OLEH :
NI WAYAN NOVIYANTI
(0902105020)
OLEH:
1202106046
2016
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. PENGERTIAN
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau yang sering disebut dengan Chronic Kidney
Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal menahun yang bersifat progresif dan
irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer, 2002).
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang
terjadi dalam waktu tiga bulan atau lebih yang dimanifestasikan melalui kerusakan ginjal
dengan atau tanpa penurunan Glomerulous Filtration Rate (GFR), baik karena kelainan
patologis atau adanya tanda kerusakan ginjal, seperti abnormalitas pada hasil pencitraan
dan komposisi darah atau urine, serta nilai GFR yang kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2
dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI), 2002 dalam Eknoyan, 2006).
3. ETIOLOGI/FAKTOR PREDISPOSISI
Penyebab penyakit ginjal kronik yang sering ditemukan dapat dibagi menjadi
delapan kelas, sebagai berikut (Silvia & Price, 2006):
1) Infeksi/peradangan, misal pielonefritis kronik, glomerulonefritis.
2) Penyakit vaskuler hipertensif, misal nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteria renalis.
3) Gangguan jaringan penyambung, misal lupus eritematosus sistemik, poliartritis
nodusa, sklerosis sistemik progresif.
4) Gangguan kongenital dan herediter, misal penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal.
5) Penyakit metabolik, misal diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
6) Nefropati toksik, misal penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal.
7) Nefropati obstruktif, misal saluran kemih bagian atas seperti kalkuli, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal; dan saluran kemih bagian bawah seperti hipertrofi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
8) Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolitiasis.
Ada beberapa faktor risiko penyakit ginjal kronik, antara lain pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi CKD terbanyak yaitu
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%), dan ginjal polikistik
(10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya
tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu
pada glomerulus.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005), diabetes
mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
90 mmHg Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medulla.
4. PATOFISIOLOGI
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit
primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme
adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada
penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah
adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang
disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan
kerusakan nefron yang lebih lanjut (Noer, 2006).
Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi
dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, terjadi peningkatan
percepatan filtrasi, beban solute, dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron yang terdapat
dalam ginjal turun di bawah normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal
yang rendah. Namun akhirnya bila 75% massa nefron telah hancur, maka kecepatan
filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi, sehingga keseimbangan
glomerolus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi
maupun konsentrasi solute dan air menjadi berkurang.
Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan yang
merupakan mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari
kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada
glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium.
Mekanisme selanjutnya berupa kerusakan progresif, ditandai adanya hiperfiltrasi dan
hipertrofi nefron yang tersisa yang diikuti dengan penurunan massa ginjal terlepas dari
penyebab yang mendasarinya. Respon dari pengurangan jumlah nefron diikuti dengan
vasoaktif hormon, sitokin dan faktor pertumbuhan. Akhirnya, adaptasi jangka pendek dari
hipertropi dan hiperfiltrasi menjadi maladaptasi berupa peningkatan tekanan dan aliran
pada nefron sehingga sebagai predisposis munculnya sklerosis dan pengurangan jumlah
nefron yang tersisa. Peningkatan aktivitas dasar renin-angiotensin-aldosteron di intrarenal
ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas
tersebut. Selanjutnya aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian menstimulasi
perubahan growth factor . Proses ini menjelaskan tentang penurunan massa ginjal dari
penyakit di tempat yang kecil di dalam tubuh yang dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal secara progresif selama bertahun-tahun (Skorecki & Bargman, 2010 dalam
Jameson dan Loscalzo, 2010).
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal, sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh, sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai dari nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi, yang berakibat diuresis osmotik
disertai poliuri dan haus. Selanjutnya, karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak, oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala
pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-
kira fungsi ginjal telah hilang 80-90%. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis
(Smeltzer, 2002).
Dalam perjalanan klinis CKD, dapat terjadi:
a. Penurunan GFR
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan
klirens kreatinin. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan menurun,
kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat.
Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena
substansi ini diproduksi secara konsisten oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi
oleh penyakit renal tetapi juga oleh masukan protein dalam diet dan medikasi seperti
steroid.
b. Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah
yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Produk akhir metabolisme protein yang
normalnya dieksresikan ke dalam urine tertimbun dalam darah, sehingga terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
c. Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin
secara normal. Terjadi penahanan cairan dan natrium; meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat
aktifitas renin angiotensin aldosteron.
d. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
terjadi perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Dengan menurunnya GFR, maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan memicu
sekresi parathormon, akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan
pada tulang dan penyakit tulang (penyakit tulang uremik/osteodistopirenal). Selain
itu, metabolisme aktif vitamin D yang secara normal dibuat ginjal menurun seiring
dengan berkembangnya gagal ginjal.
f. Penyakit tulang uremik (osteodistrofi)
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
(Smeltzer, 2002)
5. KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD menurut NKF (National Kidney Foundation) adalah sebagai berikut:
1. Stadium I: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (90 mL/menit/1,73
m2 )
2. Stadium II: Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan (60-89 mL/menit/1,73 m2)
3. Stadium III: GFR menurun sedang (30-59 mL/menit/1,73 m2)
4. Stadium IV: GFR menurun berat (15-29 mL/menit/1,73 m2)
5. Stadium V: Gagal ginjal (GFR 15 mL/menit/1,73 m2 atau dialisis)
6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Suwitra (2007) dalam Wibowo (2010), pada keadaan stadium satu, GFR
masih normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Saat
GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.
Pada GFR di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium (Wibowo, 2010).
Pada GFR dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal (Wibowo, 2010).
7. PEMERIKSAAN FISIK
a. Inspeksi
- Konjungtiva anemis
- Mata nistagmus, miosis, pupil asimetris
- Kulit tampak kering, bersisik, mengkilat, ekimosis
- Kuku tipis dan rapuh
- Edema tungkai
- Pembesaran vena jugularis
- Edema periorbital
- Nafas dangkal
b. Palpasi
- Pitting edema
- Distensi vena jugularis
- Kulit teraba kering dan bersisik
- Kekuatan otot menurun
c. Auskultasi
- Krekels pada paru
- Friction rub pericardial
- Disritmia jantung
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Urin
- Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat, atau urat sedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
- Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria).
- Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
- Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular
dan rasio urin: serum sering 1:1.
- Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
- Klirens kreatinin: mungkin agak menurun.
- Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
b. Darah
- Ht: menurun karena adanya anemia.
- Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl.
- BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.
- SDM: menurun, defisiensi eritropoetin.
- GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2.
- Protein (albumin): menurun.
- Natrium serum: rendah.
- Kalium: meningkat.
- Magnesium: meningkat.
- Kalsium: menurun.
c. Ultrasonografi Ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
d. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria, dan pengangkatan tumor
selektif.
e. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologis.
f. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,
aritmia, hipertrofi ventrikel, dan tanda-tanda perikarditis.
(Doenges, 2000: 628- 629)
9. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit ginjal kronik dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya gejala-gejala sistemik seperti gangguan
pada sistem gastrointestinal, kulit, hematologi, saraf dan otot, endokrin, dan sistem
lainnya. Pada anamnesis diperlukan data tentang riwayat penyakit pasien, juga data yang
menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang bertahap.
Pendekatan diagnosis penyakit ginjal kronik (CKD) mempunyai sasaran sebagai berikut:
a. Memastikan adanya penurunan fungsi ginjal (GFR)
b. Mengidentifikasi etiologi CKD yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk fungsi ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi
e. Prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).
10. PENATALAKSANAAN
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya fungsi ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Diet
Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala
anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan uremia, menyebabkan
penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan berlebih dari kalium dan
garam.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat dengan
tujuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi, dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg%, kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine,
dan pencatatan keseimbangan cairan.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari GFR
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simptomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
Selain itu, hindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari),
diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium
(misalnya, penghambat ACE dan obat antiinflamasi nonsteroid), asidosis berat,
atau kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut
dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar kalium plasma dan EKG.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kontrol hipertensi
Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan
diatur tersendiri tanpa tergantung tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop,
selain obat antihipertensi.
Gambar 4. CAPD
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
b. Kualitas hidup normal kembali.
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama.
d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
11. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang
telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu
pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi
ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik, dan pengendalian berat badan (National Kidney Foundation,
2009).
12. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul akibat penyakit ginjal kronis, antara lain:
1) Hiperkalemia
2) Perikarditis
3) Hipertensi
4) Gagal jantung kongestif
5) Anemia
6) Koagulopati
7) Asidosis metabolik
8) Osteodistropi ginjal
9) Neuropati perifer
10) Osteitis fibrosa sistika
11) Oedem Pulmo
13. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ginjal kronis kurang baik, akibat terjadi komplikasi penyakit.
Faktor prognosis yang mempengaruhi meliputi komplikasi penyakit anemia, asidosis
metabolik, hiperkalemia, tekanan darah yang cenderung tidak normal, edema, edema
paru, fluktuasi berat badan, penyakit dasar batu ginjal, glomerulonefretis, hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit dasar yang lainnya. Faktor umur, jenis kelamin dan
frekuensi hemodialisis juga perlu dipertimbangkan sebagai penyebab kematian.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1) Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif
atau GCS, dan respon verbal klien.
2) Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
1. Tekanan darah: pada CKD, tekanan darah biasanya meningkat akibat retensi
natrium ( TD >120/80 mmHg).
2. Pulse rate: biasanya meningkat jika ada awitan nyeri yang dirasakan
(>100x/menit), namun bisa melemah jika terjadi kelainan kardiovaskuler
(<60x/mnt)
3. Respiratory rate: bisa meningkat (di atas 20x/menit) apabila terjadi komplikasi
pada paru, seperti edema paru.
4. Suhu: biasanya normal (36-37,5C), dapat terjadi peningkatan suhu yang
mengindikasikan terjadinya infeksi.
5) Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
- Konjungtiva anemis
- Mata nistagmus, miosis, pupil asimetris
- Kulit tampak kering, bersisik, mengkilat, ekimosis
- Kuku tipis dan rapuh
- Edema tungkai
- Pembesaran vena jugularis
- Edema periorbital
- Nafas dangkal
b. Palpasi
- Pitting edema
- Distensi vena jugularis
- Kulit teraba kering dan bersisik
- Kekuatan otot menurun
c. Auskultasi
- Krekels pada paru
- Friction rub pericardial
- Disritmia jantung
6) Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Urin
- Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat, atau urat sedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
- Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria).
- Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat.
- Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular
dan rasio urin : serum sering 1:1.
- Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
- Klirens kreatinin: mungkin agak menurun.
- Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
b. Darah
- Ht : menurun karena adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl.
- BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.
- SDM: menurun, defisiensi eritropoetin.
- GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2.
- Protein (albumin) : menurun.
- Natrium serum : rendah.
- Kalium: meningkat.
- Magnesium: meningkat.
- Kalsium: menurun.
c. Ultrasonografi Ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
d. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif.
e. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
f. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,
aritmia, hipertrofi ventrikel, dan tanda-tanda perikarditis.
(Doenges, 2000:628-629)
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN (BERDASARKAN PRIORITAS)
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi ditandai
dengan edema, asupan melebihi haluaran
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor
biologis ditandai dengan mual, muntah
3. Risiko Ketidakefektifan Perfusi Ginjal ditandai dengan penyakit ginjal (gagal ginjal)
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring ditandai dengan menyatakan
merasa letih,lemah
5. Risiko kerusakan integritas kulit ditandai dengan gangguan pigmentasi akibat
penimbunan urokrom dan urea di bawah kulit, gangguan sirkulasi
DAFTAR PUSTAKA
Eknoyan MD, Garabed. 2006. The Global Burden of Chronic Kidney DiseaseChallenges,
Opportunities, and Solutions to Improve Patient Care and Outcomes. Texas : Baylor
Jameson, J.L. & Loscalzo, J. (Eds). 2010. Harrisons : Nephrology and Acid-Base Disorders.
US : The McGraw-Hill Companies.Kader et al. 2009. Symptom Burden, Depression,
and Quality of Life in Chronic and End-Stage Kidney Disease.
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier
Situmorang, EY. 2010. Gambaran Pola Makan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang
Menjalani. Hemodialisa Rawat Jalan Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2009.
Medan : Universitas Sumatera Selatan
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC
Sudoyo, A.W. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD.
Sylvia & Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC