Anda di halaman 1dari 29

BELAJAR

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Ahmad Nafi, M.Pd

Disusun oleh:

1. Enggin Almusyafa (23070150051)


2. Abu Iskhak S K (23070150072)
3. Devi Hidayati (23070150088)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Potensi diri, pengendalian diri, kecerdasan, dan kepribadian yang berakhlak dapat
menambahkan motivasi anak dalam proses belajar. Kata belajar sering kita dengarkan
dalam mengerjakan apapun. Cotohnya orang tua menyuruh rajin belajar karena orang tua
sayang terhadap kita. Dalam psikologi pendidikan terdapat sub bab materi tentang
belajar. Belajar sendiri adalah proses untuk mencapai tujuan tertentu. Contohnya
seseorang merubah perilaku dari yang buruk menjadi lebih baik. Belajar adalah hal yang
mendasar dan sangat penting bagi kehidupan manusia karena dengan belajar seseorang
dapat mengetahui apa yang belum diketahui. Selain itu belajar sangat penting dalam
kehidupan manusia karena dengan kehidupan kita selalu diawali dengan belajar.
Dalam teori belajar dapat memberikan arahan kepada guru agar dapat
mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didik. Teori belajar terdiri atas teori
behaviorisme, teori belajar konstruktifisme, teori belajar humanistik.
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini akan membahas tentang pengertian belajar,
jenis belajar, teori belajar, transfer belajar dan prinsip-prinsip belajar dalam psikologi
pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian belajar ?
2. Apa jenis belajar dalam psikologi pendidikan ?
3. Bagaiman teori belajar dalam psikologi pendidikan ?
4. Bagaimana transfer belajar ?
5. Bagaimana prinsip-prinsip belajar dalam psikologi pendidikan ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian belajar.
2. Dapat mengetahui jenis belajar.
3. Dapat mengetahui teori belajar dalam psikologi pendidikan.
4. Mengetahui transfer dalam belajar.
5. Dapat mengetahui prisip-prinsip belajar dalam psikologi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Belajar
Setiap orang, baik disadari ataupun tidak, selalu melaksanakan kegiatan belajar.
Kegiatan harian yang dimulai dari bangun tidur kembali akan selalu diwarnai oleh
kegitan belajar. Seseorang yang tiba-tiba melihat petani yang sedang mencangkul di
sawah, misalnya kemudian di dalam otaknya terlintas pikiran betapa beratnya kehidupan
petani dalam menghasilkan bahan makanan, sehingga muncul perasaan menghargai hasil
jerih payah petani. Ilustrasi ini telah enghasilkan perubahan perilaku berupa tindakan
menghargai karya petani pada diri orang tersebut.
Efektifitas belajar yang dilakukan oleh peserta didik di sekolah semata-mata
ditentukan oleh derajat pemilikan potensi peserta didik yang bersangkutan, melainkan
juga lingkungan, terutama pendidik yang professional. Ada kecenderungan bahwa sikap
menyenangkan, kehangatan, persaudaraan, tidak menakutkan, dan sejenisnya, dipandang
sebagian orang sebagai pendidik yang baik. Pendidik yang professional dituntut memiliki
karakteristik
Belajar adalah proses penting bagi perubahan perilaku setiap orang dan belajar itu
mencangkup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh seseorang. Belajar
memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan,
kepribadian, dan bahkan persepsi seseorang. Oleh karena itu, dengan menguasai konsep
dasar tentang belajar, seseorang mampu memahami bahwa aktivitas belajar itu
memegang peranan penting dalam proses psikologis.
Konsep tentang belajar telah banyak didefinisikan oleh para pakar psikologi.
Berikut disajikan beberapa pengertian tentang belajar.
1. Gege dan Berliner (1983 : 252) menyatakan bahwa belajar merupakan proses dimana
suatu organisme mengubah perilakunya karena hasil dari pengamatan.
2. Morgan et.al. (1986 : 140) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan relatif
permanen yang terjadi karena hasil dari praktik dan pengalaman.
3. Slavin (1994 : 152) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan individu yang
disebabkan oleh pengalaman.
4. Gagne (1997 : 3) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan disposisi atau
kecakapan menusia yang berlangsung selama periode waktu tertentu, dan perubahan
perilaku itu tidak berasal dari proses pertumbuhan.
Dari keempat pengertian tersebut tampak bahwa konsep tentang belajar
mengandung tiga unsur utama, yaitu:
a. Belajar berkaitan dengan perubahan perilaku
Perilaku mengacu pada suatu tindakan atau berbagai tindakan. Perilaku yang
tampak (over behavior) seperti berbicara, menulis puisi, mengerjakan matematika
dapat memberi pemahaman tentang perubahan perilaku seseorang. Dalam kegiatan
belajar di sekolah, perubahan perilaku itu mengacu pada kemampuan mengingat atau
menguasai berbagai bahan balajar dan kecenderungan peserta didik memiliki sikap
dan nilai-nilai yang diajarkan oleh pendidik, sebagaimana telah dirumuskan di dalam
tujuan peserta didikan.
Untuk mengukur apakah seseorang telah belajar atau belum mengajar diperlukan
adanya perbandingan antara perilaku sebelum dan setelah menagalami kegiatan
belajar. Apabila terjadi perbedaan perilaku, maka dapat disumpulkan bahwa itu telah
belajar. Perilaku tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk seperti menulis, membaca,
dan berhitung.
b. Perubahan perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses pengalaman
Pengalaman dapat membatasi jenis-jenis perubahan perilaku yang dipandang
mencerminkan belajar. Pengalaman dalam pengertian belajar dapat berupa
pengalaman fisik, psikis, dan sosial. Oleh karena itu, perubahan perilaku yang
disebabkan oleh faktor obat-obatan, adaptasi penginderaan, dan kekuatan mekanik,
misalnya tidak dipandang sebagai perubahan yang disebabkan oleh pengalaman.
Perubahan perilaku karena pertumbuhan dan kematangan fisik, tidak dapat dipandang
sebagai hasil belajar. Kemampuan berjalan dan berbicara pada manusia, misalnya
adalah kematangan pada diri seseorang berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan fisik, dan kematangan itu menjadi prasyarat untuk belajar.
c. Perubahan perilaku karena belajar bersifat relatif permanen
Lamanya peubahan perilaku yang terjadi pada diri seseorang adalah sukar diukur.
Perubahan perilaku itu dapat berlangsung selama satu hari, satu minggu, satu bulan,
atau bahkan bertahun-tahun.
Membaca buku merupakan bagian kecil dari kegiatan belajar yang dilakukan oleh
setiap orang dalam kehidupannya. Ketika seseorang bangun tidur, mengenakan
pakaian, makan pagi, dan memulai memikirkan apa yang akan dikerjakan pada hari
itu, kegiatan itu selalu diikuti oleh tindakan belajar. Demikian pula tindakan berpikir
yang dilakukan oleh seseorang akan memunculkan sikap terhadap orang lain atau
peristiwa yang dapat membuatnya senang atau takut. Cara seseorang mengenakan
pakaian, makan pagi, memikirkan sesuatu, dan menilai orang lain atau suatu
peristiwa, semuanya itu berakar dari pengalaman masa lalu atau akibat dari belajar
yang berlangsung di masa lalu. Oleh karena itu, apabila seseorang mampu mengalami
proses belajar dan menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari belajar pada
kehidupan nyata, maka ia akan mampu menjelaskan segala sesuatu yang ada di
lingkungannya. Demikian pula jika seseorang memahami prinsip-prinsip belajar,
maka akan mampu mengubah perilaku seperti yang diinginkannya.
Pengertian belajar adalah berbeda dengan pengertian pertumbuhan dan
perkembangan (Shephert dan Ragan, 1982: 35-36). Pertumbuhan (growth) merupakan
karakteristik individu yang diperoleh dari kehidupan. Pada umumunya istilah
pertumbuhan digunakan untuk menunjukkan pertambahan jumlah sesuatu, seperti
berat, tinggi, dan sejenisnya. Kemudian pertumbuhan dipengaruhi, walaupun tidak
selalu, oleh berbagai faktor di dalam diri seseorang. Belajar (learning) mengacu pada
perubahan perilaku yang terjadi sebagai akibat dari interaksi antara individu dan
lingkungannya. Apa yang dipelajari oleh seseorang dapat diuraikan dan disumpulkan
dari pola-pola perubahan perilakunya. Perkembangan (development) mengacu pada
perubahan yang dihasilkan dari kombinasi pertumbuhan dan belajar. Perkembangan
emosional, misalnya adalah bukan semata-mata dipengaruhi oleh kematangan fisik,
melainkan juga karena faktor belajar.
B. Jenis Belajar
Dalam proses belajar, dikenal bermacam-macam kegiatan yang memiliki corak yang
berbeda antara satu dengan lainnya, baik dalam aspek materi da`n metodenya maupun
dalam aspek tujuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Keanekaragaman jenis
belajar ini muncul dalam dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia
yang juga bermacam-macam.
1. Belajar abstrak
Belajar abstrak adalah belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak.
Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah
yang tidak nyata. Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal
yang kuat, di samping penugasan atau prinsip, konsep, dan generalisasi. Termasuk
dalam hal ini misalnya belajar matematika,kimia, kosmografi, astronomi, dan juga
sebagian materi bidang studi agama seperti tauhid.
2. Belajar Ketrampilan
Belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan
motorik, yakni yang berhubungan dengan urat-urat saraf dan otot-otot/
neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai ketrampilan jasmaniah
tertentu. Dalam belajar jenis ini, latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan.
Termasuk dalam belajar jenis ini adalah belajar olahraga, musik, menari, melukis,
memperbaiki benda-benda elektronik dan juga sebagai materi pelajaran agama,
seperti ibadah shalat dan haji.
3. Belajar Sosial
Belajar sosial pada dasarnya adalah belajar memahami masalah-masalah dan
teknik-teknik untuk untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk
menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial
seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok dan masalah
yang bersifat kemasyarakatan.
Selain itu, belajar sosial juga bertujuan untuk mengatur dorongan nafsu pribadi
demi kepentingan bersama dan memberi peluang kepada orang lain atau kelompok
lain untuk memenuhi kebutuhannya secara berimbang dan professional. Bidang-
bidang studi yang termasuk bahan pengajaran sosial adalah pelajaran agama dan
kewarganegaraan.
4. Belajar pemecahan masalah
Belajar pemecahan pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode
ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. Tujuannya adalah
untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah
secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu, kemampuan siswa dalam menguasai
konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta insight sangat diperlukan.
Dalam hal ini, hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana belajar
pemecahan masalah seperti matematika dan IPA sangat dianjurkan menggunakan
model dan strategi mengajar yang berorientasi pada cara pemecahan masalah
(Lawson, 1991).
5. Belajar Rasional
Belajar rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir secara
logis dan rasional (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya ialah untuk memperoleh
aneka ragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Jenis
belajar ini sangat erat kaitannya dengan belajar pemecahan masalah. Dengan belajar
rasional, siswa diharapkam memiliki kemampuan rational problem solving, yaitu
kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi
akal sehat, logis, dan sistematis (Reber, 1998)
Bidang-bidang studi yang dapat digunakan sebagai sarana belajar rasional sama
dengan bidang-bidang studi untuk belajar memecahkan masalah. Perbedaannya,
belajar rasional tidak member tekanan khusus pada penggunaan bidang studi eksakta.
Artinya, bidang-bidang studi non eksakta juga dapat memberi efek yang sama dengan
bidang studi eksakta dalam belajar rasional.
6. Belajar Kebiasaan
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau
perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain
menggunakan perintah, suri teladan dan pengalaman khusus, juga menggunakan
hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan
kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras
dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual).
Selain itu, arti tepat dan positif di atas adalah selaras dengan norma dan tata nilai
moral yang berlaku, baik yang bersifat religius maupun tradisional dan kultural.
Belajar kebiasaan akan lebih tepat dilaksanakan dalam konteks pendidikan keluarga
sebagaimana yang dimaksud oleh undang-undang sistem pendidikan nasional/ 1998
Bab IV Pasal 10 (4). Namun demikian, tentu tidak tertutup kemungkinan penggunaan
pelajaaran agama dan PMP sebagai sarana belajar kebiasaan bagi para siswa.
7. Belajar apresiasi
Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment) arti penting atau
nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh dan mengembangkan
kecakapan ranah rasa (affective skills) yang dalam hal ini kemampuan menghargai
secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik,
dan sebagainya.
Bidang bidang studi yang dapat menunjang tercapainya tujuan belajar apresiasi
antara lain; bahasa dan sastra, kerajinan tangan (prakarya), kesenian, dan
menggambar. Selain bidang-bidang studi ini, bidang studi agama juga memungkinkan
untuk digunakan sebagai alat pengembangan apresiasi siswa, misalnya dalam hal
seni, misalnya dalam hal seni baca tulis al-Quran, khat menulis al-Quran dan
sebagainya.
8. Belajar Pengetahuan
Belajar pengetahuan ialah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam
terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga tentu dapat diartikan sebagai
sebuah progam belajar terencana untuk menguasai materi pelajaran dengan
melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen (Reber, 1998). Tujuan belajar
pengetahuan adalah agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan
pemaahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasa lebih rumit dan memerlukan
kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat
laboratorium dan penelitian lapangan.
C. Teori Belajar
Teori psikologi dalam belajar, perkembangan psikologi pada abad ke-19 sampai
memasuki abad ke-20, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan
banyaknya aliran-aliran atau teori-tori psikologi yang muncul dengan konsep dan metode
tersendiri. Namun pada dekade, ada tiga aliran psikologi yang sangat berpengaruh
khususnya dalam bidan pendidikan, di antaranya: psikologi behavioristik, psikologi
kognitif, dan psikologi humanistik.
Dalam teori ini akan membahas teori behavioristik, teori kognitif, dan teori humanistik.
1. Teori behavioristik
a. Pandangan tentang belajar
Belajar merupakan proses perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang
dimaksudkan dapat berwujud perilaku yang tampak (overt behavior) atau perilaku
yang tidak tampak (inert behavior). Perilaku yang tampak misalnya: menulis,
memukul, menendang, perilaku yang tidak tampak, misalnya: berfikir, bernalar,
dan berkhayal. Perubahan perilaku yang diperoleh dari hasil belajar bersifat
permanen; dalam arti bahwa perubahan perilaku akan bertahan dalam waktu yang
relative lama, sehingga pada suatu waktu perilaku tersebut dapat dipergunakan
untuk merespon stimulus yang sama. Namun demikian tidak semua perubahan
perilaku merupakan perwujudan dari hasil belajar, karena terdapat perubahan
perilaku yang tidak disebabkan oleh kegiatan belajar. Misalnya, seseorang
menarik jarinya secara reflektif, karena jari tersebut terkena api. Ada pula
perubahan perilaku yang disebabkan faktor kematangan, misalnya seseorang anak
kecil umur 9 bulan dapat berjalan karena telah mencapai kematangan untuk
berjalan.
Aspek penting yang dikemukakan oleh aliran behavioristik di dalam belajar
adalah bahwa hasil belajar (perubahan perilaku) itu tidak disebabkan oleh
kemampuan internal manusia (insight), tetapi karena faktor stimulus yang
menimbulkan respon. Untuk itu, agar aktivitas belajar siswa di kelas dapat
mencapai hasil belajar yang optimal, maka stimulus harus dirancang sedemikian
rupa (menarik dan spesifik) sehingga mudah direspon oleh siswa. Oleh karena itu,
siswa akan memperoleh hasil belajar, apabila dapat mencari hubungan antara
stimulus (S) dan respon (R) tersebut.
Skinner (1958) menyakakan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan
perilaku. Perilaku dalam belajar mempunyai arti luas, yang sifatnya bisa berwujud
perilaku yang tidak tampak (overt behavior). Sebagai suatu proses, dalam
kegiatan belajar dibutuhkan waktu sampai mencapai hasil belajar, dan hasil
belajar berupa perilaku yang lebih sempurna dibandingkan dengan perilaku
sebelum melakukan kegiatan belajar. Perubahan perilaku yang disebabkan oleh
faktor kematangan bukan dinyatakan sebagai hasil belajar. Misalnya, burung bisa
terbang bila kematangannya telah tiba; anak bisa berjalan bila anak sudah matang
untuk berjalan. Namun demikian manusia harus selalu belajar. Untuk bisa
berjalan misalnya, anak harus memiliki pertumbuhan fisik dan juga pengalaman
yang diperoleh dari berbagai kegiatan, seperti merangkak, berdiri dan sejenisnya.
Anak yang mengalami kecemasan ketika melihat dokter yang sedang
memegan jarum suntik merupakan hasil yang diperoleh dari kegiatan belajar.
Demikian pula, siswa yang dapat mengerjakan perkalian secara cepat merupakan
contoh hasil belajar yang diperoleh secara internal, yang dikenal dengan berfikir.
Proses belajar pada diri individu dapat terjadi dengan berbagai cara. Kadang-
kadang proses belajar tersebut dilakukan secara sengaja, sebagaimana ketika
siswa memperoleh informasi yang disajikan oleh guru dalam kelas, atau ketika
individu membaca berbagai istilah di dalam buku. Kadang-kadang proses belajar
itu juga dilakukan secara tidak disengaja, sebagaimana reaksi anak ketika melihat
jarum suntik. Namun demikian aktivitas belajar manusia akan berlangsung terus
menerus sepanjang waktu, setiap kali manusia berinteraksi dengan lingkungan
(stimulus), dan manusia akan mereaksinya (memberikan respons).
b. Ciri-ciri teori behavioristik, yaitu:
Mementingkan faktor lingkungan, mementingkan bagian-bagian,
mengutamakan mekanisme peranan reaksi, mengutamakan mekanisme
terbentuknya hasil belajar, mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu,
mementigkan pembentukan kebiasaan.
c. Prinsip-Prinsip Belajar
Salah satu tugas guru adalah mengajar. Dalam kegiatan mengajar ini tentu saja
tidak dapat dilakukan sembarangan, guru harus menggunakan teori dan prinsip-
prinsip belajar agar bisa bertindak secara tepat.
1. Penguatan (reinforcement)
Eksperimen yang dilakukan Skinner dengan menggunakan tikus atau burug
merpati, melahirkan prinsip-prinsip belajar. Sebagai seorang behaviorisme,
Skinner menyatakan bahwa, perilaku akan berubah sesuai dengan konsekuensi
yang diperolehnya. Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat
perilaku dan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlenmah
perilaku. Dengan kata lain, konsekuensi yang menyenangkan dapat
meningkatkan frekuensi munculnya perilaku, sementara itu konsekuensi yang
tidak menyenangkan akan mengurangi frekuensi perilaku. Apabila seseorang
menyukai buku bacaan, misalnya maka kemungkinan dia akan sering
membacanya. Sebaliknya, apabila seseorang tidak menyukai suatu bacaan,
maka dia tidak akan suka membacanya,
Konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut sebagai penguat
(reinsforcers), sementara itu konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut
sebagai hukuman (punishment). Penguatan (reinforcement) merupakan unsur
yang penting dalam belajar, karena penguatan itu akan memperkuat perilaku.
Menurut Skinner, penguatan itu ada dua macam, yaitu penguatan positif dan
penguatan negatif
Penguatan positif adalah sesuatu bila diperoleh akan meningkatkan
probabilitas respon atau perilaku. Penguatan positif dibedakan menjadi dua
macam yaitu penguatan positif primer dan penguatan positif sekunder.
Sedangkan penguatan negatif adalah sesuatu yang apabila ditiadakan dalam
akan meningkatkan probabilitas respon. Penguatan negatif primer dan
penguatan negatif sekunder.
2. Hukuman (punishment)
Konsekuensi yang tidak memperkuat (dalam arti memperlemah) perilaku
disebut hukuman. Hukuman dimaksudkan untuk memperlemah atau
meniadakan perilaku tertentu dengan cara menggunakan kegiatan yang tidak
diinginkan. Dalam kegiatan belajar, pemberian hadiah lebih efektif dalam
mengubah perilaku seseorang dari pada hukuman. Oleh karena itu,
memberikan hukuman untuk memperlemah perilaku hendaknya diterapkan
secara bijak.
Skinner menyatakan bahwa hadiah (reward) lebih efektif daripada
hukuman (punishment). Misanya, guru mempersilakan muridnya membaca
pekerjaan rumahnya yang dinilai bagus. Sebagai hadiah untuk pekerjaan
rumah yang bagus, siswa itu akan membacakan karangannya untuk kamu
semua, dengar betapa pintarnya dia kata guru. Kata-kata guru ini merupakan
hadiah bagi anak. Sementara itu hukuman dapat menimbulkan efek yang
berlawanan. Misalnya, dengan ketusnya guru mengatakan kepada siswanya
yang bandel di kelasnya: Jimmi, hentikan itu dan kerjakan tugasnya.
Ucapan guru ini merupakan hukuman bagi anak.
3. Kesegeraan pemberian penguatan
Penguatan yang diberikan segera setelah perilaku muncul, akan
menimbulkan efek terhadap perilaku yang lebih baik, dibandingkan dengan
pemberian penguatan yang diulur-ulur waktunya. Misalnya, anak begitu
selesai memenangkan perlombaan kemudian langsung diberikan hadiah dan
naik ke atas panggung kemenangan, efeknya akan lebih baik dibandingkan
apabila hadiah itu diberikan pada beberapa hari kemudian. Kedekatan
pemberian penguatan ini merupakan bentuk balikan segera yang dapat
menimbulkan kepuasan kepada setiap orang setelah berhasil melaksanakan
tugas.
Balikan segera yang diberikan kepada seseorang setidak-tidaknya memiliki
dua tujuan, yaitu: dapat membuat kejelasan hubungan antara perilaku dengan
konsekuensi dan dapat meningkatkan nilai informasi terhadap balikan itu
sendiri.
4. Jadual pemberian pengutan (schedule of reinforcement)
Penguatan dapat diberikan secaraterus-menerus. Jika setiap respon respon
diikuti dengan penguatan, maka tindakan ini dinamakan pemberian penguatan
secara teru-menerus. Sebaliknya, jika sebagia respon yang mendapatkan
penguatan, maka tindakan ini yang dinamakan pemberian penguatan secara
berantara. Bagian respon yang diperkuat melalui penguatan berantara itu dapat
didasarkan pada sejumlah respon yang dibuat oleh seseorang. Dalam peristiwa
itu, jadwal pemberian penguatan perbandingan (ratio schedule), dimana
penguatan diberikan pada salah satu diantara sejumlah respon yang
diinginkan. Dengan demikian, guru dapat memberikan penguatan pada setiap
respon,atau pada respon kedua, kelima, kesepuluh, dan seterusnya.
5. Peranan stimulus terhadap perilaku
Penguatan yang diberikan setelah munculnya suatu perilaku sangat
berpengaruh terhadap perilaku. Demikian pula stimulus yang mendahului
perilaku, disebut juga anteseden perilaku, memegang peranan penting. Ada
beberapa stimulus yang mempengaruhi perilaku, yaitu petunjuk, diskriminasi,
dan generalisasi
d. Teori belajar classical conditioning
Teori belajar classical conditioning dikembangkan oleh Ivan Pavlov (1849-
1936) seorang psikologi Rusia, Pavlov mempelajari bagaimana anjing percobaan
menjadi terkondisi untuk berliur walau tanpa diberi makanan. Sebagai bintang
coba, anjing dioperasi kelenjar air liurnya, sehinnga bila anjing mengeluarkan air
liur, air liur itu akan ditampung atau diobservasi.
Menurut Pavlov, apabila anjing mengeluarkan air liur karena melihat
makanan, respons ini bersifat alamiah (alami). Disebut respons alamiah karena
respon itu tidak berkondisi (unconditioned response) dan stimulus alamiah.
Persoalan yang muncul dalam eksperimen Pavlov adalah: apakah bunyi bel dapat
menimbulkan air liur pada anjing?. Apabila hal itu terjadi, maka bunyi bel
berkedudukan sebagai stimulus berkondisi (conditioning stimulus/ CS) dan respon
yang berwujud keluarnya air liur disebut respon yang berkondisi (conditioning
response/ CR). Untuk memperhatikan persoalan tersebut, selanjutnya Pavlov
mengadakan penelitian secara intensif.
Untuk menimbulkan respon berkondisi ditempuh dengan jalan memberikan
stimulus berkondisi berbarengan atau sebelum diberikan stimulus alamiah.
Pemberian stimulus-stimulus tersebut dilakukan berulang kali, sehingga pada
akhirnya akan berbentuk respon berkondisi (anjing mengeluarkan air liur),
sekalipun tidak diberikan stimulus alamiah (makanan).
Pada akhirnya percobaan (akhir pengkondisian) penyajian stimulus
berkondisian (bunyi bel) ternyata menghasilkan respons berkondisi
(mengeluarkan air liur). Dalam hal ini stimulus berkondisi (bunyi bel) tidak
disajikan secara bersamaan dengan stimulus alamiah.
Dari tahapan eksperimen tersebut dapat dijelaskan bahwa:
1. Apabila stimulus (daging) alamiah disajikan di hadapan anjing, maka anjing
akan membentuk respon alamiah (mengeluarkan air liur).
2. Apabila stimulus berkondisi (bel) diberikan setelah diberikan stimulus
alamiah, maka respons berkondisi tidak akan terbentuk, dan
3. Respons berkondisi akan terbentuk apabila stimulus berkondisi diberikan
sebelum atau berbarengan dengan stimulus alamiah.
Pavlov melanjutkan eksperimen dengan menyajikan stimulus bervariasi,
apakah anjing dapat membedakan stimulus yang disertai dengan penguatan dan
yang tidak disertai dengan penguatan. Pavlov menggunakan dua macam lampu
dalam melakukan eksperimen, yaitu lampu berwarna merah disertai dengan
pemberian makanan sebagai stimulus alamiah (sebagai penguatan), dan lampu
hijau tidak disertai dengan pemberian makanan. Stimulus tersebut diberikan
berulang kali` kepada anjing percobaan. Dari eksperimen tersebut terbukti bahwa
anjing akan mengeluarkan air liur apabila melihat lampu merah sekalipun tidak
diberikan makanan karena sudah terbentuk respons berkondisi (CR). Sebaliknya,
ketika melihat lampu hijau dinyalakan, anjing tidak mengeluarkan air liur karena
berdasarkan pengalaman yang diperoleh, munculnya lampu hijau ternyata tidak
diberi makanan.
Dari eksperimen tersebut Pavlov menarik kesimpulan yang kemudian
dijadikan sebagai prinsip belajar, yaitu bahwa dalam diri anjing akan terjadi
pengkondisian selektif berdasarkan atas penguatan selektif. Dalam arti, anjing
dapat membedakan stimulus yang disertai dengan penguatan dan stimulus yang
tidak disertai dengan penguatan.
Karya Pavlov dalam bereksperimen tersebut menekankan pada aspek
pengamatan dan pengukuran, serta penggalian aspek-aspek belajar sehingga dapat
membantu penelitian tentang belajar secara alamiah.
e. Teori Konektivisme
Edward Thorndike mengembangkan teori konektivisme di Amerika Serikat
(1874-1949). Dalam melakukan eksperimen, Thorndike menggunakan kucing
sebagai binatang coba. Dalam ekperimen tersebut, Thorndike menghitung waktu
yang dibutuhkan oleh kucing untuk dapat keluar dari kandang percobaan (puzzle
box).
Menurut Thorndike, koneksi merupakan asosiasi antara kesan-kesan
penginderaan dengan dorongan untuk bertindak, yakni upaya untuk
menggabungkan antara kejadian penginderaan dengan perilaku. Dalam hal ini,
Thorndike menitik beratkan pada aspek fungsional dari perilaku, yaitu bahwa
proses mental dan perilaku organisme berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap
lingkungannya.
Dalam percobaan yang dilakukan oleh Thorndike, kucing pertama kali
berhasil melepaskan diri dari kandang percobaan dengan jalan coba-coba (trial
and error). Pada mulanya kucing mencoba berbagai tindakan, sampai akhirnya
secara tidak sengaja ia menekan tombol dan dapat keluar dari kandang. Setelah
beberapa kali dilakukan percobaan, kucing dapat menghubungkan atau
memiliki asosiasi antara menekan tombol dengan upaya melepaskan diri dari
kandang. Thorndike menemukan rata-rata kucing percobaannya mampu
melepaskan diri kandang percobaan, tetapi kucing membutuhkan waktu (latihan )
untuk cepat keluar dari kandang.
Menurut Thorndike, dasar dari belajar adalah trial and error. Ia memperoleh
kesimpulan ini berdasarkan eksperimen yang dilakuka menggunakan bermacam-
macam hewan percobaan. Thorndike sampai pada kesimpulan bahwa, hewan
percobaan menunjukkan adanya penyesuaian diri dengan lingkungannya
sedemikian rupa sebelum hewan percobaan itu dapat melepaskan diri dari
kandang percobaan. Selanjutnya dikemukakan bahwa perilaku dari semua hewan
percobaan itu praktis sama. Apabila hewan ditempatkan di dalam kandang, maka
hewan percobaan menunjukkan keadaan yang tidak nyaman dan berusaha untuk
keluar dari kandang.
Berdasarkan pada percobaan yang telah dilakukan, Thorndike pada akhirnya
mengemukakan tiga macam hokum belajar, yaitu: hukum kesiapan, hukum
latihan dan hukum akibat.
f. Teori Operant Conditioning
Teori operant conditioning dikembangkan oleh Burr Federic Skinner (1804-
1990). Skinner memandang manusia sebagai mesin. Seperti mesin lainnya,
manusia bertindak secara teratur dan dapat diramalkan responnya terhadap
stimulus yang datan dari luar. Dalam mengkaji tentang belajar, Skinner memiliki
pandangan yang berbeda dengan Pavlov, Pavlov mempelajari tentang classical
conditioning yang berkaitan dengan gerak refleks, sedangkan Skinner
mempelajari gerak non refleks atau perilaku yang disengaja. Skinner mengadakan
eksperimen-eksperimen dengan Skinner box dengan mengunakan kotak yang di
dalamnya terdapat: pengungkit, penampung makanan, lampu yang dapat
dinyatakan dan dimatikan sesuai kehendak peneliti, dan lantai dengan gril yang
dialiri listrik.
Dalam melakukan eksperimen, Skinner menggunakan tikus lapar sebagai
hewan percobaan. Diasumsikan bahwa tikus yang sedang lapar memiliki
dorongan untuk mencari makanan. Sebagai panduan dalam pengamatan, tikus
dimasukkan ke dalam kotak percobaan dann tidak diberikan makanan. Kemuadian
di dam box itu diberikan makanan yang dihubungkan dengan tuas atau tombola
lat pemberi makanan. Kemudian alat pemberi makanan itu diputuskan
hubungannya dan ternyata tikus itu tetap memencet tombol dalam waktu yang
cukup lama (tikus mengalami operant conditioning). Penekanan terhadap tombol
dilakukan secara terus menerus dan kadang-kadang diberikan makanan.
Berdasarkan pada ekperimen tersebut Skinner mengemukakan dua prinsip
umum yang berkaitan dengan operant conditioning, adalah
1. Setelah respons yang diikuti oleh penguatan (reward atau reinforcing stimuli)
cenderung akan diulangi kembali.
2. Reward atau reinforcing stimuli akan meningkatkan kecepatan terjadinya
respons.
Skinner membagi dua macam pengkondisian, yaitu:
a. Respondent conditioning (conditioning tipe S), disebut conditioning tipe S
karena conditioning ini menekankan pentingnya stimulus (S) dalam
menimbulkan respons yang dikehendaki atau diinginkan. Conditioning ini
sama dengan classical conditioning dari Pavlov.
b. Operant conditioning (conditioning tipe R). disebut conditioning tipe R,
karena conditioning ini menekankan pentingnya respon
Menurut Skinner, hadiah dapat meningkatkan probabilitas timbulnya respons.
Suatu tindakan dapat dinyatakan sebagai penguatan atau tidak adalah tergantung
dari efek yang ditimbulkan. Tekanan utama dalam toeri operant conditioning
adalah pada respons atau perilaku dan konsekuensi yang menyertai. Oleh Karena
itu, seseorang harus membuat respons sedemikan rupa untuk memperoleh
penguatan atau hadiah yang menjadi stimulus yang memperkuat (reinforcement
stimuli). Misalnya, siswa memiliki semangat dan akan belajar dengan lebih baik
apabila mengetahui akan mendapatkan hasil yang baik. Hasil yang baik ini
merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar
selanjutnya.
Siswa yang belajar sungguh-sungguh akan mendapatkan nilai yang baik
dalam ujian. Nilai yang baik itu mendorong siswa untuk belajar lebih giat lagi.
Nilai yang baik merupakan operant conditioning atau penguatan positif.
Sebaliknya anak yang mendapat nilai yang buruk pada waktu ujian, dia akan
merasa takut tidak naik kelas. Karena takut tidak naik kelas, dia terdorong untuk
belajar lebih giat lagi. Hal ini yang disebut penguatan negative.
Searah dengan dua jenis perilaku tersebut, Skinner membedakan dua macam
pengkondisian yaitu pada classical conditioning dan operant conditioning.
2. Teori Belajar Kognitif
a. Pandangan tentang belajar
Pikiran yang berada pada diri manusia adalah alat yang sangat bermanfaat
dalam pembuatan makna dari suatu objek atau stimulus. Dari setiap mili detik,
manusia melihat, mendengar, merasakan sesuatu, dan pada saat itu juga dia
memutuskan apa yang sedang diamatinya, menghubungkan dengan apa yang telah
diketahui sebelumnya, dan membuat keputusan apakah objek yang telah diamati
itu perlu disimpan ataukah dilupakan begitu saja.
Proses pengamatan terhadap objek itu dapat berlangsung secara sadar, atau
sebaliknya tidak disadarinya, atau bahkan bisa dilakukan secara setengah sadar.
Bab ini akan membahas teori belajar kognitif, terutama dari belajar materi verbal
yang bermakna. Pengkajian terhadap belajar materi verbal yang sangat bermakna
ini sangat penting mengingat proses belajar yang terjadi di dalam kelas
berlangsung dalam proses komunikasi yang berisi pesan-pesan yang berkaitan
dengan fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan yang sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pengkajian terhadap teori belajar kognitif memerlukan penggambaran tentang
perhatian, memori, elaborasi, rehearsal, pelacakan kembali, dan penbuatan
informasi yang bermakna. Untuk mengkaji berbagai konsep tersebut, bab ini lebih
difokuskan pada teori kognitif yang ditekankan pada pendekatan pengolahan
informasi.
Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh
stimulus yang berada di luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya,
melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu
berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan
dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus.
Berdasarkan pada pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar
sebagai proses penfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran untuk
dapat mengenal dan memahami stimulus yang dating dari luar. Dengan kata lain,
aktivitas balajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berpikir,
yakni proses pengolahan informasi.
Kegiatan pengolahan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan
menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya, jumlah informasi
atau stimulus yang mengubah perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang
diperoleh dari hasil belajar tidak tergantung pada jenis dan cara pemberian
stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana seseorang mampu
mengolah informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon
stimulus yang berada di sekelilingnya. Oleh karena itu, teori belajar kognitif
menekankan pada cara-cara seseorang menggunakan pikirannya untuk belajar,
mengingat, dan penggunaan pengetahuan yang telah diperoleh dan disimpan di
dalam pikirannya secara efektif.
Teori belajar konstruktifitas menyatakan bahwa pendidik tidak dapat
memberikan pengetahuan kepada peserta didik. Sebaliknya, peserta didik harus
mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Peran pendidik adalah memperlancar
proses pengkontruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi secara
bermakna dan relevan dengan peserta didik, memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengungkapkan atau menerapkan gagasannya sendiri, dan
membimbing peserta didik untuk menyadari dan secara sadar menggunakan
strategi belajarnya sendiri. Dengan demikian fungsi utama pendidik adalah
menyediakan tangga pemahaman yang puncaknya merupakan bentuk pemahaman
paling tinggi, dan peserta didik harus menaiki tangga tersebut.
Intisari dari teori belajar kontruktivisme adalah bahwa belajar merupakan
proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang
berlangsung pada diri seseorang. Individu yang sedang belajar dipandang sebagai
orang yang secara konstan memeriksa informasi baru untuk dikonfirmasikan
dengan prinsip (rules) yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut
apabila sudah tidak sesuai dengan informasi yang baru diperoleh. Agar peserta
didik mampu melakukan kegiatan belajar, maka dia harus melibatkan diri secara
aktif.
b. Ciri-ciri teori belajar kognitif
Mementingkan keseluruhan, mementingkan peranan fungsi kognitif,
mementingkan keseimbangan dalam diri siswa, mementingkan kondisi yang ada
pada waktu sekarang, mementinkan pembentukan struktur kognitif, pemecahan
masalah yaitu insigh.
c. Teori Belajar Pengolahan Informasi
Berbagai informasi yang memasuki pikiran setiap orang adalah melalui alat-
alat penginderaan, seperti melihat, mendengar, atau merasakan. Setiap informasi
yang masuk kedalam alat penginderaan itu sebagian ada yang diabaikan, dan ada
yang masuk kedalam alat penginderaan tanpa disadari. Namun ada sebagian
informasi yang disimpan sebentar di dalam memori dan kemudian dilupakan.
Misalnya, seseorang mampu mengingat nomer telepon temannya yang hendak
dihubungi, namun setelah meneleponnya, nomer telepon yang baru diingat itu
dilupakan lagi. Demikian pula ada sebagian informasi lain yang disimpan lebih
lama, boleh jadi sampai akhir hayatnya.
Berbagai penilitian telah dilakukan terhadap memori manusia untuk
membantu para pakar teori belajar dalam menggambarkan proses mengingat
ataupun melupakan informasi. Proses ini divisualisasikan di dalam gambar di
bawah ini

Gambar model tersebut menunjukkan titik awal dan akhir dari peristiwa
pengolahan informasi. Garis putus-putus mencerminkan batas antara peristiwa
kognitif internal dan dunia eksternal. Dalam model tersebut tampak bahwa
stimulus fisik seperti cahaya, panas, tekanan udara, ataupun suara ditangkap oleh
seseorang dan disimpan secara cepat di dalam sistem penampungan penginderaan
jangka pendek (Short Term Sensory Store=STSS). Apabila informasi
diperhatikan, maka informasi itu disampaikan ke memori jangka pendek (Short
Term Memory=STM) dan sistem penampungan memori kerja (Working
Memory=WM). Informasi di dalam STM atau WM, jika diulang-ulang (rehearsal)
ataupun disandikan (enconding), maka dapat dimasukkan ke dalam memori
jangka panjang (Long Term Memory=LTM).
d. Teori belajar Kontruktivisme
Belajar adalah lebih sekedar mengingat. Peserta didik yang memahami dan
mampu menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari, mereka harus mampu
memecahkan masalah, menemukan (discovery) sesuatu untuk dirinya sendiri, dan
berkutat dengan berbagai gagasan. Pendidik adalah bukan orang yang mampu
memberikan pengetahuan kepada peserta didik, sebab peserta didik yang harus
mengkonstruksikan pengetahuan kepada peserta didik, sebab peserta didik yang
harus mengkonstruksikan pengetahuan di dalam memorinya sendiri. Sebaliknya,
tugas utama pendidik adalah:
a. Memperlancar peserta didik dengan cara mengajarkan cara-cara membuat
informasi bermakna dan relevan dengan peserta didik.
b. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan atau
menerapkan gagasannya sendiri; dan
c. Menanamkan kesadaran belajar dan menggunakan strategi belajarnya sendiri.
Intisari teori konstruktifisme adalah bahwa peserta didik harus menemukan
dan menstransformasikan informasi kompleks ke dalam dirinya sendiri. Teori ini
memandang peserta didik sebagai individu yang selalu memeriksa informasi baru
yang berlawanan dengan prinsip-prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-
prinsip tersebut apabila sudah dianggap tidak dapat digunakan lagi. Hal ini
memberikan implikasi bahwa peserta didik harus terlibat aktif dalam kegiatan
pembelajaran.
Menurut pandangan teori rekonstrivisik, belajar berarti mengkonstruksi
makana atas informasi dan masukan-masukan yang masuk ke dalam otak. Belajar
yang bersifat konstruktif ini sering digunakan untuk menggambarkan jenis belajar
yang terjadi selama penemuan ilmiah, invention, diplomasi, dan pemecahan
masalah kreatif di dalam kehidupan sehari-hari. Belajar yang bersifat konstruktif
ini seperti hanya aktifitas belajar yang dilakukan oleh para ilmuwan.
Asumsi tentang belajar dari teori konstruktifisme menyampaikan perubahan
paradigma dari pendidikan berdasarkan aliran behaviorisme kepada pendidikan
berdasarkan teori kognitif. Selanjutnya konstruktivisme menetapkan empat
asumsi tentang belajar yaitu pengetahuan secara fisik dikontruksikan oleh peserta
didik yang terlbat dalam belajar aktif, pengetahuan secara simbolik
dikonstuksikan oleh peserta didik yang membuat representasi atas kegiatannya
sendiri, pengetahuan secara sosial dikonstruksikan oleh peserta didik yang
menyampaikan maknanya kepada orang lain, pengetahuan secara teoritik
dikonstruksikan oleh peserta didik yang mencoba menjelaskan objek yang tidak
benar-benar dipahaminya.
Untuk strategi belajar konstruktivisme, penentuan strategi belajar umumnya
tidak seluruhnya efektif bagi setiap orang, artinya: mungkin strategi yang
digunakan itu efektif untuk seseorang, namun tidak efektif bagi orang lain.
Kebermaknaan strategi belajar yang efektif itu tergantung pada karakteristik
individu dalam belajar, dan penggunaan strategi belajar dalam mempelajari
sesuatu. Apabila yang dipelajari itu berupa konsep, misalnya, tentu menggunakan
strategi yang berbeda ketika seseorang belajar tentang fakta. Thomas dan Rohwer
menyajikan beberapa prinsip belajar yang efektif yaitu spesifikasi, pembuatan,
pemantauan yang efektif dan kemujaraban personal.
3. Teori Belajar Humanistik
a. Akar gerakan humanistik
Teori belajar dan pendidikan humanistic diawali oleh munculnya gerakan
mahapeserta didik pada tahun 1960an karena meraka tidak menyukai terhadap
proses dan hasil pendidikan di Amerika Serikat yang telah mereka
peroleh.gerakan yang disampaikan itu merupakan respon atas ketidakpuasan atas
kompetisi, tekanan, kehidupan yang selalu diawasi, dan ketidaksesuaian apa yang
mereka pelajari dengan apa yang mereka amati ketika belajar di sekolah. Gerakan
itu juga memunculkan nama-nama gerakan pendidikan baru dengan berbagai
sebutan seperti romantise, sistem pendidikan alternatif, dan pendidikan
humanistik.
Praktik pendidikan yang dilawan oleh para tokoh gerakan itu adalah
pendidikan di sekolah yang selalu diarahkan oleh pendidik (direct instruction).
Pendidikan yang diarahkan oleh pendidik itu mengutamakan pada peningkatan
pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Dalam pendidikan humanistic, fokus
utamanya adalah hasil pendidikan yang bersifat efektif, belajar tentang cara-cara
belajar (learning how to learn), dan meningkatkan kreativitas dan semua potensi
peserta didik. Praktik pendidikan humanistik berkembang di Amerika Serikat
pada tahu 1960an dan mencapai puncaknya pada tahun 1990an dengan
munculnya tokoh-tokoh psikologi seperti Abraham Maslow dan Carls Rogers.
Praktik pendidikan humanistik tidak jauh berbeda dengan pendidikan
progresif selama pertama tahun 1990an. John Dewey adalah salah seorang
pelapor pendidikan progresif yang melawan pendidikan yang tidak relevan
dengan masyarakat industri. Dia melawan orang-orang yang berpegang teguh
pada waktu, menolak gagasan psikologi modern, penggunaan latihan (drill)
sebagai metode pembelajaran, dan beberapa aspek pendidikan yang tidak
memiliki nilai manfaat dan bersifat dekoratif para pendidik humanistik
merupakan penerus dari gagasan John Dewey tersebut. Mereka percaya bahwa
masyarakat perkotaan kontemporer akan menjadi masyarakat yang tidak peka
terhadap lingkungan.oleh karena itu pendidikan yang mnyajikan bahan belajar
spesifik dan diorganisir secara ketat, penggunaan metode pembelajaran yang
sistematis, memotivasi peserta didik,pengelolaan kelas, dan asesmen kemajuan
belajar peserta didik yang dilakukan oleh pendidik sebagaimana yang telah
berlangsung pada waktu itu akan mampu meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan peserta didik, namun tidak akan mampu menumbuh kembangkan
kepekaan anak, belajar tentang cara-cara belajar, dan meningkatkan kreatifitas
dan potensi anak. Para pakar pendekatan humanistik percaya bahwa setiap
individu anak memiliki sifat-sifat kebajikan yang berasal dari dalam dan bersifat
realitik. Demikian pula anak-anak akan berkembang sepanjang mereka mampu
mengembangkannya.
Hasi belajar dalam pandangan humanistik adalah kemampuan peserta didik
mengambil tanggung jawab dalam menentukan apa yang dipelajari dan menjadi
individu yang mampu mengarahkan diri sendiri dan mandiri. Disamping itu
pendekatan humanistik memandang pentingnya penekanan pendidikan di bidan
kreatifitas, minat terhadap seni, dan hasrat ingin tahu.oleh karena itu pendekatan
humanistik kurang menekankan pada kurikulum standar, perencanaan
pembelajaran, ujian sertifikat pendidik, dan kewajiban hadir sekolah.
b. Prinsip-Prinsip belajar
Ada beberapa asumsi yang mendasari pendekatan humanistik dalam
pendidikan. Pertama, peserta didik mempelajari apa yang mereka butukan dan
ingin diketahui. Kedua, belajar tentang cara-cara belajar adalah lebih penting
dibandingkan dengan memperoleh pengetahuan actual. Ketiga, evaluasi yang
dilakukan oleh peserta didik sendiri adalah sangat bermanfaat dari pekerjaannya.
Keempat, perasaan adalah sama pentingnya dengan fakta, dan belajar merasakan
adalah sama pentingnya dengan belajar cara-cara berpikir. Kelima, belajar akan
terjadi apabila peserta didik tidak merasakan adanya ancaman.
1. Swa arah (self-direction)
Prinsip ini menyatakan bahwa sekolah hendaknya memberikan kepada
peserta didik untuk memutuskan bahan belajar yang ingin dipelajari.
2. Belajar tentang cara-cara belajar (learning how to learn)
3. Evaluasi diri (self-evaluation)
4. Pentingnya perasaan (important of feelings)
5. Bebas dari ancaman (freedom of threat)

D. Transfer Belajar
Pengetahuan dan ketrampilan siswa sebagai hasil belajar masa lalu, sering kali
mempengaruhi proses belajar yang sedang dialaminya sekarang. Inilah yang disebut
transfer dalam belajar. Transfer dalam belajar sering disebut transfer belajar (transfer of
learning), mengandung arti pemindahan keterampilan hasil belajar dari satu situasi ke
situasi lainnya. Kata pemindahan keterampilan tidak berkonotasi hilangnya
keterampilan melakukan sesuatu pada masa lalu, Karena diganti dengan keterampilan
baru pada masa sekarang.
Peristiwa pemindahan pengaruh (transfer) pada umumnya atau hampir selalu
membawa dampak, baik positif maupun negatif terhadap aktifitas dan hasil pembelajaran
materi pelajaran atau keterampilan lain. Sehingga, transfer dapat dibagi dua kategori,
yakni transfer positif dan transfer negatif.
Menurut theory of identical element yang dikembangkan oleh E.L. Thorndike,
transfer positif biasanya terjadi bila ada kesamaan elemen antara materi yang lama
dengan materi yang baru. Contoh: seseorang siswa yang telah menguasai matematika
akan mudah mempelajari statistika. Contoh lain yang lebih gamblang ialah kepandaian
mengendarai sepeda membuat orang mudah belajar naik sepeda motor.
Sebaliknya, orang yang sudah terbiasa mengetik dengan menggunakan dua jari, kalau
belajar dengan orang yang sudah terbiasa mengetik menggunakan dua jari, kalau
mengetik dengan sepuluh jari akan lebih banyak mengalami kesukaran dari pada orang
yang baru sajaa belajar mengetik. Pengalaman kesukaran inilah yang disebut transfer
negative. Artinya, keterampilan yang sebelumnya sudah dimiliki menjadi penghambat
belajar keterampilan lainnya.
Menurut Gegne seorang education psycologyst (pakar psikologi pendidikan), transfer
dalam belajar dapat digolongkan dalam empat kategori.
1. Transfer positif, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar
selanjutnya;
2. Transfer negatif, yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar
selanjutnya;
3. Transfer vertical, yaitu transfer yang berefek baik terhdap kegiatan belajar
pengetahuan atau keterampilan yanglebih tinggi;
4. Transfer literal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar
pengetahuan atau keterampilan sederajat.
Terjadinya transfer positif dalam belajar diatas telah diuraika secukupnya mengenai
transfer positif dan signifikansinya bagi kegiatan belajar siswa. Namun bagaimanakah
sebenarnya transfer positif itu terjadi dalam diri siswa? Benarkah siswa akan mudah
mempelajari materi Y karena mengandungunsur yang identik dengan materi X yang
telah dikuasainya?
Transfer positif, seperti yang telah diutarakan di muka, akan mudah terjadi pada diri
seseorang siswa apabila situasi belajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi sehari-
hari yang akan ditempati siswa tersebut kelak dalam mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan yang telah dipelajari di sekolah. Transfer positif dalam pengertian inilah
sebenarnya yang perlu diperhatikan guru, mengingat tujuan pendidikan secara umum
adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas inilah yang didapat
dari lingkungan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
E. Prinsip-Prinsip Belajar
Prinsip belajar adalah konsep-konsep yang harus diterapkan di dalam proses belajar
mengajar. Beberapa prinsip-prinsip belajar yang dimaksud yaitu
1. Keterdekatan (contiguity)
Prinsip keterdekatan menyatakan bahwa situasi stimulus yang hendak direspon oleh
pembelajar harus disampaikan sedekat mungkin waktunya dengan respon yang
diinginkan.
2. Pengulangan (Repetition)
Prinsip ini menyatakan bahwa situasi stimulus dan responnya perlu diulang-ulang,
atau dipraktikkan, agar belajar dapat diperbaiki dan meningkatkan retensi belajar.
3. Penguatan (Reinforcement)
Prinsip penguatan menyatakan bahwa belajar sesuatu yang baru akan diperkuat
apabila belajar yang lalu diikuti oleh perolehan hasil yang menyenangkan. Dengan
kata lain pembelajar akan kuat motivasinya untuk mempelajari sesuatu yang baru uhi
apabila hasil belajar yang telah tercapai memperoleh penguatan.
Gagne disamping mengakui pentingnya ketiga prinsip tersebut, dan ketiga
prinsip itu dianggap sangat mempengaruhi belajar, selain itu Gagne mengusulkan
tiga prinsip lain yang menjadi kondisi internal yang harus ada dalam diri pembelajar.
Ketiga prinsip itu harus dimiliki oleh pembelajar sebelum melakukan kegiatan
belajar baru. Ketiga prinsip itu adalah
1. Informasi factual (faktual information)
Informasi faktual, ini dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu:
a. Dikomunikasikan kepada pembelajar;
b. Dipelajari oleh pembelajar sebelum memulai belajar baru;
c. Dilacak dari memori, karena informasi itu telah dipelajari dan disimpan di dalam
memori selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun yang lalu.
2. Kemahiran intelektual (intellectual skill)
Pembelajar harus memiliki berbagai cara dalam mengerjakan sesuatu, terutama yang
berkaitan dengan symbol-simbol bahasa dan lainnya, untuk mempelajari hal-hal baru.
Pertama, mungkin ada stimulus untuk mengingat kemahiran intelektual itu dengan
bantuan beberapa petunjuk verbal. Misalnya, pembelajar diminta belajar kaidah
tentang mekanika, pendidikan menyatakan: kamu harus ingat tentang cara
menemukan nilai variabel dalam suatu persamaan. Perlu diketahui bahwa kemahiran
intelektual harus telah dipelajari sebelumnya agar dapat digunakan atau diingat ketika
diperlukan.
3. Strategi (strategy)
Strategi, Setiap aktivitas memerlukan pengaktifan strategi belajar dan mengingat.
Pembelajar harus mampu menggunakan strategi untuk menghadirkan stimulus yang
kompleks; memilih dan membuat kode bagian-bagian stimulus; memecahkan
masalah; dan melacak kembali informasi yang telah dipelajari. Pembelajar yang telah
dewasa dalam melakukan aktivitas belajar umumnya dibantu oleh kemampuan
pengelolaan diri (self-managenment). Kemampuan mengelola diri dalam belajar ini
pada akhirnya menjadikan pembelajar sebagai pembelajar diri (self`-learners).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan:
Pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Belajar adalah proses
penting bagi perubahan perilaku setiap orang dan belajar itu mencangkup segala
sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh seseorang. Kegiatan belajar adalah suatu
kegiatan dari tdak tahu menjadi tahu. Belajar jua merupakan proses bagi manusia
untuk menguasai kompetensi, keterampilan, dan sikap.
Dengan adanya teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam
menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Pada dasarnya,
teori belajar menitik beratkan ketercapaian perubahan tingkah laku setelah proses
pembelajaran.

B. Saran
Janganlah kita mudah putus asa dalam menuntut ilmu dan terus belajar. Mohon
untuk teman-teman menambahkan saran bahkan kritik untuk makalah ini karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah Taala.
DAFTAR PUSTAKA

Islamuddin, Haryu. 2012. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Achmad, R.R., dan Catharina Tri Anni. 2012. Psikologi Pendidikan. Semarang: Pusat
Pengembangan MKU-MKDK UNNES 2012.

Anda mungkin juga menyukai