Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
A. GANGGUAN SOMATOFORM
Kata somatoform di ambil dari bahasa Yunani soma yang berarti tubuh. Dalam
gangguan somatoform masalah-masalah psikologi muncul dalam bentuk gangguan fisik
(misalnya, nyeri, mual dan pusing). Simtom-simtom fisik gangguan somatoform yang
tidak dapat dijelaskan secara fisiologis dan tidak berada dalam kesadaran, diduga terkait
dengan faktor-faktor psikologis yaitu kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki
penyebab psikologis.
Menurut (Nevid, dkk, 2005), gangguan somatoform (somatoform disorder)
adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau
simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Pada gangguan
ini, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak
ada abnormalitas organik yang dapat ditemkan sebagai penyebabnya. Gejala dan
keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan
pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.

B. GANGGUAN DISOSIATIF
Gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan
perasaan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang
mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa
penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan
membentuk identitas baru (Davidson&Neale,2001).

Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi


memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu
mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan
identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan
sebagai adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah
kendali sadar) yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaanan
segera (awareness of identity and immediate sensations), serta control terhadap gerak
tubuh.
Dalam penegakan diagnosis Gangguan Disosiatif harus ada gangguan yang
menyebabkan kegagalan mengoordinasikan identitas, memori persepsi ataupun
kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan
dan memanfaatkan waktu senggang.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari
integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain :

ingatan masa lalu


kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate
sensations)
kontrol terhadap gerakan tubuh
2.2 Jenis-Jenis Gangguan
A.GANGGUAN SEMATOPOM
Gangguan Nyeri, Gangguan Dismorfik Tubuh, dan Gangguan
Hipokondriasis
Pada gangguan nyeri seseorang mengalami rasa sakit atau nyeri yang
menyebabkan distress dan kerusakan signifikan, faktor psikologis dianggap berperan
penting terhadap muncul, menetap dan parahnya rasa nyeri. Bahkan pasien tidak
mampu bekerja dan obat penenang atau penghilang rasa sakit tidak berpengaruh lagi.
Rasa nyeri dapat memiliki keterkaitan temporal dengan semacam konflik atau stres, atau
mungkinkan individu menghindari aktivitas yang tidak menyenangkan dan
mendapatkan perhatian serta simpati yang tidak diperoleh saat individu dalam keadaan
sehat. Diagnosis akurat sulit ditegakkan karena pengalaman rasa nyeri subjektif selalu
merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, yaitu rasa nyeri bukan
sekedar pengalaman sensori, seperti pengelihatan dan pendengaran. Dengan demikian,
untuk memutuskan apakah rasa nyeri yg diderita adalah rasa nyeri somatoform atau rasa
nyeri yang berkaitan dengan gejala fisik merupakan hal yang sulit. Namun, pada pasien
yang rasa sakitnya dilandasi gangguan fisik, mereka dapat menunjukkan bagian yangs
akit secara spesifik, dapat memberikan deskripsi sensori rasa sakitnya secara lebih rinci,
dan dapat mengaitkan rasa sakit tersebut secara lebih jelas dengan berbagai kondisi
yang meningkatkan atau mengurangi rasa sakit (Adler dkk, 1997).
Pada gangguan dismorfik tubuh, seseorang dipenuhi kekhawatiran dengan
kerusakan penampilan yang hanya dalam bayangannya atau dilebih-lebihkan, seringkali
pada wajah-contohnya, kerutan wajahm bulu di wajah yang lebat, bentuk atau ukuran
hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki,
sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek,
ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya
(Perugi dkk, 1997). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif
akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya
dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan
mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan,
misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philip, 1999).
Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat
kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat
mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa
individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya.
Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka
(Veale, 2000). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya
dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social,
gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996). Faktor social dan
budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia
menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.
Hipokondriasis bersal dari istilh medis lama hypochondrium, yang berarti di
bawah tulang rusuk, dan merefleksikan gangguan pada bagian perut yang sering
dikeuhkan pasien hipokondriasis. Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang
tiak realistis dan tidakk akurat terhadap simtom atau sensasi, sehngga mengarah pada
preokupasi dan ketakutan bahwa mereka memiliki ganggguan yang arah, bahkan
meskipun tidak ada penyebab medis yang ditemukan. Psien yakin bahwa mereka
mengalami penyakit yang serius dan belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah
dengan mnunjukkan kebalikannya (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 1994).
Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus
berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang
seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap
dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., 2000). Dalam teori
disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan
gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang
terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis
seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
a. Gangguan Konversi
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya
penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan
dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut
baik-baik saja. Individu dapat mengalami kelumpuhan separuh atau seluruhnya pada
lengan atau kaki, kejang dan gangguan koordinasi, kulit serasa tertusuk, perih atau
menggeletar, insertistivitas terhadap rasa sakit, hilang atau lemahnya pengindraan
atau anesthesia (walaupun secara fisiologis mereka normal). Penglihatan dapat
mengalami kerusakan parah, orang yang bersangkuan dapat separuh atau sepenuhnya
buta (tunnel vision), di mana bidang pengelihatan menjadi terbatas seperti bila
seseorang melihat melalui lobang pipa. Aphonia, hilangnya suara dan hanya bisa
berbicara dnegan berbisik, dan ansomia hilang atau melemahnya indra penciuman, dan
simtim-simtom konversi lainnya.

Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa
biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau
tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion,
pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di
repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu,
kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa
dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan
dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak
dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997). Conversion disorder
biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan
zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic
personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky,
1997).
b. Gangguan Somatisasi
Pada tahun 1859 seorang dokter berkebangsaan Prancis, Pierre Briquet
menggambarkan suatu sindrom yang pada walnya diberi nama sesua dengan namanya,
sindrom Briquet. Kini dalam DSM-IV-TR disebut dengan gangguan somatisasi.
Keluhan somatik yang berulang dan banyak memerlukan perhatian medis, namun tidak
memiliki sebab fisik yang jelas. Untuk memenuhi kriterian diagnostik, yang
bersagkutan harus mengalami keempat hal dibawah ini:
1. Empat simptom rasa sakit di bagian yang berbeda (kepala, punggung, sendi);
2. Dua simptom gastrointestinal (diare, mual);
3. Satu simptom seksual selain rasa sakit (tidak berminat pada hubungan
seksual, disfungsi erektil);
4. Satu simptom pseudineurologis (seperti yang terjadi dalam gangguan
konversi).
Simptom-simptom tersebut yang lebih pervasif dibanding keluhan hipokondriasis,
biasanya menyebabkan hendaya, terutama dalam pekerjaan. Dalam DSM-IV-TR
mencatat bahwa, simptom-simptom spesifik gangguan ini dapat bervariasi antarbudaya.
Sebagai contoh, tangan terbakar atau sperti ada semut yang berjalan di bawah lutut, hal
ini sering terjadi di Asia dan Afrika dibanding di Amerika Utara. Terlebih lagi
gangguan tersebut dinilai sering terjadi pada budaya yang tidak mendorong ekspresi
emosi secara terbuka (Ford, 1995).
Gangguan somatisasi dan gangguan konversi memiliki banyak persamaan
simptom, dan keduanya dapat ditegakkan pada pasien yang sama (Ford & Folks, 1985).
Kunjungan ke dokter, kadangkala ke banyak dokter pada waktu bersamaan, sering kali
dilakukan, juga penggunaan obat-obatan. Perawatan di rumah sakit bahkan operasi
menajdi hal umum (Guz2, 1967). Masalah menstruasi dan hambatan seksual sering
terjadi (Swartz dkk, 1986). Para pasien umumnya menyampaikan keluhan secara
berlebihan atau sebagai riwayat kesehatan yang panajng dan penuh komplikasi. Banyak
yang meyakini bahwa mereka telah mengalami penyakit sepanjang hidupnya.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi
Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African
American dan Hispanic (Escobar et al., 1987) dan pada pasien yang sedang menjalani
pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan
dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell , 1991). Somatizaton disorder biasanya
dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., 1986).

III. Etilogi
Sebagian besar teori mengenai gangguan somatoform hanya diarahkan pada
pemahaman histeria sebagaimana dikonseptualisasi oleh Freud. Konsekuensinya, teori
ini memfokuskan pada penjelassan gangguan konversi. Di bawah ini akan dijelaskan
secara singkat pemikiern tentang etiologi gangguan somatisasi.
Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi lebih
sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan tehadap sensasi
tersebut, atau menginterpretasikannya sebagai sesuau yang membahayakan (Kirmayer
dkk.,1994; Rief dkk.,1998). Kemungkinan lain adalah mereka memiliki sensasi fisik
yanglebih kuat dibanding orang lain (Rief & Aurer, 2001). Sebuah pandangan perilaku
mengenai gangguan somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan
nyeri, rasa tidak nyaman, dan disfungsi merupakan manifestasi kecemasan yang tidak
realistis dalam sistem-sistem tubuh. Sejalan dengan pemikirian bahwa terdapat faktor
kecemasan yang tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki level kortiso
tinggi, suatu indikasi bahwa mereka di bawah tekanan (Rief dkk., 1998). Mungkin
ketegangan ekstrem yang yang dialami individu terpusat pada otot-otot perut,
mengakibatkan rasa mual atau muntah. Bila keberfungsian normal terganggu, pola
maladaptif akan menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari
sesuatu.
Teori Psikoanalisis Mengenai Gangguan Konversi. Gangguan Konversi
menempati posisi utama dalam teori psikoanalisis karena ketika menangani kasus-kasus
inilah Freud mengembangkan sebagian besar konsep utama psikoanalisis. Gangguan
konversi memberikan kesempatan besar baginya untuk menggali konsep
ketidaksadaran. Pertimbangkanlah selama beberapa saat bagaimana Anda akan berusaha
memahami penuturan pasien bahwa suatu pagi ia bangun dan tidur dengan tangan kiri
yang lumpuh. Reaksi pertama Anda mungkin memberikan serangkaian tes neurologis
untuk mencari kemungkinan penyebab biologis kelumpuhana tersebut. Kita asumsikan
hasil tes tersebut negatif; tidak ada bukti terjadinya gangguan neurologis. Anda
sekarang dihadapkan pada pilihan apakah akan mempercayai atau meragukan penuturan
pasien. Di satu sisi, dia mungkin berbohong; sebenarnya dia mungkin mengetahui
bahwa tangannya tidak lumpuh, namun memutuskan untuk berpura-pura lumpuh untuk
mencapai suatu tujuan. Ini menjadi contoh malingering.

IV. Terapi
Karena gangguan somatoform lebih jarang terjadi dibanding asalah-masalah lain
yang dihadapi para profesional kesehatan mental, hanya terdapat sedikit penelitian
terkendali mengenai efektivitas relatif berbagai penanganan. Laporan-laporan kasus dan
spekulasi klinis untuk saat ini merupakan sumber informasi utama mengenai bagaimana
menolong orang-orang yang mengalami gangguan yang membingungkan ini.
Contohnya, tidak terdapat penelitian terkendali mengenai penanganan gangguan
konversi. Berbagai studi kasus menunjukkan bahwa biasanya bukan suatu ide yang baik
untuk berusaha menyakinkan pasien bahwa simtom-simtom konversi yang dialami
berkaitan dengan faktor-faktor psikologis. Kebijakan klinis menyarankan pendekatan
halus dan suportif seraya memberikan penghargaan kepada pasien atau setiap perbaikan
kondisi sekecil apa pun yang berhasil dicapai (Simon, 19980).
Terapi untuk Somatisasi: Para ahli klinis kognitif dan perilaku percaya bahwa
tingkat kecemasan yang tinggi yang berkaitan dengan gangguan somatisasi dipicu oleh
beberapa situasi spesifik. Sebagai contoh, Alice, wanita yang dikisahkan sebelumnya,
mengungkapkan bahwa ia sangat cemas terhadap perkawinannya yang goyah dan
berbagai situasi di mana orang lain mungkin akan menilainya. Beberapa teknik seperti
pemaparan atau terapi kognitif dapat digunakan untuk mengatasi ketakutannya,
berkurangnya rasa takut tersebut dapat membantu mengurangi berbagai keluhan
somatik.
Terapi untuk Hipokondriasis: Secara umum, pendekatan kognitif-behavioral telah
terbukti efektif untuk mengurangi berbagai masalah hipokondriasis. Penelitian
menunjukkan bahwa para pasien hipokondriasis menunjukkan penyimpangan kognitif
dengan menganggu masalah kesehatan yang muncul sebagai suatu ancaman. Terapi
kognitif-behavioral dapat ditujukan untuk menstrukturisasikan pemikiran pesimistis
semacam itu. Salain itu, penanganan dapat mencakup beberapa strategi seperti semacam
itu. Selain itu, penanganan dapat mencakup beberapa strategi seperti mengarahkan
perhatian selektif pasien ke simtom-simtom fisik dan tidak mendorong pasien mencari
kepastian medis bahwa tidak sakit.
Terapis untuk Rasa Nyeri. Berdasarkan pemikiran mutakhir, biasanya tidak ada
gunanya membuat perbedaan yang tajam antara rasa nyerib psikogenik dan rasa nyeri
yang benar-benar disebabkan oleh faktor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya
diasumsikan bahwa rasa nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut.
Penanganan yang efektif cenderung terdiri dari hal-hal berikut:
1. Melakukan validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya dalam
pikiran pasien
2. Pelatihan relaksasi
3. Menghadiahi pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa nyeri
(menahan rasa nyeri)

II.

III. Tanda dan Gejala

Pada Gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali selektif
tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari kehari atau bahkan jam ke jam.
Gejala umum untuk seluruh tipe gangguan disosiatif, meliputi :
Hilang ingatan (amnesia) terhadap periode waktu tertentu, kejadian dan orang
Masalah gangguan mental, meliputi depresi dan kecemasan
Persepsi terhadap orang dan benda di sekitarnya tidak nyata (derealisasi)
Identitas yang buram
Depersonalisasi

Gangguan disosiatif selalu dihubungkan dengan penyulit yang signifikan. Orang-orang


dengan kondisi seperti ini sering tidak dapat mengelola emosi dan stress dengan baik.Dan reaksi
disosiatifnya dapat menyebabkan teman-temannya mengaggap dirinya aneh.

FAKTOR RESIKO
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun emosional
semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan disosiatif. Anak-anak dan dewasa yang
juga memiliki pengalaman kejadian yang traumatic, semisalnya perang, bencana, penculikan,
dan prosedur medis yang infasif juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya gangguan disosiatif
ini.

IV. Jenis Gangguan Disosiatif


Gangguan disosiatif mencakup 4 gangguan yakni;

Amnesia Disosiatif
Fugue Disosiatif
Gangguan Depersonalisasi
Gangguan Identitas Disosiatif

1. Amnesia Disosiatif

Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif. Amnesia
diambil dari akar kata Yunani a-, berarti tanpa, dan mnasthai, berarti untuk mengingat. Seseorang
yang menderita amnesia disosiatif tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya
setelah suatu episode yang penuh stress. Informasi-informasi itu tidak hilang secara permanen, namun
tidak dapat diingat kembali saat episode amnesia. Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif dapat
kembali, meski gangguan ini bisa berlangsung selama beberapa hari, minggu, atau bahkan tahun.
Mengingat kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap tetapi seringkali muncul
secara tiba-tiba dan spontan, seperti saat seorang tentara tidak dapat mengingat pertarungan, beberapa
hari setelahnya tiba-tiba dapat mengingat pengalamannya setelah pindah ke rumah sakit yang jauh dari
medan perang. Sering kali memori yang hilang mencakup semua peristiwa selama kurun waktu tertentu
setelah suatu kejadian traumatic. Sangat jarang amnesia hanya mencakup beberapa peristiwa tertentu
dalam periode penderitaan tertentu, berlangsung secara terus-menerus sejak terjadinya peristiwa
traumatic hingga saat ini, atau secara menyeluruh, mencakup seluruh kehidupan seseorang (Coons &
Milstein, 1992).
2. Fugue Disosiatif

Dalam Fugue Disosiatif (berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri)
hilangnya memori lebih besar disbanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang bersangkutan
tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan bekerja dengan
menggunakan identitas baru. Kadangkala orang tersebut mempunyai nama baru, rumah baru,
pekerjaan baru, dan bahkan serangkaian karakteristik kepribadian baru. Fugue umumnya terjadi
setelah seseorang mengalami stress berat, sepert pertengkaran dengan sumai/istri, penolakan diri,
masalah keuangan atau pekerjaan, bertugas dalam peperangan, atau bencana alam. Walaupun
memerlukan waktu yang lamanya bervariasi, namun biasanya individu dapat pulih secara total;
individu yang bersangkutan tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama ia mengalami
amnesia.
Ciri-ciri Dissociative Fugue antara lain:
Pergi jauh dari rumah atau tempat kerja secara tiba-tiba dan tidak mampu mengingat masa lalunya.
Secara mendadak dan tidak terduga, individu pergi meninggalkan rumah dan pekerjaannya. Gejala ini
muncul bersamaan dengan ketidakmampuannya mengingat masa lalu.
Bingung terhadap identitas pribadi atau mendapatkan identitas baru secara persial atau total.
Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya gangguan identitas dissosiative, dan
bukan disebabkan oleh substansi tertentu atau kondisi medis secara umum
Gangguan menyebabkan distress atau daya ingat significant untuk berfungsi secara normal.

3. Gangguan Depersonalisasi

Gangguan Depersonalisasi, dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri
berubah secara menyedihkan dan mengganggu, juga tercantum salam DSM-IV-TR sebagai
gangguan disosiatif. Dalam episode depersonalisasi, yang umum dipicu oleh stress, individu
secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Mereka mengalami pengalaman sensori yang
tidak biasa; contohnya, ukuran tangan dan kaki mereka tampak berubah secara drastic atau suara
mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Mereka merasa berada diluar tubuh mereka,
menatap diri mereka sendiri dari kejauhan. Kadangkala mereka merasa seperti mesin, seolah-
olah mereka dan orang-orang lain adalah robot, atau mereka seolah bergerak didunia yang tidak
nyata. Gangguan depersonalisasi biasanya berawal pada masa remaja dan perjalanannya bersifat
kronis, yaitu, dialami dalam waktu yang lama. Komorbiditas dengan gangguan kepribadian
sering terjadi, juga gangguan anxietas dan depresi (Simeon dkk., 1997).
a. Pengalaman yang berulang-ulang atau persisten dari depersonalisasi, yang ditandai oleh perasaan
terpisah dari proses mental atau tubuh seseorang, seolah-olah seseorang menjadi pengamat luar dari
dirinya sendiri. Pengalaman ini dapat memiliki karakteristik seperti mimpi.
b. Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas (contohnya, membedakan kenyataan
dan ketidaknyataan) saat keadaan depersonalisasi.
c. Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distres atau hendaya pribadi yang signifikan pada satu
atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial dan pekerjaan.
d. Merasa dirinya bukanlah dirinya yang sesungguhnya. Pengalaman bahwa diri sendiri telah berubah.
e. Perasaan yang berulang ataupun menetap tentang adanya pemisahan diri dari fisik ataupun pikiran.
Merasa bahwa fisik atau pikirannya bukanlah miliknya lagi (Davidson & Neale, 2001).

4. Gangguan Identitas Disosiatif

Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan identitas disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila
seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-moda yang
berbeda dalam keberadaan, perasaan, dan tindakan yang satu sama lain tidak saling
mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda. Umumnya
terdapat dua hingga empat kepribadian pada saat diagnosis ditegakkan, namun selama
berlangsungnya terapi sering kali muncul beberapa kepribadian baru. Gangguan identitas
disosiatif biasanya berawal pada masa kanak-kanak, namun jarang didiagnosis hingga usia
dewasa. GID umumnya disertai sakit kepala, penyalahgunaan zat, fobia, halusinasi, upaya bunuh
diri, disfungsi seksual, perilaku melukai diri sendiri, dan juga simtom-simtom disosiatif lain
seperti amnesia dan depersonalisasi (Scrappo dkk., 1998).
Kriteria DSM-IV-TR untuk DID, diantaranya :
1) Harus ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang berbeda di dalam diri orang tersebut.
2) Kepribadian-kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang tersebut
(Switching).
3) Ada ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang berkenaan dengan dirinya
yang terlalu luar biasa untuk dianggap hanya sebagai lupa biasa.
4) Gangguan-gangguan yang terjadi ini tidak terjadi karena efek psikologis dari substansi
seperti alkohol atau obat-obatan atau karena kondisi medis seperti demam.

Etilogi

Gangguan Disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun biasanya terjadi
akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan organik yang dialami. Gangguan
ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan,
Dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma
masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan
disosiatif.

Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa :


Kepribadian yang labil
Pelecehan seksual
Pelecehan fisik
Kekerasan dalam rumah tangga (ayah dan ibu cerai)
Lingkungan social yang sering memperlihatkan kekerasan
V. Terapi

Gangguan disosiatif menunjukan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain,
kemungkinan teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif-amnesia, fugue, dan gangguan
identitas disosiatif- para penderita menunjukan perilaku yang secara sangat meyakinkan
menunjukan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu
yang terlupakan. Dan karena pada saat yang sama mereka tidak menyadari bahwa mereka lupa
akan bagian dari masa lalu mereka, hipotesis bahwa terdapat bagian besar dalam kehidupan
mereka yang direpres atau didisosiasi merupakan hipotesis yang meyakinkan (MacGregor,
1996).
Konsekuensinya, terapi psikoanalisis mungkin lebih banyak dipilih untuk gangguan
disosiatif disbanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi
hokum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Para pasien GID sangat mudah dihipnotis, dan diyakini bahwa mudahnya mereka
dihipnotis dimanfaatkan oleh mereka (tanpa disadari) untuk mengatasi stress dengan
menciptakan kondisi disosiatif yang mirip dengan trance untuk mencegah munculnya ingatan
yang menakutkan tentang berbagai macam kejadian traumatis (Butler dkk., 1996).

Anda mungkin juga menyukai