Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makin meningkatnya penggunaan zat warna pada berbagai industri, seperti

pangan dan tekstil, meninggalkan masalah lingkungan yang harus ditanggulangi.

Limbah zat warna yang dibuang cukup mengganggu karena menimbulkan

masalah lingkungan perairan yang pada beberapa kasus konsentrasi zat warna

kurang dari 1 ppm sudah dapat memberi cukup warna. Selain itu, adanya zat

warna dapat menghambat transmisi cahaya matahari sehingga mengurangi

aktivitas fotosintesis, khususnya makhluk hidup yang ada di dasar perairan dan

berubah menjadi racun jika pada perairan tersebut terdapat logam dan klorin.

Masalah ini semakin diperparah karena kebanyakan zat warna secara biologis sulit

untuk diuraikan sehingga zat warna harus disingkirkan atau dikurangi dari

lingkungan perairan.

Adsorpsi merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi pencemaran zat

warna. Langkah awal untuk mendapatkan proses adsorpsi yang efektif adalah

dengan memilih adsorben yang memiliki selektivitas dan kapasitas tinggi serta

dapat digunakan berulang-ulang. Arang aktif telah lama digunakan untuk

menyerap zat warna tetapi karena harganya yang cukup tinggi maka penelitian

beralih ke adsorben yang lebih murah dan dapat dihasilkan dari bahan hasil

buangan. Salah satu hasil buangan yang berpotensi digunakan sebagai adsorben

adalah kitin dan kitosan.

Kitin merupakan biopolimer dan merupakan komponen struktural utama

dari exoskeleton lobster, udang, udang, sotong ikan. Kitosan alami hanya ada
dibeberapa spesies jamur dan dapat diproduksi dengan deasetilasi

kitin dengan solusi alkali pada suhu tinggi kitin dan kitosan adalah bahan

adsorben berpotensi berguna untuk menghilangkan pewarna dari limbah industri

tetapi kitosan lebih aktif adsorben daripada kitin. (F.H.Wattoo, 2011).

Indonesia merupakan negara kelautan yang kaya akan sumber daya lautnya

dan menjadi salah satu negara pengekspor hasil perikanan dan laut terbesar di

dunia. Perikanan memiliki kontribusi terhadap pendapatan domestic bruto (PDB)

yang mengalami peningkatan sebesar 22,86 persen pada tahun 2007 menjadi Rp

93,22 trilium (BPS, 2008).

Indonesia memiliki 170 perusahaan pengolahan kerang dengan total produksi

sekitar 500.000 ton per tahun. Sebanyak 75% dari berat total kerang menjadi

limbah, yaitu bagian cangkang dan kepala (Kelly, 2005). Limbah kerang tersebut

masih belum dimanfaatkan secara optimal. Limbah kerang biasanya digunakan

untuk pakan ternak yang memiliki nilai ekonomis kecil. Teknologi bioadsorben

dapat mengubah limbah udang menjadi bioadsorpsi yang memiliki nilai ekonomis

yang tinggi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari penelitian ini kami merumuskan suatu permasalahan yaitu :

1. Apakah limbah cangkang kerang dapat digunakan sebagai bioadsorbsi

pada limbah industri tekstil?

2. Bagaimana efektivitas karbon aktif kulit durian terhadap pengaruh

waktu kontak, konsentasi aktivator NaOH, dan jumlah massa gram

kitosan digunakan?
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui cangkang kerang sebagai bioadsorbsi pada limbah

industri tekstil.

2. Untuk mengetahui efektivitas karbon aktif kulit durian terhadap

pengaruh waktu kontak, konsentasi aktivator NaOH, dan jumlah

massa gram kitosan digunakan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan cangkang kerang menjadi

bioadsorbsi, menentukan karakteristik bioadsorbsi secara fisik dan kimia yang

dihasilkan. Serta meningkatkan nilai ekonomis limbah cangkang kerang dengan

memanfaatkan kitosan cangkang kerang sebagai bioadsorbsi pada limbah industri

tekstil. Bagi industri tekstil dapat lebih memperhatikan proses penanganan limbah

tekstil sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan yang mengganggu

keseimbangan ekosistem.
BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1 Adsorben

Adsorben banyak digunakan di industri-industri untuk kepentingan

pemurnian suatu campuran. Keefektifan adsorben tergantung pada performa

adsorben dilihat dari kesetimbangan dan kinetika penjerapan suatu adsorbat di

dalam adsorben tersebut. Suatu padatan berpori yang mempunyai kapasitas baik

tetapi kinetika adsorpsinya lambat tidak akan dipilih sebagai adsorben karena

proses adsorpsinya akan berlangsung lama. Sebaliknya, padatan berpori yang

mempunyai kinetika adsorpsi cepat tetapi kapasitas adsorpsinya kecil juga tidak

akan dipilih sebagai adsorbat karena akan dibutuhkan padatan tersebut dalam

jumlah yang besar, sehingga tidak efisien ditinjau dari volume alat atau ruang

yang harus disiapkan. Menurut Do (1998 : 5), adsorben yang baik, harus

memenuhi beberapa persyaratan berikut :

1. Mempunyai luas permukaan atau volume mikro pori yang besar.

2. Mempunyai jaringan pori yang besar untuk perpindahan molekul di

dalam adsorben

2.2 Mekanisme Adsorpsi

Adsorpsi adalah fenomena fisik yang terjadi saat molekul-molekul gas atau

cair dikontakkan dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari molekul-

molekul tadi mengembun pada permukaan padatan tersebut (Suryawan, dalam

Hendra, 2008 : 6). Zat yang terakumulasi pada permukaan disebut adsorbat,

sedangkan material permukaan padatan/cairan disebut adsorben. Proses adsorpsi


berbeda dengan absorpsi, dimana proses absorpsi merupakan reaksi kimia antara

molekul-molekul adsorbat dengan permukaan adsorben.

Molekul-molekul pada adsorben mempunyai gaya dalam keadaan tidak

setimbang dimana gaya kohesi cenderung lebih besar daripada gaya adhesi. Gaya

kohesi adalah gaya tarik-menarik anatar molekul yang sama jenisnya, gaya ini

menyebabkan antara zat yang satu dengan yang lain tidak dapat terikat karena

molekulnya saling tolak-menolak. Gaya adhesi adalah gaya tarik-menarik antara

molekul yang berbeda jenisnya, gaya ini menyebabkan antara zat yang satu

dengan zat yang lainnya dapat terikat dengan baik karena molekulnya saling tarik-

menarik. Ketidaksetimbangan gaya-gaya tersebut menyebabkan adsorben

cenderung menarik zat-zat lain atau gas yang bersentuhan dengan permukaannya,

pada dasarnya proses adsorpsi yang terjadi pada adsorben berlangsung melalui

tiga tahap, yaitu :

1. Perpindahan makro, pergerakan molekul adsorbat melalui system

makropori adsorben.

2. Perpindahan mikro, pergerakan molekul adsorbat melalui sistem

mesopori adsorben

3. Sorption, terikatnya molekul-molekul adsorbat pada permukaan

adsorben pada dinding pori mesopori dan mikropori.

2.3 Jenis - Jenis Adsorpsi

Perwitasari (Hendra, 2008 : 7) mengemukakan bahwa, berdasarkan interaksi

molekuler antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibagi menjadi

dua jenis, yaitu :

1. Adsorpsi Fisik (Physisorption)


Adsorpsi fisik merupakan adsorpsi yang terjadi karena adanya gaya

Van Der Waals, yaitu gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat

dengan permukaan adsorben. Adsorpsi ini terjadi apabila suatu adsorbat

dialirkan pada permukaan adsorben yang bersih. Pada adsorpsi fisik,

adsorbat tidak terikat kuat pada permukaan adsorben sehingga adsorbat

dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke bagian permukaan lainnya,

dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat yang satu dapat

digantikan oleh adsorbat lainnya (multilayer). Adsorpsi fisik memiliki ciri-

ciri berikut ini :

a) Proses adsorpsi terjadi pada ambient dengan temperatur rendah di

bawah temperatur kritis dari adsorbat.

b) Gaya tarik-menarik antar molekul yang terjadi adalah Gaya Van

Der Waals.

c) Proses adsorpsi terjadi tanpa memerlukan energi aktivasi.

d) Panas adsorpsi yang dikeluarkan rendah, H < 20 kJ/mol.

e) Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi fisika dapat diputuskan

dengan mudah, yaitu dengan cara pemanasan pada temperatur

150-200C selama 2-3 jam.

f) Proses adsorpsi reversible.

2. Adsorpsi Kimia (Chemisorption)

Adsorpsi kimia merupakan adsorpsi yang terjadi karena terbentuknya

ikatan kovalen dan ion antara molekul-molekul adsorbat dengan adsorben.

Jenis adsorpsi ini diberi istilah absorpsi (Suryawan, dalam Hendra, 2008 :

8). Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang
terbentuk adalah lapisan monolayer. Adsorpsi kimia memiliki ciri-ciri

berikut ini :

a) Proses adsorpsi terjadi pada ambient dengan temperatur tinggi di

bawah temperatur kritis dari adsorbat.

b) Interaksi adsorbat dan adsorben berupa ikatan kovalen.

c) Proses adsorpsi memerlukan energi aktivasi besar.

d) Panas adsorpsi yang dikeluarkan 50 < H 800 kJ/mol.

e) Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi fisika dapat diputuskan

dengan mudah, yaitu dengan cara pemanasan pada temperatur

150-200C selama 2-3 jam.

f) Proses adsorpsi reversible pada temperatur tinggi.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi

Menurut Suryawan (Hendra, 2008 : 9), jumlah fluida yang teradsorpsi atau

daya adsorpsi pada permukaan adsorben dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini

1. Jenis Adsorbat

a) Ukuran Molekul Adsorbat

Ukuran molekul yang sesuai merupakan hal yang penting agar

proses adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang

diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil

atau sama dengan diameter pori pada adsorben.

b) Kepolaran Zat

Adsorpsi lebih kuat terjadi pada molekul yang lebih polar

dibandingkan dengan molekul yang kurang polar pada kondisi

diameter yang sama. Molekul-molekul yang lebih polar dapat


menggantikan molekul-molekul yang kurang polar yang lebih dulu

teradsorpsi. Pada kondisi dengan diameter yang sama, maka

molekul polar lebih dahulu diadsorpsi.

2. Karakteristik Adsorben

a) Kemurnian Adsorben

Sebagai zat yang digunakan untuk mengadsorpsi, maka

adsorben yang lebih murni memiliki kemampuan adsorpsi yang

lebih baik.

b) Luas Permukaan dan Volume Pori Adsorben

Jumlah molekul adsorbat meningkat dengan bertambahnya

luas permukaan dan volume pori adsorben. Dalam proses adsorpsi

seringkali adsorben diberikan perlakuan awal untuk meningkatkan

luas permukaannya karena luas permukaan adsorben merupakan

salah satu faktor utama yang mempengaruhi proses adsorpsi.

c) Tekanan Adsorbat

Pada adsorpsi fisika, kenaikan tekanan adsorbat dapat menaikan

jumlah yang teradsorpsi. Sebaliknya pada adsorpsi kimia kenaikan

tekanan adsorbat justru akan mengurangi jumlah yang diadsorpsi.

d) Temperatur Absolut

Temperatur absolut adalah temperatur adsorbat. Pada saat molekul-

molekul gas atau adsorbat melekat pada permukaan adsorben, akan

terjadi pembebasan sejumlah energi. Selanjutnya peristiwa adsorpsi ini

dinamakan peristiwa eksotermis. Pada adsorpsi fisika, berkurangnya


temperatur akan menambah jumlah adsorbat yang teradsorpsi dan

demikian pula untuk peristiwa sebaliknya.

e) Waktu Kontak

Bila karbon aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan

waktu untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan

berbanding terbalik dengan jumlah yang digunakan. Waktu yang

dibutuhkan ditentukan oleh dosis karbon aktif, pengadukan juga

mempengaruhi waktu kontak. Pengadukan dimaksudkan untuk

memberi kesempatan pada partikel karbon aktif untuk bersinggungan

dengan senyawa jerapan. Untuk larutan yang mempunyai viskositas

tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama.

2.5 Kitin

Kitin merupakan bahan organik utama terdapat pada kelompok hewan

crustaceae, insekta, fungi, mollusca dan arthropoda. Cangkang kepiting, udang

dan lobster telah lama diketahui sebagai sumber bahan dasar produksi kitin,

karena kandungan kitinnya cukup tinggi. Cangkang kering arthropoda rata-rata

mengandung 20-50% kitin (Suhardi, 1993). Kitin juga diketahui terdapat pada

kulit siput, kepiting, kerang, dan bekicot. Kitin merupakan biopolimer alam

paling melimpah kedua setelah selulosa. Senyawa kitin atau ((1-4)-N-asetil-D-

glukosamin) dapat dipertimbangkan sebagai suatu senyawa turunan selulosa,

dimana gugus hidroksil pada atom C-2 digantikan oleh gugus asetamido

(Kusumaningsih et al. 2004).

Kitin terbentuk dari komponen struktural kulit luar (cangkang) molussca

seperti kepiting dan udang (Lab. Protan, 1987). Khitin banyak ditemukan pada
kulit dan kepala hewan kelompok avertebrata berkulit keras (molussca), serangga

dan beberapa mikroorganisme. Knorr (1984) menyatakan bahwa dari sekian

banyak sumber kitin dan kitosan, hanya kulit udang dan kepiting yang sudah

dimanfaatkan secara komersial.

Kulit udang dan rajungan merupakan limbah pengolahan udang dan

rajungan yang mencapai 50%-60% berat utuh. Kandungan kitin pada limbah

udang dan rajungan sebesar 20%-30% (berat kering). Kitin dapat ditemukan pada

limbah udan dan rajungan masing-masing sebesar 13%-15% dan 14%-17% (berat

kering) tergantung jenis spesies. Kitin dapat juga diekstrasi dari limbah

fermentasi asam strat oleh Aspergillus niger. Dari 40.000 ton limbah industri

dengan menggunakan kapang, mampu menghasilkan 10.000 ton kitin. Kitin

merupakan biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, yang tersusun dari

2000 - 3000 monomer N-asetil-D-glukosamin, monomer-monomer tersebut

tersusun dengan ikatan -1,4. Kitin berbentuk kristal, tidak larut dalam pelarut

biasa, tetapi larut dalam larutan asam kuat (Bastaman, 1989). Kitin mudah

mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam

anorganik encer dan asam-asam aorganik, tetapi larut dalam dimetil

asetamida dan lithium klorida. Sifat lain dari kitin adalah mampu mengikat

logam seperti Fe, Cu, Cd dan Hg, serta mempunyai sifat adsorpsi. Kitin sulit

dicerna oleh tubuh, dapat mengikat racun, kolesterol dan glukosa dalam tubuh

(Ditjen Perikanan, 1989).

Kitin dari kulit molussca tidak terdapat dalam keadaan murni, tetapi

mengandung bahan mineral atau kalsium karbonat dan protein (Blair dan

Ho, 1980). Dalam proses pembuatannya khitin diisolasi atau diekstrak bahan
baku dengan memisahkan mineral (demineralisasi) dan protein (deproteinasi)

Deproteinasi dapat dilakukan sebelum dan sesudah demineralisasi. Deprotainasi

akan dilakukan lebih dulu apabila protein yang terlarut akan dimanfaatkan lebih

lanjut (Knorr,1984). Secara umum larutan NaOH 2-3% dengan suhu 63-65C dan

waktu 1-2 jam dapat mengurangi kadar protein dalam kulit molussca secara

efektif (Bough, 1975; Johnson dan peniston, 1982; Knorr, 1984). Kalsium

karbonat lebih mudah dipisahkan dibandingkan dengan protein, karena hanya

terikat secara fisik. Knorr (1984) menyatakan bahwa HCl dengan konsentrasi

lebih dari 10% secara efektif dapat melarutkan Kalsium klorida dalam kulit

molussca.

Tabel 1. Kandungan khitin dari Beberapa sumber (Naczk dan Shirosi, 1981

dalam Knorr,1984)

Jenis Kandungan

1. Crutacea

Kepiting biru 14a

Kepiting merah 1.3 - 1.8b

Lobster 69.8c
Udang
69.1c

2. Insecta

Kecoak/Lipas 35c

Kumbang 27 35c

Belalang 20c
Ulat sutra
33.7c
Jenis Kandungan

3. Mollusca

Cangkang 6.1

Kulit kerang 3.6

Rangka dalam cumi-cumi 41.0

Keterangan :

a = Berdasarkan berat basah

b = Berdasarkan berat kering

c = Berdasarkan berat bahan organik pada kulit udang

d = Berdasarkan berat kering dari dinding sel

Kitin Berbentuk kristal, tidak larut dalam pelarut biasa tetapi larut dalam

larutan asam kuat. Khitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak

beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer dan asam-asam organic

tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan lithium klorida.

Kitin mempunyai tekstur yang baik, warna yang lebih putih, protein dan

mineral yang tidak terlalu tinggi. Salah satu sifat dari kitin adalah dapat mengikat

ion logam (chelates metal ions) seperti Fe, Cu, Cd, Hg, serta mempunyai sifat

adsorpsi. Kitin sulit dicerna oleh tubuh karena berupa polimer glukosa, namun

dapat mengikat racun dan glukosa di dalam tubuh. Glukosa yang terdapat

pada khitin tidak berubah menjadi glukosa darah sehingga tidak menambah

produksi kolestrol.

2.6 Kitosan

Kitosan adalah suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari

proses deasetilasi khitin dengan menggunakan alkali kuat. Kitosan bersifat


sebagai polimer kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali dengan pH

di atas 6,5. Khitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam

asetat, dan asam sitrat (Rahayu & Purnavita 2007).

Khitosan merupakan produk deasetilasi khitin, yang merupakan polimer

rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksi-glokosa) (Knorr, 1982). Khitosan

dapat larut dalam larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik

lainnya seperti dimetil sulkfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5,

sedangkan pelarut khitosan yang baik adalah asam asetat (Ornum, 1992).

Sedangkan Lab. Protan (1987) menyatakan bahwa khitosan merupakan

poliglukosamin yang dapat larut dalam kebanyakan asam seperti asam asetat,

laktat atau asam-asam organik (adipat, malat), asam mineral seperti HCl, HNO3,

pada konsentrasi 1 % dan mempunyai daya larut terbatas dalam asam posfat dan

tidak larut dalam asam sulfat.

Khitosan mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amina, sehingga

mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi (Johnson dan Peniston, 1975).

Menurut Muzarelli (1985) khitosan akan bermuatan positif dalam larutan karena

adanya gugus amina, tidak seperti polisakarida lainnya yang pada umumnya

bermuatan negatif atau netral.

Khitosan mempunyai potensi untuk digunakan dalam industri dan

kesehatan. Kualitas khitosan tergantung pada penggunaannya, misalnya khitosan

yang digunakan untuk proses pemurnian air limbah tidak membutuhkan bahan

dengan kemurnian yang tinggi, sedangkan jika digunakan untuk obat-obatan,

dibutuhkan khitosan dengan kemurnian yang tinggi (Bastaman, 1989).

2.7 Ekstraksi Khitosan


Kitosan diperoleh dari kitin melalui proses deasetilasi. Ekstraksi kitin dari

kerang dilakukan dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral (demineralisasi) dan

pemisahan protein (deproteinasi) yang dilanjutkan dengan pemutihan.

a. Proses Demineralisasi

Demineralisasi yaitu penghilangan mineral yang terdapat dalam bahan

yang mengandung kitin. Penghilangkan mineral tersebut terutama

kandungan kalsiumnya dilakukan dengan penambahan asam seperti asam

klorida (HCl), asam sulfat (H2SO4), dan asam sulfit (H2SO3). Proses

demineralisasi berdasarkan pada metode ini adalah dengan menggunakan

HCl 1,5 N dengan perbandingan 1:7 (b/v) untuk bahan dan larutan HCl

dengan pemanasan pada suhu 60oC selama 1 jam.

Pemisahan mineral bertujuan untuk menghilangkan senyawa organik

yang ada pada limbah tersebut. Besarnya kandungan mineral yang

dihilangkan, maka akan menghasilkan kitin yang semakin baik. Cangkang

kerang umumnya mengandung 30-50% mineral. Mineral utama yang

terdapat pada udang yaitu kalsium dalam bentuk CaCO3 dan sedikit

Ca3(PO4)2. Senyawa kalsium akan bereaksi dengan HCl menghasilkan

kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut dalam air pada

saat demineralisasi.
Proses demineralisasi menyebabkan terjadinya reaksi kimia antara

asam klorida (HCl) dengan kalsium (CaCO3 dan Ca3(PO4)2), menghasilkan

kalsium klorida yang akan mengendap apabila pH ditingkatkan dan mudah

dipisahkan dengan proses penyaringan.

Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan

mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin

dan disertai pengadukan yang konstan, dengan pengadukan yang konstan

diharapkan dapat menciptakan panas yang homogen sehingga asam yang

digunakan tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang

digunakan (Ferdiansyah 2005).

b. Proses Deproteinasi

Proses deproteinasi bertujuan menghilangkan protein dari limbah

kerang tersebut. Protein ini dapat mencapai 30-40% berat bahan organik

cangkang kerang. Keefektifan proses tersebut bergantung dari kekuatan

larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Penggunaan larutan NaOH

5% dengan pemanasan 60oC selama 1 jam dapat dilakukan sebagai

alternatif deproteinasi dengan perbandingan cangkang kerang yang kering

dan larutan sebesar 1:10. Selama proses, larutan alkali akan masuk ke

celah-celah limbah kerang untuk memutuskan ikatan antara kitin dan

protein. Ion Na+ akan mengikat ujung rantai protein menjadi Na-proteinat

yang selanjutnya dapat dipisahkan kembali dengan menurunkan pH karena

terjadi pengendapan natrium. Produk akhir dari proses demineralisasi dan

deproteinasi tersebut adalah kitin (Ferdiansyah 2005).


c. Proses Deasetilasi

Pembuatan kitosan, dengan cara penghilangan gugus asetil (-COCH3)

(deasetilasi) dari kitin yang dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH

pekat (50%) dengan perbandingan 1:20 selama 1 jam pada suhu 120-140oC.

Suhu yang tinggi (140oC) dan konsentrasi NaOH yang tinggi (50%)

berkaitan dengan ikatan kuat antara atom nitrogen pada gugus amin dengan

gugus asetil. Banyaknya gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka

akan semakin meningkatkan interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari

kitosa. Terjadi reaksi antara NaOH dengan gugus N-asetil pada kitin

(rantai C-2) yang akan menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus asetil

dengan gugus amina (-NH2) selama berlangsungnya proses ini (Ferdiansyah

2005).

2.8 Manfaat Kitin dan Kitosan

Cangkang kerang merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan jika

tidak dimanfaatkan atau diolah. Pengolahan cangkang kerang yang dapat memberi

nilai tambah dapat dilakukan dengan menjadikannya sebagai serbuk, yang

kemudian diolah lebih lanjut menjadi kitin dan kitosan yang merupakan bahan

industri bernilai ekonomi tinggi. Produk-produk tersebut dapat digunakan untuk

keperluan kosmetika, industri pangan, pertanian dan pengelolaan lingkungan.

Kitosan juga digunakan sebagai makanan kesehatan antara lain untuk menurunkan

kadar kolesterol dengan cara mengikat lemak makanan yang masuk ke dalam

tubuh.. Berikut diuraikan beberapa penggunaan khitin dan khitosan.


2.8.1 Dalam Bidang Kesehatan

Lensa kontak, baik yang hard lens maupun yang soft lens

dapat dibuat dari polimer khitin karena khitin mempunyai sifat

permabilitas yang tinggi terhadap oksigen. Selain itu pula, khitin dan

khitosan dapat digunakan sebagai pembungkus kapsul karena mampu

melepaskan obatnya ke dalam tubuh secara terkontrol. Beberapa

turunan khitosan telah ditemukan mempunyai sifat antibacterial dan

antikogulan dalam darah. Kemampuan lain dari khitin dan turunannya

adalah dalam hal penggumpalan sel-sel leukemia, sehingga khitin dan

turunannya ini cocok sebagai bahan anti tumor. Senyawa khitosan

diusulkan untuk digunakan sebagai bahan pembuat membran ginjal

buatan..

Dalam bidang kedokteran telah memanfaatkan kitin dan kitosan

secara maksimal, hal ini terbukti dari beberapa penelitian yang tengah

dilakukan, misalnya kemungkinan khitin digunakan sebagai bahan

obat anti kolestrol. Kitosan pun bersifat non trombogenic (tidak

menggumpalkan darah), sehingga dapat digunakan sebagai bahan

pengganti tulang rawan dan pengganti saluran darah (baik arteri

mauipun vena). Khitin dan khitosan dapat digunakan sebagai

pembungkus kapsul karena mampu melepaskan obatnya ke dalam

tubuh secara terkontrol.

2.8.2 Dalam Bidang Industri Pangan

Senyawa kompleks mikrokristalin kitin (MCC) adalah salah satu

turunan khitin yang banyak digunakan dalam industri pangan sebagai


bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik dan juga

bermanfaat sebagai pengikat, penstabil dan pembuntuk tekstur (Brezski,

1987).

Menurut Brezski (1987), Kitosan dapat pula dimanfaatkan

sebagai penyaring yang efektif terhadap zat-zat yang tidak diinginkan

seperti tanin pada kopi, disamping itu, khitosan juga mampu

memurnikan bir, juice, anggur dan lain sebagainya (Knorr, 1984).

Kitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik,

pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat.

Karakteristik kitosan sebagai polielektrolit dapat digunakan untuk

bahan pengkoagulasi dalam sistem pengolahan limbah secara fisik-

kimia, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi dan flokulasi, serta

industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein sel tunggal

(Ferdiansyah 2005).

2.8.3 Dalam Bidang Industri

Apilikasi khitin dan khitosan yang paling luas penggunaanya

adalah dalam pengolahan limbah cair. Di jepang, khitosan digunakan

secara resmi sebagai bahan penggumpalan dalam sirkulasi pengolahan

air limbah yang akan digunakan kembali (recycling) dalam industri

pangan.

Selanjutnya Knorr (1984) menerangkan tentang tiga hal penting

untuk apilikasi khitin dan khitosan dimasa mendatang, yaitu sebagai

bahan yang digunakan dalam proses water treatment, sebagai bahan

yang bersifat fungsional digunakan dalam industri pangan dan sebagi


polimer hasil temuan baru yang bergunakan dalam bidang bioteknologi

polimer.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Tempat pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Universitas Serang Raya dan waktuk pelaksanaan penelitian ini maksimal 2 bulan.

Bulan ke - I Bulan ke - II
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengumpulan Proposal

2 Pendaftaran di Laboratorium

3 Persiapan Alat dan Bahan

Pembuatan Kitosan dan


4
Pengambilan Data

5 Evaluasi

6 Penyusunan Laporan Akhir

7 Seminar Penelitian

Sebelum diolah menjadi kitosan, cangkang kerang terlebih dahulu diolah

menjadi kitin. Teknologi proses produksi untuk memperoleh kitin dilakukan

melalui proses demineralisasi (penghilangan protein, lemak dan mineral dari kulit

atau cangkang kerang), deprotenisasi, sehingga diperoleh kitin. Selanjutnya

dilakukan proses deasetilasi agar diperoleh kitosan yang memenuhi syarat-syarat

industri.
3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kitin dan kitosan yaitu yaitu :

- HCl

- NaOH

- Aquadest

- H2O2

- Cangkang kerang darah (Anadara granosa)

Alat yang digunakan dalam proses pembuatan kitin dan kitosan yaitu :

- Oven

- Saringan

- Mortar

- Gelas kimia 250 ml dan 1000 ml

- Pengaduk

- Hot plate

- Alumunium foil

- Termometer

- UV-Vis

- Labu alas bulat

- Soklet

3.3 Proses Pembuatan Kitin dan Kitosan

Bahan baku berasal dari limbah cangkang kerang dara yang diperoleh dari

pedagang di pasar kranggot kota cilegon, banten. Limbah tersebut di peroleh

dengan cara mengambil cangkang kerang yang telah di ambil dagingnya dan tidak

terpakai lagi. Selanjutnya cangkang kerang di bersihkan dari kotoran yang

melekat menggunakan air dan di bilas aquadest lalu di keringkan dengan sinar

matahari. Kemudian di haluskan dengan di tumbuk alu lupang kemudian di ayak


dengan ukuran 150 mash selanjutmya di lakukan proses pemnbuatan kitosan.

Proses tersebut meliputi tahap deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi.

a) Deproteinasi

1) Sebanyak 400 gram cangkang kerang yang telah di ayak di

reaksikan dengan 1500 NaOH 1 M sambil di aduk dengan

mengguunakan magnetic stirrer pada suhu 80oC

2) Kemudian padatan di saring, residu di cuci dengan aquadest

hingga pH netral.

3) Selanjutnya di keringkan dengan oven pada suhu 800C hingga

kering selama 3 jam.

b) Demineralisasi

1) Sebanyak 200 gram serbuk hasil deproteinasi di tambah dengan

500 ml HCl 1 M dan mengaduknya menggunakan magnetic

stirrer dengan waktu 60 menit pada suhu kamar

2) Setelah itu endapan di saring dan residu di cuci dengan aquadest

sampai pH netral.

3) Menggeringkan dengan oven dengan suhu 80oC selama 3 jam.

4) Hasil emdapan proses ini di sebut kitin.

c) Deasetilasi

1) Sebanyak 60 gram serbuk hasil demineralisasi di tambah dengan

250 ml NaOH 40%. Kemudian di refluks di dalam labu alas

selama 6 jam pada suhu 80oC, 90oC, 100oC, 110oC, 120oC.

2) Hasil refluks di dinginkan di saring lalu di cuci aquadest hingga

pH netral.
3) Menggeringkan endapan yang terbentuk dalam oven selama 3

jam kemudian menaruhnya dalam desikator selama 24 jam.


3.3 Diagram Alir Pembuatan Kitosan

Bahan Baku

Pencucian

Penghancuran dengan blender

Di ayak dengan ayakan 150 mesh

500 ml NaOH 1 M, 80oC

Oven sample 3 jam 80oC

500 ml HCl 1M, 80oC

Oven sample 3 jam 80oC

Aktifasi dengan NaOH 3M, suhu


80oC, 90oC, 100oC, 110oC, 120oC
Selama 6 jam

Oven sample 3 jam 80oC

Uji daya adsorpsi dengan UV- Vis


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Percobaan 1

1. Variabel Bebas

a. Temperatur : 80oC, 90oC, 100oC, 110oC, 120oC

2. Variabel Tetap

a. Konsentrasi NaOH :3M

b. Waktu Kontak : 5 menit

c. Massa Kitosan : 5 gr

Tabel 4.1 Pengaruh Massa Karbon Aktif Terhadap Efisiensi Adsorpsi

Konsentrasi Konsentrasi
Konsentrasi
Suhu pewarna tekstil yang pewarna Tekstil
Awal Pewarna Daya Adsorpsi (%)
(oC) terbaca Pada alat teradsorpsi Pada
Teksti (ppm)
UV-Vis (ppm) Kitosan (ppm)

80 50 28.6555 21.3445 42.689

90 50 25.3445 24.6555 49.3110

100 50 13.0986 36.9014 73.8028

110 50 11.8956 38.1044 76.2088

120 50 9.8956 40.1044 80.2088


Grafik Hubungan antara Tempertur
Akrivasi dengan Daya Adsorpsi (%)
100
76.2088 80.2088
73.8028
80
Daya Adsorpsi (%)

60 49.3110
42.689
40

20

0
80 90 100 110 120
Temperatur (C)

Pada percobaan ini, terjadi kenaikan penjerapan zat warna tekstil ketika

suhu aktivasi dinaikan. Suhu aktivasi yang tinggi menyebabkan terbentuknya

struktur pori yang lebih luas pada karbon aktif, sehingga proses penjerapan

lebih optimum. Suhu aktivasi optimum yang didapat pada percobaan ini

adalah 120oC dengan daya penjerapan sebesar 80,2088%.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Titik optimum pada percobaan ini terjadi pada saat suhu aktivasi 120oC

dengan efisiensi penjerapan sebesar 80.2066 %, dimana pada titik ini jumlah zat

warna tekstil yang dijerap sudah tidak bertambah lagi dikarenakan kitin yang

sudah mulai jenuh, sehingga tidak bisa menjerap lagi.

2. Daya serap kitosan semakin besar seiring bertambahnya waktu aktifasi.

Hal ini disebabkan semakin lama waktu aktifasi akan menyebabkan semakin

banyaknya zat pengotor yang berupa zat organik maupun anorganik larut dan

lepas dari permukaan pori-pori karbon, sehingga menyebabkan peningkatan daya

serap.

3. Perhitungan korelasi dengan menggunakan Linear correlation pada

percobaan ini termasuk dalam positive linear correlation hal ini dikarenakan yest

meningkat bersamaan dengan meningkatnya harga x dan termasuk strong

correlation dikarenakan r=0,939 atau |r| > 0.7

5.2. Saran

1. Pada saat pencucian kitosan harus sampai PH netral.

2. Sampel harus segera di analisa agar tidak tejadinya pertumbuhan bakteri

atau mikroba pada sample, jika terjadi pertumbuhan bakteri atau mikroba akan

mempengaruhi nilai daya jerap.

Anda mungkin juga menyukai