, dan keterlibatan


dalam organisasi,

2) Komitmen berkelanjutan (continuence commitment): Komitmen berdasarkan kerugian yang


berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin karena
kehilangan senioritas atas promosi atau benefit,

17
3) Komitmen normatif (normative commiment): Perasaan wajib untuk tetap berada dalam
organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang
harus dilakukan.

Dessler memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen


yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada
diri karyawan :

a) Berkomitmen pada nilai manusia: Membuat aturan tertulis, memperkerjakan menejer


yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.

b) Memperjelas dan mengkomukasikan misi : Memperjelas misi dan ideologi;


berkharisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi
berdasarkan nilai dan pelatihan; membentujk tradisi,

c) Menjamin keadilan organisasi: Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang


koprehensif; menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif,

d) Menciptakan rasa komunitas: Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan;


menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim, berkumpul bersama,

e) Mendukung perkembangan karyawan: Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan


menantang pada tahun pertama; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan
dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada
karyawan tanpa jaminan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Mardiana (2004) mengemukakan komitmen yang dimiliki oleh seorang karyawan terhadap
organisasi atau perusahaan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :

1) Karakteristik individu, Karakteristik individu merupakan gambaran dari pribadi seseorang


yang dibawa dalam tatanan organisasi, dalam dunia kerja dan memiliki kecenderungan
untuk selalu berkembang dan mempengaruhi dalam melaksanakan aktivitas pekerjaan.
Karakteristik individu disini dapat berupa minat, sikap, kebutuhan, tingkat pendidikan dan
motif berprestasi.

2) Karakteristik pekerjaan, Karakteristik pekerjaan dapat berupa variasi kecakapan, identitas


tugas,tugas, otonomi dan umpan balik.

17
3) Pengalaman kerja., Pengalaman kerja merupakan suatu ukuran lamanya seseorang bekerja
di suatu organisasi atau instansi, semakin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi,
maka orang tersebut dapat dikatakan semakin berpengalaman dan dengan pengalaman
tersebut diharapkan seseorang dapat lebih produktif dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya.

Mowday, Porter dan Steers (Sjabadhyni, Graito dan Wutun, 2001) mengemukakan hal-hal
yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi antara lain karakteristik pribadi, karakteristik
yang berkaitan dengan peran, karakteristik struktural dan pengalaman kerja. Lebih lanjut,
Morrow (Prayitno, 2005) menyebutkan komitmen organisasi dipengaruhi antara lain :

1) Karakteristik personal yang berupa usia, masa kerja dan pendidikan.

2) Fungsi situasional yang berhubungan dengan lingkungan kerja seperti konflik peran dan
iklim organisasi.

3) Marchington (Kurniawan, 2006) menyebutkan lima faktor yang mempengaruhi komitmen


organisasi yaitu :

4) Kondisi fisik lingkungan kerja.

5) Perasaan atau keinginan untuk bekerja pada pemimpin atau perusahaan yang baik.

6) Rasa aman dalam bekerja, dalam hal ini terkait dengan munculnya kondisi job insecurity
yang dirasakan oleh karyawan.

7) Pembayaran upah.

8) Penghargaan atau peluang dalam bekerja.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan kepada


organisasi dipengaruhi oleh faktor individu yang bersangkutan dan faktor lingkungan kerja
atau organisasi. Faktor yang berkaitan dengan diri individu seperti minat, sikap, tingkat
pendidikan dan motif berprestasi serta pengalaman kerja. Faktor yang berkaitan dengan
lingkungan kerja atau organisasi seperti kondisi fisik lingkungan kerja, konflik peran yang
dialami oleh karyawan dan rasa aman dalam bekerja, dalam hal ini terkait dengan munculnya
kondisi job insecurity yang dirasakan karyawan.

Aspek-aspek Komitmen Organisasi

17
Steers (Kuntjoro, 2002) mengemukakan terdapat tiga aspek utama dari komitmen
organisasi yaitu :

Identifikasi, Identifikasi merupakan bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi. Hal ini
dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi sehingga mencakup beberapa tujuan
pribadi para pegawai atau dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan
keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling
mendukung diantara para pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan
membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi,
karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi
kebutuhan pribadi mereka pula.

Keterlibatan, Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja, penting


untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan mereka akan mau dan
senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesame teman kerja. Salah satu
cara yang dapat digunakan untuk memancing keterlibatan pegawai adalah keikut sertaan
pegawai dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan sehingga menumbuhkan keyakinan
pada pegawai bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama.

Loyalitas, Loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk
melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan
kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun dari organisasi. Kesediaan pegawai untuk
mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang
komitmen pegawai terhadap organisasi tempat pegawai tersebut bekerja.

5. Konflik Peran

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar

17
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di
masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang
tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Maramis (1994) mengemukakan konflik terjadi apabila seseorang tidak dapat memilih antara
dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan. Puspa dan Riyanto (1999) menyatakan konflik
peran merupakan suatu gejala psikologis yang dialami oleh anggota organisasi yang bisa
menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan secara potensial akan menurunkan
motivasi kerja karyawan. Brief (Andraeni, 2005) mendefinisikan konflik peran adalah adanya
ketidak cocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Lebih lanjut,
Leigh (Andraeni, 2005) menyatakan bahwa konflik peran merupakan hasil dari
ketidakkonsistenan harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara
tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya,
individu yang mengalami konflik peran berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit dan
serba salah. Indrawijaya (2000) menyebutkan konflik peran merupakan kondisi yang terjadi
bila seseorang melakukan berbagai macam peranan dimana kondisi tersebut terjadi karena
tekanan yang datang dari luar diri seseorang misalnya dari orang yang ada kaitan hierarki
seperti dari pimpinan, kolega yang setingkat dan dari bawahan atau bahkan dari orang luar
organisasi seperti teman separtai, kerabat atau keluarga.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik peran merupakan
suatu gejala psikologis yang dialami oleh anggota organisasi sebagai hasil dari ketidak
konsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara
tuntutan peran dengan kebutuhan, nilainilai individu dan tekanan baik yang berasal dari luar
individu maupun yang berasal dari orang luar organisasi atau perusahaan.

Jenis-jenis Konflik Peran

Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1996) mengemukakan bahwa konflik peran dapat dibagi
menjadi tiga macam antara lain :

Konflik peran pribadi (person role conflict), Konflik peran pribadi terjadi ketika persyaratan-
persyaratan peran melanggar nilai dasar, sikap dan kebutuhan individu yang menduduki posisi
tersebut. Sebagai contohnya seorang penyelia yang mendapatkan kesulitan untuk memecat

17
bawahannya karena soal keluarga, atau seorang eksekutif yang lebih senang mengundurkan
diri daripada melakukan kegiatan yang tidak pantas.

Konflik intra peran (intra role conflict) Konflik intra peran terjadi apabila beberapa orang yang
berbeda-beda menentukan sebuah peran menurut rangkaian harapan yang berbeda-beda
sehingga tidak mungkin bagi orang yang menduduki peran tersebut untuk memenuhi
semuanya. Hal ini mungkin akan terjadi apabila peran tertentu mempunyai serangkaian peran
yang kompleks, dalam arti banyak hubungan peran yang berbeda-beda. Sebagai contohnya
seorang penyelia di situasi industri mempunyai serangkaian peran yang agak kompleks
sehingga dapat mengalami konflik intra peran.

Konflik antar peran (inter role conflict) Konflik antar peran muncul karena orang menghadapi
berbagai peran. Hal ini terjadi karena individu sekaligus memainkan banyak peran, beberapa
diantara peran ini mempunyai harapan yang saling bertentangan. Sebagai contohnya seorang
ilmuwan yang bekerja di pabrik kimia, yang juga merangkap menjadi anggota manajemen,
mungkin mengalami konflik peran semacam ini.

Dalam situasi tersebut, ilmuwan tersebut mungkin diharapkan berperilaku sesuai dengan
harapan manajemen maupun sesuai dengan harapan ahli kimia profesional.

Miles dan Perreault (Munandar, 2001) membedakan empat jenis konflik peran yaitu :

- Konflik peran pribadi, muncul bilamana seorang karyawan ingin melakukan tugas berbeda
dari yang disarankan dalam uraian pekerjaannya.

- Konflik intra sender, muncul bilamana seorang karyawan menerima penugasan tanpa
memiliki tenga kerja yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil.

- Konflik inter sender, muncul bilamana seorang karyawan diminta untuk berperilaku
sedemikian rupa sehingga terdapat orang merasa puas dengan hasilnya, sedangkan orang
lain tidak.

- Konflik peran dengan beban berlebih, muncul bilamana seorang karyawan mendapat
penugasan kerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ditangani secara efektif.

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan jenis-jenis konflik peran dapat
dibagi menjadi konflik peran pribadi, konflik intra peran dan konflik antar peran. Konflik
peran pribadi terjadi apabila persyaratan peran melanggar nilai dasar, sikap dan kebutuhan

17
individu yang menduduki suatu posisi. Konflik intra peran terjadi apabila beberapa orang yang
berbeda-beda menentukan sebuah peran menurut rangkaian harapan yang berbeda-beda.
Konflik antar peran muncul karena orang menghadapi berbagai peran.

Penyebab Konflik Peran

Pasewark dan Strawser (Ratnawati dan Kusuma, 2002) mengemukakan konflik peran
terjadi karena adanya lebih dari satu permintaan dari sumber yang berbeda yang menimbulkan
suatu ketidak pastian pada karyawan. Indrawijaya (2000) mengemukakan bahwa konflik peran
dapat disebabkan oleh adanya :

Konflik fungsional merupakan konflik peran yang terjadi oleh adanya berbagai macam
subsistem dalam organisasi. Setiap sub sistem yang mempunyai fungsi tertentu dalam suatu
organisasi cenderung melahirkan norma kelompok (norma hubungan sosial, norma kerja dan
norma kekuasaan) dan membentuk sistem nilai tertentu. Konflik fungsional dapat juga terjadi
karena adanya ketidak cocokan tugas atau tujuan yang harus dicapai. Schmidt dan Kochan
(Indrawijaya, 2000) menyatakan bahwa persepsi mengenai adanya ketidak cocokan tugas atau
tujuan yang harus dicapai merupakan penyebab terciptanya konflik peran.

Konflik hierarkis merupakan keadaan dimana suatu kelompok mendapatkan tekanan


dari luar. Tekanan dari luar tersebut dapat berupa penyediaan anggaran, pemberian status dan
persetujuan pengangkatan pegawai.

Konflik kesamaan fungsi merupakan konflik yang timbul oleh adanya kesamaan fungsi
yang harus dilakukan oleh berbagai anggota kelompok sehingga dapat pula menghasilkan
perilaku persaingan yang cukup sehat.

Wolfe dan Snoke (Cahyono dan Ghozali, 2002) mengemukakan konflik peran timbul
karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima secara bersamaan dimana pelaksanaan
salah satu perintah saja akan mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain. Seorang
profesional dalam melaksanakan tugasnya terutama ketika menghadapi suatu masalah tertentu
maka sering menerima dua perintah sekaligus. Perintah pertama datangnya dari kode etik
profesi sedangkan perintah kedua datangnya dari sistem pengendalian yang berlaku di
perusahaan. Apabila seorang profesional bertindak sesuai dengan kode etiknya maka individu
yang bersangkutan akan merasa tidak berperan sebagai karyawan perusahaan dengan baik.
Sebaliknya, apabila seorang professional bertindak sesuai dengan prosedur yang ditentukan

17
perusahaan maka individu yang bersangkutan akan merasa telah bertindak secara tidak
profesional.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik peran muncul oleh
karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima oleh seorang karyawan secara
bersamaan dimana dalam pelaksanaan salah satu perintah akan mengakibatkan terabaikannya
perintah yang lain sehingga dapat menimbulkan suatu ketidak pastian pada diri karyawan.

6. Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang
memerlukan kepercayaan, seperti pengacara, politikus, eksekutif atau direktur suatu
perusahaan, memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan
kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik
kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak etis
atau tidak pantas. Suatu konflik kepentingan dapat mengurangi kepercayaan terhadap
seseorang atau suatu profesi.

Menurut prinsip manajemen yang dikemukakan oleh Henry Fayol (1914), kepentingan
pribadi atau kelompok harus tunduk kepada kepentingan organisasi secara keseluruhan. Maka
sudah sangat dipahami bila dalam praktek bisnis, demi kepentingan orang yang lebih banyak
atau organisasi, manajemen harus memutuskan hubungan kerja dengan seorang atau beberapa
orang karyawan, walaupun karyawan tersebut mungkin telah selama puluhan tahun ikut serta
dalam mengembangkan dan membesarkan perusahaan. Karena menganut pandangan bahwa
urusan pribadi harus dipisahkan dari bisnis serta bahwa kepentingan perusahaan harus lebih
didahulukan daripada pribadi, maka banyak eksekutif yang sukses dalam memimpin
danmengatur perusahaan, tetapi gagal dalam memimpin dan mengatur keluarga.

Banyak bukti riset yang menunjukkan bahwa konflik kepentingan pekerja dan keluarga
sangat merugikan karyawan dan perusahaan. Konflik kerja dan keluarga cenderung
berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan. Hasil-hasil riset tersebut merekomendasikan
perlunya manajemen perusahaan untuk mengambil kebijakan yang menginterpretasikan
kepentingan pekerjaan dengan kepentingan pribadi.

7. Pemberdayaan Karyawan

17
Perberdayaan karyawan berarti penciptaan sebuah lingkungan di mana karyawan
memiliki wewenang yang lebih untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dengan konsekuensi
mereka bertanggungjawab atas hasil penciptaan sebuah lingkungan karyawan dimana
karyawan memiliki wewenang yang lebih banyak untuk menyelesaikan pekerjaan mereka
dengan konsekuensi mereka bertanggungjawab atas hasil pekerjaan tersebut.

Masud (2002) menuliskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong organisasi
dalam melaksanakan pemberdayan. Beberapa di antaranya adalah tuntutan pelanggan yang
semakin tinggi terhadap kualitas produk maupun layanan, jaminan keamanan, perlindungan
konsumen, persaingan dalam efisiensi dan inovasi produk, penggunaan teknologi baru yang
canggih, peraturan pemerintah dan lain sebagainya. Apabila organisasi melaksanakan
pemberdayaan karyawan, maka berarti bahwa karyawan tersebut diperlakukan sesuai denga
teori Y, artinya pimpinan organisasi tersebut menganut paham atau cara pandang bahwa
karyawan di perusahaan tersebut adalah karyawan yang mempunyai kaeakteristik yang pada
umumnya positif.

Akan tetapi dalam kenyataannya, terdapat banyak pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan pemberdayaan dan bagaimana cara untuk melakukan pemberdayaan. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya defenisi atau pengertian yang diberikan oleh para ahli di berbagai
literatur. Namun, terdapat kesamaan dalam hal maksud dilakukannya pemberdayaan dalam
organisasi, yaitu antara lain untuk :

1. Meningkatkan motivasi guna mengurangi kesalahan dan mendorong karyawan untuk


bertanggung jawab terhadap tindakannya.

2. Meningkatkan dan mengembangkan kreativitas dan inovasi.

3. Mendorong peningkatan kualitas produk dan jasa.

4. Meningkatkan kepuasan pelanggan dengan mendekatkan karyawan terhadap pelanggan,


sehingga karyawan dapat melayani dengan lebih baik.

5. Meningkatkan kesetiaan pada saat yang sama mengurangi tingkat kemangkiran.

6. Mendorong kerja sama yang lebih baik dengan sesama rekan kerja dalam meningkatkan
pengawasan dan produktivitas.

17
7. Mengurangi tugas pengawasan (pengendalian) dari manajemen menengah dalam
pekerjaan operasional sehari-hari, sehingga para manajer lebih mempunyai waktu dan
perhatian terhadap masalah-masalah yang lebih besar.

8. Menyiapkan karyawan untuk berkembang dan menghadapi perubahan dan tuntutan


persaingan.

9. Meningkatkan daya saing bisnis.

Untuk melaksanakan pemberdayaan tersebut, biasanya organisasi kemudian


menyususun dan menentukan visi serta misi organisasi. Disampingi itu, perusahaan
melaksanakan pula rencana strategis dan berbagai macam pelatihan yang berkaitan dengan
pemberdayaan karyawan, seperti : membangun kerja sama tim, pemberdayaan kepemimpinan
dan motivasi, kepekaan emosional di tempat kerja, peningkatan kualitas terus-menerus,
pelatihan ketrampilan khusus yang berkaitan dengan pekerjaan dan lain sebagainya.

Sumber :

Ikhsan, Arfan, dan Muhammad Ishak, 2005, "Akuntansi Keperilakuan," Salemba Empat.

http://www.scribd.com/ladzah/d/44625628-Akuntansi-Keperilakuan-Sesi-2

http://sukmal.blogspot.com/2010/06/tinjauan-perspektif-akuntansi-terhadap.html

17

Anda mungkin juga menyukai