Anda di halaman 1dari 14

MODEL PEMBELAJARAN

CREATIVE PROBLEM SOLVING (CPS)

Disusun sebagai salah satu untuk memenuhi tugas mata kuliah


Teori Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampu:
Dr. Sri Sulistyorini, M.Pd.
Dr. Scholastika Mariani, M.Si.

Disusun Oleh:
NUR LAESIYAH FITRIYANTI
0103516063

PENDIDIKAN DASAR KONSENTRASI MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Guru sebagai pendidik atau pengajar dapat memilih ataupun
memodifikasi model-model pembelajaran inovatif yang dikembangkan oleh para
ahli. Dengan inovasi-inovasi tersebut diharapkan peserta didik dapat berperan
aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Salah satu aspek penting yang
mempengaruhi pembelajaran adalah model pembelajaran yang menunjang siswa
untuk aktif didalam pembelajaran didalam kelas, oleh karen itu untuk
menghidupkan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan guru
harus pandai-pandai memilih model apa yang tepat digunakan didalam kelas
sesuai dengan mata pelajaran dan materi yang akan disampaikan.
Model CPS (creative problem solving) dipilih oleh peneliti karena model
ini sangat cocok untuk diaplikasikan di Sekolah Dasar, banyak siswa yang
kesulitan dalam mata pelajaran matematika khususnya pada materi bangun ruang,
siswa bingung membedakan mana itu sisi, rusuk dan titik sudut. Selain itu siswa
biasanya dituntut menghafal rumus-rumus bangun ruang sehingga siswa masih
bingung menerapkan rumus-rumus yang akan dipakai didalam menghitung lus
bangun datar. Proses pembelajaran seperti ini yang akan membuat siswa menjadi
kebingungan dalam penggunan rumus yang akan dipakai sehingga siswa
cenderung tidak bisa mengerjakan latihan soal yang guru berikan dan pemahaman
tentang materi tersebut kurang diserap oleh siswa yang akan berdampak kepada
ketidak aktifan siswa dalam pembelajaran matematika.

1.2.Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan serta memberi pembatasan terhadap
pembahasan, maka makalah ini disusun atas beberapa rumusan masalah sebagai
berikut.
1. KI dan KD apa yang akan disampaikan di dalam kelas?
2. Teori belajar apasajakah yang sesuai untuk pembelajaran matematika?
3. Apakah yang dimaksud model pembelajaran CPS?
1.3. Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah ditentukan tersebut, maka dapat
ditentukan tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui KI dan KD yang akan dipelajari di dalam kelas
2. Untuk mengetahui teori-teori belajar yang sesuai dengan pembelajaran
matematika
3. Untuk mengetahui model pembelajaran CPS
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Materi Pembelajaran Matematika Kelas V


2.1.1 Kompetensi Inti
KI 1: Menerima, menjalankan,danmenghargaiajaran agama yang dianutnya.
KI 2: Menunjukkanperilakujujur, disiplin, tanggungjawab, santun, peduli,
danpercayadiridalamberinteraksidengankeluarga, teman, guru dantetangganya.
KI 3:
Memahami pengetahuan faktual dan konseptual dengan cara mengamati dan
menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan
dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah, dan
tempat bermain

KI 4:
Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam bahasa yang jelas,
sistematis, logis dan kritis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang
mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku
anak beriman dan berakhlak mulia

2.1.2 Kompetensi Dasar


3.5. Menjelaskan, dan menentukan volume bangun ruang dengan menggunakan
satuan volume (seperti kubus satuan) serta hubungan pangkat tiga dengan akar
pangkat tiga
4.5. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan volume bangun ruang dengan
menggunakan satuan volume (seperti kubus satuan) melibatkan pangkat tiga dan
akar pangkat tiga
2.2 Teori Pembelajaran Matematika
2.2.1 Teori Belajar Piaget
Piaget (dalam Hidayat, 2005:3) menyebutkan manusia tumbuh,
beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan
kepribadian, perkembangan sosio emosional, dan perkembangan kognitif.
Perkembangan kognitif sebagaian besar bergantung kepada seberapa jauh siswa
memanipulasi dan aktif dalam beinteraksi dengan lingkungan. Kemampuan
kognitif berkembang melalui tahap sensori motorik (sensory-motor-stage) sejak
manusia lahir sampai usia 2 tahun; tahap pra-operasional (pre-operational-
stage) dari usia 2 tahun sampai 7 tahun; tahap operasi kongkrit (cooncrete-
operational-stage), dari usia 7 tahun sampai 12 tahun; dan tahap operasi formal
(formal-operational-stage), usia 12 tahun keatas. Dalam penelitian ini, prinsip
Piaget dalam pembelajaran matematika SD diterapkan dalam program-
program yang menekankan pembelajaran melalui penemuan, konstruksi
pengetahuan dan pengalaman-pengalaman nyata serta peranan guru sebagai
fasilitator yang mempersiapkan lingkungan dan kemungkinan siswa dapat
memperoleh berbagai pengalaman belajar.

2.2.2 Teori Belajar Bruner


Proses belajar menurut teori Brunner, sebagaimana dikutip oleh Suherman et
al. (2003), mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya, anak melewati tiga
tahap, yaitu: (1) tahap enaktif, yaitu pengetahuan itu dipelajari dengan
menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi nyata; (2) tahap
ikonik, yaitu pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual,
gambar, atau diagram yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret
yang terdapat pada tahap enaktif; (3) tahap simbolik, yaitu pengetahuan itu
direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak.
Kontribusi teori Brunner dalam penelitian ini adalah tahapan-tahapan enaktif,
ikonik, dan simbolik selaras dengan prinsip pendekatan realistik yang diterapkan
dalam PBL. Pembelajaran yang akan diterapkan menuntut adanya fasilitasi siswa
untuk belajar dari tahap informal menuju formal. Hal ini dapat dilakukan dengan
Perkembangan tahap informal menuju formal ini dapat difasilitasi dengan
menerapkan teori Brunner.Menurut Brunner (dalam Hidayat, 2005:8), jika
seseorang mempelajari suatu pengetahuan (misalnya konsep matematika),
pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu agar dapat
diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut. Tahap-tahap
yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana suatu
pengetahuan dipelajari secara aktif dengan menggunakan benda-benda
konkret atau situasi nyata.
2. Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan
direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual, gambar, atau diagram,
yang menggambarkan kegiatan konkrit atau situasi nyata pada tahap enaktif.
3. Tahap simbolik, yaitu suatu tahap di mana pengetahuan itu
direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak, baik simbol verbal,
lambang matematika, maupun lambang abstrak lain.

2.2.3 Teori Belajar Ausubel


Belajar menurut Ausubel dibedakan menjadi dua. Pertama, kegiatan
belajar yang bermakna (meaningful learning) jika siswa mencoba
menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Ketika pengetahuan yang baru tidak berkaitan dengan pengetahun yang ada
maka pengetahuan yang baru itu akan dipelajari siswa sebagai hafalan.
Kedua, kegiatan belajar tidak bermakna (rote learning) di mana siswa hanya
menghafal apa yang diberikan oleh guru tanpa mengetahui apa makna yang
dihafal (Suherman, 2003:32-33). Teori belajar Ausubel ini berhubungan erat
ketika siswa menyusun hasil temuan dengan mengkaitkan pengetahuan dan
pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya dengan pengetahuan baru
yang akan dipelajari. Teori belajar Ausubel memberikan penjelasan mengenai
belajar menerima dan belajar menemukan. Pada belajar menerima, siswa hanya
menerima informasi dan menghafal, sedangkan pada belajar menemukan, siswa
dibimbing untuk menemukan konsep. Ausubel menekankan bahwa belajar
menemukan inilah yang merupakan belajar yang bermakna (Suherman et.al.,
2003).
Lebih jauh Hudojo (2003) mengutip pandangan Ausubel bahwa belajar
dikatakan menjadi bermakna bila informasi yang akan dipelajari siswa disusun
sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga mereka dapat
mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Kontribusi teori ini terletak pada prinsip pengaitan informasi baru dengan
informasi yang telah dimiliki siswa digunakan ketika memahami masalah.

2.2.4. Teori Belajar Vygotsky


Teori belajar menurut Vygotsky menekankan bahwa interaksi sosial dan
interaksi kultural historis merupakan faktor yang penting bagi perkembangan
kognitif anak (Schunk, 2012). Vygotsky juga mengenalkan konsep Zone of
Proximal Development (ZPD), yaitu perbedaan antara apa yang anak bisa lakukan
sendiri dengan apa yang bisa mereka lakukan jika bekerja sama dengan orang lain.
Interaksi dengan teman sebaya dan orang tua mendorong perkembangan kognitif
anak. Selanjutnya, perkembangan kognitif ini diupayakan dengan proses
scaffolding, yaitu bantuan secara bertahap diberikan kepada anak.
Dalam penelitian ini, pandangan Vygotsky diterapkan dalam fase-fase
PBL, terutama pada saat mengorganisasi siswa dalam belajar, membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok, dan mengembangkan hasil karya.
Interaksi sosial yang menjadi kegiatan utama siswa dalam belajar dapat
terfasilitasi dengan mengorganisasi siswa dalam belajar dalam kelompok.
Prinsip scaffolding juga diterapkan dalam membimbing penyelidikan
individual maupun kelompok. Bimbingan diberikan oleh guru secara bertahap dari
porsi yang banyak dan semakin berkurang seiring dengan semakin mandiri dan
terampilnya siswa.

2.2.5. Teori Kontruktivisme


Doolitte dan Camp, sebagaimana dikutip oleh Rochmad (2014),
mengklasifikasikan pengertian konstruktivisme dalam konstruktivisme kognitif
(cognitive constructivism), konstruktivisme radikal (radical constructivism), dan
konstruktivisme sosial (social constructivism). Konstruktivisme kognitif meyakini
bahwa belajar merupakan proses internalisasi dan konstruksi dari realitas
eksternal. Sedangkan konstruktivisme radikal dan sosial menekankan pada
pentingnya pengetahuan obyektif (objective knowledge).
Konstruktivisme radikal mengarah pada prinsip-prinsip yang berkaitan
dengan sifat-sifat internal dari pengetahuan dan ide bahwa realitas eksternal ada,
tetapi tidak diketahui oleh individu karena pengalaman seseorang terhadap
bentuk-bentuk realitas eksternal memerlukan perantara indera, sedangkan indera
tidak memberikan representasi akurat dari bentuk-bentuk realitas eksternal,
misalnya dalam mengamati benda-benda konkret kadang memberikan persepsi
berbeda-beda di benak siswa. Konstruktivisme sosial meyakini bahwa
pengetahuan merupakan hasil dari interaksi sosial dan pemakaian bahasa, bukan
pengalaman yang hanya dihasilkan secara individu.
Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa: (1) konstruktivisme kognitif dan
konstruktivisme radikal lebih menekankan pada konstruksi pengetahuan secara
individu berdasar pengalaman sendiri, interaksi sosial dipandang sebagai
pendukung proses konstruksi pengetahuan secara individu berdasar pengalaman
sendiri; (2) konstruktivisme sosial lebih menekankan konstruksi pengetahuan
melalui proses interaksi sosial.

2.3 CPS (Creative Problem Solving)


Menurut Pepkin (2004: 1) model CPS adalah suatu model pembelajaran
yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan
masalah, yang diikuti dengan penguatan kreativitas. CPS merupakan representasi
dimensi-dimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. CPS
merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih terampil sebab siswa
mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal. Melalui CPS, siswa
dapat memilih dan mengembangkan ide serta pemikirannya. CPS lebih
menekankan pada pentingnya penemuan berbagai alternative ide dan gagasan,
untuk mencari berbagai macam kemungkinan tindakan pada setiap langkah dari
proses pemecahan masalah yang digunakan. Model CPS menurut Isaksen (1995)
terdiri dari tiga komponen utama yaitu (1) understanding the problem (memahami
masalah) yang teridri dari (a) Mess Finding (upaya mengidentifikasi situasi yang
menyajikan tantangan berupa masalah) (b) Data Finding (upaya mengenali semua
fakta terkait dengan situasi yang dihadapi dan mengenali hal-hal yang tidak
diperlukan), (c) problem finding (upaya mengenali semua kemungkinan masalah
dan memilah masalah yang paling penting); (2) generation ideas (menemukan ide-
ide) yang berupa ideas finding, yaitu upaya mengidentifikasi sebanyak mungkin
kemungkinan atau alternative pemecahan masalah; serta (3) planning for
action(merencakan tindakan) yang terdiri dari (a) solution finding (upaya
menentukan criteria untuk menganalisa dan menetapkan kemungkinan-
kemungkinan solusi) dan (b) acceptance finding (mempertimbangkan sumber-
sumber yang mendukung serta tindakan yang mungkin untuk penerapan solusi).
Osborn mengatakan CPS mempunyai 3 prosedur, yaitu:
1. Menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah,
mengumpulkan dan meneliti data serta informasi yang bersangkutan.
2. Menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan
memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah.
3. Menemukan solusi, yaitu proses evaluative sebagai puncak
pemecahan masalah.
Dua fase proses kreatif dalam pemecahan masalah menurut Von Oech,
yaitu fase imaginative an fase prakti. Dalam fase imaginative gagasan strategi
pemecahan masalah diperoleh dan dalam fase praktis, gagasan tersebut dievaluasi
dan dilaksanakan. Menurut Cahyono (2009) sasaran dari CPS dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut:
1. Siswa akan mampu menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan
masalah dalam CPS
2. Siswa mampu menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi
pemecahan masalah.
3. Siswa mampu mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan
tersebut kaitannya dengan criteria-kriteria yang ada.
4. Siswa mampu memilih suatu pilihan solusi yang optimal
5. Siswa mampu mengembangkan suatu rencana dalam mengiplementasikan
strategi pemecahan masalah
6. Siswa mampu mengartikulasikan bagaimana CPS dapat digunakan dalam
berbagai bidang/situasi
Pendekatan pembelajaran menurut Sanjaya (2008) adalah suatu sudut
pandang mengenai terjadinya proses pembelajaran secara umum yang terdiri dari
student centered approach dan teacher centered approach, sedangkan model
pembelajaran mencerminkan penerapan pendekatan, strategi, metode, teknik,
ataupun taktik pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pada dasarnya pendekatan saintifik dapat diterapkan pada berbagai macam model
pembelajaran, termasuk CPS. Menurut Pepkin (2004) langkah-langkah yang
dimaksud tersaji pada table 2.4.
Table 2.1. Sintaks Pembelajaran CPS
Tahap Uraian kegiatan yang dilakukan
1. Klasifikasi masalah Klasifikasi masalah meliputi
pemberian penjelasan kepada siswa
tentang masalah yang diajukan, agar
siswa dapat memahami tentang
penyelesaian seperti apa yang
diharapkan.
2. Pengungkapan pendapat Pada tahap ini siswa dibebaskan untuk
mengungkapkan pendapat tentang
berbagai macam strategi penyelasaian
masalah.
3. Evaluasi dan pemilihan Pada tahap evaluasi dan pemilihan ini,
setiap kelompok mendiskusikan
pendapat-pendapat atau strategi-
strategi mana yang cocok untuk
menyelesaikan masalah.
4. Implementasi Pada tahap ini siswa menentukan
startegi mana yang dapat diambil
untuk menyelesaikan masalah,
kemudian menerapkannya samapi
menemukan penyelesaian dari
masalah tersebut.
Table 2.2. Sintaks model CPS
CPS Tahap-tahap Kegiatan pembelajaran
pembelajaran
Klasifikasi Mess finding Guru memberikan suatu
masalah permalasahan. Siswa mengamati
permasalahan yang diberikan
untuk mengidentifikasi situasi
yang menyajikan tantangan
berupa masalah. sebelum
masalah disajikan siswa dapat
memberikan definisi masalah
yang akan disajikan (mengamati)
Data finding mengenali semua fakta-fakta
terkait permasalahan dan
mengenali hak-hak yang tidak
diperlukan sehingga siswa
dituntut untuk memahami konten
terhadap semua fakta-fakta
terkait permasalahan tersebut
Pengungkapan Mengajukan pertanyaan dan
pendapat pendapat untuk menemukan
fakta-fakta terkait masalah yang
diajukan sehingga pada saat
proses pembelajaran tidak
tumpang tindih (menanya).
Mengumpulkan informasi terkait
masalah yang disajikan
(mengumpulkan informasi)
Evaluasi dan Problem finding Mengevaluasi dan memilih
pemilihan strategi yang cocok untuk
menyelesaikan masalah
Idea finding Mengidentifikasi kemungkinan-
kemungkinan pemecahan
masalah terkait dengan masalah
dengan melihat konteks
permasalahan.
Implementasi Solution finding Menentukan criteria untuk
menentukan kemungkinan
pemecahan masalah yang terbaik.
Merencanakan pemecahan
Acceptance finding masalah (menalar)
Menerapkan rencana untuk
memecahkan masalah.
menyimpulkan dan
mempresentasikan hasil
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
CPS adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada
pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan
kreativitas. CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami,
bukan suatu usaha yang dipaksakan.
3.2 Saran
Agar didalam proses pembelajaran menjadi menyenangkan dan berkesan
oleh siswa, sebaiknya sebagai guru yang kreatif harus bisa menghidupkan proses
pembelajaran dengan cara menggunakan model yang sesuai dengan materi
pelajaran dan menggunakan media pembelajaran atau alat peraga yang dapat
merangsang peserta didik untuk aktif untuk membangun pengetahuannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rohani. (1997). Media instrusional edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.


Arif F. Sadiman. (2006). Media pendidikan: Pengertian, pengembangan dan
pemanfaatannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Aristo Rahardi. (2004). Media pembelajaran. Jakarta:Dirjen Dikdasmen.
Azhar Arsyad. (2003). Media pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 16 tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru SD/MI.
Piran Wiroatmojo & Sasono harjo. (2002). Media pembelajaran. Jakarta: LAN.
Seels. B.B. & Richey. C. R. (1994). Instructional technology: The definition and
domains of the field. Washington: AECT.
Yusufhadi Miarso. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta:
Pustekkom.

Anda mungkin juga menyukai