Salmonella adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk tongkat yang
menyebabkan tifoid, paratifod, danpenyakit foodborne.[1] Spesies-spesies Salmonella dapat
bergerak bebas dan menghasilkan hidrogen sulfida.[2] Salmonella dinamai dari Daniel Edward
Salmon, ahli patologi Amerika, walaupun sebenarnya, rekannya Theobald Smith (yang terkenal
akan hasilnya padaanafilaksis) yang pertama kali menemukan bakterium tahun 1885 pada tubuh
babi.[3][4]
1. ^ (Inggris) Ryan KJ, Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology (4th ed.
ed.). McGraw Hill. ISBN 0-8385-8529-9.
2. ^ (Inggris)Giannella RA (1996). "Salmonella". Di Baron S et al (eds.). Baron's Medical
Microbiology (4th ed. ed.). Univ of Texas Medical Branch. ISBN 0-9631172-1-1.
3. ^ Salmonella di Who Named It
4. ^ Daniel Elmer Salmon di Who Named It
Salmonella Sejarah
Dengan Dr Tomislav Metrovi , MD, PhD
Salmonella adalah genus bakteri penting yang menyebabkan salah satu bentuk yang paling
umum dari keracunan makanan di seluruh dunia. Sepanjang sejarah demam tifoid - yang
disebabkan oleh Salmonella enterica serovar Typhi - dipicu banyak wabah mengerikan, dan
orang-orang akhirnya mengakui hubungan antara penyakit ini dan makanan atau minuman yang
terkontaminasi.
Karl Joseph Eberth, seorang dokter dan mahasiswa Rudolf Virchow, ditemukan basil
dalam kelenjar getah bening perut dan limpa pada tahun 1879. Setelah ia telah menerbitkan
pengamatannya pada tahun 1880 dan 1881, penemuan kemudian dikonfirmasi oleh ahli bakteri
Jerman dan Inggris, termasuk Robert Koch.
Genus "Salmonella" bernama setelah Daniel Elmer Salmon, seorang ahli patologi hewan
yang berlari program penelitian mikroorganisme Amerika Serikat Departemen Pertanian (USDA)
pada 1800-an. Bersama dengan Theobald Smith, ia menemukan Salmonella di babi yang
menyerah pada penyakit yang dikenal sebagai hog cholera.
Kisah Mary Mallon
Mary Mallon lahir di Irlandia dan berimigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1884. Dia
dianggap pembawa terkenal pertama demam tifoid di Amerika Serikat. Awalnya bergerak pada
tahun 1906 sebagai juru masak oleh Charles Henry Warren, seorang kaya New York bankir, dia
kemudian dipekerjakan sebagai juru masak di beberapa rumah pribadi di seluruh wilayah New
York.
Pindah dari rumah tangga ke rumah tangga, Mary Mallon disebabkan beberapa wabah
tipus, selalu menghilang sebelum epidemi dapat ditelusuri kembali ke rumah tangga tertentu dia
bekerja di. Mary merupakan kasus pertama yang diketahui pembawa sehat di Amerika Serikat,
dan terbukti bertanggung jawab untuk kontaminasi setidaknya 122 orang - termasuk lima orang
tewas.
Pada tahun 1907 hampir 3000 penduduk New York telah terinfeksi oleh SalmonellaTyphi,
dengan Mary mungkin menjadi alasan utama untuk wabah. Karena kurangnya perawatan
antibiotik dan tidak ada pilihan imunisasi pada saat itu, sumber yang berbahaya seperti Maria harus
ditahan.
Setelah polisi turun tangan dan Salmonella telah ditemukan dalam tinja Mary, ia
dipindahkan ke North Bruder Pulau ke Rumah Sakit Riverside, di mana ia dikarantina di sebuah
pondok. Karena ia adalah pembawa sehat pertama yang diketahui dari demam tifoid di Amerika
Serikat, dia tidak mengerti bagaimana kesehatan seseorang bisa menyebarkan penyakit; maka dia
mencoba melawan.
Meskipun New York Mahkamah Agung menolak permohonannya untuk rilis, kota
komisaris kesehatan baru Ernst J. Lederle kasihan Mallon dan melepaskannya dengan janji bahwa
ia tidak akan pernah lagi bekerja sebagai juru masak. Namun demikian, ia ditemukan untuk bekerja
sebagai juru masak dan menyebabkan wabah tipus lagi. Dia mengaku kembali ke North Saudara
Island, di mana dia tinggal sampai kematiannya pada tahun 1938.
Masih banyak spekulasi mengenai pengobatan bahwa Maria menerima di tangan New
York Departemen Kesehatan. Alih-alih bekerja dengan dia untuk membuat dia menyadari dia
adalah faktor risiko, negara dikarantina dua kali dan mengubahnya hewan peliharaan
laboratorium. Kasus ini sering disebut sebagai contoh bagaimana sistem perawatan kesehatan
memprovokasi sikap sosial berprasangka terhadap pembawa penyakit.
wabah salmonella
Sejarawan dan ilmuwan memiliki studi wabah masa lalu dan sampai pada kesimpulan
bahwa banyak dari mereka mungkin telah infeksi tifus. Sekitar tahun 430 SM wabah dianggap
wabah demam tifoid membunuh sepertiga dari semua orang di Athena, yang pada saat itu salah
satu kota yang paling kuat di Yunani kuno.
Infeksi Salmonella telah hadir di Amerika setidaknya sejak awal 1600-an. Sarjana
mempelajari sejarah Jamestown di Virginia percaya bahwa demam tifoid bertanggung jawab atas
kematian lebih dari 6.000 pemukim antara 1607 dan 1624. Demam tifoid adalah pembunuh utama
dalam perang Spanyol-Amerika tahun 1898 juga.
Karena vaksinasi dan kemajuan dalam sanitasi publik, kejadian demam tifoid di negara-
negara maju anjlok sekitar 5 kasus per satu juta orang per tahun. Namun demikian, wabah yang
disebabkan oleh serovar lain Salmonella biasanya diamati.
Salah satu wabah Salmonella mematikan terjadi pada tahun 1985, ketika sekitar 6.149
kasus Salmonella Typhimurium dilaporkan antara orang-orang yang mengkonsumsi 2% susu
pasteurisasi yang dijual di Illinois utara (yang 5770 yang dikonfirmasi laboratorium).
Metrovi, Tomislav. 2015. Salmonella History. News Medical - Life Sciences & Medicine.
Diakses pada http://www.news-medical.net/health/Salmonella-History.aspx [Jumat, 16
September 2016]
2.3. Patogenesis 13
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal
dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak
di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
PATOFISIOLOGI
Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu
Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses.
Yang paling menojol yaitu lewat mulut manusia yang baru terinfeksi selanjutnya menuju lambung,
sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi lolos masuk ke usus
halus bagian distal (usus bisa terjadi iritasi) dan mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan
darah mengandung bakteri (bakterimia) primer, selanjutnya melalui aliran darah dan jaringan
limpoid plaque menuju limfa dan hati. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu
masuk ke aliran darah sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa usus. Tukak
dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Perdarahan menimbulkan panas dan suhu
tubuh dengan demikian akan meningkat.sehingga beresiko kekurangan cairan tubuh.Jika kondisi
tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk zat kekebalan atau antibodi. Dalam keadaan seperti ini,
kuman typhus akan mati dan penderita berangsurangsursembuh (Zulkoni.2011).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan
gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak
berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu
kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa
membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka
semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.24
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan
sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah
urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case
control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit
demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik
(OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar
terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar
berat coliform (OR=6,4) .19
2.7. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
2.7.1. Komplikasi Intestinal13
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
Universitas Sumatera Utara
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun
dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh
perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
c.Diagnosis serologik12
c.1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang
pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.25
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :12
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita
infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi,
misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O
biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah
divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah
endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi
aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh
karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi
antigen dari strain lain.
c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)12
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai
dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang
dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara
teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double
antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam
tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana
kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama
perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik,
maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi
pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta
yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas :
diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih
menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu
pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat
menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling
aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
2. Depkes RI, 2008. Millenium Development Goals 2015. Jakarta.
3. Eddy Soewandojo Soewando, 2002. Seri Penyakit Tropik Infeksi; Perkembangan Terkini
Dalam Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Penerbit Airlangga University Press.
4. Ditjen P2M & PL. Depkes RI, 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta.
6. Crump. J.A, dkk, 2004. The Global Burden of Thypoid fever. Buletin WHO
7. Ditjen PP & PL. Depkes RI, 2007. Buku Data 2006. Subdit Surveilans Epidemiologi. Dit.
Sepim Keswa. Ditjen PP & PL. Depkes RI. 2007.
8. Ditjen PP & PL. Depkes RI. 2006. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Tahun 2005. Jakarta.
9. Ditjen PP & PL. Depkes RI. 2008. Data Surveilans Epidemiologi Tahun 2007. Jakarta.
10. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2008. Profil Kesehatan Propinsi Sumatera
Utara Tahun 2008. Sumatera Utara.
11. T. H. Rampengan. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Cetakan I. Tahun 1993.
12. Indro Handojo. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga
University Press. 2004.
13. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV.
Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
14. Rusepno Hasan. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan
Anak. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UI. Jakarta. 1995.
15. Dinas Kesehatan Kab. Karanganyer Tahun 2007. Profil Kesehatan Kabupaten
Karanganyer Tahun 2007. Karanganyer.
19. Lubis, R, 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.
20. Heru Laksono, 2009. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam
Tifoid Pada Anak Yang Dirawat di RS Kota Bengkulu Tahun 2009. Tesis Program Pasca
Sarjana FK- Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2009.
21. Nur Nasry Noor. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit Rineka Cipta. 2006.
22. Arif Mansjoer, Kuspuji Triyanti, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III jilid I. Penerbit
Media Aesculapius. FK-UI. 2001.
23. Beaglehole, R dan Bonita, R. 1997. Dasar-Dasar Epidemiologi. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
24. Agus Syahrurahman. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Penerbit Binarupa
Aksara. 1994.
25. Juwono R, 1996. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi III. Balai
Penerbit FK-UI. Jakarta.
26. Notoatmodjo, S. 2003. Metode Penelitian Kesehatan. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta.
27. Rumintan, E, 2007. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit
Bhayangkara Medan Tahun 2004-2006. Skripsi FKM USU Medan.
28. Nainggolan Rani F, 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah
Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Tahun 2008. Skripsi FKM USU Medan
29. Hasibuan Siska I, 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah
Sakit Sri Pamela PTPN 3 Tebing Tinggi Tahun 2004-2008. Skripsi FKM USU Medan
30. Nasution Sri H, 2005. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah
Sakit Martha Friska Medan Tahun 2004. Skripsi FKM USU.
31. Rini Aswita, 2005. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit
Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan Tahun 2002 2003. Skripsi FKM USU Medan.