Anda di halaman 1dari 1

Ayam, Telur, dan Tax Policy

Ayam atau telur, mana yang lebih dulu? Saya yakin bukan pertanyaan baru bagi Anda, namun

kesederhanaan logika membuatnya bertahan sangat lama. Seorang profesor pun bakal mengernyitkan

dahi mendengarnya. Entah karena jijik dengan level pertanyaannya, atau memang sedang serius

memikirkan jawabannya. Problem mendasar dari pertanyaan tersebut adalah sulitnya menentukan

prioritas jawaban, bahkan ketika hanya disediakan dua pilihan. (Udah kaya jodoh aja..).

Pajak pun demikian, lebih kompleks malah. Pilihan jawaban dari permasalahan pajak tidak

hanya dua seperti halnya ayam dan telur. Isu kepatuhan dan tax evasion bak tong setan di pasar malam,

muter-muter di situ saja. Dijelaskan John Hutagaol (2007), mengutip dari Andreoni et al (1998), masalah

kepatuhan pajak dapat dilihat dari segi keuangan publik (public finance), penegakan hukum (law

enforcement), struktur organisasi (organizational structure), tenaga kerja (employees), etika (code of

conduct), atau gabungan dari semua segi tersebut. Untuk hal ini, sebagai seorang mahasiswa yang baik

hati dan tidak sombong, saya sependapat.

Selanjutnya, kembali lagi ke pilihan. Namun kali ini diberi sedikit bumbu pengandaian. Bukan

lagi sebagai mahasiswa, kali ini strata kita akan disejajarkan Menteri Keuangan - Sang Penentu

Kebijakan Perpajakan. Ketika pertanyaan mengenai prioritas solusi permasalahan pajak menyerang,

akan saya jawab dengan gaya bicara sangar ala Tom Hardy: Dengan mengucapkan bismillah, saya pilih

law enforcement sebagai prioritas kebijakan pajak, Bapak Ibu sekalian!!. Akan tetapi serangan belum

berakhir, pertanyaan selanjutnya adalah: Mengapa law enforcement? Jawabannya saya simpan di

paragraf selanjutnya. So, stay tuned.

Pertama, Andreoni (1998), Alingham & Sandmo (1972), dan Alm et al (1991) dalam penelitiannya

menitikberatkan pada bagaimana meningkatkan Audit Probabilities sebagai salah satu cara mengurangi

kecenderungan orang melakukan tax evasion. Audit Probabilities erat kaitannya dengan tax audit dan

otomatis berteman baik dengan kegiatan law enforcement. Kedua, dalam konteks Indonesia, Tax

Amnesty sudah lewat, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak melakukan penegakan hukum secara

massive bagi siapa saja pengemplang pajak yang disebut Becker (1968) dalam tulisannya sebagai white-

collar crime. Ketiga, ada persepsi bahwa mengedukasi masyarakat tentang perpajakan hanya dapat

dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi, baik secara konvensional (duduk manis, dapet snack,

pulang) maupun secara digital (buka gadget, scroll, baca, lupa). Tapi jangan sekali-kali melupakan law

enforcement. Kegiatan yang menurut saya adalah sapu jagad. Unsur edukasi, asas keadilan, dan

perwujudan dari sifat memaksa pajak akan berkolaborasi dengan deterrent effect, yang apabila dipoles

dengan baik, akan menghasilkan lingkungan sosial yang mampu mengontrol penyimpangan pajak

dengan sendirinya. Otomatis.

Pada akhirnya, kita tak bisa mengelak bahwa banyak variabel yang mempengaruhi kepatuhan

pajak. Pun dengan variabel untuk mengatasi tax evasion. Seperti yang dijelaskan Andreoni (1998),

banyak faktornya. Namun ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan prioritas kebijakan, idealnya

semua faktor-faktor alternatif harus dipertimbangkan, sehingga akan dihasilkan kebijakan yang kuat

dalam pemikiran, tegas dalam paparan, dan maksimal dalam pelaksanaan. Sebelum matahari

tenggelam, sebelum tirai jendela kita rapikan, mari kita tengok lagi si ayam dan telur. Jikalau pertanyaan

ini ditanyakan kepada rakyat kecil yang tinggal di kolong jembatan, kira-kira apa jawaban mereka? Saya

rasa mereka akan menjawab: Yang mane aje boleh dah Om, mau telor duluan, mau ayam duluan, yang

penting ade nasinyebiar kenyang ni perut. Sekian.

Anda mungkin juga menyukai