Anda di halaman 1dari 23

ANTAGONISME BAKTERI TERHADAP KAPANG PATOGEN PADA

LAHAN PERTANIAN TOMAT (Solanum lycoperscium) DI KABUPATEN


MALANG

PROPOSAL

Untuk memenuhi tugas matakuliah Mikrobiologi Lanjut


yang dibina oleh Bapak Dr. Endang Suarsini, M.Ked
Disajikan pada hari Rabu 04 Oktober 2017

Disusun Oleh:

Dasriani (170341864573)
Hanifah Rahmawati (170341864508)
Muhammad Fahrurrizal .A (170341864564)
Mustaqim (170341864567)
Putri Dhamira (170341864505)

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
Oktober 2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tomat (Solanum lycoperscium) merupakan komoditas utama sebagai bahan
makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang
menkonsumsi tomat sebagai bahan pangan pokok. Kebutuhan tomat dalam negeri yang
sangat besar menuntut adanya tindakan untuk terus meningkatkan produksi pada baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini berguna untuk memenuhi kebutuhan dan
kestabilan pangan nasional.
Salah satu usaha intensifikasi yang telah dilakukan adalah pemberian pestisida
yang cukup terhadap tanaman tomat yang akan mencegah terjadinya serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, usaha intesifikasi ini terkendala
dengan kelangkaan dan mahalnya harga pestisida yang berdampak pada kurangnya
pemberian pestisida sehingga terjadi penurunan produktivitas tomat akibat serangan
OPT. Salah satu OPT yang sering ditemui menyerang tomat di Indonesia adalah hama
Vikal et al. (2007), menyatakan bahwa penyakit HDB dapat menurunkan produksi
padi sampai 50%. Sedangkan, Ji et al. (2008) menyatakan bahwa pengurangan
produktivitas akbibat HDB dapat mencapai 20-40%. Di Indonesia, HDB telah
menyebabkan kerugian hasil panen sebesar 21-36% pada musim hujan dan sebesar 18-
28% pada musim kemarau (Suparyono dan Sudir, 1992). Luas penularan penyakit
HDB pada tahun 2006 mencapai lebih dari 74 ribu ha, 16 ha diantaranya menyebabkan
tanaman puso (Kadir, 2009). Permasalahan lain dari usaha intensifikasi dengan
penggunaan pestisida berupa bahan kimia antibakteri adalah betentangan dengan nilai-
nilai pengendalian hama terpadu (PHT) karena meninggalkan residu sehingga
membahayakan ekosistem dan menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia yang
mengkonsumsi.
Usaha untuk mengatasi permasalahan serangan bakteri Xoo selain dengan
penggunaan pestidisida antikapang adalah menggunakan varietas padi yang tahan (Rao
et al., 2003). Vaeritas padi tahan HDB ini berkembang seiring dengan berkembangnya
bioteknologi modern untuk menciptakan tanaman transgenik dengan memanfaatkan

2
gen ketahanan (gen R) beras terhadap Xoo. Gen R untuk Xoo berlimpah dan ada di
beberapa lokus seluruh genom padi karena beberapa duplikasi gen dan transposisi
(Sattari dkk., 2014; Horgan dan Henderson, 2015). Kehadiran beberapa lokus gen
membuat piramida gen dan resistance susun aplikasi diakses dan bermanfaat dalam
pemuliaan untuk ketahanan. Penggunaan varietas tahan ternyata belum memberikan
hasil yang memuaskan karena Xoo mempunyai tingkat keragaman patotip yang tinggi
yang disebabkan oleh faktor lingkungan, varietas yang digunakan dan tingkat
mutabilitas gen yang tinggi (Keller et al., 2000). Hasil penelitian Rahim dkk. (2012)
menunjukkan bahwa dari enam varietas komersial yang diuji di lapangan, belum ada
yang tahan terhadap Xoo, khususnya terhadap patotip IV. Berdasarkan permasalahan
tersebut, maka diperlukan suatu metode pemeliharaan tanaman tomat yang lebih
ekonomis dan lebih ramah lingkungan.
Penggunaan bakteri memiliki peran penting untuk meningkatkan kesuburan
tanah, promosi pertumbuhan tanaman, dan pengendalian kapang patogen untuk
pengembangan pertanian berkelanjutan ramah lingkungan (Gupta dkk., 2015).
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan bakteri mampu
mengendalikan patogen tanaman dengan mekanisme antibiosis dan persaingan nutrisi
sehingga mengurangi pemakaian petisida antibakteri secara berlebihan (Sutariati,
2006). Khaeruni dkk. (2013) menunjukkan bahwa penggunaan bakteri isolat P11a dan
PKLK5 yang diisolasi mampu menginduksi ketahanan tanaman padi IR64 terhadap
penyakit HDB pada skala rumah kasa.
Berdasarkan informasi tersebut, penting dilakukan isolasi dan identifikasi
bakteri akar tomat di persawahan Kabupaten Pasuruan. Isolasi dan identifikasi bakteri
ini penting dilakukan untuk menemukan spesies akteri yang spesifik untuk tanaman
padi lokal yang disertai kemampuan mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh
kapang. Selanjutnya spesies-spesies bakteri tersebut diharapkan akan berguna dalam
usaha membantu meningkatkan ketahanan tumbuhan padi terhadap penyakit yang pada
akhirnya akan mengurangi biaya yang dikeluarkan petani untuk pestisida bakteri
berupa bahan kimia dan mengurangi residu pada lingkungan.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah isolasi bakteri berpotensi pengendali kapang patogen pada
tanaman tomat (Solanum lycoperscium) di Kabupaten Malang?
2. Bagaimanakah uji antogonisme antara bakteri yang diisolasi dengan kapang
patogen?
3. Bagaimanakah identifikasi bakteri berpotensi pengendali kapang patogen pada
tanaman tomat (Solanum lycoperscium) di Kabupaten Malang?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Untuk mengisolasi bakteri berpotensi pengendali kapang patogen pada tanaman
tomat (Solanum lycoperscium) di Kabupaten Malang.
2. Untuk mengetahui kemampuan uji antogonisme antara bakteri yang diisolasi
dengan kapang patogen.
3. Untuk mengidentifikasi bakteri berpotensi pengendali kapang patogen pada
tanaman tomat (Solanum lycoperscium) di Kabupaten Malang.

D. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Secara teoritis
a) Sebagai bahan referensi terkait cara isolasi dan identifikasi bakteri
berpotensi pengendali kapang patogen.
b) Sebagai informasi mengenai bakteri berpotensi pengendali bakteri kapang
patogen yang hidup di persawahan Kabupaten Malang.
c) Sebagai bahan referensi terkait pengembangan pestisida antikapang organik
untuk mengendalikan penyakit pada tanaman tomat.
2. Secara praktis

4
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengurangi mengurangi biaya yang
dikeluarkan petani untuk membeli pestisida antikapang.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengurangi residu pestisida
antikapang pada lingkungan sehingga lebih ramah lingkungan dan menekan
bahaya bagi kesehatan manusia.
c) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan ketahanan
padi terhadap penyakit yang berdampak pada meningkatnya produktivitas
tomat.

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Mekanisme Penyerangan Kapang Patogen


Aspek penyabaran penyakit terdapat suatu zat yang disebut dengan
inokulum. Inokulum adalah patogen atau bagian patogen yang dapat menyebabkan
infeksi dan terdapat pada bagian individual patogen yang melakukan kontak
dengan tanaman inang. Pada saat inokulum masuk kedalam jaringan tanaman
inang maka proses tersebut dinamakan penetrasi. Sebelum terjadinya penetrasi ini
spora kapang berkecambah dan membentuk tabung kecambah atau memproduksi
bentuk spora yang lain, misalnya zoospora, basidiospora (Waluyo, 2016).
2.1.1. Penyebaran Penyakit Melalui Jamur
Ada beberapa organisme penyebab penyakit tanaman yang dikenal di dunia
pertanian. Masing-masing jenis organisme tersebut mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri baik dalam bentuk, cara hidup (cara menyerang) pada tanaman
sebagai patogen tanaman (George N, 2005).
1. Sifat Umum : Jamur merupakan jenis patogen penyebab penyakit pada tanaman
paling banyak dari pada jenis lain. Jamur mimiliki karakteristik: (a) tidak
mempunyai klorofil, (b) mempunyai inti sel, (c) talus uniseluler/multiseluler,
(d) memperbanyak diri dengan pembelahan sel vegetatif, dan (e) membentuk
spora aseksual, seksual atau keduanya.
2. Jamur termasuk tumbuhan tingkat rendah dan seperti halnya dengan tumbuhan
lainnya jamur mempunyai dua fase dalam siklusnya, yaitu: fase vegetatif dan
fase reproduktif. Struktur vegetatif dari jamur sendiri terdiri dari hifa yang
menyerupai benang-benang panjang. Hifa secara kolektif membentuk miselium
dan panjangnya ada yang sampai beberapa meter. Hifa ada yang beruas dan tak
beruas. Pada hifa yang beruas hifanya terbagi dengan sekat-sekat dan setiap
ruas mengandung satu nucleus atau banyak nucleus.Pada tipe yang tak beruas

6
terdiri dari hifa yang mempunyai banyak nucleus yang tidak dibatasi oleh sekat.
Pada tipe ini dapat pula dijumpai dinding sekat terutama pada hifa yang tua.
Jamur parasit mempunyai hifa yang ektofitik atau endofitik. Miselium yang
ektofitik berada pada permukaan tanaman inang sedangkan miselium yang
endofitik berada didalam jaringan tanaman inang dan dapat tumbuh secara
interseluler (diantara sel) atau intraseluler (masuk kedalam sel). Hifa yang
ektofitik dan interseluler membentuk haustorium ke dalarn sel untuk
memperoleh zat makanan. Bentuk haustorium dapat bulat atau seperti akar.
3. Reproduksi merupakan cara memperbanyak diri jamur yang terbagi dalam 3
macam, yaitu: 1) Setiap potongan talus mempunyai kemampuan untuk tumbuh
menjadi talus baru jika berada dalam keadaan lingkungan yang memungkinkan,
2) Reproduksi dengan spora yang dibentuk secara aseksual, 3) Reproduksi
dengan spora yang dibentuk secara seksual.
a. Reproduksi spora aseksual: spora aseksual jamur terdiri dari berbagai bentuk
dan cara pembentukannya ada berbagai macam zoospora. Bentuk dalam
kantung spora (sporangium), sporangiospora mempunyai flagela atau bulu
cambuk sehingga mampu untuk bergerak. Pembentukan sporangium ini
terjadi pada ujung hifa dengan jalan mengadakan pembengkakan.
1) Sporangiospora: Spora dibentuk didalam sporangium. Pembentukan
sporangium terjadi pada sporangiospora (tangkai sporangium) yang
ujungnya rnasuk agak kesebelah dalam sporangium dan disebut
kolumela.
2) Konidium: Spora yang dibentuk dalam ujung hifa khusus yang disebut
konidiospore. Spora tersebut dibentuk oleh hifa dengan cara segmentasi.
Jika tidak terlihat banyak perbedaan antara bentuk spora dan struktur
hifa, yang membentuknya, disebut oidium. Konidium dapat pula terjadi
pada sporangium yang berspora tunggal. Bentuk dan warna konidium.
beraneka ragam, ada yang bersel satu ada pula yang bersel banyak,
begitu pula ada yang berwarna gelap dan ada pula yang berwarna
bening.

7
3) Klamidospora: Bagian hifa yang membengkak berdinding tebal, bulat
dan dapat terpisah sebagai sel resisten yang dibentuk dari sel-sel tertentu
dari hifa, atau spora dan tidak mempunyai tangkai spora khusus.
Klamidospora dibentuk diujung atau ditengah hifa atau spora biasa.
b. Reproduksi seksual, spora yang dibentuk secara seksual mempunyai nama
yang berbeda antara lain:
1) Oospora : merupakan hasil percampuran antara anteridium dan
oogonium dimana sel jantan menyatu dengan inti oogonium
2) Zigospora : merupakan hasil percampuran menyeluruh antara dua
gametangium
3) Askospora : terbentuk dalam askus sebagai hasil percampuran antara
nukleus dalam sel induk askus yang masing-masing berasal dari
askogonium dan anteridium
4) Basidiospora : merupakan spora seksual pada Basidiomycetes yang
terbentuk dalam basidium melalui sterigma
5) Teliospora : merupakan spora yang terdapat pada Uredinales

2.1.2. Nutrisi untuk Jamur


(Jawetz, 2013) Jamur tidak mempunyai perakaran maupun klorofil,
sehingga tidak mampu membuat makanannya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan
akan nutrisinya maka jamur membutuhkan organisme lain. Kebanyakan jamur
bersifat saprofit, parasit obligat, parasit fakultatif. Kebanyakan jamur parasit hanya
dapat hidup pada tanaman dari genus, species atau kultivar tertentu saja, sehingga
masing-masing jamur parasit biasanya hanya menyerang tanaman tertentu saja.

2.1.3. Peristiwa Infeksi


Jamur penyebab penyakit tanaman dapat menyerap zat makanan yang
diperlukan jika sudah terjadi infeksi pada jaringan tanaman. Usaha patogen
menyerang tanaman hingga terjadinya penyakit pada tanaman dapat dibedakan 3
macam stadium yaitu, pra-penetrasi, penetrasi dan pasca-penetrasi (Damayanti,
2009).

8
Djafaruddin (2000) menjelaskan pada stadium pra-penetrasi hifa jamur
atau spora mengadakan kontak pada permukaan tanaman inang. Spora jamur akan
berkecambah atau akan terjadi pertumbuhan hifa jamur. Pada stadium ini tidak
akan berlangsung sempurna, jika keadaan lingkungan tidak menunjang terjadinya
pertumbuhan hifa atau perkecambahan spora. Seperti kelembaban yang tinggi.
Pada stadium penetrasi maka hifa jamur patogen memasuki tanaman inang dengan
berbagai cara:
1. Melalui luka yang disebabkan oleh kerusakan mekanis atau serangga atau
binatang lainnya serta oleh alat-alat pertanian yang digunakan petani saat
perawatan tanaman.
2. Melalui lubang alami seperti stomata atau mulut daun dan sebagainya
3. Melalui sobekan yang terjadi pada bagian permukaan tanaman yang
disebabkan oleh pertumbuhan organ-organ tertentu seperti akar
4. Penetrasi langsung karena adanya tekanan mekanis oleh hifa jamur, reaksi
kimia atau keduanya.
Masuknya hifa ke dalam tanaman masih tergantung kepada keadaan
lingkungan luar seperti kelembaban, suhu udara dll, tetapi sesudah berada di dalam
jaringan tanaman maka keadaan fisiologi tanaman sangat menentukan sekali. Jika
keadaan fisiologi tanaman tidak sesuai, maka hifa jamur akan tumbuh ke sel yang
paling dekat dan masuk kedalam sel atau akan membentuk haustorium. Dengan
cara demikian jamur akan mengabsorspsi zat makanan yang berada dalam
protoplasma sel tanaman.
Selain merugikan tanaman karena pengambilan zat makanan dari sel
tanaman, maka jamur dapat mengganggu aktivitas tanaman inang dengan berbagai
cara seperti mengeluarkan enzirn pektinolitik atau selulolitik yang masing-masing
dapat menguraikan zat pektin atau selulose. Selain itu jamur tersebut dapat
mengeluarkan toksin yang disebarkan ke berbagai bagian tanaman lainnya dan
menimbulkan kerusakan pada jaringan tanaman. adanya berbagai gangguan
tersebut maka akan rnengganggu pertumbuhan tanaman sehingga akan timbul
gejala penyakit. Jamur akan melanjutkan pertumbuhan dan membentuk spora

9
untuk memperbanyak diri. Spora akan dilepaskan melalui permukaan tanaman
untuk disebarkan. Proses seperti di atas akan berlangsung terus menerus.

2.1.4. Penyebaran
Jawetz (2013) Penyebaran jamur ini dapat terjadi dengan berbagai cara.
Pembentukan spora aseksual, merupakan cara cepat dalam melakukan
perbanyakan dan penyebaran, sedangkan pembentukan tubuh buah di mana
terdapat spora seksual dapat membantu jamur untuk dapat bertahan hidup dalam
keadaan lingkungan yang kurang baik. Spora aseksual dibentuk dalam jumlah
yang banyak dan disebarkan dengan mudah oleh angin, air atau serangga, tanah,
alat pertanian, binatang dan sebagainya. Spora seksual seperti askospora harus
dilepas dahulu dari askus dan tubuh buahnya dan kemudian baru terbawa oleh
aliran air atau udara.
Betdasarkan Jawetz (2013) jamur patogen tanah dapat memperbanyak diri
dalam tanah dan penyebarannya juga dilakukan dalam tanah antara lain dengan
kontak antara akar tanaman, pada waktu pengolahan tanah, tanah yang
mengandung patogen terbawa oleh air, angin atau melekat pada umbi atau bahan
tanaman lainnya. Dengan terbawanya patogen oleh bahan tanaman, maka
penyebaran patogen dapat terjadi dalam jarak jauh. Beberapa agen penyebar yang
biasa menyebarkan patogen yaitu:
1. Biji
Biji yang dipakai untuk benih dapat mengandung patogen dan dapat
terbawa ketempat jauh.
2. Angin
Angin memegang peranan penting dalam menyebarkan spora dari satu
tanaman ke tanaman lain atau dari satu daerah kedaerah lain. Banyak patogen
mempertahankan diri di tempat-tempat terpencil dan dengan bantuan angin
dapat menginfeksi pertanaman secara luas di tempat lain.
3. Air
Dengan air yang mengalir dapat menyebarkan tanah yang mengandung
patogen jamur sehingga seluruh kebun atau dikebun yang berdekatan dapat

10
terkontaminasi. Percikan air hujan pada bagian tanaman yang mengandung
spora dapat menyebarkan spora kebagian tanaman sebelah atasnya atau
ketanaman yang berada disebelahnya.
4. Serangga.
Serangga yang merupakan hama bagi tanaman dapat sekaligus menjadi
vektor bagi jamur patogen yang kebetulan menyerang tanaman yang sama dan
disebarkan ke tempat lain.
5. Manusia
Manusia dengan tidak sadar dapat menyebarkan bagian jamur yang
patogenik dari satu tanaman ketanaman lain dengan alat-alat pertanian atau
benih tanaman yang terinfeksi.
6. Bagian tanaman
Bagian tanaman yang sudah terserang penyakit dapat menyebarkan atau
menularkan patogen ke tanaman lain yang masih sehat yang berdekatan atau
bersinggungan.

2.2. Karakteristik Tanaman Tomat yang Terserang Kapang Patogen


Terdapat 5 (lima) jenis tanaman sayuran yang memberikan kontribusi
produksi terbesar terhadap total produksi sayuran di Indonesia, yaitu: kol/kubis
(12,05%), kentang (11,31%), bawang merah (10,35%), cabai besar (9,02%) dan
tomat (7,69%). Sedangkan sisanya (20 jenis sayuran lainnya) persentase
produksinya masing-masing kurang dari tujuh persen. Pusat produksi tomat di
Indonesia adalah Pulau Jawa dengan total produksi sebesar 434.202 ton atau
sekitar 47,40 persen dari total produksi tomat nasional. Adapun provinsi penghasil
tomat terbesar adalah Jawa Barat dengan produksi sebesar 304.687 ton 33,26
persen dari total produksi tomat nasional, diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah
(Direktorat Jenderal Holtikultura, 2015).
Tanaman tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sangat
berpotensi untuk dikembangkan, karena tanaman tomat mempunyai nilai ekonomi
yang cukup tinggi dan potensi ekspor yang besar (Rahayuniati, 2009).

11
Tomat memiliki nama ilmiah yaitu Lycopersicon esculentum memiliki
nama daerah terong kaluwat (Sumatera), tomat, ranti (Jawa), kemantes (Sulawesi);
dan nama asing tomato (Inggris) dan tomate (Jerman). Tomat termasuk genus
Lycopersicon dari keluarga Solanaceae (Masfufah, 2012). Purwati dan Khairunisa
(2007 dalam Masfufah 2012) menyatakan bahwa tomat merupakan tanaman
sayuran yang sudah dibudidayakan sejak ratusan tahun silam, tetapi belum
diketahui dengan pasti kapan awal penyebarannya. Jika ditinjau dari sejarahnya,
tanaman tomat berasal dari Amerika, yaitu daerah Andean yang merupakan bagian
dari negara Bolivia, Cili, Kolombia, Ekuador, dan Peru. Semula di negara asalnya,
tanaman tomat hanya dikenal sebagai tanaman gulma. Namun, seiring dengan
perkembangan waktu, tomat mulai ditanam, baik di lapangan maupun di
pekarangan rumah, sebagai tanaman yang dibudidayakan atau tanaman yang
dikonsumsi.
Berikut adalah klasifikasi Tomat (Lycopersicon esculentum) berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Solanales
Family : Solanaceae
Genus : Lycopersicon
Species : Lycopersicon esculentum
(Sumber: www.plantamor.com, 2017)

Tanaman tomat memiliki habitus berupa herba yang hidup tegak atau
bersandar pada tanaman lain, berbau kuat, tinggi 30-90 cm. Batang berbentuk
bulat, kasar, memiliki trikhoma, rapuh, dan sedikit memiliki percabangan. Daun
majemuk menyirip gasal berselang-seling dan memiliki trikhoma pada helaian dan
tangkai daunnya. Bunga pada tanaman tomat berkelamin dua (hermaprodit),
kelopaknya berjumlah 5 buah dengan warna hijau dan memiliki trikhoma,

12
sedangkan mahkotanya yang berjumlah 5 buah berwarna kuning. Alat kelaminnya
terdiri atas benang sari dan putik. Buah tomat merupakan buah tunggal dan
merupakan buah buni dengan daging buah lunak agak keras, berwarna merah
apabila sudah matang, mengandung banyak air dengan kulit buah yang sangat tipis
(Masfufah, 2012).

Gambar 1 Morfologi tomat.

Budidaya tomat sering mengalami kerugian karena adanya penyakit layu


yang dapat disebabkan oleh kapang maupun bakteri. Penyakit yang umumnya
menyerang tanaman tomat adalah penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium
oxysporum f. sp. lycopersici. Penyakit tersebut mengakibatkan kerugian yang
besar dan mengganggu kesehatan manusia karena mikotoksin yang dihasilkan.
Solusi yang tepat dan aman untuk pengendaliannya adalah menerapkan
pengendalian hayati dengan menggunakan kapang antagonis. Antagonis alami dari
pathogen tanaman dapat dimanfaatkan untuk mengeliminasi penyakit dan
melindungi tanaman. Beberapa jenis kapang seperti Penicillium, Aspergillus,
Trichoderma, dan Gliocladium telah terbukti mampu menekan penyakit layu
Fusarium. Serangan penyakit layu Fusarium masih tergolong tinggi dan kapang
tanah memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga terus diperlukan eksplorasi

13
kapang antagonis dan pengujian potensinya untuk mengatasi penyakit tersebut
(Mawardika, 2015).

Kapang yang menempati tanah rizosfer tanaman memiliki pola interaksi


dengan akar tanaman dapat bersifat mutualisme, komensalisme, saprofit, dan
parasit. Mutualisme, kapang dapat memberi manfaat kepada tanaman inang antara
lain berupa peningkatan laju pertumbuhan , ketahanan terhadap serangan hama,
penyakit dan kekeringan. Hubungan yang erat antar keduanya juga memungkinkan
adanya transfer materi genetika diantara keduanya (Tanaka 1999 dalam Kristiana
2015). Saprofit, kapang berperan dalam merombak senyawa kompleks di alam.
Adanya struktur filament menyebabkan kapang dapat menembus substrat dengan
menggunakan hifanya. Kapang memiliki kemampuan enzimatik tinggi dalam
mendekomposisi senyawa organic seperti senyawa lignin dan sellulosa (Cromack
& Caldwell, 1992 dalam Kristiana 2015).
Keberadaan kapang berperan besar dalam menjaga kelangsungan daur
berbagai materi khususnya karbon, nitrogen, dan fosfor ( Hobbie et al, 2003 dalam
Kristiana). Oleh sebab itu kapang secara langsung berperan dalam menjaga tingkat
kesuburan dan keseimbangan ekosistem tanah. Tanaman tomat yang merupakan
salah satu tanaman inang dari kapang, juga memberikan kontribusi bagi
keberlangsungan kehidupan kapang pada system perakarannya. Akar
mengeluarkan eksudat ke daerah perakaran yang dapat digunakan oleh kapang
untuk melakukan metabolisme hidupnya. Namun juga tidak menutup
kemungkinan eksudat akar ini juga menghambat pertumbuhan kapang tertentu
yang mungkin juga menjadi pengganggu bagi tanaman itu sendiri. Eksudat yang
dikeluarkan akar tanaman tomat yaitu : - Alanin, Asam Glutamat, Asam Aspartat,
Sistin, Glisin dan Tirosin (Rao 1994). Interaksi antara kapang dengan tanaman
tomat ini tentu saja mempengaruhi keanekagaraman kapang pada daerah perakaran
(Kristiana, 2015).
Hasil pengamatan gejala penyakit yang dilakukan oleh Syam (2014)
menunjukkan bahwa tanaman tomat yang terinfeksi penyebab penyakit layu
Fusarium menunjukkan gejala pemucatan atau klorosis pada daun, diikuti dengan

14
terkulainya tangkai daun yang lebih tua dan sebelum tanaman layu biasanya daun
tanaman berubah warna menjadi kuning. Gejala layu seperti ini, sama dengan yang
ditimbulkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp lycopercisi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Semangun (1994) dari variasi gejala yang terlihat tanaman yang
layu dan terus menguning dari tangkai hingga daun tanaman yang terserang.

A B

Gambar 2. A. Tanaman tomat yang sehat, B. Tanaman tomat yang mengaami gejala
layu Fusarium, C. Gejala khas layu Fusarium pada batang tomat yang dipotong
secara melintang.

Pada gambar 2A merupakan tanaman tomat yang sehat, gejala penyakit


layu fusarium pada tanaman tomat dapat dilihat pada gambar 2B dimana tanaman
terlihat layu dan menguning, pada gambar 2C merupakan potongan dari batang

15
tomat yang terinfeksi layu fusarium dan akan terlihat berkas pembuluh yang
berwarna cokelat yang merupakan gejala khas dari layu fusarium. (Syam, 2014).
Gangguan penyakit yang disebabkan oleh cendawan merupakan ancaman
yang selalu ada dalam setiap penanaman. Penyakit-penyakit yang menyebabkan
kerusakan baik pada akar, batang, daun, bunga dan buah dapat disebabkan oleh
cendawan patogen. Phytopthora cactorum teridentifikasi sebagai cendawan
patogen y ang menyebabkan busuk pada buah strauberi dan buah tanaman tomat.
Penyakit embun berbulu yang menyerang tanaman jagung dan tomat disebabkan
oleh Peronospora dengan gejala berupa bercak klorosis di antara tulang daun,
mirip gejala kekurangan hara. Selanjutnya warna bercak berubah menjadi ungu
dan tekstur daun seperti kertas (Ata, 2016).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ata (tanpa tahun) Gejala penyakit
yang menyerang batang tanaman tomat yaitu pada bagian batang yang dekat
dengan tangkai daun dan tangkai buah tampak berwarna hijau kekuningan, bagian
tengah batang tampak kecil dengan tekstur berwarna hitam kecoklatan. Selain itu
gejala lainya penyebab busuk pada batang tomat yaitu tekstur batang berbintik-
bintik hitam kecoklatan, dan dibagian bawahnya tampak miselia berwarna putih.
Gejala penyakit yang ditemukan pada buah tomat yaitu, dengan
menimbulkan gejala berupa buah membusuk dengan tekstur dibagian kulit buah
yang terletak dekat dengan tandan berwarna hitam dan dibagian pinggiran agak
kecoklatan, disebelah kanannya terdapat bulatan miselia berwarna putih seperti
tepung gejala ini terdapat pada buah tomat yang tua. Gejala lain yang ditemukan
yaitu miselia tampak meluas, berwarna putih dan terdapat bintik-bintik hitam
gejala terdapat pada buah yang telah matang (Ata, 2016).

2.3. Anatagonisme Bakteri Terhadap Kapang Patogen


Waluyo (2016) menyatakan bahwa Antagonisme menyatakan hubungan
yang berlawanan, dapat juga dikatakan sebagai hubungan asosial. Spesies yang
satu menghasilkan sesuatu yang meracuni spesies yang lain, sehingga
pertumbuhan spesies yang terakhir terganggu.

16
Odum (1975) menggunakan istilah amensialisme, biasa juga disebut
dengan simbiosis. Spesies yang terhambat pertumbuhannya yang disebut
eksternal, sedangkan spesies yang menghambat pertumbuhan adalah antagonis.
Pada penelitian Nandang Suharma (2003) menyatakan bahwa alternatif
yang semakin populer saat ini adalah pemanfaatan mikroba antagonis sebagai agen
pengendali hayati pada P. Capsici. Keuntungan yang dapat diperoleh dari
penggunaan mikroba antagonis antara Iain tidak menimbulkan dampak seperti
yang ditimbulkan fungisida kimia. Trichoderma dan Pseudomonas adalah
mikroba-mikroba yang sering kali dikaji pemanfaatannya dalam pengendalian
hayati jamur patogen tanaman. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan
pengujian kapasitas antagonisme tiga isolat Trichoderma harzianum yang
diperoleh dari tanah Papua, satu isolat Pseudomonas sp. GH1 dari tanah hutan
Gunung Halimun dan dua isolat Penicillium sp. terhadap jamur patogen tersebut.
Trichoderma harzianum digunakan sebagai salah satu jenis jamur yang
diuji, karena jenis ini pula diketahui yang paling potensial di antara jenis-jenis
Trichoderma lain sebagai agen pengendali hayati jamur-jamur patogen tanaman,
seperti Rhizoctonia solani, Fusarium sp., Sclerotium rolfsii dan Phytium sp.
(Domsch et al dalam Suharma, 2003).
Pada penelitian Suharma dan Nurhidayat (2001) telah membuktikan tiga
isolat T. Harzianum dan isolat Pseudomonas sp. GH1 pada penelitian sebelumnya
menunjukkan kemampuannya dalam menekan pertumbuhan tujuh jenis Fusarium.
Adanya interaksi antar mikroba antagonis untuk mengetahui strategi penerapan
yang dilakukan adalah efektif.
Pada penelitian Mawardika dan Suharjono (2015) menyatakan bahwa
antagonis alami dari patogen tanaman dapat dimanfaatkan untuk mengeliminasi
penyakit dan melindungi tanaman. Beberapa jenis antagonis seperti Penicilliu,
Aspergillus, Trichoderma, dan Gliocladium telah terbukti mampu menekan
penyakit layu Fusarium. Serangan penyakit layu karena Fusarium masih tergolong
tinggi dan kapang tanah memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga diperlukan
eksplorasi mikroba antagonis dan pengujian potensi untuk mengatasi penyakit
tanaman.

17
Pada mulanya dilakukan isolasi kapang patogen pada tanaman dan kapang
tanah, kemudian dilakukannya skrining kandidat mikroba antagonis, dan
kemudian dilakukan uji antagonis pada mikroba Mawardika dan Suharjono
(2015).

18
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan
rancangan acak kelompok (RAK). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Kelompok karena satuan percobaan yang digunakan bersifat heterogen yang berasal
dari 3 lokasi yang berbeda sehingga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi
respon di luar faktor yang sedang diteliti.
Kegiatan penelitian ini dimulai dari observasi lapangan yang dilanjutkan
pengambilan sampel tanah dari tiga kecamatan di kabupaten Malang. Selanjutnya
sampel tanah tersebut diuji di dalam laboratorium Mikrobiologi, fakultas matematika
dan ilmu pengetahuan alam, Universitas Negeri Malang. Penelitian ini akan
dilaksanakan mulai bulan oktober hinggan November 2017.

3.1.1. Alat dan Bahan


Alat dan Bahan pada penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan tahapan
proses pada setiap bagian pelaksanaan penelitian ini. Berikut adalah alat dan bahan
pada masing-masing tahapan tersebut.
a. Pengambilan Sampel
No Alat Bahan
1 Botol Sampel steril Tanah dari lahan normal
2 pH meter tanah Tanah dari lahan terjangkit kapang
3 Higrometer tanah Alumunium foil
4 Termometer tanah Kertas label
5 Spatula steril
6 Ice box

b. Isolasi Bakteri dan Kapang


No Alat Bahan
1 Tabung reaksi Sampel tanah
2 Rak tabung reaksi Tip pipet steril
3 Cawan Petri Medium lempeng PDA

19
4 Needle dan Ose Medium lempeng PCA
5 Lampu Siritus Meidum lempeng NA
6 Erlenmeyer Medium miring NA
7 Vortex Alkohol
8 Mikropipet 10 ml Akuades
9 Mikropipet 5 ml Kapas
10 Mikropipet 1 ml Plastic wrap
11 Alumunium foil

c. Identifikasi Bakteri dan Kapang


No Alat Bahan
1 Kaca benda Medium lempeng CA
2 Pipa U Isolat bakteri
3 Cawan petri Isolat kapang
4 Needle Zat pewarna
5 Mikroskop Kaca penutup

d. Antagonisme Bakteri terhadap Kapang Patogen


No Alat Bahan
1 Cawan petri Biakan kapang pada medium lempeng
2 Bor gabus steril Biakan bakteri pada medium lempeng
3 Pinset steril Plastic wrap
4 Penggaris/Jangka sorong
5 Lampu siritus
6 Needle dan ose

3.1.2. Metode Pelaksanaan


a. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil tanah dekat dengan akar
tumbuhan yang terjangkit dengan kedalaman 1015 cm dibawah permukaan tanah.
Pengambilan sampel ini dilakukan di tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Malang
dengan masing-masing kecamatan akan diambil tiga titik pengambilan sampel. Selain
mengambil tanah sebagai sampel, juga dilakukan beberapa pengukuruan terhadap
tanah, seperti suhu, kelembaban, dan pH tanah, sebagai penguat data dalam analisis.
b. Isolasi Bakteri dan Kapang
Isolasi bakteri dan kapang diawali dengan pengeceran tanah dengan
menggunakan akuades hingga pengenceran 10-9. Kemudian hasil pengenceran tanam
di medium lempeng PDA/PCA dan diinkubasi selama 2436 jam. Dilakukan isolasi
bakteri/kapang dengan menginokulasikan tiap koloni yang berbeda ke dalam medium
miring.

20
c. Identifikasi bakteri dan kapang
Identifikasi pada bakteri dengan pengamatan mikroskop dan dilakukan
serangkaian pengujian, seperti pewarnaan gram, agar diperoleh hasil amatan hingga
tingkat spesies dan mengetahui karakteristik dari bakteri. Untuk kapang, digunakan
teknik micro slide agar diperoleh amatan secara jelas.
d. Uji Antagonisme Bakteri terhadap Kapang Patogen
Uji antagonisme bakteri dan kapang patogen ini dilakukan dengan
penginokulasian bakteri (hasil pengambilan dengan bor gabus) kedalam biakan kapang
patogen pada medium lempeng. Diinkubasikan selama 24-36 jam, kemudian diamati
zona hambat yang terbentu.

3.2 Analisis Data Penelitian


Data hasil uji antagonisme ini yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
analisis varian (ANAVA) tiga jalur dengan menggunakan uji F dan uji beda
berdasarkan Uji Beda Nyata Terkecil dengan taraf 0,05.

21
DAFTAR RUJUKAN

Jawetz, Ernest, J.L. Melnick dan E.A. Adelberg. 1995. Mikrobiologi untuk Profesi
Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Holtikultura. 2015. Statistika Produksi
Holtikultura Tahun 2014. (Online), (http://hortikultura.pertanian.go.id/wp-
content/uploads/2016/02/Statistik-Produksi-2014.pdf), diakses pada tanggal 3
Oktober 2017.

Kristiana, R. 2015. Keragaman Kapang Pada Tanah Rizosfer Tanaman Tomat di


Lahan Pertanian Konvensional. Jurnal Faktor Exacta 8(1): 67-74, 2015 ISSN:
1979-276X.

Mahardika H. 2015. Isolasi dan Uji Antagonis Kapang Tanah terhadap Fusarium
Patogen pada Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) di Lahan
Pertanian Bocek, Jawa Timur. Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 3 | 2015.

Masfufah, A. 2012. Pengaruh Pemberian Pupuk Hayati (Biofertilizer) pada Berbagai


Dosis Pupuk dan Media Tanam yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan
Produktivitas Tanaman Tomat (Lycopersicon Esculentum). Skripsi ADLN
Perpustakaan Universitas Airlangga.

Rahayuniati R.F. 2009. Pengendalian Penyakit Layu Fusarium Tomat: Aplikasi Abu
Bahan Organik dan Jamur Antagonis Control Of Tomato Fusarial Wilt:
Application Of Organic Ash And Antagonistic Fungi. Jurnal Pembangunan
Pedesaan Vol. 9 No. 1, April - Juli 2009: 25.34, ISSN. 1411-9250.

Syam, M.F. 2014. Insidensi Penyakit Layu Fusarium Pada Tanaman Tomat
(Lycopersicum esculentum Mill) di Kecamatan Langowan Barat. Jurusan Hama
dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado
(Online)
(https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/cocos/article/download/5348/4861)
diaskes pada tanggal 2 Oktober 2017.

Ata, H. 2016. Identifikasi Cendawan Patogen pada Tanaman Tomat (Solanum


lycopersicum L). Jurnal Bioedukasi Vol 4, No 2 (2016) ISSN: 2301-4678.
(Online) (https://media.neliti.com/media/publications/89607-ID-identifikasi-
cendawan-patogen-pada-tanaAm.pdf), diakses pada tanggal 3 Oktober 2017.

Damayanti, D. 2009. Jamur Fusarium.


http://sciweb.nybg.org/science2/hcol/fusarium3.asp. Akses 4 Oktober 2017

22
Djafarudin. 2000. Dasar-dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Jakarta: Bumi
Aksara.

Djaya A.A., Mulya R.B., Giyanto, dan Marsiah, 2003. Uji keefektifan
mikroorganisme antagonis dan bahan organik terhadap layu fusarium
(Fusarium oxysporum) pada tanaman tomat. Prosiding Kongres Nasional dan
Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bandung, 6-8 Agustus
2003.

Driesche RG and Bellows JR TS. 1996. Biological Control. Chapman & Hall, ITP an
International Thomson Publishing Company. 538p
Herlina L, Dewi P & Mubarok I, 2004.Efektivitas biofungisida Trichoderma viride
terhadap pertumbuhan tomat. Laporan Penelitian. Semarang: FMIPA UNNES

Freeman, S., A. Zveibil, H. Vintal, and M. Maymon. 2002. Isolation of


nonpathogenic mutants of Fusarium oxysporum f. sp. melonis for biological
control of Fusarium wilt in cucurbits. Phytopathology 92: 164-168.
(oxysporum)

Gilang. 2009. Penyakit layu fusarium pada tomat. http://gilangnetto.blogspot.com/20


09/11/penyakit-layu-fusarium-fusarium.html. diakses 4 Oktober 2017

Mawardika, H., Suharjono. 2015. Isolasi dan Uji Antagonis Kapang Tanah terhadap
Fusarium Patogen pada Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) di
Lahan Pertanian Bocek, Jawa Timur. Jurnal Biotropika. Vol 3 No 3.

Suharna, N. 2003. Interaksiantara Trichoderma harzianum, Penicillium sp., dan


Pseudomonas sp. serta kapasitas antagonismenya terhadap Phytophthora capsicin
in Vitro. Jurnal Berita Biologi. Vol 6 Nomor 6

Tortora, Gerard J., 2016. Microbiology An Introduction Twelfth Edition. Pearson

Waluyo, Lud. 2016. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM PressVolk

23

Anda mungkin juga menyukai