Anda di halaman 1dari 5

Aulia Fadil Pamungkas

155130107111008
2015 A

Review Tugas Diagnosa Klinik

1. Disfungsi Sistem Motorik


Disease
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan
kejang kejang otot rangka (Laksmi, 2014).
Kausa
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat
obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di
berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat.
Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan
binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada
abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada
neonatus.Toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih
menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf
motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat (Laksmi, 2014).
Gejala Klinis
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan
otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu
yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus,
kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia.
Peningkatan tonus otot otot trunkal meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot
yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan
penampakan tidak simetris (Laksmi, 2014).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan
menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang
lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter
(menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Pemeriksaan darah
dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit
(hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan
konfirmasi (Laksmi, 2014).

2. Disfungsi Sistem Sensorik


Disease
Botulisme adalah keracunan yang diakibatkan oleh konsumsi exotoxin
exotoks Clostridium botulinum .Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dan telah
diidentifikasi pada setidaknya 117 spesies burung liar yang mewakili 22
keluarga. Ada kekhawatiran bahwa spesies unggas yang terancam punah
mungkin berisiko punah karena penyakitnya. Spesies mamalia yang terkena
racun meliputi orang, cerpelai, musang, sapi, babi, anjing, kuda, tikus (Tahseen,
2016).
Kausa
C botulinum adalah bakteri gram positif, spora, bakteri anaerob. Ada empat
kelompok genotip yang berbeda, yang ditunjukkan oleh angka Romawi I
sampai IV. Semua strain botulinum C dapat menghasilkan neurotoksin yang
menyebabkan kelumpuhan lembek. Tujuh toksin yang berbeda secara
imunologis, yang ditunjuk oleh huruf A sampai G, diproduksi dengan strain
yang berbeda, yang dikelompokkan menjadi toxinotipe (AG) sesuai dengan
jenis toksin yang dihasilkan(Tahseen, 2016).
.Racun botulinum adalah racun alami yang paling ampuh . Racun tersebut
adalah neurotoxin dengan afinitas untuk neuron. Setelah penyerapan, toksin
mengikat secara ireversibel ke membran presynaptic pada terminal saraf
kolinergik. Ini memasuki sel dan melepaskan pelepasan asetilkolin melintasi
persimpangan neuromuskular, yang mengakibatkan kelumpuhan lembek. Hasil
kematian akibat gagal jantung dan pernafasan. Wabah pada unggas dan unggas
air didominasi oleh toksin tipe C. Tipe A toksin kadang menyebabkan botulisme
pada ayam rumahan. Token jenis E telah menjadi penyebab botulisme pada
burung pemakan ikan seperti burung camar (Tahseen, 2016).
Gejala Klinis
Tanda klinis pada unggas dan burung liar serupa. Kelemahan kaki dan paresis
yang berkembang menjadi kelumpuhan lembayung pada kaki, sayap, leher, dan
kelopak mata merupakan tanda klinis yang khas. "Limberneck," nama umum
botulisme pada burung, berasal dari kelumpuhan leher yang biasanya terlihat
pada unggas yang terkena. Tanda pada ayam broiler juga bisa termasuk bulunya
yang berombak atau bergetar, bulu yang mudah dikeluarkan, susah bernapas,
dan terkadang diare dengan kelebihan urat dalam kotoran yang longgar. Burung
yang sangat terpengaruh berada dalam posisi terbaring dengan ventilasi di lantai
dengan mata sebagian atau seluruhnya tertutup dan leher terentang. Mereka
tidak dapat mengangkat atau menahan leher mereka dan tidak dapat
mengangkat kelopak mata karena kelumpuhan lembek yang berkembang.
Burung-burung yang terkena dampak mungkin memiliki kaki mereka
terbentang di belakang mereka, karena mereka tidak dapat menariknya ke posisi
duduk normal. Kelemahan adalah tanda awal unggas air. Burung awalnya
enggan terbang saat mendekati dan memiliki ketukan sayap yang lemah dan
kesulitan terbang. Seiring perkembangan penyakit ini, mereka kehilangan
kemampuan untuk terbang dan menunjukkan sandaran dan akhirnya
kelumpuhan. Burung di air bisa tenggelam, karena mereka tidak bisa menjaga
kepala mereka di atas air. Masa inkubasi dan waktu untuk onset tanda klinis
ditentukan oleh jumlah toksin yang diserap (Tahseen, 2016).
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis pendahuluan didasarkan pada tanda-tanda klinis dan tidak adanya
lesi bruto atau mikroskopik yang dapat menjelaskan tanda-tanda neurologis.
Diagnosis pasti memerlukan demonstrasi toksin dalam serum dari unggas yang
sakit. Hati, isi crop, kandungan empedu, dan pencucian usus dari unggas yang
mati atau sangat baru mati juga dapat dikumpulkan untuk deteksi toksin. Sampel
dari unggas mati tidak dapat diandalkan, karena toksin botulinum C dapat
dihasilkan dari multiprosesasi postmortem organisme dan produksi toksin.
Lebih disukai mengumpulkan serum dari burung dengan tanda klinis dengan
tingkat keparahan yang bervariasi. Tes bioassay pada tikus (tes perlindungan
tikus) digunakan sebagai metode standar untuk mendeteksi racun botulinum C
, namun tes molekuler berdasarkan ELISA sekarang lebih disukai. PCR dapat
digunakan pada berbagai sampel untuk mendeteksi gen yang bertanggung
jawab untuk memproduksi toksin dan membedakan toxinotip yang berbeda.
Karena toksin botulinum bersifat labil panas dan dapat dihancurkan pada suhu
80 C selama 10 menit, sera harus didinginkan atau dibekukan sesegera
mungkin setelah dikumpulkan dan dikirim dengan paket es ke laboratorium
penguji (Tahseen, 2016).
.
3. Gangguan Sistem Saraf Otonom
Disease
Megacolon adalah suatu gangguan fungsional dimana terjadi peningkatan
diameter (pelebaran) pada kolon atau usus besar. Perubahan struktur usus ini
menyebabkan fungsi usus menjadi abnormal, termasuk mengurangi motilitas
kolon dan konstipasi (sembelit) kronis. Kasus megacolon ini paling sering
ditemukan pada kucing dibanding anjing (Dewi, 2013).
Kausa
Beberapa penyebab megacolon diantaranya adalah adanya benda asing yang
bercampur dengan kotoran atau yang meyumbat bagian usus besar, kurang
gerak, adanya perubahan pada litter box (kotor, perubahan letak, ganti dengan
yang baru), stres, fraktur (patah) atau dislokasi tulang panggul, abses di daerah
perineal, tumor, atresia rektal, spinal cord disease (penyakit tulang belakang),
congenital spinal anomaly, paraplegia (paralisis/lumpuh bagian tubuh
belakang), central nervous system dysfunction, dysautonomia (gangguan
system syaraf autonom), idiophatic megacolon, hypokalemia, dehidrasi,
kelemahan otot yang ada kaitannya dengan penyakit lain, pemberian obat-
obatan seperti antikolinergik, antihistamin, diuretic, dan barium sulfate (Dewi,
2013).
Gejala Klinis
Kucing dan anjing yang mengalami megacolon akan menunjukkan gejala
mengalami kesulitan saat akan buang air besar, merejan kesakitan, dan kotoran
yang dikeluarkan sangat sedikit jumlahnya. Gejala lain yang muncul antara lain
menurunnya nafsu makan, depresi, penurunan berat badan, dan muntah (Dewi,
2013).
Pemeriksaan Fisik
Pada kasus ini dapat diketahui dari anamnesa yang diperoleh dan
pemeriksaan fisik seperti perabaan pada bagian perut dimana akan teraba bentuk
feses yang keras atau bentuk abnormal seperti massa yang menyumbat.
Pemeriksaan yang lain meliputi laboratorium seperti hematologi, kimia darah
dan urinalisis, xray, USG, dan colonoscopy (Dewi, 2013).

4. Gangguan Kesadaran/ Behaviour


Disease
Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf pusat manusia
dan mamalia dengan mortalitas 100%. Rabies adalah penyakit zoonosis,
penularan melalui jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies (Tanzil,
2014).
Kausa
Rabies yaitu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus RNA dari genus
Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus berbentuk seperti peluru yang bersifat
neurotropis, menular dan sangat ganas. Reservoir utama rabies adalah anjing
domestik.Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh
seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi
kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus
rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal
pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung
serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan perubahan fungsinya
(Tanzil, 2014)..
Gejala Klinis
Pada rabies yang tenang, anjing tampak senang bersembunyi di tempat yang
gelap dan dingin, serta tampak letargi. Dapat ditemukan kelumpuhan otot
tenggorokan yang tampak dari banyaknya air liur yang keluar karena sulit
menelan. Bisa juga ditemukan kejang-kejang singkat. Pada rabies yang ganas,
terdapat perubahan sifat dan perilaku hewan. Hewan yang awalnya jinak
menjadi ganas, tidak menuruti perintah pemiliknya lagi, dapat menyerang
manusia terutama adanya rangsang cahaya dan suara, suka menggigit apa saja
yang dijumpai. Suara akan menjadi parau, mudah terkejut, gugup, air liur
banyak keluar, ekor dilengkungkan ke bawah perut di antara kedua paha. Anjing
kejang kejang, kemudian menjadi lumpuh, dan akhirnya mati (Tanzil, 2014)..
Pemeriksaan Fisik
Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak spesifik.
Seperti temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat,
glukosa umumnya normal. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan
beberapa tes, tidak bisa dengan hanya satu tes. Tes yang dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi kasus rabies antara lain deteksi antibodi spesifik virus rabies,
isolasi virus, dan deteksi protein virus atau RNA. Spesimen yang digunakan
berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan biopsi kulit. Pada pasien yang
telah meninggal, digunakan sampel jaringan otak yang masih segar. Diagnosis
pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan Negri pada jaringan otak
pasien, meskipun hasil positif kurang dari 80% kasus. Tidak adanya badan
Negri tidak menyingkirkan kemungkinan rabies. Badan Negri adalah badan
inklusi sitoplasma berbentuk oval atau bulat, yang merupakan gumpalan
nukleokapsid virus. Ukuran badan Negri bervariasi, dari 0,25 sampai 27 m,
paling sering ditemukan di sel piramidal Ammons horn dan sel Purkinje
serebelum (Tanzil, 2014).

Daftar Pustaka
Dewi, Ni Made Sutari.2013. Megacolon Kucing. Jakarta: PDHB
Laksmi, Ni Komang Saraswita. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. Jurnal Continuing
Professional Development vol. 41 no. 11. Bali: IAI
Tahseen, Abdul-Aziz. 2016. Overview of Botulism in Poultry (Limberneck, Western duck
sickness). Journal Veterinary Manual. North Carolina: Merck Manual
Tanzil, Kunadi. 2014. Penyakit Rabies Dan Penatalaksanaannya. E-Journal Widya
Kesehatan Dan Lingkungan 61 Volume 1 Nomor 1. Jakarta: Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya

Anda mungkin juga menyukai