Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
A. GANGGUAN SOMATOFORM
Kata somatoform di ambil dari bahasa Yunani soma yang berarti tubuh. Dalam
gangguan somatoform masalah-masalah psikologi muncul dalam bentuk gangguan fisik
(misalnya, nyeri, mual dan pusing). Simtom-simtom fisik gangguan somatoform yang
tidak dapat dijelaskan secara fisiologis dan tidak berada dalam kesadaran, diduga terkait
dengan faktor-faktor psikologis yaitu kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki
penyebab psikologis.
Menurut (Nevid, dkk, 2005), gangguan somatoform (somatoform disorder)
adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau
simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Pada gangguan
ini, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak
ada abnormalitas organik yang dapat ditemkan sebagai penyebabnya. Gejala dan
keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan
pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.

2.2 JENIS-JENIS GANGGUAN SOMATOFORM


1. Gangguan nyeri (Pain Disorder)
Pada gangguan ini individu akan mengalami nyeri pada satu tempat atau lebih
yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis. Rasa sakit ini diduga muncul
akibat faktor konflik psikologis. Penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan
pelatihan relaksasi, mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stres,
mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri.
Gangguan nyeri ditandai dengan adanya sakit parah sebagai fokus perhatian
pasien . kategori gangguan somatoform yang mencakup berbagai pasien dengan
berbagai penyakit, termasuk sakit kepala kronis, masalah punggung, arthritis, nyeri otot
dan kram, atau nyeri panggul. Dalam beberapa kasus nyeri pasien tampaknya sebagian
besar karena faktor psikologis, namun dalam kasus lain rasa sakit berasal dari suatu
kondisi medis serta psikologi pasien.
Gangguan nyeri relatif umum dalam populasi umum, sebagian karena frekuensi
cedera yang berhubungan dengan pekerjaan nya. Gangguan ini tampaknya lebih umum
pada orang dewasa yang lebih tua, dan rasio jenis kelamin hampir sama, dengan rasio
perempuan ke laki-laki 2:1 .

2. Gangguan Dismorfik Tubuh (Body Dysmorphic Disorder)


Merupakan keluhan yang berlebihan/dibesar-besarkan tentang kekurangan
tubuh. Penyebab dari gangguan ini belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan
faktor budaya atau sosial mempengaruhi. Misalnya adanya konsep bahwa perempuan
cantik adalah yang memiliki hidung yang mancung, seorang individu yang mengalami
gangguan dismorfik tubuh bisa jadi akan menghabiskan waktu berjam-jam di depan
cermin untuk mengamati kekurangan hidungnya atau bisa jadi ia akan mengeluarkan
biaya berapapun untuk memperbaiki hidungnya dengan cara operasi plastik.

3. Hipokondriasis
Yakni ketakutan akan penyakit serius. Kecemasan yang dialami oleh seorang
penderita hipokondria bukan hanya sekedar meyakininya saja melainkan juga disertai
dengan tindakan, penderita hipokondria akan selalu menanggapi keluhan-keluhn fisik
dengan sangat serius dan menyimpulkan bahwa dia menderita penyakit tertentu. Misal
ketika menderita batuk, penderita hipokondria akan menganggap bahwa ia mengalami
penyakit TBC atau kanker paru, sehingga ia akan terus memeriksakan dirinya ke dokter
dan tidak mempercayai hasil lab, sekalipun hasil tersebut sudah sangat akurat.
Penyebab hipokondria umumnya adalah trauma, kecemasan, beban emosional
dan konflik psikologis. Penanganan yang bisa dilakukan untuk para penderita
hipokondriasis adalah dengan terapi kognitif behavioral karena terapi ini dapat
mengubah pemikiran yang pesimis.

4. Gangguan konversi
Menurut DSM IV, gangguan konversi adalah gangguan dengan karakteristik
munculnya satu atau beberapa simtom neurologis (misal: buta, lumpuh, dll) yang tidak
dapat dijelaskan secara medis dan diduga faktor psikologis memiliki peranan penting
dengan awal dan keparahan gangguan.
Gangguan konversi (conversion disorders) dicirikan oleh suatu perubahan
besar dalam fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis yang dapat ditemukan sebagai
simtom atau kemunduran fisik. Simtom-simtom ini tidaklah dibuat secara sengaja.
Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Tangan
seorang tentara dapat menjadi lumpuh saat pertempuran yang hebat
Menurut DSM, simtom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis
umum yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunteer atau
fungsi sensoris. Babarapa pola simtom yang klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsy,
masalah dalam koordinasi, kebutaan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada
tepat didepan mata), kehilangan indra paendengaran atau penciuman atau kehilangan
rasa pada anggota badan(anestesi).

5. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan
atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat (tidak memenuhi syarat)
dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Gangguan ini
bersifat kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun) dan
berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaya dalam kehidupan sosial
dan pekerjaan serta upaya mencari pertolongan medis yang berlebihan.
Adapun menurut DSM IV gejala-gejala yang muncul harus meliputi
1. Minimal ada empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda.
2. Minimal ada dua simtom gastrointestinal. (misal: mual, kembung)
3. Riwayat minimal ada satu simtom seksual yang berbeda dari rasa sakit/nyeri. (misal:
ketidakmampuan ereksi).
4. Satu gejala pseudoneurologis: Riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi
seperti sulit menelan atau benjolan ditenggorokan, retensi urin, pandangan ganda,
kebutaan, ketulian, kejang).
Gangguan somatisasi sering disertai oleh gangguan mental yang lain, seperti gangguan
kepribadian, cemas, fobia, dll.
Penanganan yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran pasien
tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit. Dalam
lingkungan psikoterapeutik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk
mengekspresikan emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi alternatif
untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Jika gangguan somatisasi disertai dengan gangguan yang lain maka terapi
psikofarmakologis penting untuk diterapkan dengan disertai pengawasan, sebab
penderita ini cenderung mengkonsumsi obat secara berlebihan.

2.3 ETILOGI
Sebagian besar teori mengenai gangguan somatoform hanya diarahkan pada
pemahaman histeria sebagaimana dikonseptualisasi oleh Freud. Konsekuensinya, teori
ini memfokuskan pada penjelassan gangguan konversi. Di bawah ini akan dijelaskan
secara singkat pemikiern tentang etiologi gangguan somatisasi.
Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi lebih
sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan tehadap sensasi
tersebut, atau menginterpretasikannya sebagai sesuau yang membahayakan (Kirmayer
dkk.,1994; Rief dkk.,1998). Kemungkinan lain adalah mereka memiliki sensasi fisik
yanglebih kuat dibanding orang lain (Rief & Aurer, 2001). Sebuah pandangan perilaku
mengenai gangguan somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan
nyeri, rasa tidak nyaman, dan disfungsi merupakan manifestasi kecemasan yang tidak
realistis dalam sistem-sistem tubuh. Sejalan dengan pemikirian bahwa terdapat faktor
kecemasan yang tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki level kortiso
tinggi, suatu indikasi bahwa mereka di bawah tekanan (Rief dkk., 1998). Mungkin
ketegangan ekstrem yang yang dialami individu terpusat pada otot-otot perut,
mengakibatkan rasa mual atau muntah. Bila keberfungsian normal terganggu, pola
maladaptif akan menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari
sesuatu.
Teori Psikoanalisis Mengenai Gangguan Konversi. Gangguan Konversi
Menempati posisi utama dalam teori psikoanalisis karena ketika menangani kasus-kasus
inilah Freud mengembangkan sebagian besar konsep utama psikoanalisis. Gangguan
konversi memberikan kesempatan besar baginya untuk menggali konsep
Ketidaksadaran.
Pertimbangkanlah selama beberapa saat bagaimana Anda akan berusaha
memahami penuturan pasien bahwa suatu pagi ia bangun dan tidur dengan tangan kiri
yang lumpuh. Reaksi pertama Anda mungkin memberikan serangkaian tes neurologis
untuk mencari kemungkinan penyebab biologis kelumpuhana tersebut. Kita asumsikan
hasil tes tersebut negatif; tidak ada bukti terjadinya gangguan neurologis. Anda
sekarang dihadapkan pada pilihan apakah akan mempercayai atau meragukan penuturan
pasien. Di satu sisi, dia mungkin berbohong; sebenarnya dia mungkin mengetahui
bahwa tangannya tidak lumpuh, namun memutuskan untuk berpura-pura lumpuh untuk
mencapai suatu tujuan. Ini menjadi contoh malingering.

2.4 Terapi
Karena gangguan somatoform lebih jarang terjadi dibanding asalah-masalah lain
yang dihadapi para profesional kesehatan mental, hanya terdapat sedikit penelitian
terkendali mengenai efektivitas relatif berbagai penanganan. Laporan-laporan kasus dan
spekulasi klinis untuk saat ini merupakan sumber informasi utama mengenai bagaimana
menolong orang-orang yang mengalami gangguan yang membingungkan ini.
Contohnya, tidak terdapat penelitian terkendali mengenai penanganan gangguan
konversi. Berbagai studi kasus menunjukkan bahwa biasanya bukan suatu ide yang baik
untuk berusaha menyakinkan pasien bahwa simtom-simtom konversi yang dialami
berkaitan dengan faktor-faktor psikologis. Kebijakan klinis menyarankan pendekatan
halus dan suportif seraya memberikan penghargaan kepada pasien atau setiap perbaikan
kondisi sekecil apa pun yang berhasil dicapai (Simon, 19980).
Terapi untuk Somatisasi: Para ahli klinis kognitif dan perilaku percaya bahwa
tingkat kecemasan yang tinggi yang berkaitan dengan gangguan somatisasi dipicu oleh
beberapa situasi spesifik. Sebagai contoh, Alice, wanita yang dikisahkan sebelumnya,
mengungkapkan bahwa ia sangat cemas terhadap perkawinannya yang goyah dan
berbagai situasi di mana orang lain mungkin akan menilainya. Beberapa teknik seperti
pemaparan atau terapi kognitif dapat digunakan untuk mengatasi ketakutannya,
berkurangnya rasa takut tersebut dapat membantu mengurangi berbagai keluhan
somatik.
Terapi untuk Hipokondriasis: Secara umum, pendekatan kognitif-behavioral telah
terbukti efektif untuk mengurangi berbagai masalah hipokondriasis. Penelitian
menunjukkan bahwa para pasien hipokondriasis menunjukkan penyimpangan kognitif
dengan menganggu masalah kesehatan yang muncul sebagai suatu ancaman. Terapi
kognitif-behavioral dapat ditujukan untuk menstrukturisasikan pemikiran pesimistis
semacam itu. Salain itu, penanganan dapat mencakup beberapa strategi seperti semacam
itu. Selain itu, penanganan dapat mencakup beberapa strategi seperti mengarahkan
perhatian selektif pasien ke simtom-simtom fisik dan tidak mendorong pasien mencari
kepastian medis bahwa tidak sakit.
Terapis untuk Rasa Nyeri. Berdasarkan pemikiran mutakhir, biasanya tidak ada
gunanya membuat perbedaan yang tajam antara rasa nyerib psikogenik dan rasa nyeri
yang benar-benar disebabkan oleh faktor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya
diasumsikan bahwa rasa nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut.
Penanganan yang efektif cenderung terdiri dari hal-hal berikut:
1. Melakukan validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya dalam
pikiran pasien
2. Pelatihan relaksasi
3. Menghadiahi pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa nyeri
(menahan rasa nyeri)

2.5 GANGGUAN DISOSIATIF


Gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan
perasaan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang
mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa
penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan
membentuk identitas baru (Davidson&Neale,2001).

Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi


memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu
mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan
identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan
sebagai adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah
kendali sadar) yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaanan
segera (awareness of identity and immediate sensations), serta control terhadap gerak
tubuh.
Dalam penegakan diagnosis Gangguan Disosiatif harus ada gangguan yang
menyebabkan kegagalan mengoordinasikan identitas, memori persepsi ataupun
kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan
dan memanfaatkan waktu senggang.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari
integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain :

ingatan masa lalu


kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate
sensations)
kontrol terhadap gerakan tubuh

2.6 JENIS-JENIS GANGGUAN DISOSIATIF


Gangguan disosiatif mencakup 4 gangguan yakni :

1. Amnesia Disosiatif

Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan
disosiatif. Amnesia diambil dari akar kata Yunani a-, berarti tanpa, dan mnasthai,
berarti untuk mengingat. Seseorang yang menderita amnesia disosiatif tidak mampu
mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh
stress. Informasi-informasi itu tidak hilang secara permanen, namun tidak dapat diingat
kembali saat episode amnesia. Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif dapat
kembali, meski gangguan ini bisa berlangsung selama beberapa hari, minggu, atau
bahkan tahun. Mengingat kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara
bertahap tetapi seringkali muncul secara tiba-tiba dan spontan, seperti saat seorang
tentara tidak dapat mengingat pertarungan, beberapa hari setelahnya tiba-tiba dapat
mengingat pengalamannya setelah pindah ke rumah sakit yang jauh dari medan perang.
Sering kali memori yang hilang mencakup semua peristiwa selama kurun waktu tertentu
setelah suatu kejadian traumatic. Sangat jarang amnesia hanya mencakup beberapa
peristiwa tertentu dalam periode penderitaan tertentu, berlangsung secara terus-menerus
sejak terjadinya peristiwa traumatic hingga saat ini, atau secara menyeluruh, mencakup
seluruh kehidupan seseorang (Coons & Milstein, 1992).
2. Fugue Disosiatif

Dalam Fugue Disosiatif (berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan
diri) hilangnya memori lebih besar disbanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang
bersangkutan tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan
rumah dan bekerja dengan menggunakan identitas baru. Kadangkala orang tersebut
mempunyai nama baru, rumah baru, pekerjaan baru, dan bahkan serangkaian
karakteristik kepribadian baru. Fugue umumnya terjadi setelah seseorang mengalami
stress berat, sepert pertengkaran dengan sumai/istri, penolakan diri, masalah keuangan
atau pekerjaan, bertugas dalam peperangan, atau bencana alam. Walaupun memerlukan
waktu yang lamanya bervariasi, namun biasanya individu dapat pulih secara total;
individu yang bersangkutan tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama ia
mengalami amnesia.
Ciri-ciri Dissociative Fugue antara lain:
A. Pergi jauh dari rumah atau tempat kerja secara tiba-tiba dan tidak mampu
mengingat masa lalunya.
B. Secara mendadak dan tidak terduga, individu pergi meninggalkan rumah dan
pekerjaannya. Gejala ini muncul bersamaan dengan ketidakmampuannya
mengingat masa lalu.
C. Bingung terhadap identitas pribadi atau mendapatkan identitas baru secara persial
atau total.
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya gangguan
identitas dissosiative, dan bukan disebabkan oleh substansi tertentu atau kondisi
medis secara umum
E. Gangguan menyebabkan distress atau daya ingat significant untuk berfungsi
secara normal.
3. Gangguan Depersonalisasi

Gangguan Depersonalisasi, dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap


diri sendiri berubah secara menyedihkan dan mengganggu, juga tercantum salam DSM-
IV-TR sebagai gangguan disosiatif. Dalam episode depersonalisasi, yang umum dipicu
oleh stress, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Mereka mengalami
pengalaman sensori yang tidak biasa; contohnya, ukuran tangan dan kaki mereka
tampak berubah secara drastic atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri.
Mereka merasa berada diluar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan.
Kadangkala mereka merasa seperti mesin, seolah-olah mereka dan orang-orang lain
adalah robot, atau mereka seolah bergerak didunia yang tidak nyata. Gangguan
depersonalisasi biasanya berawal pada masa remaja dan perjalanannya bersifat kronis,
yaitu, dialami dalam waktu yang lama. Komorbiditas dengan gangguan kepribadian
sering terjadi, juga gangguan anxietas dan depresi (Simeon dkk., 1997).

a. Pengalaman yang berulang-ulang atau persisten dari depersonalisasi, yang ditandai


oleh perasaan terpisah dari proses mental atau tubuh seseorang, seolah-olah seseorang
menjadi pengamat luar dari dirinya sendiri. Pengalaman ini dapat memiliki karakteristik
seperti mimpi.
b. Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas (contohnya,
membedakan kenyataan dan ketidaknyataan) saat keadaan depersonalisasi.
c. Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distres atau hendaya pribadi yang
signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial dan
pekerjaan.
d. Merasa dirinya bukanlah dirinya yang sesungguhnya. Pengalaman bahwa diri sendiri
telah berubah.
e. Perasaan yang berulang ataupun menetap tentang adanya pemisahan diri dari fisik
ataupun pikiran. Merasa bahwa fisik atau pikirannya bukanlah miliknya lagi (Davidson
& Neale, 2001).
4. Gangguan Identitas Disosiatif

Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan identitas disosiatif (GID) dapat


ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah,
atau berubah-moda yang berbeda dalam keberadaan, perasaan, dan tindakan yang satu
sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada
waktu yang berbeda. Umumnya terdapat dua hingga empat kepribadian pada saat
diagnosis ditegakkan, namun selama berlangsungnya terapi sering kali muncul beberapa
kepribadian baru. Gangguan identitas disosiatif biasanya berawal pada masa kanak-
kanak, namun jarang didiagnosis hingga usia dewasa. GID umumnya disertai sakit
kepala, penyalahgunaan zat, fobia, halusinasi, upaya bunuh diri, disfungsi seksual,
perilaku melukai diri sendiri, dan juga simtom-simtom disosiatif lain seperti amnesia
dan depersonalisasi (Scrappo dkk., 1998).
Kriteria DSM-IV-TR untuk DID, diantaranya :
1) Harus ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang berbeda di dalam diri orang
tersebut.
2) Kepribadian-kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang tersebut
(Switching).
3) Ada ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang berkenaan dengan
dirinya yang terlalu luar biasa untuk dianggap hanya sebagai lupa biasa.
4) Gangguan-gangguan yang terjadi ini tidak terjadi karena efek psikologis dari
substansi seperti alkohol atau obat-obatan atau karena kondisi medis seperti demam.

2.7 ETILOGI
Gangguan Disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun biasanya
terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan organik yang
dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum
bisa teridentifikasikan, Dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa
terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang
sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif.
Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa :
A. Kepribadian yang labil
B. Pelecehan seksual
C. Pelecehan fisik
D. Kekerasan dalam rumah tangga (ayah dan ibu cerai)
E. Lingkungan social yang sering memperlihatkan kekerasan

2.8 TERAPI
Gangguan disosiatif menunjukan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan
lain, kemungkinan teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif-amnesia, fugue,
dan gangguan identitas disosiatif- para penderita menunjukan perilaku yang secara
sangat meyakinkan menunjukan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian
kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Dan karena pada saat yang sama mereka
tidak menyadari bahwa mereka lupa akan bagian dari masa lalu mereka, hipotesis
bahwa terdapat bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres atau didisosiasi
merupakan hipotesis yang meyakinkan (MacGregor, 1996).
Konsekuensinya, terapi psikoanalisis mungkin lebih banyak dipilih untuk gangguan
disosiatif disbanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat
represi menjadi hokum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik
psikoanalitik dasar.
Para pasien GID sangat mudah dihipnotis, dan diyakini bahwa mudahnya mereka
dihipnotis dimanfaatkan oleh mereka (tanpa disadari) untuk mengatasi stress dengan
menciptakan kondisi disosiatif yang mirip dengan trance untuk mencegah munculnya
ingatan yang menakutkan tentang berbagai macam kejadian traumatis (Butler dkk.,
1996).
DAFTAR ISI

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN ............................................................................. 2
A. Definisi Gangguan Disosiatif dan Gangguan Somatoform ............... 2
B. Tipe-tipe Gangguan Disosiatif .......................................................... 3
C. Tipe-tipe Gangguan Somatoform ...................................................... 4
D Penanganan Gangguan Disosiatif dan Gangguan Somatoform ........ 6
BAB III. PENUTUP ..................................................................................... 9
A. Kesimpulan ........................................................................................ 9
B. Saran .................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 10

Anda mungkin juga menyukai