Disusun Oleh :
1. Ane Armitha P 0103516043
2. Arief Tri Gunanto 0103516084
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beberapa pertanyaan yang pokok dalam teori perkembangan kognitif adalah :
dengan alat dan cara apa orang memperoleh pengetahuan, menyimpan, dan
menggunakannya. Pada prinsipnya hal ini berhubungan dengan alat-alat pengenalan
dan bentuk-bentuk pengenalan. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai
berfikir dan mengamati, jadi tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh
pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Perkembangan
kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang
hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia
mengenalkan poin penting tentang pikiran anak tersebut sudah lebih dari setengah
abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang semakin besar ketika
memasuki akhir abad ke-20.
Vygostsky adalah seorang sarjana hukum yang menyelesaikan studinya di
Universitas Moskow pada tahun 1917. Beliau melanjutkan studi dalam bidang
filsafat, psikologi, dan sastra di fakultas Psikologi Universitas Moskow dan
menyelesaikan studinya pada tahun 1925 dengan judul disertasi The Psychology of
Art. Dengan latar belakang ilmu yang demikian banyak memberikan inspirasi pada
pengembangan teknologi pembelajaran, bahasa, psikology pendidikan, dan berbagai
teori pembelajaran. Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet pada
tahun 1920-an dan 1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat
pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh
di dunia pendidikan. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan
Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dicirikan dengan gaya
berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget
bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas
batinnya sendiri.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah konsep perkembangan social?
1.2.2 Bagaimanakah konsep perkembangan bahasa?
1.2.3 Bagaimanakah konsep zone perkembangan proksimal?
1.2.4 Bagaimanakah konsep scaffolding?
1.2.5 Bagaimanakah pendekatan konstruktivisme?
1.3. Tujuan
Berdasarkah rumusan masalah tersebut, tujuan makalah ini yakni sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui konsep pengembangan sosial.
1.3.2 Untuk mengetahui konsep pengembangan bahasa.
1.3.3 Untuk mengetahui konsep zone perkembangan bahasa.
1.3.4 Untuk mengetahui konsep scaffolding.
1.3.5 Untuk mengetahui pendekatan kontruktivisme.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep perkembangan social
Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai
sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky
menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan
masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga
menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari
orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai alat kebudayaan
tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan
pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang
dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota
lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional
maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional,
sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi
aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan
melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma
perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya.
Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada
keberfungsian mental anak. Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan
dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung.
Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan
interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia.
Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di
dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak
menjadi matang.
Lingkungan sosial yang menguntungkan anak adalah orang dewasa atau anak
yang lebih mampu yang dapat memberi penjelasan tentang segala sesuatu sesuai
dengan nilai kebudayaan. Sebagai contoh, bila anak menunjuk suatu objek, orang
dewasa tidak hanya menjelaskan tentang obyek tersebut, namun juga bagaimana
anak harus berperilaku terhadap objek tersebut (Rita, dkk, 2008:134).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky dalam Adinegara (2010:1)
yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Adinegara
menjelaskan mengenai gagasan Vigotsky tentang zona perkembangan proksimal
ini mendasari perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep
kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat saling
terkait, perkembangan kemampuan seseorang tidak dapat dipisahkan dari konteks
sosial, dan sebagai bentuk fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam
kegiatan sosial.
Menurut Gasong (2007:1) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam
pendidikan. Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran
kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang
sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di
dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam
pengajaran menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin
bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut Vygotsky,
siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Secara umum, Gasong (2007: 1) mengemukakan langkah-langkah
pembelajaran scaffolding dapat dilihat pada tabel berikut 2.1
2.5. Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan
dari dominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu
siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi
pengalamn, pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari
pembentukan pengertian baru ini. Pada bagian ini, kita melihat permulaan aliran
konstruktivisme , peranan pengalaman siswa dalam belajar dan bagaimana dapat
mengasimilasi pengertiannya. Konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang
mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan antropologi sebaik psikologi.
Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada abad ke-5 sebelum masehi. Ketika
Socrates memajukan pemikiran dari level sophist oleh metode perkembangan
sistematis yang ditemukan melalui gabungan antara pertanyaan dan alasan logika.
Metode baru ini yang mengkontribusi secara besar-besaran untuk memajukan aspek
pemecahan masalah aliran konstruktivisme. Penyelidikan atau pengalaman fisik,
pengalaman pendidikan adalah kunci metode konstruktivisme.
Selama abad ke-18 dan ke-17, filosof Inggris Frances Bacon memberikan ilmu
metode untuk menyelidiki lingkungan. Pendukung konstruktivisme percaya bahwa
pengalaman melalui lingkungan, kita akan mengikat informasi yang kita peroleh dari
pengalaman ini ke dalam pengertian sebelumnya, membentuk pengertian baru.
Dengan kata lain, pada proses belajar masing-masing pelajar harus mengkreasikan
pengetahuannya. Pada konstruktivisme, kegiatan mengajar adalah proses membantu
pelajar-pelajar mengkreasikan pengetahuannya. Konstruktivisme percaya bahwa
pengetahuan tidak hanya kegiatan penemuan yang memungkinkan untuk dimengerti,
tetapi pengetahuan merupakan cara suatu informasi baru berinteraksi dengan
pengertian sebelumnya dari pelajar. Para konstruktivisme menekankan peranan
motivasi guru untuk membantu siswa belajar mencintai pelajaran. Tidak seperti
behaviorist, yang menggunakan sangsi berupa reward, sedangkan konstruktivisme
percaya bahwa motivasi internal, seperti kesenangan pada pelajaran lebih kuat
daripada reward eksternal.
Konstruktivisme yang mempunyai pengaruh besar pada tahun 1930 yang bekerja
sebagai ahli Psikologi Rusia adalah L.S. Vygotsky, yang sangat tertarik pada efek
interaksi siswa dengan teman sekelas pada pelajaran. Jaramillo (1996) menjelaskan,
Vygotsky mencatat bahwa interaksi individu dengan orang lain berlangsung pada
situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang dipelajari berpengaruh pada
proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap disiplin ilmu mempunyai metode
pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang guru yang tertarik untuk
mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi siswa. Konstruktivisme
menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky
berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi
(interpsychological) melalui interaksi sosial dan intra-psikologi (intrapsychological)
dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan
eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar
orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua
ide :
1. Bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks
budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam
Slavin, 2000).
2. Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada
sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam
Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya
diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan
memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem
perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti
yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1. Pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang
dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan
bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau
teman yang lebih cakap;
2. ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari
konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam
ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat
memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau
temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk
mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat
kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
3. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang
menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual
melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman
yang lebih pandai.
4. Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada
scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan
kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran.
Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social
masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau
tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Pembentukan
pengetahuan menurut konstruktivistik memandang siswa yang aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan
struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif
akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan
oleh siswa itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses
penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan
pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil
belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas
dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu
merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide
dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar
tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
1. Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang
relevan.
2. Mengutamakan proses.
3. Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman social.
4. pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky
(Karpov & Bransford, 1995), yang telah digunakan untuk menunjang metode
pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis
kegiatan, dan penemuan. Empat prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya telah
memegang suatu peran penting. Salah satu diantaranya adalah penekanannya pada
hakekat sosial dari pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Pada proyek
kooperatif, siswa dihadapkan pada proses berfikir teman sebaya mereka. Metode ini
tidak hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa, tetapi juga membuat
proses berfikir siswa lain terbuka untuk seluruh siswa. Vygotsky memperhatikan
bahwa pemecahan masalah yang berhasil berbicara kepada diri mereka sendiri
tentang langkah-Iangkah pemecahan masalah yang sulit. Dalam kelompok
kooperatif, siswa lain dapat mendengarkan pembicaraan dalam hati ini yang
diucapkan dengan keras oleh pemecah masalah dan belajar bagaimana jalan pikiran
atau pendekatan yang dipakai pemecah masalah yang berhasil ini.
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi
(adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan
pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut
diadaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi
dan akomodasi.
1) Asimilasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah
salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
2) Akomodasi.
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah
ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi
untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi
Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila
dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium).Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada
yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini
merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan
setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Vigotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu siswa mencapai keberhasilan dengan baik, siswa mencapai
keberhasilan dengan bantuan, siswa gagal meraih keberhasilan. Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada
yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini
merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan
setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Vigotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu siswa mencapai keberhasilan dengan baik, siswa mencapai
keberhasilan dengan bantuan, siswa gagal meraih keberhasilan.
Kedua proses asimilasi dan akomodasi terjadi sepanjang hayat individu dalam
proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Dengan proses adaptasi yang semakin
komlpeks, skema ini akan menjadi lebih kompleks. Skema yang semakin kompleks
ini akan membentuk struktur kognitif. Struktur kognitif akan melalui proses
organisasi secara hierarki dan dari susunan umum ke khusus.
Singkatnya, melalui proses adaptasi, yaitu asimilasi dan akomodasi, informasi
dalam struktur kognitif selalu diorganisasi dengan baik untuk disimpan dan
digunakan jika diperlukan. Melalui proses inilah, konstruksi pengetahuan selalu
dibuat sepanjang hayat individu.
BAB II
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Yohanes, Rudi Santoso. 2010. Teori Vygotsky Dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Matematika, Widya Warta No. 02 Tahun XXXIV / Juli 2010
ISSN 0854-1981. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=116773&val=5324
pada tanggal 10 Maret 2017
Yuliani Nurani Sujiono, dkk. III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif.
Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Trianto, 2010, Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik, Jakarta: PT Prestasi
Pustaka.
Slavin, Robert E. 2000. Educational Psycology: Theory and Practice. USA:
Allyn Bacon