Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah
satu indikator pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2015-2019 dan SDGs. Menurut data
SDKI, Angka Kematian Ibu sudah mengalami penurunan pada periode tahun 1994-2012
yaitu pada tahun 1994 sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 1997 sebesar 334
per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2002 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, tahun
2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup namun pada tahun 2012 , Angka Kematian
Ibu meningkat kembali menjadi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk AKB dapat
dikatakan penurunan on the track (terus menurun) dan pada SDKI 2012 menunjukan
angka 32/1.000 KH (SDKI 2012). Dan pada tahun 2015, berdasarkan data SUPAS 2015
baik AKI maupun AKB menunjukan penurunan (AKI 305/ 100.000 KH; AKB 22,23/ 1000
KH). (Direktorat Kesehatan Keluarga, 2016).
Program kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama
pembangunan kesehatan di Indonesia. Salah satu bentuk pelayanan pada program KIA yaitu
pelayanan antenatal. Pelayanan antenatal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
hasil kesehatan baik untuk ibu atau bayi. Bila pelayanan antenatal tidak dilakukan dengan baik
akan berdampak terhadap status kesehatan ibu dan bayi sehingga dapat meningkatkan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Perawatan antenatal mengacu pada kinerja prinsip-prinsip yang akurat dengan tujuan
untuk mempertahankan kehamilan yang sehat, dan kesehatan mental dan fisik ibu, anak dan
keluarga yang optimal. Penelitian telah menunjukkan bahwa asuhan antenatal yang memadai
merupakan intervensi efektif dalam memperbaiki hasil kehamilan. Perawatan antenatal yang
memadai memberikan kesempatan untuk konsultasi dan mengurangi komplikasi yang terkait
dengan kehamilan dan persalinan (Miranda, 2010). Persentase yang besar dari kematian ibu
dan janin, kelahiran prematur, atau kelahiran dengan berat badan rendah disebabkan oleh
asuhan prenatal yang tidak tepat dan tidak memadai selama kehamilan, yang bisa sangat
berkurang pada komplikasi saat ini dan masa depan. Tingkat kematian janin keseluruhan adalah
2,7 dari 1000 kelahiran dalam perawatan dan 14,1 pada 1000 kelahiran tanpa perawatan.
Dengan kata lain, kurangnya perawatan prenatal meningkatkan risiko relatif (RR) kematian 3,3
kali dan persalinan prematur 2 kali lebih banyak (Cunningham, 2010).
Tujuan perawatan antenatal adalah untuk memantau dan memperbaiki kesejahteraan
ibu dan janin. Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan strategi berorientasi risiko yang
mencakup: (i) perawatan rutin untuk semua wanita, (ii) perawatan tambahan untuk wanita
dengan penyakit dan komplikasi yang cukup parah, (iii) perawatan obstetri dan neonatal khusus
untuk wanita dengan penyakit dan komplikasi parah. Perawatan antenatal berkaitan dengan
perawatan yang memadai agar efektif. Pengukuran kecukupan perawatan antenatal sering
menggunakan indeks yang menilai inisiasi perawatan dan jumlah kunjungan. Selain itu,
kecukupan asuhan keperawatan juga harus dinilai. Hasil penelitian dalam pengaturan yang
dikembangkan menunjukkan bahwa wanita tanpa faktor risiko menggunakan layanan antenatal
lebih sering daripada yang dianjurkan. Pemanfaatan berlebihan semacam itu bermasalah bagi
pengaturan sumber daya rendah (Yeoh, 2016).
Capaian pelayanan antenatal dapat dinilai dengan menggunakan indikator cakupan K1
(kunjungan ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga
kesehatan) dan K4 (kunjungan ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan antenatal minimal
4 kali sesuai dengan jadwal yang dianjurkan). Cakupan kunjungan ibu hamil K4
menggambarkan tingkat perlindungan pada ibu hamil di suatu wilayah. Pada tahun 2014 target
nasional prosentase cakupan pelayanan antenatal adalah 100% untuk K1 dan 95% untuk K4,
Kesehatan generasi masa depan sebagian besar ditentukan oleh pertumbuhan dan
perkembangan bayi dalam rahim. Keberhasilan hidup janin tidak hanya menentukan kesehatan
bayi baru lahir, namun juga memiliki dampak besar pada resiko penyakit dan kesehatan orang
dewasa.
Capaian terhadap pelayanan antenatal sebagai pilar kedua sudah cukup baik, yaitu
83,39% pada tahun 2015, dari target 72% pada tahun 2015. Namun mutu pelayanan antenatal
itu sendiri masih perlu ditingkatkan terus. Pelayanan antenatal perlu terus dimantapkan, bahkan
lebih ditingkatkan baik cakupan maupun kualitas pelayanan antenatal itu sendiri, sebagai
bagian dari upaya akselerasi penurunan angka kematian ibu dan bayi yang masih
memprihatinkan. Dalam rangka upaya pemantapan dan peningkatan pelayanan antenatal
pemerintah membentuk kebijakan dan rencana strategis. Pemerintah mencoba membuat
kebijakan terkait pelayanan KIA dalam bentuk program pelayanan antenatal care terpadu di
fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta dan praktik perorangan/ kelompok perlu
dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu, mencakup upaya promotif, preventif, sekaligus
kuratif dan rehabilitatif, yang meliputi pelayanan KIA, gizi, pengendalian penyakit menular
(imunisasi, HIV/AIDS, TB, Malaria, penyakit menular seksual), penanganan penyakit kronis
serta beberapa program lokal dan spesifik lainnya sesuai dengan kebutuhan program.
Kementerian Kesehatan RI telah menyusun Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Pedoman
ini diharapkan menjadi acuan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan antenatal
care terpadu yang berkualitas untuk meningkatkan status kesehatan ibu yang pada akhirnya
akan memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kematian ibu. Pedoman ANC terpadu
disusun oleh Ditjen Bina Kesmas berdasarkan masukan dari tim pakar dan evidence based di
lapangan yang kemudian diperkenalkan. Kebijakan ANC terpadu telah diperkenalkan pada
tahun 2010 melalui Ditjen Bina Kesmas. Selain itu pemerintah juga mengatur mengenai
pentingnya pelayanan antenatal pada Peraturan Menteri Kesehataan Republik Indonesia nomor
97 tahun 2014. Selanjutnya, implementasi pelayanan Antenatal Care terpadu telah diperkuat
dengan dikeluarkannya kebijakan Menteri Kesehatan yang tertuang dalam pasal 6 ayat 1 huruf
b Permenkes No. 25 tahun 2014 tentang upaya kesehatan anak salah satunya dinyatakan bahwa
pelayanan kesehatan janin dalam kandungan dilaksanakan melalui pemeriksaan antenatal pada
ibu hamil dan pelayanan terhadap ibu hamil tersebut dilakukan secara berkala sesuai standar
yaitu paling sedikit 4 (empat) kali selama masa kehamilan (K1-K4). Perawatan antenatal yang
memadai memberikan kesempatan untuk konsultasi dan mengurangi komplikasi yang terkait
dengan kehamilan dan persalinan. Paper ini akan menganalisa kesesuaian implementasi
pelaksanaan antenatal care dengan standar peraturan dan kebijakan yang telah dicanangkan
pemerintah.
Pasal 13
1) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilakukan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali selama
masa kehamilan yang dilakukan:
a.1 (Satu) kali pada trimester pertama;
b.1 (Satu) kali pada trimester kedua; dan
c.2 (Dua) kali pada trimester ketiga
2) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
3) Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
sesuai standar dan dicatat dalam buku KIA.
4) Ketentuan mengenai buku KIA dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Analisis Kebijakan Implementasi Antenatal Care Terpadu Puskesmas di Kota Blitar
Pengelola dan Pelaksana Kebijakan Pelayanan ANC Terpadu Puskesmas di Kota
Blitar
Secara struktural penanggung jawab pengelolaan program ANC terpadu adalah Kepala
Dinas Kesehatan Kota Blitar melalui kabid peningkatan kesehatan Dinkes, kasie Gizi,
KIA dan Usila sedangkan sebagai pelaksana program atau pemberi pelayanan adalah
Kepala Puskesmas, bidan koordinator dan bidan wilayah yang terkait pelayanan fisik
dan konseling sedangkan pelayanan paket laboratorium merupakan komponen penting
kegiatan antenatal care terpadu Puskesmas dilaksanakan oleh analis lab/petugas lab.
Sosialisasi
Sosialisasi pelayanan ANC terpadu dilaksanakan dengan berbagai tempat dan cara.
Mulai dari tenaga pengelola dan pelaksana lapangan dilakukan di Dinkes Kesehatan
Provinsi Jatim dan Dinkes Kota Blitar. Cara penyampaian sosialisasi melalui kelas ibu
hamil, Posyandu, kader Posyandu. sosialisasi dan penyuluhan yang dilakukan Dinas
Kesehatan Kota Blitar kepada Bidan Koordinator dan Bidan wilayah dengan mereview
materi ANC terpadu.
Penguatan pelaksanaan UU dan Perda muncul inisiatif Pemerintah Kota Blitar dengan terbitnya
Perwali Kota Blitar No. 13/2013 yang mengatur tentang cakupan pelayanan kesehatan dasar
antara lain cakupan kunjungan ibu hamil K4 95% dan cakupan linakes yang memiliki
kompetensi kebidanan 90% pada tahun 2015 serta terbitnya Perwali Kota Blitar No. 38/2011
mengatur besaran tarif, pemanfaatan dana jaminan persalinan (jaminan persalinan) mulai dari
masa hamil sampai pada pelayanan KB. Untuk mendukung pelayanan ANC Terpadu jauh
sebelumnya telah diimplementasikan Citizen Charter (kontrak/maklumat pelayanan) terkait
pelayanan KIA yang mana Citizen Charter hanya mengintervensi ke tingkatan kinerja
pelayanan KIA saja termasuk ANC terpadu Puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman pelayanan antenatal. Jakarta: Depkes RI
Direktorat Kesehatan Keluarga. (2016). Laporan tahunan direktorat kesehatan keluarga TA
2016. Jakarta: Direktorat Kesehatan Keluarga
3. Miranda AE, Trindade CR, Nunes RH, Marba EF, Fernandes MC, Quarto GH, et al. Factors
associated with prenatal care and seeking assistance in public hospitals in Vitoria, Espirito
Santo, Brazil. Women Health. 2010;50:22940. [PubMed]
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom L, Hauth JC, Rouse DJ, Spong C. 23rd ed. New York,
USA: McGraw-Hill Companies; 2010. Williams Obestetrics.
Yeoh PL, Hornetz K, Dahlui M. (2016). Natenatal care utilization and content between low
risk and high risk pregnan women. PLOS one. 11(3)