Anda di halaman 1dari 33

KRITIK TERHADAP INSTITUSI KELUARGA

PERSPEKTIF FEMINISME
Oleh: A. Abdulloh Khuseini
(Peserta Program Kaderisasi Ulama Angkatan III ISID Gontor Ponorogo)

A. Pendahuluan
Salah satu agenda yang di usung oleh para feminis adalah
pengarusutamaan gender1 (gender mainstreaming), yaitu suatu strategi2 untuk
mencapai kesetaraan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang
berperspektif gender pada organisasi dan institusi.3 Gender diartikan sebagai suatu
konsep untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi sosial-budaya dan sudut non-biologis.4 Istilah gender sejatinya tidak lepas
dari konspirasi Barat5 tentang wanita yang di masa lalu begitu rendah. Wanita

Para feminis membedakan antara sex dan gender, dalam bahasa Inggris, sex diartikan sebagai 1
jenis kelamin yang menunjukkan adanya pensifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia
secara biologis, yaitu laki-laki dan perempuan. Para feminis sepakat bahwa pada dataran ini, ada
garis yang bersifat nature, di mana laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang
melekat pada masing-masingnya secara permanen, kodrati, dan tidak bisa dipertukarkan satu
dengan lainnya. Sedang gender sebagaimana disebutkan dalam Womens Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan (destinction)
dalam hal peran, posisi, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat; Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan
dalam Timbangan Islam, Jakarta, Gema Insani, 2004, h. 19-20; lihat juga Achie Sudiarti Luhulima,
Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, (Jakarta; Yayasan Obor, 2007), h. 3;
lihat Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta; Fajar Pustaka, 2007), h. 177-180;
lihat M. Nashirudin, Poros-Poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim,
(Surabaya; Jaring Pena, 2009), h. 13-14; lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai
Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta; LKiS, 2009), h. xi
Di Indonesia, upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dituangkan dalam 2
kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam UU no. 25 th. 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional. Lihat: Atiek Zahrulianingdyah,
Pemberdayaan Komunitas Perempuan Marginal di Lingkungan Kampus: Tawaran Sebagai Suatu
Model, dalam Women In Sector Public [Perempuan Di Sektor Publik], (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008), Editor: Siti Hariti Sastriyani, h. 107
Susilaningsih, Kesetaraan GENDER di Perguruan Tinggi Islam Baseline and Institutional 3
Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta; UIN Sunan
Kalijaga&McGill, 2004), h. 1
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Quran, (Jakarta; 4
PARAMADINA, Cet. Ke-2, 2001), h. 35
Istilah Barat tidak di lihat secara demografi melainkan ia adalah merupakan sebuah peradaban, 5
dimana yang menjadi sokoguru peradabannya adalah Yunani-Romawi dan Judeo-Kristiani (baca:
Amatullah Shafiyyah, Kiprah Politik Muslimah Konsep dan Implementasinya, h.7-11). Peradaban

1
2

dianggap makhluk yang hina dan tidak bisa dipercaya, bahkan menjadi korban
inkuisisi Kristen di Barat. Akibat dari konsep dasar ini, maka konstruk sosial yang
tercipta telah meletakkan peran sosial wanita secara sekundair atau kedua setelah
laki-laki, dan kemudian menghasilkan sikap sosial yang diskriminatif terhadap
wanita6/perempuan7.
Wacana seputar isu gender dalam Islam mengalami perkembangan
signifikan di Indonesia,8 hal ini tidak terlepas dari pengaruh karya-karya feminis
Muslim di berbagai belahan dunia Islam, baik melalui wacana maupun tradisi oral
(oral tradition) di kalangan pemimpin Islam. Karya-karya mereka tidak saja
menjadi sumber inspirasi di kalangan feminis Islam Indonesia untuk
mendialogkan secara kritis isu-isu gender dengan Islam dalam konteks ke
Indonesiaan. Lebih dari itu, perkembangan wacana tersebut semakin
membulatkan tekad dan komitmen para feminis dalam usahanya mengadvokasi
dan membebaskan perempuan dari domestifikasi, subordinasi, dan diskriminasi
yang selama ini membelenggu ruang gerak perempuan.9
Isu kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh para feminis pada
akhirnya sampai pada tuntutan kesetaraan dalam institusi keluarga. Hal ini
kemudian melahirkan berbagai macam pandangan terhadap struksur institusi
keluarga, di antaranya; Paradigma marxis memandang institusi keluarga sebagai
musuh pertama yang harus dihilangkan atau diperkecil perannya. Keluarga
dianggap sebagai cikal bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama

Barat merupakan campuran dari peradaban Yunani kuno yang di kawinkan dengan peradaban
Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropah terutamanya Jerman,
Inggeris, dan Perancis. Prinsip-prinsip asas dalam Filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan
diambil dari Yunani, prinsip-prinsip mengenai hukum dan ketatanegaraan diambil dari Romawi.
.Sementara agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat
Hamid Fahmy Zarkasyi, Pengantar Direktur CIOS dalam Bangunan Wacana Gender, 6
(Ponorogo; Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007) h. vii-viii
Dalam tulisan ini penulis menggunakan kata wanita dan perempuan secara bergantian, akan 7
.tetapi makna dari kedua kata itu adalah sama
Perkembangan wacana tersebut ditandai dengan melimpahnya publikasi yang mengangkat 8
wacana gender dan Islam, sebagai suatu kerangka ideology pengarus utamaan gender berspektif
Islam, melainkan juga fakta bahwa ia sudah merambah luas ke dalam suatu mainstream gerakan
yang kemudian mengundang orang dengan mudah menyebutnya sebagai gerakan feminism Islam.
(Lihat: Jamhari, Citra Perempuan dalam Islam Pandangan ORMAS Keagamaan, Jakarta,
Gramedia, 2003, h. 1)
Jamhari, Citra Perempuan, h. 1-4 9
3

berawal dari hak dan kewajiban yang timpang antara suami-istri. 10 Dalam
pandangan ini, institusi keluarga adalah struktur patriarki yang merupakan cikal
bakal terciptanya masyarakat berkelas-kelas. Kaum komunis mengatakan bahwa
kaum perempuan adalah private property bagi suaminya. Manifesto feminism
radikal yang diterbitkan dalam Notes from the Second Sex (1970) mengatakan
bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas
perempuan.11
Pada umumnya, institusi keluarga di atas menempatkan perempuan dalam
posisi yang lemah. Kondisi yang lemah dan terlemahkan dari kaum perempuan itu
sebenarnya dapat terjadi karena masih kuatnya unsur dominasi dan hegemoni
dalam budaya patriarkhis yang menindas kaum perempuan. Kaum perempuan
menjadi korban abadi dalam sistem kehidupan masyarakat yang mengalami
ketimpangan struktural.12
Maka wajar jika kemudian lahir suatu gerakan yang dipromotori oleh
kaum perempuan yang menginginkan kebebasan. Bebas dari kungkungan
patriarki, penjara rumah tangga, dan kemudian menganggap institusi keluarga
sebagai musuh pertama yang harus dihilangkan atau diperkecil perannya. Mereka
beranggapan bahwa peran wanita sebagai ibu rumah tangga adalah peran yang
merampok hidup perempuan, perbudakan perempuan dan sebagainya.13
Konsep relasi hubungan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga
menurut analisis gender adalah persamaan hak dan kesempatan. Kalau laki-laki
bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga, maka perempuan pun mempunyai
hak yang sama, bisa menjadi pemimpin bagi keluarganya. Begitu pula kalau
perempuan bisa diberi tugas mengurus rumah tangga, maka laki-laki pun bisa
diberi tugas mengurus rumah tangga. Pembagian peran dalam rumah tangga tidak
boleh didasarkan atas perbedaan jenis kelamin, tetapi karena kapabilitasnya.
Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak seharusnya memunculkan perbedaan

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, 10
(Bandung; Mizan, 1999), h. 11
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Jakarta; 11
Gema Insani, 2004), h. 35
Bani Syarif Maula, Musawa (Jurnal Studi Gender dan Islam), Vol. 3, No. 1, Maret 2004, h. 28 12
Ratna Megawangi, Membiarkan , h. 53 13
4

peran, karena ia akan menimbulkan ketidakadilan.14 Pandangan yang lebih ekstrim


tentang struktur keluarga ideal dikemukakan oleh feminism radikal, mereka
berpendapat apabila lembaga perkawinan tidak dapat dihindari, maka perlu
diciptakan teknologi15 untuk mengurangi beban biologis wanita. Hal ini
diharapkan dapat mengakhiri pembagian peran berdasarkan gender yang selalu
terkait dengan kehamilan, menyusui, dan pengasuhan anak.16
Isu kesetaraan dan kebebasan di atas kini hendak diterapkan dalam
institusi keluarga Islam, dimana dalam Islam institusi keluarga adalah merupakan
hubungan yang sakral dan bahkan telah di atur dalam al-Quran17 dan al-Hadis18.
Penyama rataan konsep dengan yang di tawarkan oleh Barat mengenai institusi
keluarga tentu tidak bisa diterima dalam Islam. Di Barat, seorang wanita yang
menjadi ibu adalah merupakan bentuk diskrimasi, sedang dalam Islam tugas
seorang ibu dalam rumah tangga memiliki fungsi yang sangat urgen, karena ibu
adalah merupakan madrasah pertama bagi putra putrinya.
Dari paparan di atas, penulis hendak memaparkan bagaimana struktur
institusi keluarga menurut para feminism, bagaimana sejarah dan konsep struktur
keluarga mereka terbentuk serta dampak sosial yang timbul, kesempatan dan
persamaan yang meliputi aktualisasi diri dan dedikasi perempuan yang diinginkan
kaum feminism, dan terakhir akan dijelaskan bagaimana institusi keluarga dalam
Islam.

B. Kritik Feminis Terhadap Pernikahan/Institusi Keluarga

Bani Syarif, Musawa, h. 42 14


Bentuk teknologi yang di inginkan adalah semisal alat kontrasepsi, dan bahkan artificial 15
devices atau alat-alat tiruan seperti tiruan plasenta dan bayi tabung, sehingga perempuan/wanita
tidak perlu lagi mengalami proses kehamilan, lihat Sekar Megawangi dalam Membiarkan, h.
179. Lihat juga Al-Insan-Jurnal Kajian Islam No. 3, Vol. 2, 2006, h. 12
Ratna Megawangi, Membiarkan , h. 178-179 16


17
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antara rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rm [30]: 21)
) : 18
(
Lihat Hadis Shohih Bukhori, Bab Puasa, Juz 1, No. 1806, h. 673
5

Bagi para feminis, agama, budaya, dan keluarga seakan menjadi sumber
bagi para feminis untuk menyebarkan ideologi gender dalam mendapat jalannya
melakukan stigmatisasi serta posisi biner perempuan dan laki-laki. Menurut
mereka, Ideologi gender seakan mendapatkan legitimasi dari agama, kemudian
dikuatkan lagi dengan adanya tradisi masyarakat, kebudayaan, dan dipraktikkan
dalam kehidupan keluarga. Situasi semacam ini - menurut para pegiat gender -
dianggap telah berlangsung berabad-abad dengan posisi relasi yang timpang
antara perempuan dan laki-laki.19
Sebagaimana kita ketahui, bahwa kehidupan masyarakat dunia berawal
dari individu, dan keluarga sebagai komunitas terkecil dalam masyarakat yang
akan membentuk karakter setiap individu yang ada di dalamnya. Akan tetapi bagi
para feminis, kondisi seperti ini dianggap menjadi sebuah ladang pembibitan yang
sangat strategis untuk pelestarian dan pengembangan ideologi gender. Menurut
mereka, dalam kehidupan keluarga, nilai-nilai ideologi gender ditanamkan dan
tertanamkan baik secara deduktif maupun secara induktif. Proses penanaman bibit
yang tanpa pemahaman pada hakekatnya hanya merupakan proses pemiskinan
peradaban. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan manusia berjalan dengan
penuh eksploitasi dan penipuan. Dalam situasi seperti ini, mereka menyimpulkan
bahwa pola relasi yang tumpang tindih telah melahirkan berbagai bentuk
ketidakadilan dan kekerasan yang secara intensif terjadi terus menerus dalam
kehidupan keluarga. Bagi para feminis, kedudukan ayah sebagai kepala keluarga
dianggap telah mengukuhkan ideologi gender itu sendiri. Selanjutnya mereka
mengatakan bahwa, dengan memposisikan laki-laki sebagai faktor ordinat dan
perempuan sebagai subordinat, kekerasan dan ketidakadilan pada perempuan
seolah mendapat legalitas lewat agama dan budaya yang beridiologi gender
tersebut, dengan keluarga sebagai instrumennya.20 Para feminis menganggap
bahwa mereka telah berhasil menempatkan politik seksualitas sebagai isu sentral
dalam pemahaman tentang penindasan. Teori mereka adalah meletakkan politik

A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender; Buku Kedua [Perempuan Indonesia dalam Perspektif 19
Agama, Budaya, dan keluarga], (Magelang; IndonesiaTera, 2004), h. viii
A. Nunuk P. Murniati, Getar, h. xv-xvi 20
6

seksualitas dalam rumah tangga, khususnya pada pembagian kerja rumah tangga,
semisal siapa yang merawat anak dan memasak.21
Argumen yang dipakai oleh para feminis adalah bahwa patriarki
(supremasi laki-laki) muncul karena adanya pembagian kerja yang didasarkan atas
seks. Mereka menganggap bahwa dengan adanya pembagian tersebut, perempuan
menjadi benar-benar bertanggung jawab atas pekerjaan domestik. Lebih dari itu,
mereka beranggapan bahwa teoretisi laki-laki telah menganggap remeh
penindasan yang dialami perempuan di rumah tangga, pasar kerja, politik dan
budaya22 sehingga timbul anggapan bahwa kaum laki-laki selalu menempatkan
perempuan pada posisi kelas ke dua (the second human being) dalam tatanan
kehidupan.23
Tuduhan-tuduhan negatif yang dilontarkan oleh para feminis, kemudian
memunculkan berbagai macam ide dan gagasan untuk menyetarakan kedudukan
laki-laki dan perempuan. Mereka ingin merubah struktur institusi keluarga yang
bersifat vertikal dengan suami sebagai kepala keluarga, menjadi struktur yang
bersifat horizontal, di mana kepemimpinan dalam keluarga bisa di pegang oleh
suami atau istri. Manakala penghasilan istri lebih besar dari suami, maka istrilah
yang berhak menjadi kepala rumah tangga. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
oleh Randal Collin dalam bukunya Sociological of Marriage and the Family:
Gender, Love, and Property dan dikutip oleh Ratna Megawangi dalam bukunya
Membiarkan Berbeda mengatakan bahwa keluarga oleh model structural-
fungsional dijadikan institusi untuk tujuan melanggengkan system patriarkat,
kemudian Collin mengatakan bahwa sebuah keluarga ideal adalah yang
berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hierarkis).24
Menurut Ben Agger dalam bukunya Teori Sosial Kritis mengatakan bahwa
para feminis telah menghasilkan perubahan utama dalam kajian sosiologi atas

Ben Agger, Teori Sosial KritisKritik, Penerapan, dan Implikasinya, (Yogyakarta; Kreasi 21
Wacana, 2008), Cet. 8, h.200
Ben Agger, Teori, h. 201 22
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), 23
h. vii; lihat juga: Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2007), Cet. 2,
h. 1
Ratna Megawangi, Membiarkan, h. 85 24
7

keluarga, keluarga tidak lagi ditinjau dalam terminologi Victorian 25 dan


Parsonian26 sebagai tempat pembagian kerja berdasarkan seks secara alamiah 27,
melainkan dipandang sebagai tempat pertarungan, di mana pembagian kerja
secara seksual, telah melemahkan dan merugikan perempuan. Mereka
berpendapat bahwa pembagian kerja secara seksual, merupakan ketimpangan
yang serius antara laki-laki dan perempuan, mempermasalahkan dan mempolitisir

Families were very important ti Victorians. They were usually large, in 1870 the average 25
family had five or six children. The father was the head of the household. He was often strict and
was obeyed by all without question. The children were taught to respect their father and always
spoke politely to him. The mother would often spend her time planning dinner parties, visiting her
dressmaker or calling on friends, she did not do jobs like washing clothes or cooking and
cleaning. (Keluarga dipandang sangat penting bagi Victorian. Mereka biasanya hidup dalam
jumlah keluarga besar, pada tahun 1870 rata-rata keluarga memiliki lima atau enam anak. Figur
ayah adalah sebagai kepala rumah tangga. Dia sangat disiplin dan dipatuhi oleh semua anggota
keluarga. Anak-anak selalu diajarkan untuk menghormati ayah mereka dan selalu berbicara
dengan sopan kepadanya. Sang ibu sering menghabiskan waktunya untuk merencanakan sebuah
pesta makan malam, mengunjungi penjahitnya atau menelepon teman-temannya, dia tidak bekerja
seperti mencuci pakaian, memasak dan kebersihan). Para Feminis menentang ide keluarga
Victorian, yang tetap menjadi model kontemporer keluarga inti, perempuan harus mengasuh laki-
laki dan anak-anak sebagai kompensasi atas upah keluarga (upah yang dibayarkan kepada suami
oleh majikan untuk menyokong bukan hanya dirinya sendiri namun juga istri dan anak-anak
mereka. Lihat; http://www.nettlesworth.durham.sch.uk/time/victorian/vfam.html, tgl 07-04-2010
pkl 05.45 p.m.; lihat juga: Ben Agger, Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,
(Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2008), Cet. 5, h. 208
Parson meletakkan suatu asal-muasal sistematis bagi teori sosial, dilandaskan pada suatu 26
interpretasi terhadap pemikiran Eropa abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia menggunakan suatu
pendekatan teori sosial yang khusus dengan menggabungkan satu versi mapan fungsionalisme dan
satu konsepsi naturalistis dalam sosiologi. Ia mengakui adanya pluralitas dalam suatu struktur
institusi keluarga, hal ini menjadi satu-satunya pijakan utama (almunthalaq) dari adanya struktur
masyarakat yang berakhir dengan pluralitas dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam
struktur sebuah system. Dalam suatu organisasi/lembaga pasti ada yang menjadi seorang
pemimpin. Perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kebutuhan individu yang bersangkutan,
tetapi untuk mencapai tujuan organisasi sebagai kesatuan. Tentunya struktur dan fungsi ini tidak
lepas dari pengaruh norma dan nilai-nilai (common values) yang melandasi system masyarakat itu.
Lihat; Ratna Megawangi dalam Membiarkan, h. 57. Dalam meletakkan teorinya, Parson
berpegang pada prinsip common values, baginya common values adalah prinsip ataupun kaedah-
kaedah yang diterima secara consensus (kesepakatan secara bulat) yang digunakan sebagai pijakan
dalam melegitimasi segala tindak perbuatan (action). Menurut Parson, keluarga diibaratkan sebuah
hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperature tubuhnya agar tetap konstan walaupun
kondisi lingkungan berubah. Menurutnya keluarga selalu beradaptasi secara mulus menghadapi
perubahan lingkungan. Kondisi ini disebut keseimbangan dinamis. Lihat; Antoni Giddens, Teori
Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, (Yogyakarta, Pustaka, 2010),
h. viii, lihat juga: http://hmmmesir.20m.com/02mengkritisi.htm, tgl 07-04-2010 pkl 10.00 p.m.
lihat juga, Ratna Megawangi, Membiarkan, h. 65-66
Pembagian seks secara alamiah berarti menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah di luar 27
rumah dan perempuan dengan senang hati melahirkan anak dan melakukan pekerjaan domestik
.sebagai imbalan atas cinta
8

keluarga. 28 Menurut Arif Budiman dalam Pembagian Kerja Secara Seksual yang
dikutip oleh Neng Dara Affiah mengatakan, Pembagian kerja semacam ini
berasumsi bahwa pekerjaan utama perempuan adalah di rumah. Dunia publik
adalah dunia laki-laki, dan karena itu pencari nafkah utama keluarga adalah
suami. Dengan pola semacam ini, para feminis berasumsi bahwa perempuan
cenderung dirugikan, karena ia menjadi tergantung pada suami secara ekonomi.29
Feminis menentang pembagian kerja berdasarkan seks karena tidak ada alasan
biologis mengapa perempuan harus mengasuh anak dan melakukan pekerjaan
rumah tangga sementara laki-laki bekerja di luar rumah untuk mendapat upah,
sehingga menjadikan sang istri tergantung kepada niat baik mereka demi
kelangsungan hidup. Di samping itu, pembagian kerja berdasarkan seks bukan
hanya melemahkan perempuan secara politis dan ekonomis, namun juga
mendegradasikan perempuan secara seksual dan kultural.30 Sekarang ini kaum
feminis berpendirian bahwa pekerjaan domestik yang dilakukan perempuan (istri)
harus juga diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif secara ekonomi dan tidak
dapat begitu saja dianggap sebagai kewajiban domestik mereka.31
Pembagian peran perempuan yang bias jender - menurut para feminis -
juga masih terlihat di dalam sistem hukum nasional kita. Seperti Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan turut mengukuhkan
pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan peran baku (stereotype) yaitu
perempuan sebagai ibu rumah tangga wajib mengatur urusan rumah tangga,
sementara laki-laki sebagai kepala keluarga wajib melindungi istri dan
memberikan keperluan hidup rumah tangga.32
Secara konkrit, Asghar Ali Engineer mengisyaratkan kesetaraan laki-laki
dan perempuan pada dua hal, pertama; dalam pengertiannya yang umum, ini
berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara.

Ben Agger, Teori, h. 353-356 28


Neng Dara Affiah, Muslimah Feminis Penjelajahan Multi Identitas, (Jakarta; Nalar, 2009), h. 29
80
Ben Agger, Teori, h. 208-209 30
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta; Bentang Budaya, 1994), 31
h. 61
Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma Menembus Tradisi Pemikiran Tentang 32
Keserasian Jender, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), h. 228
9

Kedua; orang harus mengakui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-
hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Keduanya harus
memiliki hak yang setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau
memutuskannya, keduanya harus memiliki hak untuk memiliki atau mengatur
harta miliknya tanpa campur tangan yang lain, keduanya harus bebas memilih
profesi atau cara hidup, dan keduanya harus setara dalam tanggung jawab
sebagaimana dalam hal kebebasan.33
Berbeda dengan Said Hawwa dalam bukunya Al Islam yang
diterjemahkan oleh Abdul Hayyi al Kattani mengatakan bahwa hubungan antara
laki-laki dan perempuan harus berlandaskan pada keselarasan potensi yang
dimiliki, sehingga tidak akan mengartikulasikan potensi akhlaknya kecuali sesuai
dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah.34

a. Sejarah struktur keluarga


Pandangan miring tentang institusi keluarga tidak lepas dari gerakan
feminism,35 yaitu bentuk perjuangan kaum perempuan Barat dalam menuntut
kebebasannya. Karena pada abad Pertengahan, kaum perempuan tidak memiliki
tempat ditengah masyarakat, maka mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu pun,
dan tidak boleh mengurus apapun. Sejarah Barat dianggap tidak memihak kaum
perempuan. Dalam masyarakat feodalis (di Eropa hingga abad ke-18), dominasi
Asghar Ali Engineer, Hak-hak, h. 57 33
Said Hawwa, Al Islam, terj. Abdul Hayyi al Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 34
h. 382
Perjuangan kalangan Islam Liberal dalam mewujudkan hak-hak perempuan ini, sering disebut 35
dengan gerakan Islam Feminis. Secara garis besar [feminism Islam adalah]Kesadaran akan
penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam
keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan
tersebut[dengan mengambil teks-teks sakral sebagi dasar pijakannya]. Menurut definisi tersebut,
dengan demikian seseorang tidak cukup hanya mengenali adanya diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin, dominasi laki-laki dan sistem patriarki, untuk bisa disebut sebagai feminis, ia harus pula
melakukan sesuatu untuk menentangnya. Dengan kata lain, pemahaman harus disertai oleh
tindakan untuk mengubah kondisi yang merendahkan perempuan. Patriarkhi merupakan, salah satu
masalah utama yang dihadapi kalangan feminis Islam, dipandang sebagai akar misoginisTujuan
perjuangan feminisadalah mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk
memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga
Tujuannya adalah membangun suatu tatanan masyarakat yang adil, baik bagi perempuan maupun
bagi laki-laki, bebas dari penghisapan, bebas dari pengkotakan kelas-kelas, kasta, maupun
prasangka jenis kelamin Yang dituntut oleh kalangan feminis Muslim, adalah kesamaan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebagai warga Negara di wilayah publik, serta peran
komplementer di wilayah domestik (rumah tangga). Lihat: Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi
Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 51
10

mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas; wanita
diposisikan sebagai sesuatu yang rendah, yaitu dianggap sebagai sumber godaan
dan kejahatan.36
Kemudian muncul renaisance, yang berintikan semangat pemberontakan
terhadap dominasi gereja, diikuti dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Industri.
Inilah puncak reaksi masyarakat terhadap dominasi kaum feodal yang cenderung
korup dan menindas rakyat, di bawah legitimasi gereja. Adanya revolusi ini juga
menjadi awal proses liberalisasi dan demokratisasi kehidupan di Barat. Perubahan
ini tidak hanya berpengaruh pada berubahnya sistem feodal menjadi sistem
kapitalis sekular, tetapi ikut menginspirasikan kaum perempuan untuk bangkit
memperjuangkan hak-haknya.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan feminisme di Amerika
Serikat masih terfokus pada tuntutan untuk mendapatkan hak memilih (the right
to vote), karena saat itu, wanita dianggap warga negara kelas dua yang disamakan
dengan anak dibawah umur, dengan demikian para wanita tidak diperbolehkan
memberikan hak suaranya dalam pemilu. Reaksi protes atas pelarangan wanita
untuk berbicara di muka umum, ditandai dengan berkumpulnya sejumlah wanita
di Seneca Falls, New York, pada tahun 1948, mereka menuntut hak-hak mereka
yang sebelumnya belum pernah didapatkan. Beberapa tuntutan yang diajukan
adalah: mengubah UU Perkawinan,37 yang memuat bahwa wanita dan hartanya
menjadi kekuasaan suami, termasuk anak bila mereka bercerai; memberi jalan
untuk meningkatkan pendidikan wanita; menuntut wanita untuk bekerja; dan

M. Nashirudin, Poros-Poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim, 36


(Surabaya; Jaringpena, 2009), h. 14-17
Di Indonesia, kedudukan perempuan dalam Hukum Islam Indonesia dan perkembangannya 37
dikemukakan oleh Musdah Mulia. Ada tiga hal yang perlu dicatat dalam upaya-upaya pembaruan
hukum-hukum keluarga Islam. Pertama, upaya pembaruan hukum keluarga selalu mendapat
tantangan dari kelompok Islam tradisional dan radikal yang selalu mempertahankan status quo.
Kedua, pembaruan hukum Islam di berbagai Negara Islam selalu berujung pada kelahiran undang-
undang baru yang materinya berbeda dengan ketentuan hukum sebagaimana tertuang dalam kitab-
kitab fiqh klasik. Ketiga, semangat pembaruan hukum keluarga didorong oleh motivasi untuk
membangun masyarakat sipil yang berkualitas dan beradab, sekaligus memperbaiki status dan
kedudukan perempuan serta melindungi anak-anak. Lihat: Sulistyowati Irianto,
Peremuan&Hukum Menuju Hukum Yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan
Obor, 2006), h. xiii-xiv
11

memberikan hak penuh untuk berpolitik.38 Bahkan kemudian mereka berusaha


untuk mendapatkan hak aborsi, kesamaan upah, dan perlindungan melawan
diskriminasi seks dan pelecehan seksual.39
Kondisi ini dipermudah dengan seruan kaum kapitalis sebagai golongan
pemilik kapital yang mendorong kaum perempuan bekerja di luar rumah.
Akhirnya, mereka bersaing dengan laki-laki dan berusaha merebut posisi kaum
laki-laki untuk memperoleh kebebasan mutlak agar terlepas dari segala macam
ikatan dan nilai serta tradisi. Kaum perempuan mulai menuntut persamaan secara
mutlak dengan kaum laki-laki termasuk dalam urusan kebebasan hubungan
seksual tanpa perkawinan.
Oleh karena itu, para feminis menuntut segala bentuk diskriminasi yang
terjadi dalam rumah tangga, hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 16
Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW) No. 21 (Sidang ke-13, tahun 1994) tentang kesetaraan dan keadilan
dalam perkawinan dan hubungan keluarga:
Negara-negara peserta wajib melakukan langkah-langkah yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang
berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga atas dasar
persamaan antara laki-laki dan perempuan, dan khususnya akan menjamin:
Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan; hak yang sama
untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang
perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya; hak
dan tanggungjawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan
perkawinan; hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orangtua, terlepas
dari status perkawinan mereka, dalam urusan-urusan yang berhubugnan
dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus kepentingan anak-anak lah
yang diutamakan.40

Kondisi semacam ini - menurut para feminis - telah menggugah kesadaran


para perempuan untuk kemudian mengambil hak-hak kemanusiaan yang selama
ini dianggap telah dirampas oleh laki-laki. Perjuangan dalam meraih kesetaraan

http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/2023?var=1, Sabtu, 10 April 2010 38


pk. 9.23 AM
Ben Agger, Teori, h. 204 39
Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 40
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
(Jakarta; Yayasan Obor, 2007), h. 285-286, lihat juga; Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum
untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta, Yayasan Obor, 2007), h. 62-69
12

gender juga kemudian melahirkan gerakan feminism, yang berusaha mengkritisi


kekuatan-kekuatan simbolis dan ideologis suatu budaya atau bahkan membongkar
sistem sosial, seperti sistem kelas dan patriarki yang selama ini dianggap telah
memperlakukan perempuan secara tidak adil.41 Upaya untuk mengejar
ketertinggalan dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) adalah
dengan meningkatkan kualitas hidup dan memberdayakan perempuan sehingga
mampu mandiri dan tidak bergantung dengan laki-laki. 42

b. Kritik terhadap keluarga


Sebagaimana telah diutarakan pada pembahasan sebelumnya, bahwa
institusi keluarga yang di inginkan oleh para feminis adalah sama rata, dimana
antara suami-istri mendapat hak dan kesempatan yang sama dalam segala hal.
Para feminis hendak mendekonstruksi sistem institusi keluarga yang bersifat
vertikal - karena ini dianggap patriarki - menjadi satu bentuk institusi keluarga
yang sifatnya horizontal. Dengan demikian antara suami dan istri keduanya
memiliki peluang dan hak yang sama dalam segala hal. Menurut Fatima Mernissi,
jika hak-hak wanita merupakan masalah bagi sebagian kaum laki-laki muslim
modern, hal itu bukanlah karena al-Quran ataupun Nabi, bukan pula karena
tradisi Islam, melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan
dengan kepentingan kaum elit laki-laki.43
Dari konsep keluarga yang diinginkan oleh para feminis di atas, kemudian
melahirkan berbagai pandangan tentang institusi keluarga. Bagi feminis liberal,
mereka masih menganggap normal, bahkan alami, bagi manusia untuk
membentuk keluarga yang terdiri dari pasangan dewasa (laki-laki dan perempuan)
dengan memiliki anak, baik secara biologis maupun dengan cara adopsi. Akan
tetapi, mereka beranggapan bahwa manusia perlu membangun keluarga hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di samping itu, mereka juga
menganggap keluarga termasuk bentuk ketidakadilan dalam pembagian kerja

Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005), h. 23 41
Atiek Zahrulianingdyah, Pemberdayaan Komunitas Perempuan Marginal di Lingkungan 42
Kampus: Tawaran Sebagai Suatu Model, dalam Women In Public Sector [Perempuan di Sektor
Publik], (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), Editor: Siti Hariti Sastriyani, h. 107
Fatima Mernissi, Wanita Di Dalam Islam, diterjemahkan dari Women and Islam: An Historical 43
and Theological Enquiry, (Bandung: Pustaka, 1994), h. xxi
13

berdasarkan seks44 yang dapat merugikan perempuan. Mereka berkeyakinan


bahwa laki-laki dapat diyakinkan untuk memikul beban lebih banyak dalam
merawat anak dan kerja domestik dalam satu pembagian peran di dalam
perkawinan, sehingga perempuan dapat menaikkan posisi mereka dalam keluarga
dan masyarakat melalui kombinasi inisiatif dan prestasi individual (misalnya,
pendidikan tinggi), diskusi rasional dengan laki-laki (suami) yang dapat
dikonsepsikan sebagai upaya memperbaiki peran jender mereka, cara
pengambilan keputusan sehubungan dengan pengasuhan anak, yang akan
memungkinkan bagi perempuan untuk mengejar karir, dan mempertahankan
hukum yang memberikan hak kepada aborsi legal dan melindungi perempuan dari
diskriminasi seks.45 Sarah Grimke mengatakan bahwa wanita menikah terpenjara
dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami). 46 Oleh karena itu,
ada sebagian feminis liberal yang kemudian memilih untuk melajang 47 sebagai
satu alternatif gaya hidup yang sah.
Menurut John Struart Mill48 sebagaimana dikutip oleh Ratna Megawangi
dalam bukunya Membiarkan Berbeda, untuk dapat mencapai kebahagiaan
tertinggi, seorang wanita hendaknya menekan dan menghilangkan segala aspek
yang ada kaitannya dengan pekerjaan domestik. Maka dari itu, untuk mencapai
kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, perlu adanya perubahan segala
undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga
yang patriarki.49 Setidaknya ada tiga aspek yang ingin dihindari dari hukum

Misalnya, perempuan melakukan lebih banyak pekerjaan pengasuhan anak, kerja rumahan dan 44
kerja yang melibatkan emosi. Solusi yang mereka tawarkan adalah melalui negosiasi perempuan
dengan suami mereka, yang seharusnya didorong untuk ambil bagian dalam pengasuhan anak,
kerja domestik, dan pengembangan emosi. Lihat: Ben Agger, Teori, h. 216
Ben Agger, Teori, h. 215-217 45
Ratna Megawangi, Membiarkan, h. 119 46
Untuk mendapatkan anak mereka memanfaatkan sebuah bank sperma yang menyediakan 47
sperma-sperma unggulan. Dengan adanya bank sperma tersebut, para wanita menolak untuk
menikah, sehingga dapat dengan bebas mendapatkan bantuan dari bank sperma tersebut. Lihat: Al-
Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 12
Ia adalah salah satu pemikir feminis teoritis awal. Karyanya adalah The Subjection of Women 48
(1869). Dalam bukunya ia mengkritik pekerjaan perempuan di sektor domestik, sebagai pekerjaan
irasional, emosional, dan tiranis. Lihat: Ratna Megawangi, Membiarkan, h. 119
Misalnya, mengubah undang-undang yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga. 49
Bahkan untuk menghindari hukum perkawinan yang dianggap merugikan wanita, muncullah
yang disebut marriage contract, yaitu kontrak perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua
.pasangan yang bersangkutan melalui pengacara yang dipilih
14

perkawinan yang ada, yaitu anggapan bahwa suami sebagai kepala keluarga,
anggapan bahwa suami bertanggung jawab atas nafkah istri dan anak-anak, dan
anggapan bahwa istri bertanggung jawab atas pengasuhan dan pekerjaan rumah
tangga.50
Lain halnya dengan feminism radikal, mereka cenderung membenci laki-
laki. Manifesto feminism radikal yang diterbitkan dalam Notes from the Second
Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi
untuk menindas perempuan, sehingga tugas utama mereka adalah menolak
institusi keluarga. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi
dominasi laki-laki sehingga perempuan ditindas,51 hal ini disebabkan karena citra
seksis perempuan yang diobjektifkan sehingga mereka tertindas. Mereka
menyalahkan dilema perempuan dalam patriarki, yang mereka yakini berasal dari
keluarga dan cara di mana perempuan terjebak dalam peran tanggung jawab dan
kewajiban mereka. 52
Di antara kelompok feminis yang paling ekstrim dalam memandang
institusi keluarga adalah dari golongan feminis lesbian, mereka beranggapan
bahwa hubungan heteroseksual di dalam sebuah keluarga merupakan lembaga dan
ideology yang merupakan benteng utama bagi kekuatan laki-laki. 53 Sepanjang
perempuan meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit bahkan
tidak mungkin untuk berjuang melawan laki-laki. Jika perempuan menginginkan
persamaan dengan laki-laki, maka ia harus memisahkan diri dari kehidupan laki-
laki, atau paling tidak sedikit pemisahan perasaan cinta terhadap laki-laki, dengan
jalan mengembangkan kesanggupan untuk berdiri sendiri, termasuk dalam
kepuasan seks. Maka dari itu, Elsa Gidlow (1977) menawarkan sebuah teori
bahwa menjadi lesbian adalah terbebas dari dominasi laki-laki. Sedangkan Martha
Shelley (1970) mengatakan bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model
sebagai perempuan mandiri.54

Ratna Megawangi, Membiarkan, h. 119-121 50


Siti Muslikhati, Feminisme, h. 35 51
Ben Agger, Teori, h. 221-222 52
Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), h. 103; lihat 53
juga: Siti Muslikhati, Feminisme, h. 35
Siti Muslikhati, Feminisme, h. 35-36 54
15

di Indonesia, gerakan pembebasan perempuan yang tergabung dalam tim


khusus pengarusutamaan gender telah menawarkan sebuah gagasan baru tentang
konsep keluarga dengan dalih standar kesetaraan kaum perempuan di mata
hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menawarkan rumusan baru fikh Islam, di
antaranya terdapat pasal baru yaitu: asas perkawinan adalah monogami (pasal 3
ayat 1), perempuan bisa menjadi saksi sebagaimana laki-laki (pasal 11), calon istri
bisa memberikan mahar (pasal 16), perkawinan beda agama diperbolehkan (pasal
54), bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama (pasal
8 ayat 3), dan anak di luar nikah (zina) yang diketahui secara pasti ayah
biologisnya tetap mendapat hak waris dari ayahnya (pasal 16 ayat 2).55
Munculnya pemikiran-pemikiran seperti telah disebutkan di atas seolah-
olah membuktikan bahwa isu-isu gender dan feminism akan terus muncul silih
berganti, baik dalam wacana baru, diskursus, sudut pandang, dan fenomena-
fenomena lain yang intinya adalah memperjuangkan hak-hak perempuan dalam
bingkai feminism.
Perkara lain yang masih menjadi isu hangat di kalangan para feminis
adalah konsep kepemimpinan dalam institusi keluarga. Mereka menggugat
kepemimpinan seorang laki-laki (suami) terhadap perempuan (isteri) dalam rumah
tangga yang selama ini sudah mapan di kalangan kaum muslimin. Mereka
beranggapan bahwa penempatan suami sebagai kepala rumah tangga tidak sesuai
dan bertentangan dengan ide feminism yang menginginkan kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan. Rumah tangga yang memposisikan suami sebagai pemimpin
atas istri merupakan salah satu bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan
yang berimplikasi terhadap kesewenang-wenangan laki-laki untuk berbuat
semaunya terhadap perempuan. Maka dari itu, mereka menghendaki status istri
setara dengan status suami.56
Sementara itu, menurut Ghada Karm, perempuan muslim terjebak dalam
konflik antara kekaguman sejati dan ketaatan terhadap Islam dan kecemasan
mereka akan penolakan keras Islam terhadap status mereka sebagai makhluk

Rusdiono Mukri, Jangan Tinggalkan Kodrat!, dalam Majalah Gontor, Edisi 11 Tahun VII, 55
April 2010/Jumadil Ula 1431, h.17
Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, 56
(Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 176
16

hidup utuh yang sama dengan pria.57 Islam dipandang sebagai agen perubahan
masyarakat Arab ketika itu, untuk bergerak ke arah patriarki, hal ini karena dalam
al-Qur`an menegaskan dan mensahkan struktur patriarchal melalui sekumpulan
ketentuan yang menempatkan pria pada kedudukan kepala keluarga dan pemimpin
masyarakat.58
Menurut Asghar Ali Engineer, keunggulan laki-laki terhadap perempuan
bukanlah keunggulan atas jenis kelamin, melainkan keunggulan fungsional,
karena laki-laki (suami) mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk
perempuan (istri). Fungsi sosial yang diemban oleh laki-laki itu sama dengan
fungsi sosial yang diemban oleh perempuan, yaitu melaksanakan tugas-tugas
domestik rumah tangga. Yang menjadi problem adalah mengapa al-Quran
menyatakan adanya keunggulan laki-laki atas perempuan karena nafkah yang
mereka berikan? Menurutnya ada dua hal yang menyebabkannya: karena
kesadaran sosial perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik
dianggap sebagai kewajiban perempuan, dan karena laki-laki menganggap dirinya
sendiri lebih unggul disebabkan kekuasaan dan kemampuan mereka mencari
nafkah dan membelanjakannya untuk kepentingan istri.59
Di pihak lain, Amina Wadud Muhsin secara eksplisit mengakui
kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Akan tetapi harus memenuhi dua syarat,
yaitu: jika laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya dan kedua jika laki-laki
mendukung perempuan dengan menggunakan harta bendanya. Kelebihan yang
dimaksud adalah karena laki-laki mendapat harta warisan dua kali lipat dibanding
perempuan, dan karena itu berkewajiban memberi nafkah kepada perempuan.
Jadi, menurutnya terdapat hubungan timbal balik antara hak istimewa yang
diterima laki-laki dengan tanggung jawab yang dipikulnya. Jadi, mana kala kedua
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka laki-laki tidak lagi menjadi pemimpin bagi
perempuan.60

Ghada Karm, Perempuan, Islam, dan Patriarkalisme, dalam Menyingkap Tabir Perempuan 57
Islam Perspektif Kaum Feminis, (Bandung: Nuansa, 2007), Editor: Mai Yamani, h. 121
Ghada Karm, Perempuan, h. 120 58
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), 59
h. 62; lihat juga: Nurjannah Ismail, Perempuan, h. 190
Amina Wadud Muhsin, Wanita Di Dalam Al-Quran, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 93-94; lihat 60
juga: Nurjannah Ismail, Perempuan, h. 192
17

Konsep semacam itu tentu bertentangan dengan Islam, dimana kesetaraan


dan kepemimpinan adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain, bukan dua
sisi yang bertentangan atau bahkan dikatakan bahwa kepemimpinan bisa
mengurangi dan menciderai kebebasan perempuan. Al-Quran merinci hal itu
ketika membicarakan soal keluarga, pembagian kerja antara suami dan istri
sebagai kesatuan dalam sebuah lingkup keluarga. Di dalamnya dijelaskan
bagaimana hak-hak perempuan dan laki-laki yang diukur dengan kesungguhan
dan hasil kerja keduanya, tanpa ada diskriminasi atau pengistimewaan satu pihak
tertentu yang berakibat pada cideranya prinsip kesetaraan.61

c. Dampak sosial
Kondisi institusi keluarga di Barat sungguh memprihatinkan. 62 Banyak di
antara mereka yang menikah bukan untuk membina suatu keluarga, tetapi hanya
sekedar untuk meraih kesenangan dalam kehidupan perkawinan dari pada berpikir
tentang tanggung jawab. Di Barat, keluarga justru berkembang menjadi sebuah
perusahaan ekonomi biasa dan perhatian keluarga yang utama adalah
kelangsungan hidup dan penyaluran hak-hak properti, bukan penjagaan atau
kebersamaan.63 Fokus perhatian orang tua tidak lagi tertuju ke rumah, walaupun
dengan berbagai macam alasan yang berbeda. Elainer Leader (salah seorang
pendiri hotline krisis remaja di Medical Centre Cedars-Sinai) mengatakan:
Semua orang seperti sedang terburu-buru sehingga seperti tidak mempunyai
waktu untuk mendengar suara hati anak-anak kita. (All people like being in a
hurry so as not have time to hear the inner voice of our children).

Muhammad Imarah, Meluruskan Salah Paham Barat atas Islam Kritik di Balik Hegemoni 61
Wacana Barat atas Islam, (Yogyakarta: Sajadah_Press, 2007), Cet. 2, h. 305-306
Elisabeth Diana Dewi, Profil Keluarga di Barat, dalam AL-INSAN Jurnal Kajian Islam 62
No. 3, Vol. 2, 2006, h. 9, mengutip dari sebuah majalah di Amerika, Better Homes and Gardens
menggulirkan satu pertanyaan kepada pembacanya: Apakah Anda piker kehidupan berkeluarga di
Amerika Serikat tengah menghadapi banyak permasalahan? sebanyak 7,6% koresponden
mengiyakan pertanyaan tersebut, dan 85% dari pembacanya menyatakan bahwa harapan mereka
untuk merasakan hidup yang bahagia dalam sebuah keluarga belum tercapai. Majalah Newsweek,
telah mempublikasikan suatu kesimpulan dari hasil survey itu, bahwa sekitar separuh dari semua
lembaga pernikahan di Amerika berakhir di meja perceraian. Walaupun kemudian ada yang rujuk
.kembali dan lainnya mengakhirinya dengan perceraian
http://www.mail-archive.com/aroen99society@yahoogroups.com/msg01441.html, dikutip pada 63
hari Senin, 29 Maret 2010, pkl. 09.59 am
18

Jika dahulu, seorang Ibu senantiasa berada di rumah untuk tetap dapat
memperhatikan anak-anak, tapi sekarang anak-anak tidak lagi ada yang
memberinya perhatian yang cukup, karena kedua orang tuanya bekerja di luar
rumah64 (dengan dalih kesetaraan). Dalam budaya Barat, orang tua dan anak-anak
telah menjadi beban satu sama lain. Hubungan antara mereka telah rusak,
sehingga memiliki ikatan dan hak kekerabatan. anak-anak dibesarkan di tempat
penitipan anak ( in western culture parents and children have become burdens
on one another. the relation between them has been broken down and so have the
bonds and rights of kinship. the children are brought up in nurseries)65 dalam
budaya barat institusi keluarga telah hancur, mengakibatkan pembekuan perasaan
kasih sayang, cinta, dan simpati. Di sana, setiap orang merasa bahwa tidak ada
seorang pun yang menjadi miliknya, dan bahwa ia adalah seorang diri di sebuah
dunia asing. (in western culture the institution of the family has been
disintegrated, resulting in the freezing of feelings of affections, love and sympathy.
there, every person feels that nobody is his hers, and that he is alone in an alien
world).66
Institusi keluarga bukan lagi tempat yang di pandang nyaman, akan tetapi
ia merupakan sebuah penjara bagi kaum perempuan. Kekerasan yang terjadi
dalam Rumah Tangga sangat serius, problem sosial yang tersebar luas di Amerika:
meratanya fakta-fakta kekerasan Rumah Tangga (domestic violence is a serious,
widespread social problem in Amerika: the facts prevalence of domestic violence).
Sebuah survey yang dilakukan oleh A. Browne tahun 1998 dalam Responding to
the Needs of Low Income and Homeles Women Who are Survivors of Family
Violence dan di kutip oleh Elisabeth Diana Dewi dalam Al-Insan [Jurnal Kajian
Islam] No. 3, Vol. 2, 2006 mengungkapkan bahwa 92% wanita yang
meninggalkan rumah disebabkan karena mengalami penyiksaan fisik dan seksual
yang hebat dalam kehidupan mereka.67 Menurut The National Violence Against

Elisabeth Diana Dewi, AL-INSAN, h. 11 64


Mohammad Taqi Amini, Recontruction of Culture and Islam,(New Delhi; Kitab Bhavan, 65
1988), h. 175
Mohammad Taqi Amini, Recontruction , h. 172 66
Browne, A. 1998. Responding to the Needs of Low Income and Homeless Women Who are 67
Survivors of Family Violence. Journal of American Medical Womens Association. 53 (2): 57-64
19

Women Survey, dalam rentang waktu November 1995 hingga Mei 1996, hampir
25% wanita Amerika dilaporkan telah diperkosa atau mengalami penyiksaan fisik
oleh suami atau mantan suaminya, teman kumpul kebo (cohabiting partner)
maupun pacarnya.68
Feminism sering dituding sebagai gerakan yang menghancurkan institusi
keluarga, karena ide-ide yang mereka tawarkan membuat kaum perempuan
menjadi egois, tidak peduli dengan perkembangan anak-anak, gerakan anti masa
depan, dan yang lebih ekstrim adalah mendorong tingkat aborsi bagi ibu hamil.69
Kalau kita perhatikan, keterlibatan perempuan dalam menangani pekerjaan
laki-laki yang bebas tanpa batas dan kode etik, dapat menimbulkan ketidak
harmonisan antara suami-istri yang selama ini telah terbina70, disamping itu juga
dapat menimbulkan malapetaka. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa aspek;
pertama adalah berbahaya bagi perempuan itu sendiri, hal ini dikarenakan
perempuan telah kehilangan keperempuanan dan karakteristik/jatidirinya. Ia juga
tidak bisa menikmati kehidupan rumah tangga beserta anak-anak; Disamping itu
juga berbahaya bagi suami, dengan istri berkarir di luar rumah, suami tidak lagi
mendapatkan kehidupan yang harmonis dan bahagia dari istri. Suami akan merasa
kehilangan kepemimpinannya atas dirinya, karena istri merasa bahwa dengan
karirnya itu ia tidak lagi membutuhkan suami, bahkan manakala gaji seorang istri
lebih banyak dari suaminya, ia akan merasa berhak untuk menguasai suami;
ketiga adalah bahaya bagi anak-anak, karena mereka tidak lagi merasakan
kehangatan kasih sayang ibu; berikutnya adalah berbahaya bagi akhlak, hal ini
terjadi manakala perempuan telah kehilangan rasa malu sebagai perempuan; dan
kelima adalah bahaya bagi pekerjaan itu sendiri, karena jika perempuan itu
bekerja, maka ia akan sering mengajukan cuti untuk tidak bekerja, hal ini
disebabkan karena perempuan memiliki banyak halangan yang bersifat alami, dan

dalam www.endabuse.org, 2 Januari 2006


The Centers for Disease Control and Prevention and The National Institute of Justice, Extent, 68
.Nature, and Consequences of Intimate Partner Violence, July 2000
Ratna Megawangi, Membiarkan, h. 21 69
Harjoni, Perempuan Yang Bekerja Dalam Perspektif Islam dalam Women In Public Sector 70
[Perempuan Di Sektor Publik], (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), Editor: Siti Hariti Sastriyani, h.
234
20

tidak dapat dihindari. Kondisi semacam ini akan mengganggu disiplin bekerja dan
menghambat produktifitas yang baik.71
Ketika perempuan mulai merangkak masuk untuk berperan di ranah
publik, ternyata peran keibuan tidak dapat dilepaskan dan digantikan begitu saja,
kenyataan menunjukkan bahwa pada saat perempuan bergerak di sektor publik,
maka tugas perempuan justru semakin bertambah berat, hal ini dikarenakan tugas-
tugas domestik tidak dapat digantikan oleh orang lain.72 Di satu sisi dia menjadi
tulang punggung keluarga yang dibebani dengan pencarian nafkah keluarga,
bukan sekedar partisipasi membantu suami.73
Pada akhirnya konsep struktrur keluarga yang ditawarkan oleh para
feminis justru akan banyak menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan.
Di antara dampak sosial yang timbul adalah, pertama; meningkatnya angka
kekerasan dalam rumah tangga.74 Kekerasan yang terjadi bisa berupa
penganiayaan fisik, psikis maupun seks yang bertujuan menunjukkan kekuatan
dan mengendalikan orang lain. Selain itu juga terjadi peningkata angka
perceraian.75 Hal ini dikarenakan adanya perasaan asing di antara pasangan suami-
istri, di samping itu, mereka juga kehilangan keintiman seksual (sexual attraction)
antara pasangan suami istri tersebut. Ketiga; anak-anak kehilangan tempat

Yusuf Al-Qardhawi, Perempuan Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Pustaka Fatima, 2006), 71
h. 192-195
Sang Ayu Putu Sriasih, Perempuan Bali Dalam Kehidupan Berkesenian, dalam Women In 72
Public Sector [Perempuan Di Sektor Publik], (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), Editor: Siti Hariti
Sastriyani, h. 253
Dadang S. Anshori, Dari Feminis Hingga Feminin Potret Perempuan di Dunia Maskulin, 73
dalam Membincangkan Feminisme Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, (Bandung;
Pustaka Hidayah, 1997), Cet. 1, h. 4
Dari beberapa literatur medis, kebanyakan memfokuskan pengaruh kekerasan rumah tangga 74
terhadap korban utama. Diperkirakan 3,2 juta anak-anak Amerika menyaksikan kekerasan rumah
tangga setiap tahunnya. Lihat: Al-Insan [Jurnal Kajian Islam], No. 3, Vol. 2, 2006, h. 12
Sebuah majalah di Amerika, Better Homes and Gardens menggulirkan satu pertanyaan kepada 75
pembacanya: Apakah Anda piker kehidupan berkeluarga di Amerika Serikat tengah menghadapi
banyak permasalahan? hasilnya 7,6% koresponden mengiyakan pertanyaan tersebut dan 85%
menyatakan bahwa harapan mereka untuk meraih kebahagiaan dari hasil pernikahannya mereka
belum tercapai. Lain halnya dengan majalah Amerika Newsweek yang telah mempublikasikan
satu kesimpulan dari hasil survey tersebut, bahwa sekitar separuh dari semua lembaga pernikahan
di Amerika berakhir di meja perceraian. Lihat: Al-Insan [Jurnal Kajian Islam], No. 3, Vol. 2, 2006,
h. 9
21

berlindung. Hal ini menyebabkan perkembangan jiwa mereka tidak sehat karena
hilangnya kepedulian dan kasih sayang dalam lingkungan keluarga.76
Islam menghendaki pola interaksi antara laki-laki dan perempuan tetap
pada koridor dan batasan yang telah ditetapkan syariat, sehingga tidak terjadi
ketidakadilan di antara mereka. Maksudnya, seluruh tindakan, perbuatan, sikap,
dan perilaku didasarkan atas kodrat dan ketentuannya masing-masing. 77 Menurut
Salim al-Bahnasawi, sejatinya emansipasi harus sesuai dengan garis syariat.
Jelasnya, Silakan wanita bekerja, berpolitik, menggapai pendidikan setinggi
mungkin, namun tugas rumah tangga dan keluarga harus diprioritaskan.78

C. Institusi Keluarga Dalam Islam


Keluarga merupakan kumpulan dari individu-individu. Dalam pendekatan
Islam, keluarga adalah basis utama yang menjadi pondasi bangunan komunitas
dan masyarakat Islam. Ia juga merupakan penggabungan fitrah antara kedua jenis
kelamin79. Bahkan keluarga merupakan sistem alamiah dan berbasis fitrah yang
bersumber dari pangkal pembentukan manusia, juga pangkal pembentukan segala
sesuatu dalam semesta kosmos, dan berjalan menurut cara Islam dalam
mentautkan sistem yang dibangunnya untuk manusia dan sistem yang dibangun
Allah untuk seluruh semesta. Keluarga merupakan sistem rabbani bagi manusia
yang mencakup segala karakteristik dasar fitrah manusia, kebutuhan, dan unsur-
unsurnya. Lebih dari itu, ia juga merupakan tempat pengasuhan alami yang
Elisabeth Diana, Profil Keluarga di Barat, dalam Al-Insan [Jurnal], No. 3, Vol. 2, 2006, h. 76
9-12
Lihat Syamsul Hadi Abdan, Emansipasi yang Proporsional, dalam Majalah GONTOR, Edisi 77
11 Tahun VII, April 2010/Jumadil Ula 1431, h. 19
Salim Al-Bahnasawi, Al-Marah Bain al-Islam wa Qawanin al-Alamiyah, (Kuait; Dru al- 78
Waf,1994), h. 83-88


79
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antara rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rum [30]: 21); lihat juga:



Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu;
mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.(QS al-Baqarah
[2]: 187); lihat juga:


Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendak. (QS al-Baqarah [2]: 223)
22

melindungi anak yang baru tumbuh dan merawatnya, serta mengembangkan fisik,
akal, dan spiritualitasnya. Hal ini dikarenakan dalam naungan keluarga, perasaan
cinta, empati, dan solidaritas berpadu dan menyatu.80 Keluarga adalah organisasi
yang memiliki kekhususan-kekhususan, ia ditegakkan di atas dasar cinta kasih,
kemudian hubungan internalnya terjalin dengan suatu cara yang tidak terdapat
dalam organisasi manapun.81
Keluarga atau rumah tangga adalah merupakan kelompok sosial yang kecil
dari masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. 82 Jika setiap rumah tangga
muslim bisa menjadi contoh rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah,
maka masyarakat yang ada di sekitarnya juga akan menjadi masyarakat yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah. Masyarakat tenteram, penuh cinta dan kasih
sayang di antara satu dengan yang lain.83
Berangkat dari pentingnya keluarga dalam Islam, Islam pun membangun
pondasi rumah tangga muslim, mengokohkannya, lalu menunjukkan cara memilih
yang terbaik, juga menjelaskan pendekatan yang terbaik dalam berhubungan,
sambil merumuskan hak dan kewajiban. Islam mewajibkan kedua belah pihak
(suami-istri) untuk merawat dan menjaga buah-buah perkawinan ini hingga
matang dan meranum tanpa disia-siakan maupun ditelantarkan. Islam juga
mengangkat problem solving beragam masalah yang acap kali merintangi
kehidupan rumah tangga dengan terapi yang sangat detail.84
Tidak ada sistem yang mengurusi teknis mengenai masalah keluarga baik
perawatan maupun perhatiannya sebagaimana Islam. Hal ini dikarenakan ada
hubungan yang erat antara keluarga dengan masyarakat luas. Jika keluarga baik,
masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik, namun jika keluarga rusak,
masyarakat juga ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniatur umat yang menjadi

Mahmud Muhammad Al-Jauhari, Membangun Keluarga Qurani Panduan Untuk Wanita 80


Muslimah, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 3-7
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 81
153
Khairuddin, Sosiologi Keluarga, (Yogyakarta: Liberty, 1997), Cet. 1, h. 3 82
Agus Mustofa, Poligami Yuuk!?, (Surabaya: PADMA Press), h. 197 83
Hasan Al-Banna, Refleksi, dalam Membangun Keluarga Qurani Panduan Untuk Wanita 84
Muslimah, (Jakarta: Amzah, 2005), h. xiii
23

sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika sosial, sehingga tidak ada
umat tanpa keluarga.85
Konsep keluarga ideal yang ada dalam al-Quran sepenuhnya mengacu
pada (QS al-Rm [30]: 21), yaitu keluarga yang sakinah (tenteram), mawaddah
(cinta), dan rahmah (kasih sayang). Sebuah keluarga bisa dikatakan sebagai
keluarga yang qurani mana kala keluarga tersebut mampu mendirikan dasar
rumah tangga di atas ketiga pondasi tersebut. Keluarga ideal yang qurani adalah
keluarga yang idak hanya berguna bagi keluarga itu sendiri, tapi juga harus
berguna bagi kehidupan di lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, keluarga
qurani adalah keluarga yang shaleh individual, hal ini ditandai dengan ketakwaan
personal anggota keluarga. Disamping itu juga shaleh sosial yang dilambangkan
dengan kepeduliannya ber-amar maruf nahi munkar, dan terakhir adalah shaleh
vertikal, yakni ketaatan dan kepatuhannya terhadap Allah dan Rasul-Nya.86

a. Unrus-unsur Pernikahan Dalam Islam


Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan,87 maka dari itu Islam
menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri
kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu
perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak
menjerumuskan ke lembah hitam.88 Firman Allah Ta'ala. "Artinya : Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui".89
Dalam kehidupan rumah tangga, terdapat tiga unsur yang terkandung
dalam al-Quran,90 dan perlu diperhatikan baik oleh suami maupun istri. Ketiga

Mahmud Muhammad Al-Jauhari, Membangun, h. 3 85


Ali Imron, Musawa, Vol. 3, No. 2, September 2004, h. 132; lihat juga: Agus Mustofa, Poligami 86
Yuk!?, (Surabaya, PADMA), h. 167-184
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 87
34; lihat juga (QS an-Nahl [16]: 72)
http://www.almanhaj.or.id/content/173/slash/2, Konsep Islam Tentang Perkawinan, dikutip 88
pada hari, Kamis, 11 Februari 2010, jam 03.20 pm

:[30] ) 89
(30


90
24

unsur itu adalah, pertama; ketenteraman jiwa suami istri. Hal ini juga berarti
bertujuan untuk saling menjaga antara suami-istri dalam rumah tangga. Kedua;
rasa cinta yang lahir melalui pergaulan dan tolong menolong. Unsur ini menjadi
milik bersama pasangan suami-istri dan keluarga mereka. Ketiga; kasih sayang
yang dilengkapi dengan putra-putri dalam keluarga.91

b. Tujuan Perkawinan dalam Islam


Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam perkawinan 92, diantaranya
adalah: pertama; untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, dalam
rumah tangga dan dalam konteks hubungan suami-istri, seseorang baik pria
maupun wanita, bisa menemukan katalisator alamiah bagi hubungan seksualnya,
dengan cara yang mampu melindunginya dari kehancuran tubuh dan dera
penyesalan. Islam telah memberikan keleluasaan bagi manusia untuk menjalankan
aktivitas seksual mereka dalam batas-batas yang legal dan tidak mengebirinya. 93
Di samping itu, pernikahan juga bertujuan untuk menenangkan jiwa, karena di
tengah kelapangan iklim keluarga, masing-masing pasangan suami-istri bisa
menemukan rasa kasih, cinta, sayang, dan simpati yang tidak akan mereka rasakan
di tempat lain. Ketenangan jiwa dan kasih sayang yang dirasakan manusia

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antara rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rum [30]: 21)
Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 91
20-22
Mahmud Muhammad Al-Jauhari, Membangun, h. 16-29 92

93




Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang
baik? Katakanlah: Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan
ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.(QS al-Arf [7]: 32); lihat juga:





Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa
putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang
yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah,
padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-
adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya. (QS al-Hadd [57]: 27)
25

terhadap pasangannya merupakan salah satu tuntutan psikologis yang tidak pernah
lepas dari setiap manusia, dan tidak akan ditemukan selain dalam institusi
keluarga.94
Ketiga; untuk memenuhi tuntutan keturunan, dibawah naungan keluarga
dan di tengah hamparan kesakralannya seseorang bisa mewujudkan salah satu
tuntutan mendesak dalam kehidupannya, yaitu memiliki keturunan dan generasi
penerus. Anak adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia untuk
memenuhi keinginan dan seruannya.95 Setelah pasangan suami-istri memiliki anak
keturunan, maka tujuan dari perkawinan selanjutnya adalah mendidik anak,
karena ia membutuhkan pengasuhan dalam jangka waktu yang lama. Keluarga
dalam hal ini adalah satu-satunya lingkungan yang mampu mendidik anak-anak
menjadi seorang muslim yang saleh. Karena ia merupakan lahan istimewa untuk
menanamkan perasaan cinta kepada Allah dan Rasul. Kelima; mewujudkan kohesi
sosial. Salah satu tujuan dari Islam adalah membangun masyarakat yang kuat dan
rekat, maka dari itu, keluarga memiliki peran besar dalam mewujudkan tujuan
tersebut karena secara teknis keluarga membentuk dan mengembangkan
hubungan sosial baru melalui garis nasab dan pernikahan. 96 Keenam; untuk
.... 94
Dan di antara (QS ar-Rm [30]: 21)
95


*


Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Tuhannya: Ya Tuhanku janganlah
Engkau membiarkan aku hidup seorang diri (tidak mempunyai keturunan yang mewarisi) dan
Engkaulah Waris Yang Paling Baik. * Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami
anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan
yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-
orang yang khusyu kepada Kami. (QS al-Anbiy [21]: 89-90); lihat juga:


Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan
Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. (QS
Ibrahm [14]: 39); lihat juga:




Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-
istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nimat Allah? (QS an-Nahl
[16]: 72)

96
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah
26

membentengi akhlak yang luhur. Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan


dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari
perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat
manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga
sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan.97

c. Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Rumah Tangga Menurut


Islam
Dalam ikatan perkawinan, suami dan istri diikat dengan komitmen untuk
saling memenuhi berbagai hak dan kewajiban yang telah ditetapkan untuk mereka.
Maka setiap hak yang didapatkan harus juga diimbangi dengan kewajiban yang
harus dipenuhi. Landasan hak dan kewajiban antara suami istri terangkum dalam
firman Allah swt.: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf.98
Dalam Islam, istri memiliki berbagai hak (materiil dan non-materiil) yang
harus dipenuhi suami. Di antara hak-hak istri adalah: Pertama; Hak mas kawin.
Dalam perkawinan, mas kawin menempati posisi sebuah pemberian dan hadiah 99
yang harus diberikan oleh suami kepada istri untuk menunjukkan kesakralan dan
kesucian ikatan perkawinan, juga sebagai tanda penghormatan suami terhadap
istri.100 Berikutnya adalah Hak nafkah. Seorang suami memiliki kewajiban
memberikan nafkah secara penuh kepada istrinya.101 Kewajiban membelanjai
Tuhanmu Maha Kuasa. (QS al-Furqn [25]: 54)
.http://www.almanhaj.or.id/content/173/slash/2 di kutip tanggal 1 April 2010 pkl. 02.30 pm 97
Fithriah Wardie Murdani, Kewajiban dan Hak Suami Istri Dalam Keluarga Islam, dalam Al- 98
Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 16; lihat juga: (QS al-Baqarah [2]: 228)
99


Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya. (QS an-Nis [4]: 4); lihat juga: Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqhul-
Islaami Wa Adillatuhu Juz 7, (Darul-Fikr, 1989), h. 252; lihat juga:
Shohih al-Bukhori, Dr Ibnu Katsr, Kitbu an-Nikh, Bbu Aradha al-Marati Nafsah Al ar-
Rajuli as-Shlih, al-Juz 5, al-Sofhatu 1978, an-Namratu 4829
Fithriyah Wardie Murdani, Kewajiban dalam Al-Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 18 100
Seorang istri, walaupun ia kaya, tidak berkewajiban membelanjai keluarga atau dirinya 101
dengan hartanya sendiri banyak maupun sedikit kecuali dengan jiwa yang ikhlas dan ridha,
bukan karena dia memiliki tuntutan agama untuk ikut andil dalam memenuhi nafkah keluarganya.
27

keperluan hidup istri dimulai semenjak diadakannya aqad perkawinan,102 tentu


kewajiban suami dalam memberi nafkah kepada istri sesuai dengan
kemampuannya.103 Ketiga; Pergaulan yang baik. Kewajiban belaku baik terhadap
istri meliputi fisik maupun perilaku.104 Dalam Islam, suami dituntut untuk
memperlakukan dan mempergauli istrinya dengan baik dan melarang pergaulan
buruk yang menyusahkan isri.105 Keempat; Memberikan istri kebebasan penuh
untuk mengelola harta miliknya.106
Selain mengatur hak-hak bagi istri, Islam juga telah mengatur hak-hak
yang harus dipenuhi oleh istri atas suaminya. Di antara hak-hak suami adalah:
Pertama; Ketaatan istri dalam berbagai perkara yang berkaitan dengan kehidupan
keluarga dan hubungan suami istri. Akan tetapi tentu ketaatan istri terhadap suami
hanya terbatas pada masalah kebaikan, kemaslahatan, dan perkara yang berada
dalam batasan agama. Kedua; Berlaku amanah. Yakni menjaga kekayaan

Dengan demikian, dia memiliki kebebasan penuh untuk menolak ikut andil menanggung beban
.tanggung jawab nafkah keluarganya
Bahay Al Khauly, Islam dan Persoalan Wanita Modern, (Solo: Ramadhani, 1988), h. 79 102


103

*




Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-
istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik;
dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. *
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS at-Thalaq [65]: 6-
7), lihat juga; Bahay Al Khauly, Islam dan, h. 80-81



104



Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa
dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa
yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. (QS an-Nis [4]: 19); lihat juga: (QS at-Thalq [65]: 6)
Bahay Al Khauly, Islam, h. 82, lihat juga; Fithriah Wardie Murdani, Kewajiban dan 105
dalam Al-Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 22
Fithriyah Wardie Murdani, Kewajiban dalam Al-Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 24 106
28

suaminya, dan menjaga dirinya apabila suaminya tidak ada.107 Di samping itu, istri
juga harus memperlakukan suami dengan baik dan tidak melakukan perbuatan
aniaya kepada suami, seperti; ucapan yang pedas dan tidak etis, serta berbagai
tindakan lain yang menampakkan ketidakhormatan istri terhadap suami. Keempa;
Hak memberikan pelajaran (mentadib) kepada istri, 108 terutama kepada istri yang
dikhawatirkan berbuat nusyuz.109

d. Peran Ibu Dalam Sektor Domestik dan Publik


Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar
dalam mewarnai dan rnembentuk dinamika zaman. Lahimya generasi-generasi
bangsa yang unggul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan,
beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang
ibu. Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, mensosialisasikan,
menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan.
pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada
seorang anak. Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, pusat
pembentukan nilai, atau pancer penafsiran makna kehidupan, tak seorang pun
menyangsikannya.110
Dalam kehidupan manusia, tingkah laku atau kepribadian merupakan hal
yang sangat penting sekali, sebab aspek ini akan menentukan sikap identitas diri

Bahay Al Khauly, Islam, h. 86-87 107


Fithriah Wardie Murdani, Kewajiban, dalam Al-Insan [Jurnal], No. 3, Vol. 2, 2006, h. 108
25-27
109 An-nusyuuz berarti tidak taatnya suami atau isteri kepada pasangannya secara tidak
sah atau tidak cukup alasan. Ini berarti, apabila terjadi pembangkangan dalam hal yang memang
tidak wajib dipatuhi, maka sikap itu tidak dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Misalnya, isteri
tidak mematuhi suami yang menyuruhnya berbuat maksiat, atau suami tidak mematuhi isteri yang
menuntut sesuatu di luar kewajiban dan/atau melampaui batas kemampuannya. Menyikapi Nusyuz
Istri. Ada empat tahap jalan keluar yang diajarkan Islam untuk mengatasi nusyuz isteri.




Dan perempuan-perempuan (para isteri) yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah
mereka, dan jauhilah mereka di tempat-tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. (QS an-Nis [4]: 34)

http://sawali.info/2007/07/15/memaksimalkan-peran-ibu-sebagai-pencerah-peradaban/, 110
.Memaksimalkan Peran Ibu sebagai Pencerah Peradaban, Rabu, 30 Juni 2010, 8.25 am
29

seseorang. Baik dan buruknya seseorang itu akan terlihat dari tingkah laku atau
kepribadian yang dimilikinya. Oleh karena itu, perkembangan dari tingkah laku
atau kepribadian ini sangat tergantung kepada baik atau tidaknya proses
pendidikan yang ditempuh. Proses pembentukan tingkah laku atau kepribadian ini
hendaklah dimulai dari masa kanak-kanak, yang dimulai dari selesainya masa
menyusui hingga anak berumur enam atau tujuh tahun. Masa ini termasuk masa
yang sangat sensitif bagi perkembangan kemampuan berbahasa, cara berpikir, dan
sosialisasi anak. Di dalamnya terjadilah proses pembentukan jiwa anak yang
menjadi dasar keselamatan mental dan moralnya. Pada saat ini, orang tua harus
memberikan perhatian ekstra terhadap masalah pendidikan anak dan
mempersiapkannya untuk menjadi insan yang handal dan aktif di masyarakatnya
kelak. Konsep pendidikan yang tepat untuk diterapkan pada masa ini adalah
sebagai berikut.111
Di dalam lingkungan keluarga, orang tua berkewajiban untuk menjaga,
mendidik, memelihara, serta membimbing dan mengarahkan dengan sungguh-
sungguh dari tingkah laku atau kepribadian anak sesuai dengan syariat Islam
yang berdasarkan atas tuntunan atau aturan yang telah ditentukan di dalam Al-
Quran dan hadits. Tugas ini merupakan tanggung jawab masing-masing orang tua
yang harus dilaksanakan.
Pentingnya pendidikan Islam bagi tiap-tiap orang tua terhadap anak-
anaknya didasarkan pada sabda Rasulullah SAW112 yang menyatakan bahwa setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanya-lah yang
menjadikannya nasrani, yahudi atau majusi (HR. Bukhari).113 Hal tersebut juga
didukung oleh teori psikologi perkembangan yang berpendapat bahwa masing-
masing anak dilahirkan dalam keadaan seperti kertas putih. Teori ini dikenal

111 http://www.kampusislam.com/index.php?
pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=551, Peran Pendidikan Islam dalam Pembentukan
Kepribadian Anak di Lingkungan Keluarga, Rabu, 30 Juni 2010, 2.10 pm.

1319 465 ,1 112


) : 113
(
30

dengan teori tabula rasa, yang mana teori ini berpendapat bahwa setiap anak
dilahirkan dalam keadaan bersih; ia akan menerima pengaruh dari luar lewat
indera yang dimilikinya. Pengaruh yang dimaksudkan tersebut berhubungan
dengan proses perkembangan intelektual, perhatian, konsentrasi, kewaspadaan,
pertumbuhan aspek kognitif, dan juga perkembangan sosial. Akan tetapi,
perkembangan aspek-aspek tersebut sangat dipangaruhi oleh lingkungan sang
anak tersebut.114
Pentingnya peran keluarga dalam proses pendidikan anak dicantumkan di
dalam Al-Quran, yang mana Allah SWT berfirman dalam surah Al-Furqan ayat
74, yang artinya sebagai berikut:
Dan orang orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS
Al-Furqan []: 74).

Selanjutnya, berhubungan dengan pentingnya peranan orang tua dalam


pendidikan anak di dalam lingkungan keluarga ini juga dijelaskan Allah SWT
sesuai dengan firman-Nya didalam surah At-Tahrim ayat 6, yang artinya sebagai
berikut sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan (At-Tahrim: 6).

Jadi, di dalam proses pendidikan di dalam lingkungan keluarga, masing-


masing orang tua memiki peran yang sangat besar dan penting. Dalam hal ini, ada
banyak aspek pendidikan sangat perlu diterapkan oleh masing-masing orang tua
dalam hal membentuk tingkah laku atau kepribadian anaknya yang sesuai dengan
tuntunan Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW. Diantara aspek-aspek tersebut
adalah pendidikan yang berhubungan dengan penanaman atau pembentukan dasar
keimanan (akidah), pelaksanaan ibadah, akhlak, dan sebagainya.
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,
istri dengan anaknya atau ibu dengan anaknya atau ayah dengan anaknya. Dari
http://www.kampusislam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=551 114
31

batasan lersebut, peran seorang ibu dalam lingkup domestik atau dalam lingkup
keluarga memiliki entitas pengabdian yang tinggi. Ia menjadi ruh keluarga yang
akan menjadi penentu mati hidupnya sebuah paguyuban batih (keluarga),
menjadi pelepas anak panah keluarga sesuai sasaran bidik yang dituju. Tidak
jarang keluarga yang gagal dalam membangun fondasi kesejahteraan lantaran
kekurangsiapan seorang ibu dalam menjalankan peran domestiknya.115
Dalam konteks yang demikian itu, peran seorang ibu dalam
memaksimalkan fungsi keluarga menjadi semakin penting untuk mendapatkan
perhatian khusus. Sebagaimana diungkapkan oleh Yaumil Agus Achir yang
dikutip oleh Hestiana, mengatakan bahwa setidaknya ada delapan fungsi keluarga,
yakni fungsi sosial budaya, cinta kasih, perlindungan/proteksi, reproduksi,
sosialisasi, pendidikan, ekonomi, danfungsi pembinaan lingkungan. Meskipun
tidak mutlak menjadi tanggung jawab ibu sepenuhuya, kedelapan fungsi keluarga
tersebut akan terwujud dalam tataran praktik hidup apabila diimbangi dengan
kesiapan, kemampuan, dan kesanggupan seorang ibu dalam menjalankan
fitrahnya di lingkup domestik.116
Persoalannya ialah ketika banyak kaum ibu berbondong-bondong
meninggalkan rumah, menggeluti peran publiknya sebagai wanita karier,
mampukah sang ibu memaksimalkan perannya di ranah domestik yang mustahil
dihindarinya? Sanggupkah sang ibu mengembalikan fungsi keluarga yang ideal di
tengah kesibukannya menggeluti profesi? Pertanyaan semacam itu memang tidak
mudah untuk dijawab. Peran ganda yang harus diemban kaum ibu masa kini,
sering tidak bisa berjalan selaras dan serasi. Artinya, ada salah satu peran yang
dikorbankan.
Dalam perspektif agama, kaum wanita (ibu) tidak dilarang untuk bekerja

di luar rumah. Emansipasi harus sesuai dengan syariat. Silahkan wanita bekerja,

UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga 115
Sejahtera, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, (Jakarta, 1992), h. 43
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=216717, Sosok Androgini Ibu-Ibu 116
.Indonesia, Rabu, 30 Juni 2010, 9.25 am
32

berpolitik, menggapai pendidikan setinggi mungkin, namun tugas rumah tangga


dan keluarga harus diprioritaskan.117 Dalam Islam, kita mengenal para istri
Rasulullah yang terkenal dengan keterampilannya di berbagai bidang. Aisyah
sebagai ulama dan perawi hadis yang disegani, Saudah mahir dalam hal kerajinan
tangan, bahkan Khadijah sukses dalam menggeluti bisnisnya. Namun, mereka toh
tetap mampu mewujudkan keluarga sakinah, tidak mengorbankan peran
domestiknya. Hal ini mengisyarakan, peran publik seorang ibu bukan menjadi
penghalang untuk memaksimalkan peran ibu sebagai pencerah peradaban melalui
lingkungan keluarga.
Yang penting dicermati kaum ibu ialah kejelian untuk memilih profesi
yang memungkinkannya untuk tetap mampu menjadi ibu yang lembut bagi anak-
anak dan istri yang setia terhadap suami. Artinya, pekerjaan yang bisa melalaikan
fungsi ibu sebagai pusat pembentukan nilai dan pancer budaya keluarga,
sebaiknya dihindari. Huda Khaltab (1995:81-85) menyatakan, setidaknya ada
tujuh bidang profesi yang bisa dipilih kaum ibu agar peran domestiknya tidak
dikorbankan, yaitu bidang medis (dokter, perawat kesehatan, dan staf rumah
sakit), bidang penyuluhan (pekerja sosial dan penasihat), bidang pengajaran
(guru/tenaga administrasi), perancang dan penjahit, seni dan keterampilan,
kesekretarisan, serta bidang media dan penerbitan.118

D. Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa institusi keluarga bagi para
feminis tidak lebih dari sekedar tempat untuk melepas lelah dari kesibukan yang
dilakukan di luar rumah. Karena tidak ada lagi komunikasi yang harmonis antara
anggota keluarga. Hal ini dapat dilihat dari fakta-fakta yang ada, misalnya para
istri yang sudah tidak lagi berkenan melakukan pekerjaan domestik, sehingga
anak-anak tidak lagi mendapat tempat untuk berlindung. Keluarga bukan lagi

Salim Al-Bahnasawi, Al-Marah Bain al-Islam wa Qawanin al-Alamiyah, (Kuwait; Daru al- 117
Wafa, 1994), h. 83-88
118 http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=216717, Sosok Androgini Ibu-Ibu
Indonesia, Rabu, 30 Juni 2010, 9.25 am.
33

tempat pendidikan pertama kali yang di alami oleh anak-anak, karena kesibukan
orang tua mereka.
Situasi tersebut sangat berbeda dengan keluarga Islam yang masih terjalin
komunikasi yang harmonis antara suami dan istri. Keluarga masih dipandang
sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak dibawah bimbingan Ibu. Hal ini karena
konsep keluarga dalam Islam masih menjadikan al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Sebagai pedoman dan sumber inspirasi utama. Tidak ada manhaj (konsep) hidup
yang lebih sempurna selain yang telah digariskan oleh al-Quran dan Sunnah.

Anda mungkin juga menyukai