Anda di halaman 1dari 5

Nama : Adhang Isdyarsa

NIM : 132011101060

RESUME JURNAL
Judul Simpatetik Oftalmia: korelasi Patologi Klinik dalam Kasus yang
berurutan
(Sympathetic Ophthalmia: Clinicopathologic Correlation in a
Consecutive Case Series)
Hassan A. Aziz, Harry W. Flynn Jr., Ryan C. Young, Janet L.
Davis, Sander R. Rubovy
Department of Ophthalmology, Bascom Palmer Eye Institute,
University of Miami, Miller School of Medicine
HHS Public Access, Retina. 2015 August ; 35(8): 16961703
Pendahuluan Simpatetik oftalmia merupakan penyakit yang langka biasanya
bersifat bilateral, difus, peradangan granuloma uveal yang non-
nekrotik dan biasanya muncul setelah terjadi trauma ataupun
tindakan operasi. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti
patogenesisnya, diperkirakan terjadi proses autoimun yang
mengikuti paparan sistemik terhadap antigen uveal.
Tujuan Mengetahui korelasi klinik dari simpatetik oftalmia secara
histologis dan immunohistochemical dari mata yang menularkan.
Metodologi Metode yang digunakan merupakan data konsekutif dengan
mengkomparasikan beberapa kasus. Rekam medik dan evaluasi
terhadap 16 pasien keluhan mata buta dengan nyeri yang telah
didiagnosa dengan simpatetik oftalmia di Bascom Palmer Eye
Institute antara tahun 1987 hingga 2009.
Dalam menilai karakteristik histopatologinya, digunakan kaca
slide yang dilapisi hematoxylin dan eosin (H&E) dan periodic
acid Schiff (PAS). Peradangan granulomatosa yang difus
merupakan bagian yang akan dinilai histopatologinya. Parameter
histopatologi yang akan dievaluasi melibatkan beberapa beberapa
contoh dari interpretasi beberapa sediaan seperti choriocapillaris,
Dalen Fuchs nodules, ablasi retina, peradangan pada kanal sklera
dan atrofi nervus optik. Seluruh pasien yang didiagnosa dengan
simpatetik oftalmia didasarkan pada tanda dan gejala akut dan
kronis dari inflamasi intraokular yang bilateral, adanya fokal
koroidal infiltrat, penebalan dari koroid dan kebocoran dibeberapa
titik ada flouresin angiograf dan didapatkan 15 dari 16 pasien
memiliki riwayat trauma langsung atau pernah dilakukan operasi
intraokular. Terapi termasuk dalam terapi dengan kortikosteroid
dengan tambahan satu atau lebih obat lain. Seluruh data yang
terkumpul berupa riwayat penyakit mata, nilai visus, kondisi mata
saat 6 bulan dan pemeriksaan klinik terakhir setelah terjadi
enukleasi, dan penggunaan obat imunosupresan ataupun
kortikostereoid.
Immunohistochemical CD-3, CD-20, CD-68; dan reseptor sitokin
TNF-, IL-4, INF-, IL-17 digunakan sebagai cell lineage
markers. Setelah itu digunakan nilai dari 0 hingga 3+ untuk
mengkomparasi intensitas dari immunohistocjemical.
Hasil Didapatkan 9 dari 16 pasien memenuhi kriteria simpatetik
oftalmia dilihat dari histopatologinya setelah di enukleasi. Dari 9
pasien tersebut, ditemukan ciri histopatologis seperti: inflamasi
pada choriocapillaris didapatkan pada 4 dari 9 mata, Dalen-Fuch
nodules ditemukan pada 5 dari 9 mata, inflamasi kanal sklera pada
7 dari 9 mata dan ditemukannya eosinofil pada koroid di seluruh 9
mata trsebut. Sisa pasien 7 orang didapatkan hasil yang berbeda
karena penggunakan kortikosteroid saat enukleasi.
Rata-rata waktu kontrol yang dilakukan para pasien setelah
enukleasi adalah 5,8 tahun dari 2 bulan hingga 16,2 tahun. Dari 16
pasien, 11 pasien memiliki riwayat trauma, 4 menjalani operasi
mata dan satu pasien disebabkan oleh etiologi yang tidak jelas.
Setelah 6 bulan pasca enukleasi, 4 dari 7 pasien dengan atipikal
histologi memiliki nilai visus 20/40 dibandingkan dengan 8
pasien dengan hasil histologi yang tipikal. Disini tidak didapatkan
korelasi antara nilai visus dan interpretasi histologi dari simpatetik
oftalmia. Pada saat kontrol 6 bulan, 11 pasien yang tersisa
seluruhnya mendapatkan obat imunosupresan dimana 4
diantaranya juga mengkonsumsi kortikosteroid oral. Median
waktu dari kejadian hingga terdiagnosa simpatetik oftalmia dan
dari diagnosa simpatetik oftalmia ke enukleasi adalah 75 bulan
38, 5 hari pada atipikal histopatologi dan 25 bulan 47 hari pada
nilai histopatologi tipikal.
Hasil yang didapat adalah infiltrat dari hasil histopatologi yang
tipikal menunjukkan rata-rata 2.5+ makrofag, 2.5+ sel B dan 1.5+
sel T serta tidak diketemukan pola yang konsisten pada reseptor
sitokin.
Pembahasan Pemberian terapi imunosupresan pada enukleasi dapat memicu
perubahan pada inflamasi infiltrat. Pada studi ini 7 dari 7 pasien
yang secara klinis didiagnosa dengan simpatetik oftalmia
memiliki hasil histopatologi yang atipikal dimana seluruhnya
mendapat terapi kortikosteroid pada enukleasi. Dua pasien diberi
perlakuan selama 2 minggu namun gagal menunjukkan hasil yang
diharapkan. Pada dasarnya simpatetik oftalmia adalah infalmasi
granulomatosa pada choriocapillaris. Dalam penelitian lain
hubungan choricapillaris pada simpatetik oftalmia munjukkan
keberadan eosinofil dan inflamasi di kanal sklera pada umumnya
terlihat pada hasil histopatologi dari simpatetik oftalmia.
Pada dasarnya simpatetik oftalmia didiagnosa berdasarkan adanya
cedera pada salah satu mata yang kemudian menjalar menjadi pan
uveitis pada mata yang lain. Namun pada penelitian ini didapatkan
3 kasus yang tidak sesuai harapan dengan penyulit masing-masing
dimana ketiganya memiliki hasil gambaran histopatologi yang
atipikal. Pada kasus yang diteliti ini pasien dengan gabaran
histopatologi yang atipikal ditemukan korelasi yang minmal
dengan studi kasus secara klinis dari simpatetik oftalmia.
Secara umum diasumsikan pada simpatetik oftalmia sel-T
merupakan media infalmasinya, namun pada kasus ini ditemukan
limfosit-B dalam infiltrat dan makrofag adalah yang dominan
daripada limfosit-T. Dimana hasil ini mungkin adalah faktor yang
menggambarkan stadium pada proses penyakit dan dan waktu
dimana enukleasi dilakukan terhadap onset penyakit tersebut.
Sebuah usaha dilkukan untuk mengkarakteristikan infiltrat dari
infalmasi dengan melakukan pewarnaan sitokin reseptor untuk
TNF-, IL-4, INF-, IL-17, namun tidak ditemukan pola yang
jelas. Hal ini sejalan dengan keberadaan limfosit-B yang lebih
dominan daripada limfosit-T di dalam infiltrat.
Hambatan pada penelitian ini adalah jumlah sampel yang sedikit,
data klinis yang retrospektif, kurangnya kontrol grup, kurangnya
protokol perlakukan yang prospektif selama 22 tahun penelitian.
Namun kelebihan dari penelitian adalah kontrol data klinik yang
secara besar melakukan penelitian cohort pada pasien.
Pada kesimpulannya, penelitian ini menggambarkan bahwa
temuan histopatologi hanya memiliki korelasi yang minimal
terhadap jalur klinis dari simpatetik oftalmia. Terapi
kortikosteroid pada saat enukleasi membuat diagnosa menjadi
berbeda. Pengaruh choriocapillaris pada kemunculan eosinofil
dan inflamasi di kanal sklera terlihat pada gambaran histopatologi
dari simpatetik oftalmia. Limfosit-B dan makrofag juga
ditemukan lebih dominan dibanding dengan limfosit-T, dimana
hal tersebut dapat menggambarkan stadium dari penyakit dan
waktu enukleasi terhadap onset penyakit.
Kesimpulan Hasil yang ditemukan secara histopatologi menunjukkan korelasi
yang minimal secara klinis terhadap simpatetik oftalmia. Terapi
yang menggunakan kortikosteroid juga mempengaruhi hasil
patologi dari simpatetik oftalmia. Jumlah limfosit-B dan makrfag
yang lebih dominan terhadap limfosit-T dapat menggambarkan
stadium dari penyakit tersebut.

Anda mungkin juga menyukai