Anda di halaman 1dari 19

Perkembangan Kognitif: Vigotsky

Diajukan untuk Memenuhi Tugas


Dosen Pembimbing : Dr. Awalya, M.Pd., Kons
Dr. Amin Yusuf, M.Si

Disusun Oleh :
1. Ane Armitha P 0103516043
2. Arief Tri Gunanto 0103516084

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


KONSENTRASI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beberapa pertanyaan yang pokok dalam teori perkembangan kognitif adalah :
dengan alat dan cara apa orang memperoleh pengetahuan, menyimpan, dan
menggunakannya. Pada prinsipnya hal ini berhubungan dengan alat-alat pengenalan
dan bentuk-bentuk pengenalan. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai
berfikir dan mengamati, jadi tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh
pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Perkembangan
kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang
hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia
mengenalkan poin penting tentang pikiran anak tersebut sudah lebih dari setengah
abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang semakin besar ketika
memasuki akhir abad ke-20.
Vygostsky adalah seorang sarjana hukum yang menyelesaikan studinya di
Universitas Moskow pada tahun 1917. Beliau melanjutkan studi dalam bidang
filsafat, psikologi, dan sastra di fakultas Psikologi Universitas Moskow dan
menyelesaikan studinya pada tahun 1925 dengan judul disertasi The Psychology of
Art. Dengan latar belakang ilmu yang demikian banyak memberikan inspirasi pada
pengembangan teknologi pembelajaran, bahasa, psikology pendidikan, dan berbagai
teori pembelajaran. Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet pada
tahun 1920-an dan 1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat
pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh
di dunia pendidikan. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan
Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dicirikan dengan gaya
berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget
bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas
batinnya sendiri.

1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah konsep perkembangan social?
1.2.2 Bagaimanakah konsep perkembangan bahasa?
1.2.3 Bagaimanakah konsep zone perkembangan proksimal?
1.2.4 Bagaimanakah konsep scaffolding?
1.2.5 Bagaimanakah pendekatan konstruktivisme?

1.3. Tujuan
Berdasarkah rumusan masalah tersebut, tujuan makalah ini yakni sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui konsep pengembangan sosial.
1.3.2 Untuk mengetahui konsep pengembangan bahasa.
1.3.3 Untuk mengetahui konsep zone perkembangan bahasa.
1.3.4 Untuk mengetahui konsep scaffolding.
1.3.5 Untuk mengetahui pendekatan kontruktivisme.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep perkembangan social
Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai
sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky
menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan
masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga
menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari
orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai alat kebudayaan
tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan
pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang
dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota
lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional
maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional,
sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi
aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan
melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma
perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya.
Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada
keberfungsian mental anak. Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan
dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung.
Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan
interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia.
Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di
dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak
menjadi matang.
Lingkungan sosial yang menguntungkan anak adalah orang dewasa atau anak
yang lebih mampu yang dapat memberi penjelasan tentang segala sesuatu sesuai
dengan nilai kebudayaan. Sebagai contoh, bila anak menunjuk suatu objek, orang
dewasa tidak hanya menjelaskan tentang obyek tersebut, namun juga bagaimana
anak harus berperilaku terhadap objek tersebut (Rita, dkk, 2008:134).

2.2. Konsep perkembangan bahasa


Para pakar perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya
duduk, berjalan, atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan
urutan respons (Skinner,1957) atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak
diantara kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau
membicarakannya sebelumnya.
Kita tidak mempelajari bahasa di dalam suatu ruang hampa sosial (social vacuum).
Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita
memerlukan pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh
keterampilan bahasa yang baik (Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini,
kebanyakan peneliti penguasaan bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai
konteks sosial yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara
khusus dan dalam beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993).
Dengan demikian aspek yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya
tidaklah banyak. Walaupun begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya
memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu
peran lingkungan yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa
pada anak kecil disebut motherese, yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara
pada bayi dengan frekuensi dan hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan
dengan kalimat-kalimat yang sederhana.
Bahasa dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap
perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada
dasarnya mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991;
Maratsos, 1991). Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat
dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak
sejak usia dini jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di
masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989). Vygotsky menyatakan bahwa ada tiga
tahapan dari perkembangan bahasa. Hal tersebut digambarkan dalam tabel 3.1,
berdasarkan Luna (1992) dan LeFrancis (1994).
Tahapan perkembangan bahasa Vygotsky
TAHAPAN PERKIRAAN DESKRIPSI / GAMBARAN
USIA
Pembicara Lebih dari 3 Pembicaraan digunakan untuk mengontrol kebiasaan
sosial tahun orang lain. Mengekspressikan emosi dan gagasan yang
(Pembicaraan simpel/biasa.Contoh nya saya mau ayah. Ini
eksternal) menimbulkan kebiasaan-mengiginkan ayah.
Pembicaraan 3-7 tahun Anak-anak berbicara sendiri tanpa memperhatikan
egosentris individu lain yang mendengarkannya. Mereka
mengatakan sesuatu dengan suara besar untuk
menunjukkan perilaku mereka. Mereka berbicara
tentang apa yang mereka lakukan dan kenapa. Alasan
mereka adalah bahasa harus dicarakan pada perilaku
langsung. Misalnya,seorang anak akan sering
mengatakan hop , scotch (hopscotch=main jingkat).
Hop/loncat ketika bermain permainan jingkat seolah-
olah ingin memberitahukan tubuh mereka untuk
melakukan apa.
Pembicaraan 7 tahun ke atas Pembicaraan inti ini adalah diam (dalam hati); itu
inti/mendala dan dewasa digunakan untuk gagasan dan kebiasaan secara
m langsung. Ketiakan tahapan ini dicapai individu bisa
terlibat dalam semua tiga tipe fungsi mental lebih tinggi.
Seorang dewasa bisa memiliki pembicaraan
inti/mendalam tentang apa yang mereka masak untuk
makan malam atau akan mengatakan apa ketika mereka
bertemu seseorang. Ini mempersiapkan mereka dan
prilaku langsung pada situasi sebenarnya.

Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif


daripada Piaget. Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap
perkembangan yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap
perkembangan kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari
interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah
komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak
mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu
memecahkan masalah.
Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan bahasa untuk
menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari menyelesaikan masalah.
Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret, percakapan batiniah tidak
terdengar lagi.
2.3. Zone perkembangan proksimal
Vygotsky (Yohanes, 2010: 129) mengemukakan konsep tentang Zone of
Proximal Development (ZPD), yang dapat diartikan sebagai Daerah Perkembangan
Terdekat (DPT). Menurut Vygotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat
dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah
secara mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di
bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya
yang lebih kompeten.
Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar
menangani tugas-tugas atau masalah kompleks yang masih berada pada jangkauan
kognitif siswa atau tugas-tugas tersebut berada pada Daerah Perkembangan Terdekat
(Zone of Proximal Development (ZPD)). Vygotsky (1978) mendefinisikan Zone of
Proximal Development (ZPD) sebagai berikut.
Zone of proximal development is the distance between the actual
developmental level as determined through independent problem
solving and the level of potential development as determined through
problem solving under adult guidance or in collaboration with more
capable peers.
ZPD (DPT) adalah jarak antara taraf perkembangan aktual, seperti yang
nampak dalam pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan
potensial, seperti yang ditunjukkan dalam pemecahan masalah di bawah bimbingan
orang dewasa atau dengan bekerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu.
Menurut Tharp & Gallimore (Yohanes, 2010: 131-132), tingkat perkembangan
ZPD (DPT) terdiri atas empat tahap, yaitu:
1. More Dependence to Others Stage
Tahapan dimana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain,
seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari
sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam
mengembangkan kognisi anak secara konstruktif.
2. Less Dependence External Assistence Stage
Tahap dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan
dari pihak lain, tetapi lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu
dirinya sendiri.
3. Internalization and Automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis.
Kasadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya
tanpa paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak
pada tahap ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari
identitas diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.
4. De-automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa,
dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada
tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari
kinerja sesungguhnya. Keempat tahapan perkembangan ZPD (DPT) di atas dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Empat Tahap Perkembangan ZPD

2.4. Konsep scaffolding


Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu
berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari
bambu, kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung.
Metafora ini harus secara jelas dipahami agar kebermaknaan pembelajaran dapat
tercapai. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan
yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses
pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat
positif. Scaffolding diartikan ke dalam bahasa Indonesia perancah, yaitu bambu
(balok dsb) yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak mendirikan rumah,
membuat tembok, dan sebagainya.

Strategi scaffolding didasarkan pada teori Vygotsky. Menurut Vygotsky


dalam Trianto (2010: 76) bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau
belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih
berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam
Zone of Proximal Development (ZPD) yaitu perkembangan sedikit di atas
perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih
tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu,
sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky dalam Adinegara (2010:1)
yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Adinegara
menjelaskan mengenai gagasan Vigotsky tentang zona perkembangan proksimal
ini mendasari perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep
kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat saling
terkait, perkembangan kemampuan seseorang tidak dapat dipisahkan dari konteks
sosial, dan sebagai bentuk fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam
kegiatan sosial.

Menurut pendapat para ahli diatas, dapat dijelaskan bahwa pendekatan


scaffolding perlu digunakan sebagai upaya peningkatan proses belajar mengajar,
sehingga siswa memiliki kemampuan dalam memahami konsep materi, sikap
positif juga keterampilan. Dalam pelaksanaan pembelajaran scaffolding, siswa
akan diberikan tugas kompleks, sulit dan pemberian bantuan kepada siswa hanya
pada tahap -tahap awal pembelajaran. Kemudian mengurangi bantuan dan memberi
kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia
dapat melakukannya.

Vygotsky dalam Budiningsih (2005:107) menjelaskan bahwa dalam


kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk
mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkat
bantuan (helps / cognitive scaffolding) yang dapat memfasilitasi anak agar mereka
dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Menurut Ibrahim dan Nur (2000:
19) Vigotsky meyakini bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu
terbentuknya ide baru dan mempercayai perkembangan intelektual siswa. Bruner
juga menggunakan konsep scaffolding adalah suatu proses untuk membantu siswa
menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui
bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa dukungan terhadap peserta didik dalam
menyelesaikan proses belajar dapat berupa keaktifan peserta didik dalam proses
pembelajaran, strategi pembelajaran, keragaman model pembelajaran, bimbingan
pengalaman dari pembelajar, fasilitas belajar, dan iklim belajar peserta didik dari
orang tua di rumah dan pembelajar di sekolah. Dukungan belajar yang dimaksud di
sini adalah dukungan yang bersifat konkrit dan abstrak sehingga tercipta
kebermaknaan proses belajar peserta didik. Di samping penguasaan materi,
pembelajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran,
karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Apabila konsep pembelajaran
tersebut dipahami oleh para pembelajar, maka upaya mendesain pembelajaran
bukan menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan yang menantang.

Menurut Gasong (2007:1) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam
pendidikan. Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran
kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang
sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di
dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam
pengajaran menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin
bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut Vygotsky,
siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Secara umum, Gasong (2007: 1) mengemukakan langkah-langkah
pembelajaran scaffolding dapat dilihat pada tabel berikut 2.1

Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Scaffolding

Pembelajaran Strategi Scaffolding


a. Menjelaskan materi pembelajaran.
b. Menentukan Zone Of Proximal Development (ZPD) atau level
perkembangan siswa berdasarkan tingkat kognitifnya dengan melihat nilai
hasil belajar sebelumnya.
c. Mengelompokkan siswa menurut ZPD-nya.
d. Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang berkaitan
dengan materi pembelajaran.
e. Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar menyelesaikan soal-soal
secara mandiri dengan berkelompok.
f. Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh,
kata kunci atau hal lain yang dapat memancing siswa ke arah kemandirian
belajar.
g. Mengarahkan siswa yang memiliki ZPD yang tinggi untuk membantu
siswa yang memilki ZPD yang rendah.
h. Menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.

Dari definisi yang telah dijelaskan di atas dapat dijelaskan bahwa


scaffolding merupakan bantuan, dukungan (support) kepada siswa dari orang yang
lebih dewasa atau lebih kompeten khususnya guru yang memungkinkan
penggunaan fungsi kognitif yang lebih tinggi dan memungkinkan berkembangnya
kemampuan belajar sehingga terdapat tingkat penguasaan materi yang lebih tinggi.

2.5. Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan
dari dominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu
siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi
pengalamn, pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari
pembentukan pengertian baru ini. Pada bagian ini, kita melihat permulaan aliran
konstruktivisme , peranan pengalaman siswa dalam belajar dan bagaimana dapat
mengasimilasi pengertiannya. Konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang
mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan antropologi sebaik psikologi.
Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada abad ke-5 sebelum masehi. Ketika
Socrates memajukan pemikiran dari level sophist oleh metode perkembangan
sistematis yang ditemukan melalui gabungan antara pertanyaan dan alasan logika.
Metode baru ini yang mengkontribusi secara besar-besaran untuk memajukan aspek
pemecahan masalah aliran konstruktivisme. Penyelidikan atau pengalaman fisik,
pengalaman pendidikan adalah kunci metode konstruktivisme.
Selama abad ke-18 dan ke-17, filosof Inggris Frances Bacon memberikan ilmu
metode untuk menyelidiki lingkungan. Pendukung konstruktivisme percaya bahwa
pengalaman melalui lingkungan, kita akan mengikat informasi yang kita peroleh dari
pengalaman ini ke dalam pengertian sebelumnya, membentuk pengertian baru.
Dengan kata lain, pada proses belajar masing-masing pelajar harus mengkreasikan
pengetahuannya. Pada konstruktivisme, kegiatan mengajar adalah proses membantu
pelajar-pelajar mengkreasikan pengetahuannya. Konstruktivisme percaya bahwa
pengetahuan tidak hanya kegiatan penemuan yang memungkinkan untuk dimengerti,
tetapi pengetahuan merupakan cara suatu informasi baru berinteraksi dengan
pengertian sebelumnya dari pelajar. Para konstruktivisme menekankan peranan
motivasi guru untuk membantu siswa belajar mencintai pelajaran. Tidak seperti
behaviorist, yang menggunakan sangsi berupa reward, sedangkan konstruktivisme
percaya bahwa motivasi internal, seperti kesenangan pada pelajaran lebih kuat
daripada reward eksternal.
Konstruktivisme yang mempunyai pengaruh besar pada tahun 1930 yang bekerja
sebagai ahli Psikologi Rusia adalah L.S. Vygotsky, yang sangat tertarik pada efek
interaksi siswa dengan teman sekelas pada pelajaran. Jaramillo (1996) menjelaskan,
Vygotsky mencatat bahwa interaksi individu dengan orang lain berlangsung pada
situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang dipelajari berpengaruh pada
proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap disiplin ilmu mempunyai metode
pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang guru yang tertarik untuk
mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi siswa. Konstruktivisme
menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky
berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi
(interpsychological) melalui interaksi sosial dan intra-psikologi (intrapsychological)
dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan
eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar
orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua
ide :
1. Bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks
budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam
Slavin, 2000).
2. Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada
sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam
Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya
diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan
memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem
perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti
yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1. Pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang
dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan
bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau
teman yang lebih cakap;
2. ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari
konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam
ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat
memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau
temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk
mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat
kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
3. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang
menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual
melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman
yang lebih pandai.
4. Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada
scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan
kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran.
Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social
masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau
tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Pembentukan
pengetahuan menurut konstruktivistik memandang siswa yang aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan
struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif
akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan
oleh siswa itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses
penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan
pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil
belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas
dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu
merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide
dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar
tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
1. Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang
relevan.
2. Mengutamakan proses.
3. Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman social.
4. pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky
(Karpov & Bransford, 1995), yang telah digunakan untuk menunjang metode
pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis
kegiatan, dan penemuan. Empat prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya telah
memegang suatu peran penting. Salah satu diantaranya adalah penekanannya pada
hakekat sosial dari pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Pada proyek
kooperatif, siswa dihadapkan pada proses berfikir teman sebaya mereka. Metode ini
tidak hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa, tetapi juga membuat
proses berfikir siswa lain terbuka untuk seluruh siswa. Vygotsky memperhatikan
bahwa pemecahan masalah yang berhasil berbicara kepada diri mereka sendiri
tentang langkah-Iangkah pemecahan masalah yang sulit. Dalam kelompok
kooperatif, siswa lain dapat mendengarkan pembicaraan dalam hati ini yang
diucapkan dengan keras oleh pemecah masalah dan belajar bagaimana jalan pikiran
atau pendekatan yang dipakai pemecah masalah yang berhasil ini.
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi
(adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan
pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut
diadaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi
dan akomodasi.

1) Asimilasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah
salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
2) Akomodasi.
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah
ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi
untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi
Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila
dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium).Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada
yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini
merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan
setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Vigotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu siswa mencapai keberhasilan dengan baik, siswa mencapai
keberhasilan dengan bantuan, siswa gagal meraih keberhasilan. Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada
yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini
merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan
setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Vigotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu siswa mencapai keberhasilan dengan baik, siswa mencapai
keberhasilan dengan bantuan, siswa gagal meraih keberhasilan.
Kedua proses asimilasi dan akomodasi terjadi sepanjang hayat individu dalam
proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Dengan proses adaptasi yang semakin
komlpeks, skema ini akan menjadi lebih kompleks. Skema yang semakin kompleks
ini akan membentuk struktur kognitif. Struktur kognitif akan melalui proses
organisasi secara hierarki dan dari susunan umum ke khusus.
Singkatnya, melalui proses adaptasi, yaitu asimilasi dan akomodasi, informasi
dalam struktur kognitif selalu diorganisasi dengan baik untuk disimpan dan
digunakan jika diperlukan. Melalui proses inilah, konstruksi pengetahuan selalu
dibuat sepanjang hayat individu.
BAB II
KESIMPULAN

Teori Vygotsky menekankan pada pembelajaran sosiokultural. Inti dari teori


Vygotsky yaitu penekanan pada interaksi pembelajaran antara aspek internal dan
aspek eksternal pada lingkungan social. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif
berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya.
Zona perkembangan proximal ( ZPD ) ialah istilah Vygotsky untuk tugas-tugas
yang terlalu sulit untuk dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi yang dapat dikuasai
dengan bimbingan dan bantuan dari orang-orang dewasa atau anak-anak yang lebih
terampil.
Teori kontrukivis social dibangun berdasarkan pengembangan yang dibuat
oleh lev Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan social yang ikut
membantu perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya sangat berpengaruh
sekali dalam membentuk strutur kognitif anak. Yang membantu perkembangan anak
bukan hanya guru, tetapi jaga anak-anak yang lebih dewasa. Vygotsky
mengemukakan konsep mengenai zone of proximal development. Ada empat prinsip
dasar dalam penerapan teori Vygotsky yaitu:
a. Belajar dan berkembang adalah aktivitas social dan kolaboratif.
b. Seorang yang lebih dewasa dapat menjadi pemandu dalam menyusun
kurikulum dan pelajaran.
c. Pembelajaran disekolah harus dalam konteks yang bermakna, tidak boleh
dipisahkan dari pengetahuan anak-anak yang dibangun dalam dunia nyata
mereka.
d. Pengalaman anak diluar sekolah harus dihubungkan dengan pengalaman
mereka di sekolah.
Implikasi dari teori Vygostky dalam pendidikan yaitu :
a. Dikehendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa,
sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas dan saling
memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah afektif dalam zona of
proximal development.
b. Dalam pengajaran ditekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama
semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.
Teori Vygotsky yang lain adalah scaffolding. Scaffolding adalah
memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain
yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky menjabarkan implikasi utama
teori pembelajarannya yaitu:
1. Menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah
yang efektif dalam masing-masing zone of proximal development mereka.
2. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori
belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai
dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran
kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa
dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep-konsep dan
pemecahan masalah.

DAFTAR PUSTAKA
Yohanes, Rudi Santoso. 2010. Teori Vygotsky Dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Matematika, Widya Warta No. 02 Tahun XXXIV / Juli 2010
ISSN 0854-1981. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=116773&val=5324
pada tanggal 10 Maret 2017
Yuliani Nurani Sujiono, dkk. III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif.
Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Trianto, 2010, Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik, Jakarta: PT Prestasi
Pustaka.
Slavin, Robert E. 2000. Educational Psycology: Theory and Practice. USA:
Allyn Bacon

Anda mungkin juga menyukai