Anda di halaman 1dari 14

RESUME KEPERAWATAN PADA AN.

A DENGAN
TUNA RUNGU DI SLB AC MANDARA
KENDARI

OLEH :

ANRIANI, S.Kep
NIM. P201601226

CI LAHAN CI INSTITUSI

ARUM GUSFI K, S.Pd ISLAELI RUDY, S.Kep,Ns.,M.Kes

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES MANDALA WALUYA
KENDARI
2017
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian
Istilah tuna rungu diambil dari kata tuna dan rungu, tuna artinya

kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tuna rungu

apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar

suara yang pada umumnya ada pada ciri fisik orang tuna rungu.
Cacat ganda merupakan keadaan dimana terjadi kerusakan atau

disfungsi perkembangan pendengaran yang bersifat sensorineural yang

diikuti oleh kerusakan perkembangan berbahasa atau komunikasi.

Gangguan pendengaran pada usia berapapun dapat terjadi, kendati

hanya merupakan gangguan pendengaran dengan derajat ringan

sekalipun akan dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan pada

kemampuan berbicara, penguasaan bahasa serta belajar.


2. Klasifikasi
a. 0 db : Menunjukan pendengaran yang optimal.
b. 0 26 db : Menunjukan seseorang masih mempunyai pendengaran

yang optimal.
c. 27 40 db : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi bunyi yang

jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan

memerlukan terapi bicara (tergolong tuna rungu ringan).


d. 41 55 db : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti

diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara

(tergolong tuna rungu sedang).


e. 56 70 db : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat,

masih punya sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara


dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang

khusus (tergolong tuna rungu berat).


f. 71 90 db : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat,

kadang kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus

yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara

secara khusus (tergolong tuna rungu berat).


g. 91 db : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran,

banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuki

proses menerima informasi dan yang bersangkutan diangap tuli

(tergolong tuna rungu berat sekali).


3. Etiologi
Secara umum diketahui beberapa faktor yang diketahui menjadi

faktor penyebab terjadinya kerusakan pendengaran yang berdampak

pada gangguan berbicara (cacat ganda) yaitu sebagai berikut :


a. Masa prenatal
1) Genetik herediter
2) Non genetik, seperti gangguan pada masa kehamilan (infeksi oleh

bakteri atau virus : TORCH, campak, parotis), kelainan struktur

anatomik (misalnya akibat obat-obatan ototoksik, atresia liang

telinga, aplasia koklea) dan kekurangan zat gizi.


b. Masa perinatal
Prematuritas, berat badan lahir rendah (< 2.500 gram), tindakan

dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi vacum, forcep),

hiperbilirubinemia (> 20 mg/100ml), asfiksia dan anoksia otak

merupakan faktor resiko terjadinya cacat ganda.


c. Masa post natal
Adanya infeksi bakterial atau virus seperti rubela, campak, parotis,

infeksi otak, perdarahan pada telinga tengah dan trauma temporal


dapat menyebabkan tuli konduktif yang dapat mengakibatkan

gangguan wicara.
4. Patofisiologi
Permasalahan yang paling utama dalam perkembangan anak-

anak yang menderita kehilangan pendengaran yang parah sampai

berat/mendalam, adalah kemampuan mereka untuk mengadakan

komunikasi secara lisan dan bahasa yang mengalami gangguan. Untuk

menghasilkan bunyi prosesnya juga tidak sederhana karena dibutuhkan

kerjasama berbagai organ tubuh dimulai dari aliran udara pernafasan

yang berasal dari paru-paru, getaran pita suara (resonansi) yang

dilewati aliran udara sehingga dihasilkan nada tertentu, pipa

tenggorokan yang berperan sebagai tabung udara yang menimbulkan

getaran pada saat dilalui udara (resonansi), penutupan langit-langit

lunak agar udara tidak memasuki rongga hidung dan pengatupan bibir

dengan maksud udara terkumpul di rongga mulut, yang akan membuka

pada saat telah terjadi getaran pita suara. Proses ini masih diikuti

dengan gerakan tertentu dari otot-otot lidah, rongga mulut dan gigi

sehingga terjadi penyusupan suara kedalam bentuk kata-kata yang

akan menandai karakter artikulasi.


Berbagai faktor penyebab seperti kelainan struktur anatomi,

infeksi oleh mikroorganisme, atau penyebab lain akan menyebabkan

kerusakan pada struktur koklea dan nervus akustik berupa atrophi dan

degererasi sel-sel rambut penunjang pada organ dan reseptor corti

disertai perubahan vasculer pada stria vaskularis. Hal ini akan

menyebabkan gangguan penghantaran/transmisi impuls pada nuclei


cochlearis (sebagai tempat untuk merespon frekuensi bunyi) dan nuclei

olivaris superior (sebagai penentu ketepatan lokasi dan arah sumber

bunyi) yang menyebabkan impuls ini tidak dapat dipersepsikan oleh

nervus auditorius melalui serabut eferen.


Kerja berbagai organ tubuh ini dalam waktu yang hampir

bersamaan dan terkoordinasi dimungkinkan oleh gerakan berbagai otot

yang berada dalam kendali otak melalui syaraf-syaraf terkait.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, sudah jelas bahwa gangguan

pendengaran bilateral pada anak (terutama derajat sedang dan berat),

yang terjadi didalam masa perkembangan wicara akan mengakibatkan

gangguan wicara.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik yang timbul pada anak yang mengalami

gangguan pendengaran yang diikuti oleh gangguan berkomunikasi

adalah :
a. Pendengaran akan berkurang secara perlahan-lahan, progresif dan

simetris pada kedua telinga.


b. Telinga berdenging.
c. Klien dapat mendengar suara tetapi sulit memahaminya.
d. Dapat disertai oleh nyeri, tinitus, dan vertigo.
Berdasarkan perkembangan fungsi pendengaran diatas, ada

beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya

adanya kerusakan pendengaran :


a. Respon Orientasi
Kurangnya refleks beguman atau mengedip pada bunyi keras.
Menetapnya refleks moro diatas 4 bulan (dihubungkan dengan

retardasi mental).
Kegagalan untuk terbangun oleh kebisingan lingkungan yang

keras selama masa bayi.


Kegagalan untuk melokalisasi sumber bunyi pada usia 6 bulan.
Kesamaan umum pada bunyi.
Kurangnya respon terhadap kata yang diucapkan, gagal untuk

mengikuti petunjuk verbal.


Respon terhadap bising keras sebagai perlawanan terhadap

bunyi.
b. Vokalisasi dan Produksi Bunyi
Kualitas monoton, bicara tidak jelas, kurang tertawa.
Kualitas normal pada kehilangan auditorius pusat.
Kurang pengalaman bermain bunyi dan menjerit.
Penggunaan normal jargon selama awal masa bayi kehilangan

auditorius pusat.
Tidak ada gumanan atau perubahan nada suara pada usia 7

tahun.
Kegagalan untuk mengembangkan bicara yang jelas pada usia 24

bulan.
Bermain vokal, membenturkan kepala, atau ketukan kaki untuk

sensasi vibrasiBerteriak atau bunyi melengking untuk

mengekspresikan kesenangan, kejengkelan, atau kebutuhan.


c. Perhatian Visual
Menambah kesadaran visual dan perhatian.
Berespon lebih banyak pada ekspresi wajah daripada penjelasan

verbal.
Waspada pada sikap tubuh dan gerakan.
Penggunaan sikap tubuh bukan verbalisasi untuk

mengekspresikan keinginan, khususnya setelah 15 bulan.

d. Hubungan Sosial dan Adaptasi


Kurang berminat dan kurang terlibat dalam permainan vokal

preokupasi terus-menerus dengan benda daripada orang.


Menghindari interaksi sosial, sering bingung dan tidak bahagia

dalam situasi tersebut.


Ekspresi wajah bertanya, kadang bingung.
Kesadaran curiga, kadang diintepretasikan sebagai paranoid,

bergantian dengan kerjasama.


Reaktivitas nyata terhadap pujian, perhatian, dan afeksi fisik.
Menunjukan kurang minat kepada teman sebaya dalam

percakapan.
Sering tidak memperhatikan kecuali jika lingkungan tenang dan

pembicara dekat dengan anak.


Lebih responsif pada gerakan dari pada bunyi.
Terus menerus memperhatikan wajah pembicara, berespon lebih

terhadap ekspresi wajah dari pada verbalisasi.


Sering meminta pengulangan pertanyaan.
Mungkin tidak mengikuti pengarahan dengan tepat.
e. Perilaku Emosional
Menggunakan kemarahan untuk memancing perhatian pada

dirinya atau kebutuhannya.


Sering keras kepala karena kurangnya pemahaman.
Peka rangsang karena tidak memahami.
Malu, takut dan menarik diri.
Sering tampak bermimpi dalam dunianya sendiri atau tidak

perhatian sama sekali.


6. Pemeriksaan Diagnostik
Terdapat berbagai jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

menilai kemampuan mendengar yang dapat merusak gangguan wicara

anak yaitu :
a. Pemeriksaan secara kualitatif dengan menggunakan garpu tala yang

meliputi :
Tes penala
Tes Rinne
Tes Weber
Tes Schwabach
b. Pemeriksaan secara kuantitatif yang meliputi :
Free field test untuk menilai kemampuan anak dalam memberikan

respon terhadap sumber bunyi.


Behavioral observation (0-6 bulan).
Conditioned test (2-4 tahun).
Audiometri nada murni (anak > 4 tahun yang kooperatif).
BERA (Brain Evoked Response Audiometry), yang dapat

memberikan informasi obyektif tentang fungsi pendengaran pada

bayi baru lahir.

7. Penatalaksanaan
Penemuan kasus gangguan pendengaran dan bicara serta

berbahasa dalam bentuk apapun harus dilakukan sedini mungkin,

sehingga dapat dilakukan penanganan lebih cepat sehingga cacat

bicara ataupun komunikasi ini dapat diatasi. Dengan memahami

tahapan perkembangan bicara dan mendengar, diharapkan orang tua

dapat segera membawa anak yang diduga mengalami keterlambatan

atau gangguan berbicara dan mendengar tersebut pada ahlinya.


Untuk memastikan bentuk gangguan bicara dan jenis kerusakan

pendengaran serta upaya penanganan yang sesuai diperlukan

kerjasama dengan sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu, antara lain:

dokter THT, dokter syaraf anak, ahli psikologi, ahli jiwa, dan ahli terapi

bicara.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a. Riwayat Keluarga
Gangguan genetik yang berhubungan dengan kerusakan

pendengaran atau berbicara.


Anggota keluarga, khususnya saudara ataupun orang tua dengan

gangguan pendengaran atau bicara.


b. Riwayat Prenatal
Keguguran/abortus
Penyakit yang menyeratai kehamilan (rubella, sifilis, diabetes)
Pengobatan yang diperoleh selama kehamilan
Eklamsia
c. Riwayat Persalinan
Durasi persalinan, tipe persalinan
Gawat janin
Presentasi (terutama letak sungsang)
Pengobatan yang digunakan
Ketidakcocokan darah
d. Riwayat Kelahiran
Berat badan lahir < 1500 g
Hiperbilirubinemia yang berlebihan merupakan indikasi untuk

exchange transfusi
Asfiksia berat
Prematuritas
Infeksi virus perinatal kongenital (sitomegalivirus, rubela, herpes,

sifilis, toksoplasmosis)
Anomali kongenital yang mengenai kepala dan leher
e. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Immunisasi
Penyakit sistem syaraf seperti meningitis bakterial
Kejang
Demam tinggi yang tidak diketahui penyebabnya
Obat ototoksik
Pilek, infeksi telinga dan alergi
Kesulitan penglihatan
Terpapar bising yang berlebihan
f. Perkembangan Pendengaran
Kekhawatiran orang tua mengenai kerusakan pendengaran (apa

petunjuknya serta usia berapa)


Respon terhadap suara, bising yang keras, bunyi dengan

frekuensi yang berbeda.


Akibat pengujian audiometrik sebelumnya
g. Perkembangan Bicara
Usia bergumam, kata pertama yang bermakna dan frase
Kejelasan bicara
Perbendaharaan kata terakhir
h. Perkembangan Motorik
Usia duduk, berdiri dan berjalan
Tingkat kemandirian dalam perawatan diri, makan, toileting dan

berdandan
i. Perilaku Adaptif
Aktivitas bermain
Sosialisasi dengan anak lain
Perilaku ; tempertranum, menyerang, self-vexation, stimulus

fibrasi
Pencapaian pendidikan
Perilaku terbaru/atau perubahan kepribadian

2. Diagnosa
a. Perubahan persepsi/sensori (auditorius) berhubungan dengan

kerusakan pendengaran.
b. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan

untuk mendengar petunjuk audiotorius.


c. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan yang berhubungan

dengan kerusakan komunikasi.


d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan diagnosa ketulian

pada anak.
e. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan bahaya lingkungan,

infeksi.
f. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

tentang kondisi anaknya.

RESUME

Nama Mahasiswa : Anriani, S.Kep


Tanggal Pengkajian : 20 Februari 2017
Diagnosa Medis : Tuna Rungu
A. Identitas
1. Identitas Klien
a. Nama anak : An. A
b. Alamat : Jl. Bunga Teratai
c. Usia/tanggal lahir : 11 Tahun / 8 Maret 2005
d. Tempat lahir : Kendari
e. Suku : Bugis
f. Jenis Kelamin : Laki-Laki
g. Agama : Islam
h. Kewarganegaraan : Indonesia
2. Identitas Orang Tua
a. Ayah
Nama : Tn. Y
Umur : 47 Tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bunga Teratai
b. Ibu
Nama : Ny. E
Umur : 46 Tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bunga Teratai

B. Pengkajian
Keluhan utama yaitu ibu klien mengatakan An. A tidak bisa

mendengar dan berbicara. Riwayat keluhan yaitu ibu klien mengatakan

An. A lahir dengan asfiksia berat sehingga perlu penanganan khusus dari

dokter. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum klien baik,

tanda-tanda vital (tekanan darah 120/80, nadi 98 kali/menit, pernapasan

20 kali/menit, suhu 37 0C), tinggi badan 152 cm, berat badan 50 kg, anak

tidak berespon terhadap suara, lebih responsif pada gerakan dari pada

bunyi.
Berdasarkan hasil pengkajian maka data dapat diklasifikasikan

sebagai data subyektif dan data obyektif. Data subyektif yaitu ibu klien

mengatakan An. A tidak bisa mendengar dan berbicara. Data obyektif yaitu
anak tidak berespon terhadap suara, lebih responsif pada gerakan dari

pada bunyi.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan persepsi/sensori (auditorius) berhubungan dengan

kerusakan pendengaran ditandai dengan :


Ds : - Ibu klien mengatakan An. A tidak bisa mendengar
Do : - Anak lebih responsif pada gerakan dari pada bunyi
- Anak tidak berespon terhadap suara
2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan

untuk mendengar petunjuk audiotorius ditandai dengan :


Ds : - Ibu klien mengatakan An. A tidak bisa berbicara
Do : - Anak lebih responsif pada gerakan dari pada bunyi

D. Intervensi
1. Perubahan persepsi/sensori (auditorius) berhubungan dengan

kerusakan pendengaran.
Tujuan : Anak mengalami potensial pendengaran maksimum.
Kriteria hasil : Anak memerlukan dan menggunakan alat bantu
dengar dengan tepat.
Intervensi :
a) Bantu keluarga mencari penyalur alat bantu dengar.
b) Diskusikan tipe alat bantu dengar dan perawatannya yang tepat.
c) Tekankan pada keluarga pentingnya penyimpanan alat batu

dengar dan ajari anak untuk menggunakan dan mengatur alat

bantu dengar tersebut.


d) Bantu anak berfokus pada semua bunyi dilingkungan dan

mendiskusikan hal tersebut.


2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan

untuk mendengar petunjuk audiotorius


Tujuan : Pasien menunjukan kemampuan membaca gerak bibir.
Kriteria hasil : Anak terlibat dalam proses komunikasi dalam batas
kerusakan, anak menunjukan kemampuan untuk

membaca gerak bibir, anak berkomunikasi dengan

cara yang diajarkan, individu yang berkomunikasi


denga anak menggunakan teknik komunikasi yang

baik
Intervensi :
a) Dorong keluarga untuk ikut dalam program rehabilitasi dengan

mempelajari bahasa isyarat.


b) Ajarkan bahasa untuk menyampaikan tujuan yang bermanfaat.
c) Dorong penggunaan bahasa dan buku dirumah.
d) Dorong anak untuk memperbaiki bicara dan menggunakan

bahasa spontan.
e) Ajarkan keluarga dan orang lain yang terlibat dengan anak tentang

perilaku yang memudahkan untuk membaca gerak bibir.

E. Implementasi
1. Perubahan persepsi/sensori (auditorius) berhubungan dengan

kerusakan pendengaran.
a) Membantu keluarga mencari penyalur alat bantu dengar.
Hasil : Ibu akan mencari alat bantu dengar untuk An. A.
b) Mendiskusikan tipe alat bantu dengar dan perawatannya yang tepat.
Hasil : Ibu klien memahami apa yang disampaikan oleh perawat.
c) Menekankan pada keluarga pentingnya penyimpanan alat bantu

dengar dan ajari anak untuk menggunakan dan mengatur alat bantu

dengar tersebut.
Hasil : Ibu paham.
d) Membantu anak berfokus pada semua bunyi dilingkungan dan

mendiskusikan hal tersebut.


Hasil : Anak tidak bisa mendengar bunyi apapun.
2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan

untuk mendengar petunjuk audiotorius.


a) Mendorong keluarga untuk ikut dalam program rehabilitasi dengan

mempelajari bahasa isyarat.


Hasil : Ibu sudah paham dengan bahasa isyarat yang dibutuhkan

oleh An. A agar bisa mengerti dengan bahasa yang diucapkan.


b) Mengajarkan bahasa untuk menyampaikan tujuan yang bermanfaat.
Hasil : Telah diajarkan berbahasa namun belum dipahami oleh An. A.
c) Mendorong penggunaan bahasa dan buku dirumah.
Hasil : An. A lebih banyak menggunakan buku agar apa yang

disampaikan dapat dipahami oleh orang lain.


d) Mendorong anak untuk memperbaiki bicara dan menggunakan

bahasa spontan.
Hasil : An. A tidak dapat berbicara secara spontan.
e) Mengajarkan keluarga dan orang lain yang terlibat dengan anak

tentang perilaku yang memudahkan untuk membaca gerak bibir.


Hasil : Keluarga sudah memahami perilaku yang dapat memudahkan

anak untuk membaca gerak bibir

F. Evaluasi
Diagnosa 1 :
S :-
O : - Anak belum menunjukan tanda-tanda peningkatan perkembangan
fisik
- Anak memerlukan dan menggunakan alat bantu dengar
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

Diagnosa 2 :
S :-
O : - Anak menunjukan kemampuan untuk membaca gerak bibir
- Anak berkomunikasi dengan cara yang diajarkan
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

Anda mungkin juga menyukai