Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sehat merupakan hak setiap orang dan setiap orang mempunyai hak yang sama

dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan juga mempunyai hak

dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu. Di sisi lain, setiap

orang diwajibkan untuk ikut mewujudkan, mempertahankan dan meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya (Kementrian Kesehatan RI, 2012).

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB yaitu Mycobacterium Tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan

paru, tetapi dapat juga menyerang organ lainya. Indonesia merupakan Negara

berkembang sebagai penderita TBC terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina

(Depkes RI, 2006).

Tuberkulosis (TB atau TBC ) merupakan salah satu penyakit menular yang masih

menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini,belum ada satu negara pun yang bebas TB Paru ,

namun setiap negara berbeda angka insidensinya. Setiap tahun di dunia diperkirakan

terdapat 8,7 juta kasus baru tuberkulosis dan 1,7 juta kematian karena TB Paru . Bila

tidak diupayakan pengendalian yang memadai 25 tahun kemudian diperkirakan angka

kematian akan mencapai 40 juta orang per tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
World Health Organization (WHO) merekomendasikan strategi Directly

Observed Treatment ShortCours) (DOTS) sebagai upaya pendekatan kesahatan yang

paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TBC di Indonesia khususnya

keberhasilan dalam penemuan kasus TBC yang diharapkan dapat mencapai target.

Beberapa fokus utama dalam pencapain target yaitu pengawasan minum obat,

memperkuat mobilisasi, dan advokasi serta memperkuat kemitraan dan kolaborasi

dengan berbagai tingkat (Anonim, 2008).

Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 TBC di

Indonesia merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit cardiovascular

yang merupakan penyakit nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.

Kemataian akibat TBC pada wanita lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan,

persalinan, dan nifas. Setiap tahun terjadi 583.000 penderita baru dan kematian karena

TBC sekitar 140.000. Selain itu setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130

penderita TBC dengan BTA (+) (Barmawi, 2004).

Pada tahun 2005 Indonesia telah berhasil mancapai angka kesembuhan sesuai

dengan target global yaitu sebesar 85% yang tetap dipertahankan dalam lima tahun

terakhir ini. Penemuan kasus TBC di Indonesia pada tahun 2005 baru mencapai angka

67%. Angka ini belum mencapai target yang diharapkan yaitu sebesar 70%, tapi angka

penemuan kasus TBC mengalami peningkatan hingga melewati target yang diharapkan

yaitu sebesar 76% pada tahun 2006 (Depkes RI, 2007).

Penemuan suspek tahun 2008 sebanyak 8.511 suspek, penemuan penderita TB

Paru BTA positif pada tahun 2008 sebanyak 747 orang mengalami penurunan, bila

dibandingkan tahun 2007 sebanyak 750 orang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
beberapa UPK belum memenuhi target program angka penemuan penderita baru Case

Detection Rate (CDR) tahun 2008 sebesar 47% mengalami penurunan, bila dibandingkan

tahun 2007 (49%).

Menurut Kementerian Kesehatan RI(2013) jumlah kasus Tuberkulosis BTA di

Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 302.861 kasus termasuk kasus Tuberkulosis BTA

positif sebanyak 183.366 kasus(60,54%). Sementara Propinsi Jawa Baratpada tahun

2011 merupakan propinsi dengan jumlah kasus tuberkulosis BTA tertinggi di Indonesia

yaitu sebanyak 61.010 kasus termasuk kasus tuberkulosis BTA positif sebanyak 32.649

kasus (53,51%).

Berbagai macam pengobatan TBC yang diterima pasien diantaranya adalah

dengan pengobatan secara rutin guna mengurangi penyakit yang ditimbulkannya. Namun

pengobatan yang sering kali dilakukan oleh penderita tidak berjalan dengan semestinya.

Hal ini terjadi karena faktor pengetahuan pasien TBC yang masih kurang. Pasien masih

menganggap bahwa meskipun pengobatan yang telah dijalaninya sudah berjalan lama,

namun kondisi penyakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh (Sukardja, 2004).

Pasien dengan pengobatan lama juga akan menimbulkan tekanan psikologis pada diri

pasien. Pasien akan merasa cemas manakala penyakit yang dideritanya dirasakan tidak

membaik, atau bahkan dirasakan semakin parah. Rasa cemas yang timbul juga dapat

mengakibatkan timbulnya penyakit lain.

Penelitian Hawari (2004) menemukan bahwa pasien penderita TBC dengan

pengobatan DOTS, 11% diantaranya mengalami kecemasan. Definisi kecemasan itu

sendiri adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan

perasaan tidak pasti dan tidak berdaya yang berkaitan dengan perasaan (Stuart, 2006).
Menurut Ibrahim (2012) pendekatan kognitif pada kecemasan merupakan dasar

dari teori bahwa kecemasan merupakan keadaan emosional yang berhubungan dengan

suatu ancaman. Gangguan kecemasan merupakan hasil dari pasien mengolah informasi

pada situasi yang dianggap sebagai suatu ancaman. Demikian pula menurut Alsagaff

dalam Misnadiarly(2006) menyatakan bahwa kecemasan pada pasien TB Paru

merupakan respon psikologik terhadap keadaan tertekan dan mengancam yang

dialaminya dimana terdapat perasaan takut yang membuat hati tidak tenang dan timbul

rasa keragu-raguan.

Semiun (2006) menyatakan bahwa gangguan kecemasan merupakan ketakutan

yang dapat berlangsung secara terus menerus. Dengan demikian perlu mendapatkan

penatalaksanaan dengan segera. Jika tidak mendapatkan pertolongan secara tepat, maka

gangguan kecemasan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang cukup mahal.

Pada sisi lain, pasien akan Hal tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan

yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang

agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi -tingginya,sehingga dapat

bebas dari gangguan kesehatan baik yang disebabkan karena penyakit termasuk

gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan dan perilaku yang tidak

tuberkulosis tidak hanya menyerang paru-paru dan saluran.Jika tidak diobati denganbaik,

penyakit Tuberkulosis akan memburuk dan dapat memicu komplikasi yang cukup serius

pada organ lain termasuk tulang dan bahkan otak. Beberapa komplikasi yang sering

ditemukan yaitu kerusakan tulang dan sendi, kerusakan otak,kerusakan hati dan ginjal,

kerusakan jantung, gangguan mata dan resisten terhadap kuman (Misnadiarly,2006).

Menurut Hartanto (2012) pengobatan pada penyakit TB Paru memerlukan waktu yang
cukup panjang. Pasien yang sudah dipastikan menderita sakit TB Paru minimal harus

minum obat selama enam bulan dan bila minum obat tidak teratur akan mengakibatkan

penyakit TB tidak akan sembuh bahkan menjadi lebih kuat.

Mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit TB yang cukup serius serta

sulit disembuhkan jika pasien TB Paru lalai dalam pengobatan sehingga perlu

meningkatkan pengetahuan pasien TB tentang tuberkulosis dengan baik dan benar.

Menurut Zami (2012) bahwa pengetahuan merupakan berbagai gejala yang ditemui dan

diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi.Sementara Meliono (2007) Menyatakan

bahwa pengetahuan merupakan justified true believe yang berarti pengetahuan

merupakan konstruksi dari kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak.

Melalui pendekatan kognitif dengan meningkatkan pengetahuan dapat pula

menangani kecemasan pada pasien TB Paru akibat dampak dan gejala yang dirasakan

oleh pasien TB. Menurut Hawari (2005) bahwa tingkat pengetahuan seseorang memiliki

hubungan positif terhadap tingkat kecemasan yang dirasakan seseorang.Sedangkan

Wilson - Barnett dikutip oleh Roper (1996) dalam Noorkasiani (2009) mengatakan

bahwa adanya hubungan mengalami berbagai gejala yang tidak menyenangkan dan

bahkan akan berdampak pada kehidupan sosial, pekerjaan dan perannya di masyarakat .

Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik melakukan penelitian tentang Hubungan

pengetahuan tentang penyakit TBC dengan kecemasan pada penderita TBC.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

Apakah ada hubungan pengetahuan tentang penyakit TBC dengan kecemasan pada

penderita TBC ?
C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan pengetahuan tentang penyakit TBC dengan kecemasan pada

penderita TBC.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui gambaran responden penelitian yang menderita TBC.

b. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang penyakit TBC .

c. Mengetahui tingkat kecemasan pada penderita TBC

D. Manfaat

1. Manfaat bagi Penderita

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi

penderita tentang penyakit TBC.

2. Manfaat bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan

pengalaman bagi peneliti dalam menyusun karya tulis ilmiah. Hasil penelitian ini juga

bermanfaat sebagai bahan masukan, bahan referensi atau sumber data untuk

penelitian sejenis selanjutnya.

3. Manfaat bagi institusi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebgai sumber refernsi perpustakaan dan

sebagai data untuk penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKAN

A. Pengetahuan

1. Defeni pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan

penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2007). Menurut Taufik, dalam bukunya Notoatmojo 2007,

pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap

objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang ( overt behavior ). Karena dari pengalaman dan

penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Penelitian Rogers (1974) dalam Notoadmojo (2003), mengungkapkan bahwa

sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang

tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

a. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap

subjek sudah mulai timbul.


c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan

apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan

diperoleh manusia melalui pengamatan indera atau akal budinya untuk mengenali benda

atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.

Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal

sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa

didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris

dan rasional. Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan

deskriftif bila seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat dan

gejala yang ada pada objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan

melalui akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme. Rasionalisme lebih

menekankan pengetahuan yang bersifat apriori, tidak menekankan pada pengalaman

(Meliono,dalam bukunya Notoatmojo 2003)

Pengetahuan merupakan proses kognitif dari seseorang atau individu untuk

memberi arti terhadap lingkungan, sehingga masing-masing individu akan memberi arti

sendiri-sendiri terhadap stimuli yang diterimanya meskipun stimuli itu sama.

Pengetahuan merupakan aspek pokok untuk mengubah perilaku seseorang yang

disengaja (Nurhidayati, dalam bukunya Notoatmojo 2003).


a. Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam)

tingkatan (Notoatmodjo, 2003) yaitu :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali ( recall ) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus

dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan

sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,

prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini

dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan

(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan

sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dari formulasi- formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat

merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap

suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian- penilaian ini

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

b. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu

(Notoatmodjo, 2007):

1. Pendidikan.
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang

makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan

tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari

orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk

semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan

sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan

pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya.

Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti

mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak

diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada

pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga

mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang

akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin

banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin

positif terhadap obyek tersebut.

Pembagian tingkat pendidikan di Indonesia menurut Depdiknas (2003),

pendidikan dapat dibagi menjadi :

a. Pendidikan formal yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang

yang terjadi atas pendidikan dasar menegah dan pendidikan tinggi.

Pendidikan formal dibagi menjadi :

1. Pendidikan dasar
merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan

menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) / Madrasah

Ibtidaiyah) atau sederajat, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) /

Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajad.

2. Pendidikan menengah

merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menegah

berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Madrasah Aliyah (MA) atau

yang sederajatnya.

3. Pendidikan tinggi

merupakan jenjang setelah menengah yang mencakup pendidikan

Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis dan Dokter yang diselenggarakan

oleh Perguruan Tinggi (PT).

b. Pendidikan non formal yaitu jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang

dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

c. Pendidikan informal yaitu pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan

merupakan proses pengoperasian secara urut mengenai pengetahuan, ide-ide,

dari satu pihak ke pihak lain yang menyebabkan seseorang memilki

cakrawala yang luas, maka akan terjadi perubahan-perubahan pada diri

seseorang baik perilaku dalam berfikir, sikap mental, maupun nilai-nilai,

maka yang demikian diharapkan semakin tinggi pengabdian masyarakat,

maka semakin mudah masyarakat untuk mengubah tingkah laku.

2. Mass media / informasi


Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek ( immediate impact) sehingga

menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan

tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan

masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk

media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain- lain

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.

Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa

pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.

Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru

bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut (Notoatmodjo, 2007).

3. Sosial budaya dan ekonomi.

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang

akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi

seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan

untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi

pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

4. Lingkungan.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap

proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan


tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang

akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu (Notoatmodjo, 2007).

5. Pengalaman.

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa

lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan

pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama

bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang

merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang

bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya (Notoatmodjo, 2007).

6. Usia.

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola

pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

(Notoatmodjo, 2007).

c. Pengukuran Tingkat Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau kuesioner

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden.
Skala pengetahuan ini menggunakan data kuantitatif yang berbentuk orang-orang

yang menggunakan alternatif jawaban yang menggunakan peringkat yaitu setiap

kolom menunjukkan nilai tertentu. Dengan demikian analisa dilakukan dengan

mencermati benar atau salahnya jawaban yang dipilih oleh responden.

Prosedur perskala (scalling) yaitu penentuan pemberian angka atau skor yang

harus diberikan pada setiap jawaban. Untuk Nilai jawaban yang Benar diberi nilai

1 (satu), dan untuk jawaban yang Salah diberi nilai 0 (nol). Pengetahuan seseorang

dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :

a. Baik : Hasil presentase 76-100%

b. Cukup : Hasil presentase 56-75%

c. Kurang : Hasil presentase < 56% (Arikunto, 2006).

B. Gambaran umum penyakit TB Paru

1. Pengertian

Penyakit Tuberculosis paru atau yang sering disingkat TB Paru

atau TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

mikrobakterium tuberculosis. Kuman ini merusak jaringan paru

secara pelan-pelan. Paru ialah bagian tubuh yang terdapat dalam

rongga dada. Paru berbentuk seperti jala berguan sebagai alat

bernafas. Kuman mikrobacterium tuberculosis berwarna merah

sangat kecil hanya bisa dilihat dengan mikroskop. Adapun

bentuknya seperti berikut : Kuman ini selain dapat menyerang paru


juga sering menyerang tulang, sendi, usus, selaput otak dan kelenjar

limfe. (Depkes, 2002)

Tubeculosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh microbacterium kuman TBC yang masuk ke udara lewat cairan

dari mulut atau hidung penderita saat mereka batuk, bersin atau

bicara. Sedikit saja kuman terhirup, mampu membuat seseorang

terinfeksi TBC (Depkes RI,2005). Dari kedua pendapat tersebut

diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tuberculosis adalah penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh microbacterium

tuberculosis. Penyakit ini dapat dapat menyerang seluruh organ,

terutama paru-paru. Penyakit ini ditularkan melalui inhalasi

percikan ludah yang mengandung bakteri tuberkulosis.

2. Penyebab

Penyakit TB paru disebabkan oleh microbacterium tuberkulosis

yaitu bakteri batang yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pada pewarnaan oleh karena itu disebut BTA (Basil

Tahan Asam). Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x

0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak

bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi


mempunyai lapisan luar fecal yang terdiri dari lipoid (terutama

asam mikolat). Bakteri ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10

menit atau pada pemanasan 60C selama 30 menit, dan dengan

alcohol 70-95 % selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2

jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa

berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara.

Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90%

udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali

pertukaran udara per jam.

3. Patofisilogi

1. Infeksi Primer

Infeksi Primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,

sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus

dan terus berjalan sampai di alveolus dan menetap disana.

Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan

cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di

dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar

limfe di sekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks


primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan

kompleks primer adalah sekitar 46 minggu. Adanya infeksi

dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin

dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer

tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya

respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya

reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa

kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dorman

(tidur). Kadangkadang daya tahan tubuh tidak mampu

menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa

bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa

inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai

menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan

2. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah

beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya

karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau

status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberculosis pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau

efusi pleura. Kontak erat, kontak yang relatif erat antara

penderita TB Paru BTA (+) dengan orang orang sehat yang ada

di sekitarnya akan mempercepat adanya penularan, sehingga hal

ini menjadi faktor resiko terjadinya TB paru yang penting,

terutama jika sumber ini tidak terobati. Penderita TB Paru yang

tidak di obati, menurut pernyataan WHO 50% akan meninggal

setelah 5 tahun, 25% akan sembuh dengan sendirinya dengan

daya tahan tubuh yang tinggi, 25% akan menjadi penderita

kronik sebagai carier. Banyak dari beberapa penelitian

menyebutkan bahwa kontak di infeksi oleh kasus indeks sebelum

kasus itu di diagnosa dan di obati. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi terjadinya infeksi pada orang yang pernah kontak

dengan penderita TB Paru, yakni :

a. Di ketahuinya reaksi tes kulit positif pada penderita TB Paru

sebelum kontak dengan orang sehat akan mengurangi resiko

keterpajanan.

b. Infeksi akan terjadi lebih besar jika hubungan kontak dengan

penderita TB Paru meningkat.


c. Infeksi akan mungkin terjadi karena adanya hubungan yang

erat antara penderita dengan kontak.

3. Manifestasi klinis

Secara umum batuk terus menerus dan berdahak selama 3 ( tiga )

minggu atau lebih. Sedangkan gejala lain yang sering dijumpai :

a. Dahak bercampur darah

b. Batuk darah

c. Sesak nafas dan rasa nyeri dada

d. Badan lemah

e. Nafsu makan menurun

f. Berat badan menurun

g. Rasa kurang enak badan (malaise)

h. Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

i. Demam meriang lebih dari sebulan

Gejalagejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit

paru selain tuberculosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang

ke UPK dengan gejala tersebut diatas harus dianggap sebagai

seorang Suspek Tuberculosis atau tersangka penderita TB dan

perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopik


langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit

Tuberkulosis Paru :

1. Kontak penderita Tuberculosis Paru

Microbakterium tuberculosis yang berjuta-juta

banyaknya yang berasal dari dahak yang mengering,

berterbangan dengan debu-debu di udara dan dihirup

yang akan menambah jumlah penderita. Meningkatnya

jumlah penderita penyakit TB paru disebabkan adanya

kontak antara sumber penularan dan orang yang rentan

dalam masyarakat yang didukung dengan adanya sarana

yang mempermudah seorang terjadinya kontak dengan

penderita. Kerentanan ini terjadi karena daya tahan

tubuh yang rendah yang disebabkan gizi yang buruk

2. Status Gizi

Kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (18

tahun ke atas) merupakan masalah penting karena selain

mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu juga dapat

mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu

pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan oleh


setiap orang secara berkesinambungan. Orang dengan

status gizi kurang baik akan mengakibatkan produksi

antibody dan limfosit terhambat, sehingga proses

penyembuhan menjadi terhambat. Pencegahan penyakit

TB paru dan pemulihan kembali penderita dalam

keadaan sehat dibutuhkan makanan yang bergizi yang

mengandung karbohidrat, pritein, lemak, vitamin

maupun mineral dalam jumlah yang cukup dan

perbandingan seimbang.

3. Pendidikan

Tingkat pendidikan diperoleh seseorang dari bangku

sekolah dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang.

Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin tinggi

pengetahuannya tentang kesehatan terutama dalam

upaya pencegahan penyakit seperti penyakit TB paru.

Keterbatasan untuk memperoleh pendidikan merupakan

faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan

serta upaya pencegahan penyakit. Pada kelompok

masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah


pada umumnya dengan status ekonomi rendah pula

sehingga slit untuk menyerap informasi mengenai

kesehatan di samping tidak mampu untuk mencukupi

gizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan.

4. Penghasilan

Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya

kuman- kuman tuberculosis di Indonesia disebabkan

karena masih rendahnya pendapatan per orang, kurang

terpeliharanya gizi dan nutrisi serta hal-hal ini yang

menyangkut buruknya lingkungan seperti keadaan

perumahan yang kurang sesuai dengan kaidah

kesehatan, keadaan sanitasi yang masih kurang

sempurna dan lain sebagainya.

5. Kebiasaan merokok

Merokok merupakan faktor resiko yang paling

penting untuk terjadinya TB paru oleh bahan-bahan

karsinogenik yanga ada dalam asap rokok. Dalam

jangka panjang yaitu 10- 20 tahun pengaruh resiko

merokok terhadap TB paru, bila merokok 1-10 batang


per hari meningkatkan resiko 15 kali, bila merokok 20-

30 batang per hari meningkatkan resiko 40-50 kali,

faktor yang erat hubungannya untuk terjadinya infeksi

basil tuberculosis adalah salah satunya adanya bahan

toksis yaitu merokok

6. Sanitasi perumahan

Hygiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan

linngkungan fisik, biologis dan ekonomis yang

mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan

yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan

yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan.

Pemukiman yang sehat dirumuskan sebagai tempat

tinggal secara permanen, berfungsi sebagai tempat

berlindung dari pengaruh lingkungan yang memenuhi

persyaratan fisiologis, psikologis, bebas dari penularan

penyakit dan kecacatan.

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup,

tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya

cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama


cahaya matahari disamping kurang nyaman juga

merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup

dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya

terlalu banyak cahaya di dalam rumah akan

menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusak mata.

Pencahayaan yang baik bagi tiap-tiap tempat

mempunyai standar yang berbeda-beda sesuai dengan

peruntukan tempat tersebut. Untuk kamar keluarga dan

tidur, standar cahaya alami yang optimal adalah 60-120

lux.

Anda mungkin juga menyukai