Anda di halaman 1dari 20

Referat

EPIDURAL ANESTESI

Oleh :
Lia Pertiwi
Nurfa Erin
Wahyu Wijayanti
Wella Fadillah

Pembimbing :
dr. Dino Irawan, SpAn

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PROVINSI RIAU
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Epidural
Anestesi. Penulis menyusun referat ini untuk memahami lebih dalam tentang
epidural anestesi dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Anastesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Riau di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada dokter dokter pembimbing di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau,
antara lain :
1. Dr. dr. Dedi Afandi, DFM, Sp.F selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Riau beserta jajaran dan seluruh staf pengajar yang telah
memberikan bekal ilmu yang bermanfaat.
2. dr. Dino Irawan, Sp. An sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu.
3. Dokter spesialis anastesi dan perawat bagian anastesi yang bersedia
memberikan waktu untuk memberikan ilmu.
4. Kedua orang tua kami, atas bantuan dan doanya. Penulis sadar pembuatan
referat ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan. Akhir kata, kami mengharapkan semoga referat
ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Agustus 2017


Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Teknik
anestesi terdiri dari anestesi umum, anestesi lokal dan anestesi regional. Salah satu anestesi
regional adalah epidural anestesi. Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok
neuroaksial dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural. Ruang
epidural berada diluar selaput dura. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal
dari medula spinalis dan melintasi ruang epidural. Anestetik lokal melewati duramater
memasuki cairan cerebrospinal sehingga menimbulkan efek anestesinya. Efek anestesia yang
dihasilkan lebih lambat dari anestesi spinal dan terbentuk secara segmental.1
Blok epidural dapat dilakukan pada level lumbal, torakal, atau servikal. Teknik
epidural dapat digunakan sebagai injeksi tunggal atau dengan kateter yang dapat dilakukan
dengan bolus intermiten dan/atau infusi yang berkelanjutan. Anestesi epidural digunakan
pada analgesia selama dan sesudah pembedahan, mengurangi nyeri persalinan, sebagai
suplemen anestesi umum yang ringan, mengurangi pendarahan selama operasi dengan
potensi hipotensi yang diakibatkannya. Anestesi epidural dapat digunakan mulai dari
analgesia dengan blok motorik minimal sampai anestesia dengan blok motorik penuh. Variasi
ini dapat dikontrol dengan pemilihan obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post
operasi secara kontinu dengan narkotik atau lokal anestesi melalui kateter epidural semakin
popular saat ini. 2
Penggunaan anestesi epidural dapat menyebabkan komplikasi infeksi yang serius dan
konsekuensi serius terhadap defisit neurologis permanen dapat terjadi apabila pasien yang
dipasang kateter epidural mengalami abses epidural. Terdapat studi prospektif mengenai
survei bakteriologis analgesia epidural dan analisis faktor risiko kolonisasi kateter
epidural. Penelitian Hui-Bih et al menemukan bahwa 12,2% tips kateter epidural
memiliki bakteri masing-masing kurang lebih 1 CFU (colony forming units) dan
kurang lebih 15 CFU. Hasil ini memperlihatkan tingkat kolonisasi bakteri di ujung
kateter, karena tidak terdapat infeksi kulit di sekitar insersi kateter sebelum pelepasan kateter.
Terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya kolonisasi pada kateter epidural antara lain adalah:

1
sepsis, diabetes mellitus, gangguan status immunologi, terapi kortikosteroid, infeksi lokal dan
pemakaian kateter epidural jangka panjang. Abses dengan pemakaian kateter lama
didapatkan kuman Staphylococcus aureus dari hasil kultur (67%).3

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada referat ini adalah:
1. Bagaimana anatomi epidural?
2. Bagaimana fisiologi anestesi epidural?
3. Apa indikasi anestesi epidural?
4. Apa kontra indikasi anestesi epidural?
5. Bagaimana prosedur anestesi epidural ?
6. Apa saja obat anestesi epidural ?
7. Bagaimana komplikasi anestesi epidural?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
Epidural Anestesi.

1.4 Manfaat Penulisan


Referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis mengenai Epidural
Anestesi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Daerah epidural tersusun atas bagian dasar oleh membran sacrococcygeal, bagian
posterior dibatasi oleh ligamentum flavum dan daerah anterior dari lamina dan processus
articularis, bagian anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal posterior yang membungkus
tulang vertebra dan discus intervertebralis. Bagian lateral dibatasi oleh foramen
intervertebralis dan pedikel. Ruang epidural berisi lemak dan jaringan limphatik maupun vena
epidural. Vena tidak memiliki katub dan berhubungan langsung dengan vena intracranial.
Vena juga berhubungan dengan vena thorasik dan vena abdominal. Vena pada foramen
intervertebralis, berlanjut pada pelvis yaitu pada pleksus vena sacralis. Daerah paling luas
didaerah tengah dan runcing pada bagian lateralnya. Pada daerah lumbal luasnya 5-6 mm dan
pada daerah thoraks luasnya 3-5 mm. 2

Anatomi epidural
2.2 FISIOLOGI 2

1. Blokade neural.
Anestesi lokal yang ditempatkan didaerah epidural bereaksi secara langsung pada
akar nervus spinalis yang terdapat dibagian lateral dari ruang epidural. Akar nervus tersebut
dibungkus dengan lapisan dura dan anestesi lokal mencapai cairan serebrospinal dengan
menyerap pada dura. onset blok lebih lama dibandingkan dengan anestesi spinal, dan
intensitas blok sensoris dan motorik rendah.

2. Kardiovaskuler.
Hipotensi akibat dari blokade simpatik mirip seperti yang digambarkan pada anestesi
spinal. Dosis yang besar dari anestesi lokal yang digunakan dapat diabsorbsi secara sistemik,

3
mengakibatkan terjadinya depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada anestesi lokal
dapat diabsorbsi dan akan memberikan efek sitemik seperti takikardi dan hipertensi.

3. Anestesi epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme pulmoner pada
pembedahan ortopedi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan perfusi
keanggota gerak bagian bawah. Selain itu terdapat kecenderungan terjadinya penurunan
koagulasi, penurunan agregasi platelet, dan perbaikan fungsi fibrinolitik selama anestesi
epidural.

4. perubahan fisiologis lain serupa dengan yang dihasilkan oleh anestesi spinal.

2.3 INDIKASI 2,4


Pada umumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai
keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kontinyu setelah
penempatan kateter epidural, oleh karena itu tehnik ini cocok untuk pembedahan yang lama
dan analgesia setelah pembedahan.

Indikasi Khusus :
A. Pembedahan sendi panggul dan lutut.
Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural untuk pembedahan panggul
dan lutut dapat mengurangi insidens trombosis vena. Penyebab kematian pasien yang
menjalani pembedahan sendi yang total adalah emboli paru. Lagi pula kehilangan darah
selama pembedahan sendi panggul lebih kecil pada pemakaian tehnik anestesi epidural.

B. Revaskularisasi ektremitas bawah


Penelitian menunjukkan bahwa anestesia epidural pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah periper , aliran darah kedistal selama rekonstruksi pembuluh darah
anggota gerak bagian bawah adalah baik dan penyumbatan cangkokan pembuluh darah
setelah operasi adalah kecil dibandingkan dengan anestesi umum.

C. Persalinan.
Pasien-pasien obstetric yang takut nyeri melahirkan dapat ditangani dengan epidural
anestesi dan memperoleh bayi dengan riwayat biokimia yang baik dari pada bayi dilahirkan
pada ibu yang diberikan opioid atau anestetik lainnya secara intravena.

4
D. Penanganan nyeri post operasi.
Anestesi lokal konsentrasi rendah dan opoid atau kombinasi obat ini dengan analgesik
lain berguna pada kontrol nyeri post operasi. Analgesia post operasi ini memudahkan
ambulatory dini dan kerja sama yang baik dengan fisioterapi.

2,4
2.4 KONTRA INDIKASI

Absolut :

Pasien tidak setuju

Infeksi lokal pada daerah kulit yang akan ditusuk.

Sepsis generalisata (seperti septicemia, bacteremia).

Koagulopathi.

Alergi terhadap suatu jenis anestetik lokal.

Peningkatan tekanan intracranial.

Relatif :

Hipovolemia

Penyakit SSP

Nyeri punggung kronik.

Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin, dripiridamol, dan
NSAID

2.5 PROSEDUR 5,6


A. Persiapan peralatan dan Jarum epidural.
Seperti pada anestesi umum, obat-obatan serta mesin anestesia disiapkan sebelum
penderita masuk ruangan, begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk
vasopressor untuk mencegah hipotensi, oksigen suplemen melalui nasal kanula atau masker
untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik.

5
Pada umumnya jarum weiss atau tuohy ukuran 17 yang digunakan untuk ideintifikasi
ruang epidural. Jarum ini mempunyai stylet dan ujungnya tumpul dengan lubang pada sisi
lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat dilalui kateter ukuran 20. Jarum ukuran 22
sering digunakan untuk tehnik dosis tunggal.

B. Menentukan posisi pasien


Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, posisi lateral atau posisi prone dengan
pertimbangan yang sama dengan anestesi spinal.

C. Identifikasi Ruang epidural.


Ruang epidural teridentifikasi setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum dan
menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural. Metode untuk identifikasi ini dibagi
dalam dua kategori : loss of resistance tehnik dan hanging drop tehnik.

1. Loss of resistence tehnik.


Tehnik ini adalah cara yang umum dipakai untuk identifikasi ruang epidural. Cara
ini dengan mengarahkan jarum melewati kulit masuk kedalam ligamentum interspinosus,
dimana dibuktikan oleh adanya tahanan. Pada saat ini intraduser dikeluarkan dan jarum
dihubungkan dengan spuit yang diisi dengan udara atau Nacl 0,9 %, kemudian tusukan
dilanjutkan sampai keruang epidural.
Ada dua cara mengendalikan kemajuan penempatan jarum. Pertama menempatkan dua jari
menggenggam spuit dan jarum dengan tekanan tetap pada pangkalnya sehingga jarum
begerak kedepan sampai jarum masuk kedalam ruang epidural. Pendekatan lain dengan
menempatkan jarum beberapa millimeter dan saat itu dihentikan dan kendalikan dengan
hati-hati. Dorsum tangan non dominan menyokong belakang pasien dengan ibu jari dan jari
tengah memegang poros jarum. Tangan non dominan mengontrol masuknya jarum epidural
dan setelah itu ibu jari tangan dominan menekan fluger dari spuit. Ketika ujung jarum berada
dalam ligamentum fluger tidak bisa ditekan dan dipantulkan kembali, tetapi ketika jarum
masuk ruang epidural terasa kehilangan tahanan dan fluger mudah ditekan dan tidak
dipantulkan kembali. Cara yang kedua lebih cepat dan lebih praktis tetapi memerlukan
pengalaman sebelumnya untuk menghindari penempatan jarum epidural pada lokasi yang
salah. Apakah suntikan dengan Nacl 0,9 % atau udara yang dipakai pada loss of resistens
tehnik tergantung pada pilihan praktisi. Ada beberapa laporan gelembung udara

6
menyebabkan inkomplet atau blok tidak sempurna, namun ini hanya terjadi dengan udara
dalam jumlah yang banyak.

Posisi tangan pada jarum epidural

2. Hanging Drop tehnik.


Dengan tehnik ini jarum ditempatkan pada ligamentum interspinosus , pangkal jarum
diisi dengan cairan Nacl 0,9 % sampai tetesan menggantung dari pangkal jarum. Selama
jarum melewati struktur ligamen tetesan tidak bergerak, akan tetapi waktu ujung jarum
melewati ligamentum flavum dan masuk dalam ruang epidural, tetesan cairan ini terisap
masuk oleh karena adanya tekanan negatif dari ruang epidural. Jika jarum menjadi
tersumbat, atau tetesan cairan tidak akan terisap masuk maka jarum telah melewati ruang
epidural yang ditandai dengan cairan serebrospinal pada pungsi dural. Sebagai konsekuensi
tehnik hanging drop biasanya digunakan hanya oleh praktisi yang berpengalaman .

Cara memasukkan jarum kedalam ruang epidural

D. Pilihan tingkat block.


Anestesia epidural dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen dari tulang belakang
(cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anestesia epidural pada segmen sacralis biasanya disebut
sebagai anestesi caudal.

7
1. Lumbar epidural anestesi 7,8
a. Midline approach.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutup kain steril dan diidentifikasi interspace
L4-5 sejajar Krista iliaka. Interspace dipilih dengan palpasi apakah level L3-4 atau L4-5.
Jarum ukuran 25 digunakan untuk anestesi lokal dengan infiltrasi dari superfisial sampai
kedalam ligamentum interspinosa dan supraspinosa. Jarum ukuran 18 G dibuat tusukan kulit
untuk dapat dilalui jarum epidural. Jarum epidural dimasukkan terus pada tusukan kulit dan
dilanjutkan kearah sedikit kecephal untuk memperkirakan lokasi ruang interlaminar dan
sebagai dasar adalah pada perocesus spinosus superior. Setelah jarum masuk pada struktur
ligamentum , spuit dihubungkan dengan jarum dan tahanan diidentifikasi. Poin utama disini
bahwa adanya perasaan jarum masuk pada struktur ligamentum. Apabila perasaan kurang
jelas adalah akibat tahanan pada otot paraspinosus atau lapisan lemak mengakibatkan injeksi
lokal anestesi kedalam ruang lain dari pada ruang epidural dan terjadi gagal blok. Apabila ini
terjadi penempatan jarum pada ligamentum diperbaiki, kemudian jarum dilanjutkan masuk
keruang epidural dan loss of resistensi diidentifikasi dengan Hati-hati.

anestesi epidural lumbal: pendekatan median.

b. Paramedian approach
Biasanya dipilih pada kasus dimana operasi atau penyakit sendi degeratif sebelumnya
ada kontra indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah bagi pemula, karena
saat jarum bergerak kedalam ligamen dan perubahan tahanan tidak terjadi, maka jarum
masuk ke otot paraspinosus dan tahanan hanya dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum
flavum. Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kain streril seperti pada mid line
approach. Jarum ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada bagian bawah
processus spinosus superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum epidura langsung diarahkan
kecephal seperti pada median approach dan kemudian jarum dilanjutkan kearah midline.
Setelah strukur dermal ditembusi spuit dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya jarum

8
masuk masa otot psraspinosus akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai ada
peningkatan tahanan yang tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum. Jika jarum
telah melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten teridentifikasi maka jarum telah
masuk kedalam ruang epidural.

Anestesia epidural lumbal : pendekatan paramedian


.
2. Thoracic epidural anestesi 7,8
Thoracic epidural anestesi adalah tehnik yang lebih sulit dari pada lumbar epidural
anestesi dan kemungkinan untuk trauma pada medulla spinalis adalah besar. Oleh karena itu,
yang penting bahwa praktisi sepenuhnya familiar dengan lumbar epidural anestesi sebelum
mencoba thoracic epidural block.
a. Midline approach
Interspase lebih sering diidentifikasi dengan pasien pada posisi duduk. Pada segmen
atas thoracic, sudut processus spinosus lebih miring dan curam kearah kepala. Jarum
dimasukkan melewati jarak yang relatif pendek mencapai ligamentum supraspinous dan
interspinous, dan ligamentum flavum diidentifikasi biasanya tidak lebih dari 3-4 cm dibawah
kulit. Kehilangan tahanan yang tiba-tiba adalah tanda masuk dalam ruang epidural. Semua
tehnik epidural anestesi diatas regio lumbal kemungkinan kontak langsung dengan medulla
spinalis harus dipertimbangkan selama mengidentifikasi ruang epidural. Jika didapatkan
nyeri yang membakar kemungkinan bahwa jarum epidural kontak langsung dengan medulla
spinalis harus dipertimbangkan dan jarum harus dengan segera dipindahkan. Kontak
berulang dengan tulang dan tidak didapatkan ligamentum atau ruang epidural adalah indikasi
untuk merubah pada pendekatan paramedian.

9
Epidural anestesia thorakal : pendekatan median.

b. Paramedian approach.
Pada pendekatan paramedian , interspase diidentifikasi dan jarum ditusukkan kira-kira
2 cm kelateral garis tengah pada pinggir kaudal prosesus spinosus superior. Pada tehnik ini
jarum ditempatkan hampir tegak lurus pada kulit dengan sudut minimal 10-15 derajat kearah
midline dan dilanjutkan sampai lamina atau pedikle dari tulang belakang. Jarum ditarik
kebelakang dan ditujukan kembali agak kecephal. Jika tehnik ini sempurna ujung jarum
akan kontak dengan ligamentum flavum. Spuit dihubungkan dengan jarum dan pakai tehnik
loss of resistence atau hanging drop untuk mengidentifikasi ruang epidural. Sama dengan
paramedian approach pada regio lumbar, jarum harus dilanjutkan sebelum ligamentum
flavum dilewati dan ruang epidural didapatkan.

Anestesi epidural thorakal : pendekatan paramedian.

3. Cervical epidural anestesi 7,8


Tehnik ini khusus dilakukan dengan pasien pada posisi duduk dan leher difleksikan.
Jarum epidural dimasukkan pada midline khususnya pada interspase C5-C6 atau C6-C7 dan
ditusukkan secara relatif datar kedalam ruang epidural dengan memakai tehinik loss of
resistence dan lebih sering dengan hanging drop.

10
Anestesia epidural cervical : pendekatan median.

E. Penempatan kateter.
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi lokal pada operasi yang lama
dan pemberian analgesia post operasi.
(1). Kateter radioopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel diposisikan
kearah cephal. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali 1-2 cm untuk
menurunkan insiden parestesia dan pungsi dural atau vena.
(2). Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami parasthesia
yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter
harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan
bersama-sama.
(3). Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.
(4). Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian belakang
pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk, kateter ditarik
kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
(5). Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spuit. Aspirasi dapat dilakukan
untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian kateter diplester
dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat
dengan pembalutan.

2.6 Obat-obatan untuk anestesi epidural.9

Anestetik lokal.
Pilihan obat anestetik lokal untuk anestesi epidural ditentukan oleh lamanya prosedur
operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah kerja singkat,
mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain

11
konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris
untuk setiap blok sensorik dibandingkan dengan obat lainnya.

Tabel. Anestetik lokal untuk anestesi epidural


Obat Konsentrasi Lama anestesi dengan
epinefrin (menit)
Chloroprokain 23 % 60
Lidokain 1,5 % 60 90
Mepivakain 1,5 % 90 120
Bupivakain 0,5 % > 180
Etidokain 1,0 % > 150

Epinefrin.
Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi lokal yang disuntikkan kedalam
ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan absorbsi,
menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sitemik. Epinefrin
juga mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler. Sejumlah kecil epinefrin
diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek beta adrenergik, peningkatan
tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut jantung.

Tes dosis

Karena anestesi epidural termasuk meninjeksikan sejumlah besar obat anestesi lokal,
pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar. Aspirasi pluger dari spuit dapat
menarik darah atau CSS. Kateter epidural ditarik kembali dan ditempatkan pada tempat lain
apabila terdapat darah atau CSS dalam kateter. Tes dosis selalu diperlukan, hal ini terdiri dari
3 ml anestesi lokal dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan mengandung 5 mg
epinefrin (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000 yang sering digunakan). Bila jarum atau
kateter masuk kedalam vena epidural mengakibatkan peningkatan denyut jantung 20 denyut
permenit atau lebih besar dalam dua menit. Jika jarum atau kateter terletak diruang epidural ,
hal tersebut tidak terjadi dan tidak ada perubahan tekanan darah atau denyut jantung.
Sejumlah kecil cairan sering teraspirasi sebelum obat anestesia diinjeksikan. Adanya
cairan ini adalah cairan serebrospinal atau anestesia lokal yang diinjeksikan sebelumnya.
Dipstick test membedakan adanya glukosa, dimana cairan serebrospinal mengandung glukosa
dan tidak ada pada cairan anestesi lokal.

12
Dosis anestesi.

Penyebaran obat anestetik lokal dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume
yang dinjeksikan . sedang konsentrasi anestetik lokal dalam larutan hanya berpengaruh pada
derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat walaupun ditambahkan
sodium bikarbonat kedalam anestesi lokal untuk mempercepat onsetnya. Volume larutan
anestetik yang tepat untuk anestesi epidural lumbal berkisar dari 15 25 ml. Studi pada
sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adalah 1,6 ml per segemen spinal yang
dianestesi. Pada ruang epidural torakal yang sempit kurang lebih dibutuhkan setengahnya.
Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra abdominal yang meningkat
diperlukan volume anestetik lokal lebih sedikit untuk mencapai distribusi yang diberikan.
Penambahan anestetik lokal yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada
observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga
sampai setengah dari jumlah anestetik lokal semula akan diperoleh anestesi yang adekuat.
Bilamana menggunakan anestetik epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan
dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi lokal.

Opioid.

Dibandingkan dengan spinal opioid , epidural opioid menghasilkan efek yang hampir
sama dan dibutuhkan perhatian yang sama, karena diberikan jumlah yang lebih besar. Opioid
mempunyai kerja sinergis dengan anestetik lokal yaitu memepertinggi efektivitas konsentrasi
yang kecil dari obat anestetik lokal.

10
2.7 KOMPLIKASI

1. Intra operatif

a. Pungsi dural

Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika hal ini terjadi, ahli
anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi spinal
dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian
anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang
subarachnoid melalui jarum. Jika anestesi epidural diperlukan ( misalnya untuk analgesia
post operasi), kateter akan direposisikan kedalam interspace diatas pungsi dengan demikian

13
ujung dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi
spinal dengan injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.

b. Komplikasi kateter

(1). Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini lebih
sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian lateral dibandingkan
apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum secara cepat ditusukkan
kedalam ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya
sebagian yang melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada
kasus terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang epidural
dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan
bersama-sama jika terjadi tahanan.
(2). Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga darah
teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan dosis test. Kateter seharusnya
ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada aspirasi dari pengetesan.
Penarikan penting agar dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.
(3). Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi infeksi,
tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan dengan
pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang
terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan
dengan komplikasi dari penanganan secara konservatif.

c. Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja .


Injeksi dengan sejumlah basar volume anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid dapat
menghasilkan anestesi spinal yang total.

d. Injeksi intravaskuler

anestesi lokal kedalam vena epidural menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan
kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi dan kardiopulmonary arrest.

e. Overdosis anestesi lokal.

14
Toksisitas anestesi lokal secara sistemik kemungkinan disebabkan oleh adanya penggunaan
obat yang jumlahnya relatif basar pada anestesi epidural.

f. Kerusakan spinal cord.

Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset parestesia unilateral menandakan
insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural. Selanjutnya injeksi atau insersi
kateter pada bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran kecil arteri
pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana melewati celah pada foramen
intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia spinal cord anterior
atau hematoma epidural.

g. Perdarahan.

Perforasi pada vena oleh jarum dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan
mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik mereposisikan
jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka dapat
meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat.

2. Post Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural.
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan sebanyak 75 %
dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post punsi dural.

b. Infeksi.
Abses epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi
epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara hematogen
pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul dari
kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri
post operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami
demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah punggung secara lokal. Selanjutnya dapat
terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan
suatu lekosit dari lumbal pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
Myelography atau Magnetik Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting

15
adalah dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang
baik adalah berhubungan dengan cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan.

c. Hematoma epidural
Adalah suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural. Trauma pada vena
epidural menimbulkan koagulophati yang dapat menyebabkan suatu hematoma epidural
yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat dan defisit neurologi yang
persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered
tomographi atau MRI. Decompresi laminektomy penting dilakukan untuk memelihara fungsi
neurologi.

16
BAB III
KESIMPULAN

Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial dengan cara
menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural. Blok epidural dapat dilakukan
pada level lumbal, torakal, atau servikal. Anestesi epidural digunakan pada analgesia
selama dan sesudah pembedahan, mengurangi nyeri persalinan, sebagai suplemen anestesi
umum yang ringan, mengurangi pendarahan selama operasi dengan potensi hipotensi.
Salah satu komplikasi serius akibat anestesi epidural adalah terjadinya infeksi akibat insersi
kateter yang kebanyakan disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal anesthesia. In : Introducton to anesthesia,


editor : Longnecker DE, Murphy FL, ed 9 th, WB Saunders Company, 1997.
2. Mulroy MF, Epidural Anesthesia. In : Regional anesthesia, ed 2 nd, USA, Little,
Brown and Company, 1996.
3. De Tommaso O, Caporuscio A, Tagariello V. Neurological complications following
central neuraxial blocks: are there predictive factors? Eur J Anesthesiol.2002 Oct.
19(10):705-16
4. Bernards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Ansthesia,
editor : Barrash PG, Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott Williams and
Wilkins, 2001.
5. Molnar R. Spinal, aepidural, and Caudal anesthesia. In : Clinical Anesthesia
Procedures of the Massachusetts General Hospital, editor Davison JK, Eukhardt WF,
Perese DA, ed 4 th, London, Little brown and Company, 1993.
6. Conachie I, Geachie J. Reginal anaesthetic Technique. In A Practice of Anesthesi,
editor : Healy TEJ, Cohen PJ, ed 6 th, London, Edward Arnold, 1995.
7. Dalens B, Lumbar Epidural Anesthesia . In Regional Anesthesia in infans, children
and adolescents, editor : Garner J, USA, Williams & Wilkins wevwerly Europe, 1995.
8. Dalens B and Khandwala R, Thoracic and Cervical Epidural Anesthesia . In :
Regional Anesthesia in Infans, Children, and Adolescents, editor : Garner J, USA,
Eilliams Weverly Europe, 1995.
9. Brown DL, Spinal, Epidural and Caudal anesthesia. In : Anesthesia, editor : Miller
RD, ed 5 th, Volume 1, California, Churchill Livingstone, 2000.
10. Tetlaff JE, Spinal, Epidural and Caudal Block. In : Clynical Anestesiolgy. Editor :
Morgan GE, Mikhail MS, ed 2 nd, USA , Appleton & Lange, 1996.

Anda mungkin juga menyukai