Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan dibidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan

nasional yang ditata dalam Sistem Kesehatan Nasional diarahkan untuk

mencapai derajat kesehatan yang optimal dan produktif sebagai perwuju dan dari

kesejahteraan umum seperti yang dimaksud dalam pembukaan Undang Undang

Dasar 1945 dan Undang Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Untuk

mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi setiap penduduk, pelayanan

kesehatan harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu dalam pelayanan

kesehatan perorangan, pelayanan kesehatan keluarga maupun pelayanan

kesehatan masyarakat (DepkesRI, 2010).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah

kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju. Hal ini disebabkan

masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena infeksi saluran

pernapasan akut terutama pada anak balita. Infeksi saluran pernapasan akut

adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan

oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau disertai

radang parenkim paru (Alsagaff dan Mukty, 2010).

Kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada anak balita akan

memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan buruk bila dibandingkan

dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan karena infeksi saluran pernapasan

1
akut pada anak balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum

terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Pada orang

dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat

pengalaman infeksi sebelumnya (Alasagaff dan Mukty, 2010).

Status gizi yang kurang baik merupakan merupakan faktor yang dapat

meningkatkan kemungkinan balita menderita infeksi saluran pernapasan akut

karena daya tahan tubuh yang rendah yang akan mengakibatkan keadaan status

gizi yang kurang atau buruk. Anak balita yang kurang mendapat asupan energi

dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik akan cenderung mempunyai status gizi

kurang dan buruk yang berisiko sering menderita penyakit infeksi termasuk

infeksi saluran pernapasan akut (Depkes, 2005).

Kelengkapan imunisasi dan pemberian ASI ekslusif juga merupakan faktor

yang berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut. Pemberian

imunisasi adalah salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi kesakitan

dan kematian akibat infeksi saluran pernafasan. Diharapkan juga dapat

menurunkan angka kematian dan kesakitan yang dapat dicegah dengan

imunisasi. Beberapa penyakit yang termasuk PD3I mempunyai gejala prodormal

yang menyerupai infeksi saluran pernapasan akut (Depkes, 2005).

Air Susu Ibu (ASI) yang diberikan secara eksklusif kepada bayi hingga usia

6 bulan selain sebagai bahan makanan bayi juga mengandung kolostrum yang

merupakan zat kekebalan alami yang berfungsi melindungi dari infeksi saluran

pernapasan akut karena dapat mencegah invasi saluran pernapasan oleh bakteri

atau virus (Mihrshahi et al., 2007).

2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oddy et al. (2003)

menemukan hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif <6 bulan

dengan kejadian ISPA bawah sebesar 1,98 (95% CI =1,46-2,68). Kemaknaan

hubungan hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Quigley et al. (2007) yang mendapatkan ASI eksklusif

berhubungan dengan kejadian ISPA bawah (OR=0,66; 95% CI=0,47-0,92).

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Nuryanto (2010) di wilayah kerja

puskesmas Sosial Palembang menemukan hubungan yang bermakna antara

kelengkapan imunisasi dan status gizi dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (masing-masing OR=149,37, OR=29,91).

Selain beberapa faktor di atas, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR),

pengetahuan ibu, dan faktor lingkungan juga merupakan faktor yang

berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan akut. Bayi dengan BBLR

berisiko gangguan napas yakni bayi baru lahir yang bernapas cepat > 60

kali/menit, lambat < 30 kali/menit, dengan demikian BBLR sangat beresiko

terkena infeksi saluran pernapasan akut dibandingkan bayi bukan BBLR.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab

kematian paling banyak pada anak dan balita di negara berkembang. Menurut

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa insiden Infeksi saluran

pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita

diatas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% pertahun. Menurut

WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar

kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana ISPA merupakan

3
salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita

setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2009).

Angka kematian bayi, balita dan anak merupakan salah satu indikator

kesehatan yang sangat mendasar. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT) tahun 2001, bahwa angka kematian balita akibat penyakit sistim

pernapasan adalah 4,9/1.000 balita, yang berarti terdapat sekitar 5 dari 1.000

balita yang meninggal setiap bulan akibat infeksi saluran pernapasan akut, atau

berarti tiap tahun terdapat 140.000 balita yang meninggal akibat infeksi saluran

pernapasan akut. Data ini juga berarti bahwa rata-rata 1 anak balita Indonesia

meninggal akibat infeksi saluran pernapasan akut dalam setiap 5 menit. Selain itu

berdasarkan hasil Riset Kesehatah Dasar (Rikesdas) tahun 2007, menunjukkan

prevalensi nasional infeksi saluran pernapasan akut : 25,5 % (16 provinsi diatas

angka nasional) (Depkes RI, 2008).

Jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak balita

di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2010 hingga 2012, berturut-turut adalah

74.278 kasus (36,26 %), 62.126 kasus (31,45 %), 72.537 kasus (35,94 %)

(Anonim, 2012). Sedangkan jumlah penderita ISPA pada anak balita di Kota

Kendari dari tahun 2010 hingga 2012, berturut-turut adalah 4.291 kasus (23,63

%), 3.671 kasus (28,09 %), 3.289 kasus (24,63 %) (Dinas Kesehatan Kota

Kendari, 2013).

Jumlah anak balita yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) di Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Kota Kendari pada tahun 2010

adalah 258 kasus, tahun 2011 adalah 289 kasus dan tahun 2012 adalah 271

4
kasus. Pada bulan Januari hingga Maret 2013 jumlah kasus infeksi saluran

pernapasan akut pada anak balita adalah 132 kasus (Januari 45 kasus, Februari

43 kasus, Maret 44 kasus) (Laporan Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli, 2013).

Dari hasil survey awal pada saat pengambilan data awal ditemukan

sebagian besar penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) anak balita di

Kecamatan Abeli Kota Kendari tahun 2013, bahwa masih banyak yang belum

mendapatkan imunisasi lengkap, status gizi tidak normal, banyaknya anak balita

yang tidak mendapatkan ASI ekslusif. Bertolak dari uraian diatas maka penulis

tertarik dan telah melakukan penelitian dengan judul Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut

pada anak balita di Puskesmas Abeli Kota Kendari tahun 2013.

A. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian penyakit

infeksi saluran pernapasan akut pada anak balita di puskesmas Abeli kota

Kendari tahun 2013?

2. Bagaimanakah hubungan status gizi dengan kejadian penyakit infeksi saluran

pernapasan akut pada anak balita di puskesmas Abeli kota Kendari tahun

2013?

5
3. Bagaimanakah hubungan pemberian ASI dengan kejadian penyakit infeksi

saluran pernapasan akut pada anak balita di puskesmas Abeli kota Kendari

tahun 2013?

B. Tujuan Penelitian

a. Tujuan umum

Mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada anak balita di Puskesmas Abeli Kota

Kendari tahun 2013.

b. Tujuan khusus

a. Untuk mengidentifikasi hubungan kelengkapan imunisasi

dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada anak

balita.

b. Untuk mengidentifikasi hubungan status gizi dengan kejadian

penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada anak balita.

c. Untuk mengidentifikasi hubungan pemberian ASI dengan

kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada anak balita.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi (data

dasar), pengembangan ilmu pengetahuan tentang Infeksi Saluran Pernapasan

6
Akut, dan sebagai pengembangan dari ilmu keperawatan tentang Infeksi

Saluran Pernapasan Akut.

2. Praktis

a. Bagi Dinas Kesehatan Kota Kendari, diharapkan penelitian ini berguna

untuk landasan intervensi dan pengembangan program promosi kesehatan

dan program pemberantasan penyakit menular.

b. Bagi Puskesmas Abeli, diharapkan penelitian ini berguna untuk landasan

intervensi dan pengembangan program Pemberantasan Penyakit Menular

(P2M) khususnya penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan program

lain yang terkait seperti program gizi dan program kesehatan ibu dan anak.

c. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini berguna untuk menambah

pengetahuan dan memberi pengalaman dalam melaksanakan penelitian

khususnya faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi kejadian

penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

1. Definisi

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran

pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang

dapat berlangsung selama 14 hari. (Corwin, 2003)

Menurut Rasmaliah (2007) pengertian ISPA antara lain:

a. Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disalah artikan sebagai infeksi

saluran pernafasan atas. Yang benar ISPA merupakan singkatan dari

Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran pernapasan

bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah.

b. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran

pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud saluran

pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru,

beserta organ-organ sekitarnya seperti: sinus, ruang telinga tengah dan

selaput paru.

c. sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan

seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotic,

namun demikian anak akan menderita pneumonia bila infeksi paru ini

tidak diobati dengan antibiotic dapat mengakibatkan kematian.

d. Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA

dalam dua golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia.

8
Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat

dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rhinitis,

faringitis, tonsillitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya

digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar

penyakit jalan napas bagian atas ini adalah virus dan tidak dibutuhkan

terapi antibiotic. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan

pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotic penisilin,

semua radang telinga akuut harus mendapat antibiotic.

e. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dapat ditularkan melalui air

ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang

terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya.

f. kelainan pada system pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan

bagian atas dan bawah, asma dan bronkitis, menempati bagian yang

cukup besar pada lapangan pediatric. Infeksi saluran pernapasan

bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjaadi pada

semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin.

g. Terapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak

kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan

keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama terjadi pada

anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban

immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan

cacing serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotic.

2. Klasifikasi

9
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) terdiri dari sekelompok kondisi

klinik dengan etiologi dan perjalanan klinik yang berbeda. Sampai saat ini ISPA

diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Berdasarkan Lokasi Anatonik

1) Infeksi saluran pernapasan akut bagian atas adalah infeksi yang

menyerang saluran pernapasan bagian atas.

2) Infeksi pernapasan akut bagian bawah adalah infeksi yang menyerang

saluran pernapasan bagian bawah (mulai bagian bawah epiglitis sampai

alveoli) dan nama penyakitnya sesuai dengan organ yang terkena

misalnya trakeitis, bronchitis akut, brokiolitis, pneumonia dan lain-lain.

b. Berdasarkan Tingkat Keparahan

1) Infeksi Saluran Pernapasan Akut ringan yaitu ISPA yang

penatalaksanaannya cukup dengan tindakan penunjang tanpa

pengobatan anti mikroba.

2) Infeksi Saluran Pernapasan Akut sedang yaitu ISPA yang

penatalaksanaannya memerlukan pengobatan dengan anti mikroba tapi

tidak perlu dirawat (cukup berobat jalan)

3) Infeksi Saluran Pernapasan Akut berat yaitu ISPA yang harus dirawat di

rumah sakit atau Puskesmas dengan sarana perawatan. (Rasmaliah,

2007)

3. Etiologi

Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut terdiri dari 300 lebih jenis virus,

bakteri dan riketsia.

10
a. Virus penyebab ISPA antara lain : golongan mikrovirus (termasuk

didalamnya virus influenza, virus parainfluenza, dan virus campak),

Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Hervesvirus dan lain-

lain.

b. Bakteri penyebab ISPA misalnya : streptokokus hemolitikus, stafilokokus,

pneumokokus, hemofilus influenza, bordetela pertusis, korinebakterium

difteria dan sebagainya. (Prabu, 2008)

4. Patofisiologi

Walaupun saluran nafas atas terpapar secara langsung, namun

infeksi relatif jarang berkembang menjadi infeksi saluran pernapasan bawah

yang mengenai bronkus dan alveoli. Terdapat banyak mekanisme protektif

disepanjang saluran nafas untuk mencegah infeksi. Reflex batuk

mengeluarkan benda asing dan mikroorganisme dan membuang mucus yang

tertimbun. Terdapat mukosiliaris yang terdiri dari sel-sel dan berlokasi dari

bronkus ke atas yang menghasilkan muscus dan sel-sel silia yang melapisi

sel-sel penghasil mucus. Silia bergerak secara ritmis untuk mendorong

mucus dan semua mikroorganisme yang terperangkap didalam mucus,

keatas kenasofaring, tempat mucus tersebut dapat dikeluarkan sebagai

sputum, dikeluarkan melalui hidung atau ditelan. Apabila dapat lolos dari

melanisme pertahanan tersebut dan mengkoloni saluran nafas atas, maka

mikroorganisme dihadang oleh lapisan pertahanan ketiga yang penting

(system imun) untuk mencegah mikroorganisme tersebut sampai kesaluran

nafas bawah. Respon ini diperantarai oleh limposit, tetapi juga melibatkan

11
sel-sel darah putih lainnya misalnya magrofag, neutrofil dan sel mastr yang

tertarik kedaerah tempat proses peradangan berlangsung. Apabila terjadi

gangguan mekanisme pertahanan dibidang pernapsan atau mikroorganisme

sangat virulen, maka dapat timbul infeksi saluran pernapasan bagian bawah

(Corwin, 2003).

5. Anatomi fisiologi saluran pernapasan

a. Hidung

Hidung dilapisi oleh membrane mukosa bersilia yang berfungsi

menyaring udara, debu dan kotoran-kotoran yang masuk kedalam hidung.

Partikel-partiekl debu yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang

terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang harus bergerak

kedalam lapisan mukosa. Air untuk kelembaban diberikan oleh lapisan

mukosa, sedangkan udara dihangatkan oleh pembuluh-pembuluh darah

yang berada dibawah jaringan epitel.

Fungsi hidung terdiri atas:

1) Saluran udara pernapasan

2) penyaring udara pernapasan yang dilakukan oleh rambut-rambut

hidung

3) menghangatkan udara oleh mukosa

4) membunuh kuman oleh leukosit dalam selaput lender.

b. Faring

Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tenggorokan

sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang

12
rawan krikoid.letaknya di belakang hidung (nasofaring). Dibelakang mulut

(oro-faring) dan dibelakang faring (faring-laryngeal) setelah udara sampai di

faring kehangatan dan kelembaban udara hamper mencapai 100% ( price,

2002).

c. Laring

Terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang di hubungkan dengan

otot yang mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat ruangan

yang terbentuk sigitiga yang bermuara didalam trachea yang di namakan

glottis. Glottis merupakan pemisah antara saluran pernapasan bagian atas

dan bagian bawah. Pada waktu menelan gerakan laring ke atas menutup

glottis sehingga makanan dan minuman masuk kedalam saluran

pencernaan.

d. Trachea

Trachea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentik seperti

sepatu kuda yang panjangnya sekitar 10 cm, dan terdiri dari 20 cincin tulang

rawan. Tempat dimana trachea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan

kanan disebut karina (Price, 2002).

e. Bronkus

Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus kanan lebih

pendek dan lebar seperti posisinya hamper vertical sedangkan bronkus kiri

lebih panjang dan lebih sempit dan merupakan kelanjutan dari trachea

dengan sudut yang lebih tajam. Bronkus kanan terdiri dari 6 sampai 8 cincin

13
yang mempunyai 3 cabang sedangkan bronkus kiri terdiri dari 9-12 cincin

dan mempunyai 2 cabang (Price, 2002).

f. Bronkiolus

Cabang utama Bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus

lobaris segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang

ukuranya makin kecil sampai akhirnya menjadi bronkus terminalis, yaitu

udara terkecil yang tidak mengandung alveoli. Bronkiolus tidak di perkuat

cincing tulang rawan tetapi di kelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya

dapat ber ubah ubah (Price, 2002).

Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit

fungsional paru- paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari :

1. Bronkiolus respiratorius

2. Duktus alveolaris

3. Sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir paru- paru (Price,

2002).

6. Manifestasi Klinis

a. Infeksi Saluran Pernapasan Akut ringan

Tanda dan gejala ISPA ringan adalah batuk, pilek, serak, dengan atau

tanpa panas dan keluarnya cairan dari telinga yang lebih dari 2 minggu

tampa ada rasa sakit pada telinga

b. Infeksi Saluran Pernapasan Akut sedang

Tanda dan gejala ISPA ringan di tambah dengan salah satu atau lebih

dari tanda berikut ini yaitu pernapasan cepat lebih dari 50 kali permenit

14
(tanda utama), wheezing panas 39 derajat celcius atau lebih, sakit telinga ,

keluarnya cairan dari telinga yang belum lebih dari 2 minggu dan campak.

c. Infeksi Saluran Pernapasan Akut berat

Tanda ISPA ringan atau sedang di tambah dengan salah satu atau lebih

dari tanda berikut yaitu terdapat retraksi dada kedalam, stridor,tak mampu

atau tak mau makan.tanda lain dari ISPA berat yang lain yaitu sianosis,

napas cuping hidung , dehidrasi, kesadaran menurun dan terdapat selaput

difteri. (Corwin, 2006 )

7. Penatalaksanaan

Menurut Smeltzer ( 2001 ), penatalaksanaan dari ISPA adalah

1. Medis.

a. Diet cair dan lunak selama tahap akut.

b. Untuk mengontrol infeksi, memulihkan kondisi mukosa dengan

antibiotic.

c. Antistetik topical.

2. Keperawatan.

a. Penyuluhan pada pasien tentang cara memutus infeksi.

b. Meningkatkan masukan cairan.

c. Menginstruksikan pada pasien untuk meningkatkan drainase.

Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk

standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi

penggunaan antibiotic untuk kasus- kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi

penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat (Rasmaliah, 2007).

15
8. Pencegahan

Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut sangat erat kaitannya

dengan sistem kekebalan tubuh yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang

dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah akan sangat rentan terhadap

serangan sehingga pengobatan ISPA biasanya di fokuskan kepada mereka

yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah.

Beberapa hal yang perlu di ingat untuk mencegah ISPA adalah:

a. Mengusahakan agar anak mendapat makanan bergizi :

1. Bayi harus disusui selama 2 tahun karena ASI adalah makanan terbaik

bagi bayi

2. Berikan bayi makanan tambahan setelah umur 4 bulan

3. pada anak makanan harus mengandung gizi yang cukup yaitu protein,

karbohidrat, lemak,vitamin dan mineral.

4. Bayi dan balita sebainnya di bawa keposyandu untuk mengetahui

apakah berat badannya sesuai dengan umurnya

b. Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi

Imunisasi merupakan upaya pencegahan penyakit dengan cara

memberikan perlindungan atau kekebalan buatan kepada seseorang

dengan cara memberikan vaksin (bibit penyakit yang sudah dilemahkan) ke

dalam tubuh.

c. Menjaga kebersihan dengan lingkungan

1. Tubuh anak dijaga agar tetap bersih

16
2. Lingungan di jaga agar tetap bersih

3. Aliran udara dalam rumah harus cukup baik

4. Orang dewasa di larang merokok dekat anak- anak

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

1. Jauhkan anak penderita ISPA khususnya bila penderita ISPA adalah

orang dewasa

2. Jika ada orang dewasaa yang menderita ISPA hendaknya memakai

penutup hidung dan mulut untuk mencegah penularan pada anak- anak.

e. Pengobatan segera ( Kurniawan , 2008 )

B. Tinjaun Tentang Anak Balita

1. Pengertian

Anak balita adalah anak yang berusia 1 -5 tahun. Balita merupakan

kelompok umur yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat sehingga

memerlukan zat-zat yang tinggi / kg berat badan. Dan paling sering menderita

penyakit akibat kekurangan gizi, dalam hal ini kekurangan energy protein

(KEP) sehingga memungkinkan akan terserang penyakit sangat mudah (Sedia

Oetama, 2001).

2. Pengelompokkan Umur Anak Balita

Menurut Naziruddin (2003 ) pengelompokkan umur anak balita yaitu:

a. Umur 13- 24 bulan

b. Umur 25 36 bulan

c. Umur 37 48 bulan

17
d. Umur 49- 59 bulan

3. Perkembangan Yang Terjadi Pada Anak Balita

Menurut Dewi (2010 ) perkembangan yang terjadi pada anak balita yaitu

a. Usia 12- 18 bulan

1. Berjalan dan mengeplorasi rumah serta sekeliling rumah

2. Menyusun 2 atau 3 kotak

3. Dapat mengatakan 5 10 kata

4. Perlihatkan rasa cemburu dan rasa bersaing

b. Usia 18- 24 bulan

1. Naik turun tangga

2. Menyusun 6 kotak

3. Menunjukan mata dan hidungnya

4. Menyusun 2 kata

5. Belajar makan sendiri

6. Menggambar garis dikertas atau paris

7. Mulai mengontrol buang air besar atau kecil

8. Menaruh minat kepada apa yang di kerjakan oleh orang orang yang

lebih besar

9. Memperlihatkan minat kepada anak lain dan bermain main kepada

mereka

c. Usia 2 3 Tahun

1. Belajar meloncat,memanjat ,meloncat dengan satu kaki

18
2. Membuat jempatan dengan 3 kotak

3. Mampu menyusun kalimat

4. Mempergunakan kata- saya,bertanya,mengerti kata- kata yang di

tunjukan kepadanya

5. Menggambar lingkaran

6. Bermain bersama anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain

diluar keluarganya.

d. Usia 3 4 Tahun

1. Bejalan- jalan sendiri dan mengunjungi tetangga

2. Berjalan pada jari kaki

3. Belajar berpakain dan membuka pakain sendiri

4. Menggambar gari silang

5. Menggambar orang dan hanya kepala dan badan

6. Mengenal 2 atau 3 warna

7. Berbicara dengan baik

8. Menyebut namanya, jenis kelamin dan umurnya

9. Banyak bertanya

10. Bertanya bagaimana anak di lahirkan

11. Mengenal sisi atas, bawah,sisi muka, dan sisi belakang

12. Mendengarkan cerita- cerita

13. Bermain dengan anak lain

14. Menunjukkan rasa saying kepada saudara- saudaranya

15. Dapat melaksanakan tugas tugas sederhana

19
e. Usia 4-5 Tahun

1. Melompat dan menari

2. Menggambar orang terdiri dari kepala, lengan, badan

3. Menggambar segiempat dan segi tiga

4. Padai bicara dan menghitung jari- jarinya

5. Dapat mennyebut hari hari dalam sehari

6. Mendengar dan mengulang hal- hal penting dan cerita

7. Minat kepada kata baru dan artinya

8. Memprotes bila dilarang apa yang di inginya

9. Mengenal 4 warna

10. Memperkirakan bentuk dan besarnya benda, membedakan besar dan

kecil

11. Menaruh minat kepada orang dewasa (Dewi, 2010)

4. Hal- hal Yang Menyebabkan Anak Balita Mudah Terserang Penyakit

a. Anak balita masih dalam periode transisi makanan bayi ke makanan

orang dewasa.

b. Anak balita di anggap kelompok umur yang belum berguna bagi

keluarganya baik tenaga maupun kesanggupan kerja sehingga

pengurusanya diserakan kepada saudaranya yang lebih tua, tetapi

belum cukup umur untuk mempunyai pengalaman dan keterampilan

untuk mengurus anak dengan baik.

20
c. Kurangi perhatian orang tua kepada mereka karena kesibukan atau hal-

hal tertentu.

d. Anak baita masih belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik dan

belum dapat berusaha sendiri untuk mendapatkan makanan apa yang

akan dimakan.

e. Anak balita mulai turun ketanah dan berkenalan berbagai kondisi yang

member resiko infeksi atau pennyakit lain. Padahal tubuhnya belum

cukup mempunyai imunitas atau daya tahan tubuh untuk melawan

penyakit atau menghindarkan kondisi lain yang akan menimbulkan

bahaya pada dirinya (Naziruddin, 2003).

C. Tinjauan Umum Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Saluran

Pernapasan Akut

Infeksi Saluran Pernapasan Akut yang dapat menjadi penyakit ringan pada

orang muda yang sehat, tetapi menjadi serius pada anak-anak dengan daya

tahan tubuh yang masih lemah. Untuk itu pemerintah melakukan berbagai upaya

dalam menurunkan kejadian ISPA tetapi masih tetap sebagai penyebab kematian

pada bayi dan balita karena penanganannya hanya diarahkan pada faktor yang

bersifat kuratif atau pengobatan dibanding faktor lain seperti promotif dan

preventif, sedangkan diketahui bahwa ISPA adalah penyakit yang multikausa dan

tergolong penyakit yang mempunyai banyak jenis sehingga sulit membedakan

penyebab tunggal dari penyakit tersebut (Depkes, 2005).

1. Kelengkapan imunisasi

21
Imunisasi merupakan upaya pencegahan penyakit dengan cara

memberikan perlindungan atau kekebalan buatan kepada seseorang dengan

cara memberikan vaksin (bibit penyakit yang sudah dilemahkan) ke dalam

tubuh. Dengan imunisasi, berbagai penyakit seperti TBC, difteri, pertusis,

tetanus, hepatitis B, poliomyelitis, dan campak dapat dicegah. Pentingnya

pemberian imunisasi dapat dilihat dari banyaknya balita yang meninggal akibat

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) (Dewi, 2010).

Ada dua jenis imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.

Pemberian imunisasi pada anak biasanya dilakukan dengan cara imunisasi

aktif, karena imunisasi aktif akan memberi kekebalan yang lebih lama.

Imunisasi pasif diberikan hanya dalam keadaan yang sangat mendesak, yaitu

bila diduga tubuh anak belum mempunyai kekebalan ketika terinfeksi oleh

kuman penyakit yang ganas (Dewi, 2010).

Jenis-jenis imunisasi wajib :

1) Vaksin BCG

Pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif

terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG mengandung kuman

BCG yang masih hidup. Jenis kuman ini telah dilemahkan.

2) Vaksin DPT

Manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan kekebalan aktif

dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria, pertusis (batuk

rejan) dan tetanus.

3) Vaksin DT (Difteria, Tetanus)

22
Vaksin ini dibuat untuk keperluan khusus yaitu bila anak sudah tidak

diperbolehkan atau tidak lagi memerlukan imunisasi pertusis, tapi masih

memerlukan imunisasi difteria dan tetanus.

4) Vaksin Tetanus

Terhadap penyakit tetanus, dikenal 2 jenis imunisasi yaitu imunisasi aktif

dan imunisasi pasif. Vaksin yang digunakan untuk imunisasi aktif ialah

toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan

kemudian dimurnikan.

5) Vaksin Poliomielitis

Imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit

poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-

masing mengandung virus polio tipe I, II, dan III yaitu:

Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah

dimatikan (vaksin Salk), cara pemberiannya dengan penyuntikan

Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang masih hidup

tetapi telah dilemahkan (vaksin Sabin), cara pemberiannya melalui

mulut dalam bentuk pil atau cairan.

6) Vaksin Campak

Imunisasi diberikan untuk mendapat kekebalan tehadap penyakit campak

secara aktif.

7) Vaksin Hepatitis B

23
Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit

Hepatitis B. Penyakit ini dalam istilah sehari-hari lebih dikenal sebagai

penyakit lever.

Pemberian imunisasi adalah salah satu strategi pencegahan untuk

mengurangi kesakitan dan kematian akibat infeksi saluran pernafasan.

Diharapkan juga dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan yang dapat

dicegah dengan imunisasi. Beberapa penyakit yang termasuk PD3I

mempunyai gejala prodormal yang menyerupai ISPA (Depkes, 2005).

Pemberian imunisasi memberikan arti penting dalam pencegahan

ISPA. Beberapa penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti

hepatitis B, campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air,

TBC, dan lain sebagainya. Infeksi saluran pernapasan akut adalah salah satu

jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit yang tergolong

infeksi saluran pernapasan akut yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah

difteri, batuk rejan, dan campak (Anonim, 2008).

2. Status Gizi

Imunitas tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain status gizi.

Dimana semakin baik status gizi host maka akan semakin baik pula

imunitasnya. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan balita menderita ISPA

adalah daya tahan tubuh yang rendah yang diakibatkan keadaan gizi yang

kurang atau buruk. Balita yang kurang mendapat asupan energy dan zat gizi,

pola asuh yang kurang baik akan cenderung mempunyai status gizi kurang

24
dan buruk yang berisiko sering menderita penyakit infeksi termasuk ISPA

(Depkes RI, 2005).

Memperhatikan berbagai faktor yang menentukan kecukupan zat-zat

gizi bagi setiap orang, khususnya bagi bayi dan anak balita, ibu hamil dan ibu

menyusui memerlukan perhatian khsusus. Bayi dan anak balita termasuk usia

rawan gizi, artinya mereka sangat peka terhadap kemungkinan mengalami

gangguan kesehatan apabila konsisten kecukupan asupan gizi terganggu atau

tidak dicukupinya zat-zat penting yang diperlukan. Lebih lanjut dampaknya

adalah bayi dan anak balita karena mudah menderita sakit (Depkes RI dalam

Palloan, 2005).

Klasifikasi status gizi yang direkomendasikan untuk mengukur status

gizi anak balita di Indonesa sampai saat ini adalah baku World Heath

Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS).

Tabel 2. Klasifikasi status gizi anak dibawah lima tahun (Balita)

IINDEKS STATUS GIZI AMBANG BATAS

25
Berat badan Gizi lebih >+2 SD
menurut umur Gizi Baik >-2 SD
(BB/U) Gizi Kurang sampai + 2 SD
Gizi Buruk <-2 SD
sampai >-3SD
<-3SD
Tinggi Badan Normal >2SD
Menurut Umur Pendek (Stunded) <-2 SD
(TB/U)
Berat Badan Gemuk >+2 SD
Menurut Tinggi Normal >-2 SD
Badan (BB/TB) Kurus (wasted) sampai + 2 SD
Kurus Sekali <-2 SD
sampai >-3SD
<-3SD
Sumber: Kepmenkes RI No.920/2002

Indeks berat badan menurut umur merupakan pengukuran

antropometri yang sering digunakan sebagai indicator dalam keadaan normal,

dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan

gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang masa tubuh (otot

dan lemak). Massa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan keadaan yang

mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya

jumlah makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan keadaan

sekarang. Berat badan yang bersifat labil, penyebab infeksi dan lebih

menggambarkan status gizi seseorang saat ini atau Curent Nutritional Status

(Arisman, 2010).

Kurang gizi merupakan merupakan faktor yang dapat meningkatkan

kemungkinan balita menderita ISPA karena daya tahan tubuh yang rendah

yang akan mengakibatkan keadaan status gizi yang kurang atau buruk. Balita

yang kurang mendapat asupan energy dan zat gizi, pola asuh yang kurang

26
baik akan cenderung mempunyai status gizi kurang dan buruk yang berisiko

sering menderita penyakit infeksi termasuk ISPA (Depkes, 2005).

3. Pemberian ASI

Air Susu Ibu (ASI) yang diberikan secara eksklusif kepada bayi hingga

usia 6 bulan selain sebagai bahan makanan bayi juga mengandung kolostrum

yang merupakan zat kekebalan alami yang berfungsi melindungi dari infeksi

saluran pernapasan akut karena dapat mencegah invasi saluran pernapasan

oleh bakteri atau virus (Mihrshahi et al., 2007).

ASI ekslusif adalah pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin

setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain,

walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan, bayi

mulai dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai bayi

berumur 2 tahun (Purwanti, 2004).

Jika dibandingkan dengan susu formula, biaya yang dikeluarkan akibat

pemberian ASI tetap lebih murah, meskipun ibu menyusui membutuhkan zat

gizi ekstra. Bila anak disusui selama 2 tahun, berarti ia telah menerima ASI

sekitar 375 liter yang setara dengan 437 liter susu sapi. Jika dihitung

berdasarkan rata-rata kebutuhan ASI sebesar 800 cc/hari, bayi usia 6-7 bulan

pertama telah menghabiskan sekitar 150 liter susu yang setara dengan 22 kg

susu bubuk formula. Biaya ini belum memperhitungkan keperluan lain, seperti

pembelian dot, botol susu, alat pemasak, pendingin susu, bahan bakar, dan

yang lebih penting lagi biaya pengobatan pada bayi yang diberi susu formula

27
membengkak 10 kali lebih besar dibandingkan bayi yang diberi ASI (Arisman,

2010).

Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin (zat

kekebalan tubuh) dari ibunya lewat ari-arinya. Tubuh bayi dapat membuat

sistem kekebalan tubuh sendiri waktu berusia sekitar 9-12 bulan. Sistem imun

bawaan pada bayi menurun namun sistem imun yang dibentuk oleh bayi itu

sendiri belum bisa mencukupi sehingga dapat mengakibatkan adanya

kesenjangan zat kekebalan pada bayi dan hal ini akan hilang atau berkurang

bila bayi diberi ASI. Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih

banyak dari susu matang. Zat kekebalan pada ASI dapat melindungi bayi dari

penyakit mencret atau diare, ASI juga menurunkan kemungkinan bayi terkena

penyakit infeksi, telinga, batuk, pilek, dan penyakit alergi. Dan pada

kenyataannya bayi yang diberi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit

dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Depkes RI,

2001).

Dua belas jenis immunoglobulin terdapat dalam ASI. Dalam tubuh bayi

teridentifikasi 30 jenis immunoglobulin, diantaranya 18 jenis immunoglobulin

berasal dari serum darah ibu dan 12 jenis hanya ditemukan dalam ASI.

Dengan memperoleh berbagai immunoglobulin dari serum ibu maupun ASI,

bayi mendapat perlindungan terhadap serangan kuman Clostridium tetani,

difteri, pneumonia, E. coli, salmonella, sigela, influenza, streptokokus,

stafilokokus, virus polio, rotavirus, dan vibrio colera. Oleh karena itu, bayi yang

mendapat ASI ekslusif akan terhindar dari berbagai penyakit infeksi, penyakit

28
system pencernaan, serta berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus.

Penelitian membuktikan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI memiliki

peluang 14,3 kali untuk meninggal karena serangan berbagai penyakit

(Purwanti, 2004).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Betran et al. (2001), ASI eksklusif

dapat mencegah kematian bayi usia 0-3 bulan sebesar 66 persen, ASI parsial

dapat mencegah kematian bayi usia 4-11 bulan sebesar 32 persen. Alarcon et

al. (1997) mengemukakan bahwa bayi yang diberi ASI selain insiden ISPA-nya

lebih rendah juga episode sakitnya lebih pendek.

4. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah premature baby

dengan low birth weight baby (bayi dengan berat lahir rendah = BBLR). Hal ini

dilakukan karena tidak semua bayi dengan berat kurang dari 2500 gram pada

waktu lahir bayi premature. Keadaan ini dapat disebabkan oleh :

1) Masa kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat yang sesuai (masa

kehamilan dihitung mulai hari pertama haid terakhir dari haid yang

teratur)

2) Bayi small for gestational age (SGA): bayi yang beratnya kurang dari

berat semestinya menurut masa kehamilannya (kecil untuk masa

kehamilan = KMK)

3) Kedua-duanya (Sarwono, 2006).

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat

lahir < 2500 gram. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup

29
bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan/premature khususnya yang masa

kehamilannya < 32 minggu, biasanya mengalami penyulit seperti gangguan

napas, ikterus, infeksi dan lain-lain (Anonim, 2007).

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) berisiko gangguan napas yakni

bayi baru lahir yang bernapas cepat > 60 kali/menit, lambat < 30 kali/menit

dapat disertai sianosis pada mulut, bibir, mata dengan/tanpa retraksi dinding

dada/epigastrik serta merintih, dengan demikian BBLR sangat beresiko

terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR (Anonim, 2007).

5. Pengetahuan Ibu

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah

orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terhadap objek terjadi melalui panca indra manusia yakni

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada

waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek. (Notoatmodjo,

2003 dalam Wawan & Dewi, 2010).

Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) merupakan khasanah

kekayaan mental secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya

kehidupan kita. Setiap pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik

mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistologi) dan untuk apa (aksiologi).

Pengetahuan merupakan fungsi dari sikap, menurut fungsi ini manusia

mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencapai penalaran dan

untuk mengorganisasikan pengalaman.

30
Menurut Notoatmodjo (2003) tingkat pengetahuan ada 6 yaitu:

1 Tahu (know)

Tahu ( know ) adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah.

atau diartikan sebagai pengikat materi yang telah dipelajari sebelumnya,

termasuk mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan

yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Untuk mengukur

tingkatan pengetahuan ini dipergunakan menyebutkan , menguraikan,

menyatakan dan sebagainya.

2 Memahami (comprehention)

Memahami (comprehension) adalah kemampuan untuk

menjelaskan dan menginterpetasikan secara benar tentang objek yang

diketahuinya, dalam hal ini mencakup kemampuan menangkap makna

dan arti bahan yang diajarkan, yang ditunjukkan dalam bentuk

kemampuan menguraikan ini pokok dari suatu bacaan misalnya

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan

sebagainya terhadap materi atau substansi yang dipelajari.

3 Aplikasi (application)

Aplikasi (application) adalah kemampuan menggunakan materi

yang dipelajari berupa hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan

sebagainya pada kondisi nyata. Mencakup kemampuan untuk

menerapkan suatu kaidah metode bekerja pada suatu kasus dan

masalah yang nyata misalnya mengerjakan, memanfaatkan,

menggunakan dan mendemonstrasikan.

31
4 Analisis (analysis)

Analisis (analysis) atau sintetsis adalah kemampuan

menggabungkan komponen-komponen yang terpisah-pisah sehingga

membentuk suatu keseluruhan, misalnya menggabungkan, menyusun

kembali dan mendiskusikannya.

5 Sintesis (synthesis)

6 Evaluasi (evaluation)

Evaluasi (evaluation) adalah kemampuan melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu obyek atau materi. Evaluasi ini dilandaskan

pada kriteria yang telah ada atau kriteria yang disusun yang

bersangkutan misalnya mendukung, menentang dan merumuskan.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu :

a. Faktor Internal

1Pendidikan

2Pekerjaan

3Umur

b. Faktor Eksternal

1Faktor Lingkungan

2Sosial Budaya (Wawan & Dewi, 2010)

32
6. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam

menentukan terjadinya proses interaksi antara host dengan agent dalam

proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari

lingkungan fisik, biologis dan sosial.

Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik

secara langsung maupun tidak terhadap lingkunganlingkungan biologis dan

lingkungan social manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi

udara, kelembaban, air dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA

adalah termasuk air borne disease karena salah satu penularannya melalui

udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan,

maka udara secara epidemologi mempunyai peranan penting yang besar

pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan. Salah satu gangguan

yang mungkin disebabkan oleh pencemaran kualitas udara dalam ruangan

(indoor air quality) adalah ISPA. ISPA dapat meliputi bagian atas saja dan

bahkan bagian bawah seperti laringitis, tracheobronchitis, bronchitis dan

pneumonia (Keman, 2005).

Perkembangan timbulnya penyakit menggambarkan secara spesifik

peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah sejak lama sudah

diperkirakan pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit. Apabila

dilihat dari segi ilmu lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi

antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Soemirat, 2007).

33
Status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu induk

semang (host), agen penyakit (agent) dan lingkungan (environment) seperti

ditunjukkan pada (Gambar 5). Ketiga faktor tersebut akan berinteraksi dan

menimbulkan hasil positif maupun negatif. Hasil interaksi akan menimbulkan

keadaan sehat sedangkan interaksi yang negatif akan memberikan keadaan

sakit.

Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan

yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu atau arang

atau asap. Di samping itu ditentukan oleh ventilasi, kepadatan penghuni,

suhu ruangan, kelembaban, penerangan alami, jenis lantai, dinding, atap,

saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah, ketersediaan

air bersih, dan debu (polutan).

Hal-hal yang diperhatikan dalam menilai faktor lingkungan yaitu :

1. Ventilasi

2. Kepadatan hunian

3. Suhu ruangan

4. Kelembaban ruangan

5. Penerangan alami

6. Lantai

7. Dinding

8. Atap

9. Saluran pembuangan air limbah

10. Tempat pembuangan sampah

34
BAB III

KERANGKA KONSEP

B. Dasar pemikiran variabel

Pemberian imunisasi memberikan arti penting dalam pencegahan Infeksi

Saluran Pernapasan Akut. Pemberian imunisasi adalah salah satu strategi

pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat infeksi saluran

pernafasan. Diharapkan juga dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan

yang dapat dicegah dengan imunisasi. Beberapa penyakit yang termasuk PD3I

mempunyai gejala prodormal yang menyerupai ISPA (Depkes, 2005).

Imunitas tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain status gizi.

Dimana semakin baik status gizi host maka akan semakin baik pula imunitasnya.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan anak balita menderita ISPA adalah daya

tahan tubuh yang rendah yang diakibatkan keadaan gizi yang kurang atau buruk

(Depkes, 2005).

Pemberian ASI merupakan hal penting pada bayi terutama pemberian ASI

awal (kolostrum) karena kaya dengan antibodi yang mempunyai efek terhadap

penurunan risiko kematian. ASI berguna untuk perkembangan sensorik dan

kognitif, mencegah bayi terserang penyakit infeksi dan kronis. ASI terutama ASI

eksklusif menurunkan kematian bayi dan kejadian sakit pada anak yaitu diare atau

ISPA, dan membantu kesembuhan dari penyakit (WHO, 2005).

35
B. Kerangka Konsep Penelitian

Kelengkapan Imunisasi

Status Gizi

Pemberian ASI Penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut
BBLR

Pengetahuan Ibu

Lingkungan

Keterangan:

Variabel Dependent

Variabel Independen

Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka Konsep tentang kejadian ISPA pada anak balita ditinjau
dari beberapa faktor yang berhubungan yang akan diteliti

C. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Variabel bebas (Independent)

a. Variabel bebas (Independen) adalah variabel yang dapat mempengaruhi

variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut

36
pada anak balita yang meliputi kelengkapan imunisasi, status gizi, dan

pemberian ASI ekslusif.

b. Variabel terikat (Dependen) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

bebas. Variabel terikat dari penelitian ini adalah anak balita yang menderita

Infeksi Saluran Pernapasan Akut.

B. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah hasil diagnosa yang

telah dilakukan oleh dokter terhadap anak 12-59 bulan yang tercantum dalam

status anak balita dengan diagnosa infeksi saluran pernapasan akut.

Kriteria Objektif :

ISPA : bila anak balita (12-59 bln) dinyatakan menderita ISPA dari

hasil diagnosis dokter yang tercatat dalam rekam medis.

Tidak ISPA : bila anak balita (12-59 bln) dinyatakan menderita penyakit lain

selain ISPA dari hasil diagnosis dokter yang tercatat dalam

rekam medis.

2. Kelengkapan Imunisasi

Jenis imunisasi yang diterima anak sesuai program yaitu: BCG, DPT

1,2,3, Polio 1,2,3,4, Hepatitis B 1,2 3, dan campak. Jadwal dan dosis dapat

dibuktikan dengan KMS atau Buku KIA. Variabel ini diukur dengan

menggunakan skala Nominal.

Kriteria Objektif:

37
Imunisasi lengkap : Jika jenis imunisasi BCG, DPT, Polio, Hepatitis

dan Campak diberi lengkap sesuai jadwal dan

usia balita

Imunisasi Tidak lengkap : Jika salah satu jenis imunisasi BCG, DPT,

Polio, Hepatitis dan Campak tidak diberikan

lengkap sesuai jadwal dan usia balita

3. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan gizi anak umur 12-59 bulan yang di

ukur/dinilai secara antropometri berdasarkan berat badan terhadap umur

(BB/U) dibandingkan menurut standar WHO-NCHS (National Centre for Health

Statistic). Anak balita ditimbang pada saat anak berobat di puskesmas.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Nominal.

Kriteria Objektif:

Gizi Buruk : Bila berat badan anak balita saat ditimbang > -3SD.

Gizi Kurang : Bila berat badan anak balita saat ditimbang < -2SD

sampai -3SD

Gizi Baik : Bila berat badan anak balita saat ditimbang > -2SD

sampai +2SD

Gizi Lebih : Bila berat badan anak balita saat ditimbang > +2SD

4. Pemberian ASI

Bila pemberian ASI saja termasuk colostrum tanpa tambahan apapun

sejak lahir sampai umur 6 bulan. Variabel ini diukur dengan menggunakan

skala Nominal.

38
Kriteria Objektif:

Ekslusif : Apabila memberikan ASI eksklusif sampai bayi

berumur 6 bulan hanya diberi ASI saja.

Tidak Ekslusif : Bila sebelum umur 6 bulan telah diberikan makanan

tambahan apapun bentuknya, dinyatakan tidak

memberikan ASI eksklusif.

C. Hipotesis Penelitian

1. Kelengkapan Imunisasi

Ho : Tidak ada hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian Infeksi

Saluran Pernapasan Akut

Ha : Ada hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut

2. Status Gizi

Ho : Tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut

Ha : Ada hubungan status gizi dengan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan

Akut

3. Pemberian ASI

Ho : Tidak ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut

Ha : Ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut

39
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan rancangan cross

sectional. Metode penelitian dengan rancangan cross sectional yaitu suatu

penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor beresiko

dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Alasan dipilih rancangan studi

ini adalah mudah dilakukan dan murah karena hanya mengidentifikasi hubungan

Kelengkapan Imunisasi, pemberian ASI dan status gizi, terhadap kejadian

penyakit ISPA pada anak balita.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

A. Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 Juni sampai 30 Juni

Tahun 2013.

B. Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan di Puskesmas Abeli Kota Kendari

Tahun 2013.

40
C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh anak Balita (12-59 bulan) yang

yang datang berobat di Puskesmas Abeli Kota Kendari pada bulan Januari

sampai Maret tahun 2013 yaitu sebanyak 245 anak balita.

2. Sampel

a. Sampel

Sampel penelitian adalah pasien anak balita yang datang berobat di

Puskesmas Abeli yang terpilih sesuai dengan kriteria sampel dan bersedia

untuk menjadi subyek penelitian dengan jumlah 56 anak balita.

Kriteria inklusi subyek penelitian:

a. Anak balita (12-59 bulan) yang berobat di Puskesmas Abeli.

b. Keluarga yang bersedia untuk menjadi subyek penelitian dan

menadatangani informed consent.

c. Anak balita (12-59 bulan) yang memiliki KMS.

Kriteria eksklusi subyek penelitian:

a. Anak balita (12-59 bulan) yang tidak berobat di Puskesmas Abeli.

b. Tidak bersedia berpartisipasi/menjadi subyek penelitian.

c. Anak balita (12-59 bulan) yang tidak memiliki KMS.

b. Tehnik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan Accidental

Sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus

41
atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai

dengan konteks penelitian (Notoatmodjo,2010).

D. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

1. Data primer diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan

responden yang terpilih dengan menggunakan kuesioner serta dilakukan

pengamatan langsung atau observasi keadaan responden.

2. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur dan data-data

dari buku register kunjungan pasien di medical record puskesmas serta data

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan,

cacatan rekaman medik, dan kohort bayi (KMS), adapun pengukuran masing-

masing variabel antara lain:

1. Variabel kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut berdasarkan

diagnosa dokter. Cara pengumpulan data dengan melihat kartu status pasien

di puskesmas (dokumentasi).

2. Variabel status imunisasi dengan mengunakan kohort bayi (kartu KMS). Cara

pengumpulan data dengan melihat status KMS anak (dokumentasi).

3. Variabel status gizi dengan menggunakan pengukuran berat badan dengan

timbangan pada ketelitian 0.1 kg (observasi).

42
4. Variabel pemberian ASI dengan menggunakan pengukuran Pengumpulan data

dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada ibu dengan

berpedoman pada kuesioner penelitian (wawancara).

F. Pengolahan dan Analisa Data

1. Tehnik Pengolahan Data


Pengolahan data yang diperoleh dari hasil penelitian dikerjakan

melalui beberapa proses dengan tahapan sebagai berikut :


a. Cleaning
Cleaning yaitu data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk

dilakukan pembersihan data yaitu mengecek data yang benar saja, yang

diambil sehingga tidak terdapat data yang meragukan atau salah


b. Editing
Editing yaitu memeriksa hasil kuesioner yang telah dilaksanakan

untuk mengetahui kesesuaian jawaban responden. Dimana dalam editing

tidak dilakukan penggantian jawaban yang dimaksud agar data tersebut

konsisten dan sesuai dengan tujuan penelitian.


c. Coding
Coding yaitu pemberian tanda atau kode untuk memudahkan analisa pada

waktu pengolahan data


d. Tabulating
Tabulating, yaitu menyusun dan menghitung data hasil pengkodean untuk

disajikan dalam tabel sesuai kategori variabel


e. Entry
Entry yaitu data yang sudah diseleksi dimasukkan ke dalam computer

untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut dan dianalisis secara deskriptif

analitik (Nursalam, 2008).

2. Analisa Data

43
Data dalam penelitian ini dilakukan analisis dalam 2 tahapan sebagai

berikut:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat di lakukan secara deskriptif dari masing-masing

variabel dengan tabel distribusi frekuensi disertai penjelasan. Variabel yang

lihat meliputi kejadian ISPA, kelengkapan imunisasi, status gizi, dan

pemberian ASI. Adapun rumus persentase yaitu :

f
X X 100%
n

Keterangan :

f = Frekuensi variabel yang diteliti


n = Jumlah sampel penelitian
k = Konstanta (100%)
X = Persentase hasil yang dicapai (Chandra, 2003)

b. Analisis Bivariat
Untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel bebas

(kelengkapan imunisasi, status gizi, pemberian ASI) dengan variabel terikat

(penyakit ISPA). Dalam analisa ini dapat dilakukan pengujian yaitu :


1) Uji Chi-Square
Adapun rumus uji chi-square adalah sebagai berikut :

(Sugiyono, 2012)

Proses pengujian chi-square adalah dengan membandingkan

frekuensi yang terjadi (observasi) dengan frekuensi harapan

(eskpektasi). Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistik antara

variabel bebas dan variabel terikat digunakan tingkat kepercayaan

95% (=0.05). Pengambilan keputusan dilakukan sebagai berikut :

44
1) Jika nilai p yang didapat lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis nol

ditolak yang berarti antara dua variabel (bebas dan terikat) yang

diteliti mempunyai hubungan yang bermakna.


2) Jika nilai p lebih besar dari 0,05 maka hipotesis nol gagal ditolak

yang berarti bahwa antara dua variabel (bebas dan terikat) yang

diteliti tidak mempunyai hubungan yang bermakna ( Sugiyono,

2012 ).
2) Uji Fisher Exact

Adapun rumus Uji Fisher Exact sebagai berikut :

p=

Keterangan : ! = factorial

Proses pengujian fisher exact adalah dengan membandingkan

frekuensi yang terjadi (observasi) dengan frekuensi harapan

(eskpektasi). Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistik antara

variabel bebas dan variabel terikat digunakan tingkat kepercayaan

95% (=0.05). Pengambilan keputusan dilakukan sebagai berikut :


1) Jika nilai p yang didapat lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis nol

ditolak yang berarti antara dua variabel (bebas dan terikat) yang

diteliti mempunyai hubungan yang bermakna.


2) Jika nilai p lebih besar dari 0,05 maka hipotesis nol gagal ditolak

yang berarti bahwa antara dua variabel (bebas dan terikat) yang

diteliti tidak mempunyai hubungan yang bermakna.

G. Penyajian Data

45
Penyajian data di lakukan setelah data diolah dan di sajikan dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi serta tabel analisis hubungan antar variabel di sertai

narasi.

H. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya

rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan

izin kepada instansi tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan barulah

dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian yang meliputi:

1. Informed consent (Lembar Persetujuan Tindakan)

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti

yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat

penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksakan

kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya

kelompok data tertentu yang akan di laporkan sebagai hasil penelitian (Alimul,

2007).

46
BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Puskesmas Abeli

1. Letak Geografis

Puskesmas Abeli terletak di pusat kecamatan Abeli tepatnya di

kelurahan Abeli. Lokasi ini sangat strategis mudah dijangkau kendaraan

umum.

Letak Puskesmas Abeli dengan batas-batas sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Rumah Warga

b. Sebelah Timur : Jalan Raya

c. Sebelah Selatan : Rumah Warga

d. Sebelah Utara : Hutan Produksi

2. Sarana dan Prasarana

Puskesmas Abeli dibangun pada tahun 1998 dengan luas lokasi 720m x

160m = 115.200 m2, peralatan medik dan keperawatan, peralatan penunjang

47
medik diagnostik serta peralatan penunjang diagnostik serta peralatan non

medik seperti kendaraan dinas (ambulance), kendaraan dinas spesialis,

peralatan kantor dan lain-lain.

Bangunan fisik terdiri dari gedung perawatan, ruang kepala puskesmas,

ruang kartu, ruang apotik, ruang poli umum, ruang tata usaha, ruang poli gigi,

poli KIA, ruang computer, ruang UGD, ruang rapat, ruang laboratorium, ruang

obat-obatan, 1 unit gedung persalinan, 2 unit perumahan dokter, 2 unit

perumahan perawat.

B. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Abeli Kota Kendari dengan

jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 56 orang anak balita (12-59 bulan).

Setelah kuesioner/lembar observasi diperiksa kebenaran isinya maka semua

memenuhi syarat untuk diikutkan dalam pengolahan data.

Dalam menginterprestasikan data hasil penelitian maka ditempuh dua

macam analisis yaitu analisis univariat untuk melihat distribusi frekuensi dan

prersentase variable penelitian, dan analisis bivariat untuk melihat hubungan

variable independent dan dependen.

1. Karakteristik Umum Penelitian


Analisis ini dilakukan untuk melihat secara umum karakteristik

responden dan karakteristik objek penelitian dengan mendeskripsikan

berdasarkan ciri-ciri setiap sampel yang diteliti sebagai berikut:


a. Karakteristik anak balita menurut Umur
Distribusi anak balita menurut umur dibagi atas 12-23 bulan, 24-

35 bulan dan 36-47 bulan dan 48-59 bulan.

48
Tabel 5.1 Distribusi Anak Balita menurut Umur di Puskesmas Abeli Kota
Kendari Tahun 2013

Umur Balita Frekuensi (F) Presentase (%)


12 -23 bulan 13 23.2
24-35 bulan 14 25.0
36-47 bulan 16 28.6
48-59 bulan 13 23.2
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak adalah

anak balita usia 36-47 bulan (28.6%), sedangkan terendah adalah usia

12-23 bulan (23.2%) dan pada usia 48-59 bulan (23.2%). Besarnya

proporsi kelompok umur 36-47 bulan yang ditemukan dalam penelitian

ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan besarnya

proporsi pada kelompok umur 12-23 bulan dan 48-59 bulan. Hal ini terkait

dengan rutinitas ibu dalam berkunjung ke tempat-tempat pelayanan

kesehatan sehingga dengan sendirinya tidak ada perbedaan yang

mencolok terhadap umur anak balita.

b. Karakteristik anak balita menurut jenis kelamin


Distribusi anak balita menurut jenis kelamin adalah sebagai berikut:
Tabel 5.2 Distribusi Anak Balita menurut Jenis Kelamin di Puskesmas
Abeli Kota Kendari Tahun 2013

Jenis Kelamin Frekuensi (F) Presentase (%)


Laki-Laki 37 66.1
Perempuan 19 33.9
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

49
Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak adalah

anak balita jenis kelamin laki-laki 37 (66.1%) dan terendah pada anak

balita jenis kelamin perempuan 19 (33.9%). Besarnya responden yang

berjenis kelamin laki-laki merupakan gambaran distribusi penduduk yang

sebaran jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada jenis kelamin

perempuan.

c. Karakteristik responden menurut umur ibu

Distribusi responden menurut umur ibu anak balita adalah

sebagai berikut:

Tabel 5.3 Distribusi Responden menurut Umur Ibu di Puskesmas Abeli


Kota Kendari Tahun 2013

Umur Ibu Frekuensi (F) Presentase (%)


17-21 tahun 13 23.2
22-26 tahun 16 28.6
27-31 tahun 15 26.8
32-36 tahun 7 12.5
37-41 tahun 5 8.9
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak adalah

respoden dengan umur ibu 22-26 tahun sebanyak 16 responden (28.6%).

Besarnya proporsi responden umur ibu tersebut karena umur muda

cenderung membuat ibu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak begitu

memperhatiakan anaknya.

50
d. Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan ibu
Distribusi responden menurut tingkat pendidikan ibu anak balita

adalah sebagai berikut:


Tabel 5.4 Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan Ibu di
Puskesmas Abeli Kota Kendari Tahun 2013

Tingkat Pendidikan Frekuensi (F) Presentase (%)


SD 5 8.9
SLTP 15 26.8
SLTA 30 53.6
PT 6 10.7
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak adalah

respoden dengan tingkat pendidikan SLTA 30 (53.6%) dan terendah pada

responden dengan tingkat pendidikan SD 5 (8.9%). Besarnya proporsi

responden tingkat pendidikan SLTA karena sebaran penduduk

berdasarkan tingkat pendidikan semakin baik dengan berjalannya

program-program pendidikan gratis sehingga masyarakat cenderung

berpendidikan semakin tinggi.

e. Karakteristik responden menurut pekerjaan ibu

Distribusi responden menurut tingkat pekerjaan ibu anak balita

adalah sebagai berikut:

Tabel 5.5 Distribusi Responden menurut Pekerjaan Ibu di Puskesmas


Abeli Kota Kendari Tahun 2013

51
Pekerjaan Ibu Frekuensi (F) Presentase (%)
PNS 8 14.3
IRT 35 62.5
Swasta 13 23.2
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak adalah

respoden dengan pekerjaan ibu IRT 35 (62.5%) dan terendah pada

responden dengan pekerjaan ibu PNS 8 (14.3%). Besarnya proporsi

responden pekerjaan ibu IRT karena sebaran penduduk yang sebagian

besar adalah petani dan nelayan, sehingga ibu hanya mengurus anak-

anaknya dirumah tanpa membantu suami mereka.

2. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat secara umum variable penelitian

dengan mendeskripsikan hasil-hasil penelitian berdasarkan varibel yang

diteliti sebagai berikut:


a. Kejadian Penyakit ISPA
Tabel 5.6 Distribusi Kejadian ISPA Pada Anak Balita di Puskesmas Abeli
Kota Kendari Tahun 2013

Kejadian ISPA Frekuensi (F) Presentase (%)


ISPA 42 75.0
Tidak ISPA 14 25.0
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak pada

anak balita dengan penyakit ISPA sebanyak 42 responden (75.0%),

sedangkan anak balita dengan penyakit tidak ISPA ditemukan lebih kecil

sebanyak 14 responden (25.0%).

52
b. Kelengkapan Imunisasi
Tabel 5.7 Distribusi Kelengkapan Imunisasi Pada Anak Balita di
Puskesmas Abeli Kota Kendari Tahun 2013

Kelengkapan Imunisasi Frekuensi (F) Presentase (%)


Lengkap 41 73.2
Tidak Lengkap 15 26.8
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak pada

anak balita dengan status imunisasi lengkap sebanyak 41 responden

(73.2%), sedangkan anak balita dengan status imunisasi tidak lengkap

ditemukan lebih kecil sebanyak 15 responden (26.8%).

c. Status Gizi
Tabel 5.8 Distribusi Status Gizi Pada Anak Balita di Puskesmas Abeli
Kota Kendari Tahun 2013

Status Gizi Frekuensi (F) Presentase (%)


Gizi Baik 35 62.5
Gizi Kurang 21 37.5
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak pada

anak balita dengan status gizi baik sebanyak 35 responden (62.5%),

sedangkan anak balita dengan status gizi kurang ditemukan lebih kecil

sebanyak 21 responden (37.5%).

d. Pemberian ASI Ekslusif


Tabel 5.9 Distribusi Riwayat Pemberian ASI Ekslusif Pada Anak Balita di
Puskesmas Abeli Kota Kendari Tahun 2013

Riwayat Pemberian ASI Frekuensi (F) Presentase (%)


Ekslusif 18 32.1

53
Tidak Ekslusif 38 67.9
Jumlah 56 100.0
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa persentase terbanyak pada

anak balita dengan riwayat pemberian ASI Tidak Ekslusif sebanyak 38

responden (67.9%), sedangkan anak balita dengan riwayat pemberian

ASI Ekslusif ditemukan lebih kecil sebanyak 18 responden (32.1%).

3. Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan dan keeratan hubungan antara variabel

independen dengan kejadian penyakit ISPA pada anak balita digunakan uji

chisquare, uji fisher, dan uji koefisien kontingensi pada analisis aplikasi

SPSS.

a. Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian Penyakit ISPA


Pada Anak Balita

Tabel 5.10 Hubungan Kelengkapan Imunisasi menurut Kejadian Penyakit


ISPA Pada Anak Balita
di Puskesmas Abeli Kota Kendari
Tahun 2013

Kejadian ISPA
Kelengkapan Jumlah
ISPA Tidak ISPA p
Imunisasi
n % n % n %
Lengkap 34 60.7 7 12.5 41 73.2
Tidak Lengkap 8 14.3 7 12.5 15 26.8 0.03
Jumlah 42 75.0 14 25.0 56 100
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa dari 56 anak balita umumnya

memiliki kelengkapan imunisasi yang lengkap sebanyak 41 anak balita,

54
dimana terdapat 34 (60.7%) ISPA dan 7 (12.5%) tidak ISPA, sedangkan

anak balita yang imunisasinya tidak lengkap sebanyak 15 anak balita,

dimana terdapat 8 (14.3%) anak balita yang menderita ISPA dan 7

(12.5%) anak balita tidak menderita ISPA.

Hasil analisis statistic dengan fisher exact diperoleh nilai p=0.03

(0.03<0.05) maka ini berarti H o ditolak dan Ha diterima. Jadi,

kelengkapan imunisasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak

balita.

b. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak


Balita

Tabel 5.11 Hubungan Status Gizi menurut Kejadian Penyakit ISPA Pada
Anak Balita di Puskesmas Abeli Kota Kendari Tahun 2013

Kejadian ISPA
Jumlah
Status Gizi ISPA Tidak ISPA p
N % n % n %
Gizi Baik 30 53.6 5 8.9 35 62.5
Gizi Kurang 12 21.4 9 16.1 21 37.5 0.01
Jumlah 42 75.0 14 25.0 56 100
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa dari 56 anak balita umumnya

memiliki gizi baik sebanyak 35 anak balita, dimana terdapat 30 (53.6%)

ISPA dan 5 (8.9%) tidak ISPA, sedangkan anak balita yang gizi kurang

55
sebanyak 21 anak balita, dimana terdapat 12 (21.4%) anak balita yang

menderita ISPA dan 9 (16.1%) anak balita tidak menderita ISPA.

Hasil analisis statistic dengan chi square diperoleh nilai p=0.01

(0.01<0.05) maka ini berarti H o ditolak dan Ha diterima. Jadi, status gizi

berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita.

c. Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Penyakit ISPA


Pada Anak Balita

Tabel 5.12 Hubungan Pemberian ASI Ekslusif menurut Kejadian


Penyakit ISPA Pada Anak Balita di Puskesmas Abeli Kota
Kendari
Tahun 2013

Kejadian ISPA
Pemberian ASI Jumlah
ISPA Tidak ISPA p
Ekslusif
N % n % n %
Ekslusif 10 17.9 8 14.3 18 32.1
Tidak Ekslusif 32 57.1 6 10.7 38 67.9 0.04
Jumlah 42 75.0 14 25.0 56 100
Sumber: Data Primer 2013

Tabel diatas menunjukan bahwa dari 56 anak balita umumnya

tidak diberikan ASI Ekslusif sebanyak 38 anak balita, dimana terdapat 32

(57.1%) ISPA dan 6 (10.7%) tidak ISPA, sedangkan anak balita yang

diberikan asi ekslusif sebanyak 18 anak balita, dimana terdapat 10

(17.9%) anak balita yang menderita ISPA dan 8 (14.3%) anak balita tidak

menderita ISPA.

Hasil analisis statistic dengan fisher exact diperoleh nilai p=0.04

(0.04<0.05) maka ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, pemberian

ASI Ekslusif berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita.

56
C. Pembahasan

1. Kelengkapan Imunisasi

Pemberian imunisasi memberikan arti penting dalam pencegahan

Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Pemberian imunisasi adalah salah satu

strategi pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat infeksi

saluran pernafasan. Diharapkan juga dapat menurunkan angka kematian dan

kesakitan yang dapat dicegah dengan imunisasi. Beberapa penyakit yang

termasuk PD3I mempunyai gejala prodormal yang menyerupai ISPA (Depkes,

2005).

Hasil penelitian menunjukan dari 56 anak balita umumnya memiliki

kelengkapan imunisasi yang lengkap sebanyak 41 anak balita, dimana

terdapat 34 (60.7%) ISPA dan 7 (12.5%) tidak ISPA. Walaupun proporsi

penderita ISPA masih cukup banyak tetapi hal tersebut banyak disebabkan

faktor-faktor lain, karena kita ketahui bahwa kasus ISPA dapat terjadi karena

multifactor. Sistem kekebalan tubuh tidak hanya diperoleh dari pemberian

imunisasi alktif buatan tetapi pemberian ASI sangat berperan dalam sistem

kekebalan tubuh. Balita yang diberikan ASI sejak lahir akan memperoleh

kekebalan pasif dari zat-zat gizi yang terkandung dalam colostrum ASI.

Sedangkan anak balita yang imunisasinya tidak lengkap sebanyak 15 anak

balita, dimana terdapat 8 (14.3%) anak balita yang menderita ISPA dan 7

(12.5%) anak balita tidak menderita ISPA. Imunisasi yang lengkap membuat

system pertahanan tubuh (imunitas) anak balita terhadap penyakit, tetapi

57
apabila tidak didukung dengan cara hidup sehat dengan menghindari factor

risiko maka anak balita tetap dapat terserang penyakit seperti ISPA.

Hasil analisis statistic dengan fisher exact diperoleh nilai p=0.03

(0.03<0.05) maka ini berarti H o ditolak dan Ha diterima. Jadi, kelengkapan

imunisasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita. Kejadian

penyakit ISPA pada anak balita terkait dengan status imunisasi anak balita

hal ini dikemukakan Bialangi.S (2007), bahwa status imunisasi merupakan

factor risiko kejadian ISPA pada anak balita. Anak balita yang mempunyai

status imunisasi tidak lengkap berisiko mengalami ISPA 5,510 kali lebih tinggi

dibanding balita yang status imunisasinya lengkap.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan program

imunisasi yaitu status imun, faktor genetik, serta kualitas dan kuantitas

vaksin. Ketiga faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnya,

meskipun status imun balita baik tetapi bila kualitas vaksinnya rendah maka

vaksin tersebut tidak akan memberikan manfaat/pengaruh terhadap balita

yang diberikan imunisasi, demikian pula sebaliknya.

2. Status Gizi

Imunitas tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain status

gizi. Dimana semakin baik status gizi host maka akan semakin baik pula

imunitasnya. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan anak balita menderita

ISPA adalah daya tahan tubuh yang rendah yang diakibatkan keadaan gizi

yang kurang atau buruk (Depkes, 2005).

58
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 56 anak balita umumnya

memiliki gizi baik sebanyak 35 anak balita, dimana terdapat 30 (53.6%) ISPA

dan 5 (8.9%) tidak ISPA. Status gizi baik atau status gizi optimal bila tubuh

memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga

memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja

dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Sedangkan

anak balita yang gizi kurang sebanyak 21 anak balita, dimana terdapat 12

(21.4%) anak balita yang menderita ISPA dan 9 (16.1%) anak balita tidak

menderita ISPA. Hal ini disebabkan infeksi akan mengganggu proses

pencernaan dan ketika asupan makanan berkurang zat gizi yang diperlukan

juga akan berkurang, sehingga akan memperburuk kondisi dan berakibat

tubuh menjadi rentan menderita ISPA. Gizi kurang maupun gizi buruk

dipengaruhi oleh tiga hal yaitu: anak balita tidak cukup mendapat makanan

bergizi seimbang, anak balita tidak mendapat asuhan gizi yang baik, dan

anak balita mungkin menderita penyakit infeksi. Masa usia 12-59 bulan

adalah masa yang rentan terhadap kekurangan gizi merupakan masa

peralihan dimana anak mulai belajar dan diberi makanan biasa

sepertilayaknya orang dewasa, pada masa ini juga merupakan usia

penjelajah dan usia bertanya karena mereka menjelajahi lingkungan karena

dorongan ingin tahu, mengamati apa yang ada disekitarnya sehingga

aktifitasnya sangat tinggi.

Hasil analisis statistic dengan chi square diperoleh nilai p=0.01

(0.01<0.05) maka ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, status gizi

59
berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita. Menurut Aritonang,

bahwa antara penyakit infeksi dan status gizi terjadi hubungan timbal balik

atau sinergisme, gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk

mengatasi infeksi, karena gizi kurang menghambat reaksi pembentukan

kekebalan tubuh sehingga anak akan lebih mudah terkena penyakit infeksi

dan sebaliknya penyakit infeksi berpengaruh besar terhadap terjadinya

kejadian gizi pada anak balita. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Sukarlan

(2002) bahwa status gizi merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap

ISPA pada balita yaitu sebesar OR=5,8.

Gizi kurang berpengaruh besar terhadap terhadap penyakit infeksi

yang terjadinya pada anak balita, seorang anak balita yang menderita gizi

kurang akan mudah terkena suatu penyakit infeksi seperti ISPA yang akan

mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme, gangguan penyerapan,

dan selera makan menurun dengan demikian intake makanan menurun,

sehingga pertumbuhan terganggu.

Status gizi baik atau status gizi optimal bila tubuh memperoleh cukup

zat-zat yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan

pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan

secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila

tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Pada

status kurang terjadi gangguan gizi (Almatsier, 2002).

3. Pemberian ASI Ekslusif

60
Pemberian ASI merupakan hal penting pada bayi terutama

pemberian ASI awal (kolostrum) karena kaya dengan antibodi yang

mempunyai efek terhadap penurunan risiko kematian. ASI berguna untuk

perkembangan sensorik dan kognitif, mencegah bayi terserang penyakit

infeksi dan kronis. ASI terutama ASI eksklusif menurunkan kematian bayi dan

kejadian sakit pada anak yaitu diare atau ISPA, dan membantu kesembuhan

dari penyakit (WHO, 2005).

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 56 anak balita umumnya

tidak diberikan ASI Ekslusif sebanyak 38 anak balita, dimana terdapat 32

(57.1%) ISPA dan 6 (10.7%) tidak ISPA, sedangkan anak balita yang

diberikan asi ekslusif sebanyak 18 anak balita, dimana terdapat 10 (17.9%)

anak balita yang menderita ISPA dan 8 (14.3%) anak balita tidak menderita

ISPA.

Menurut Soetjiningsih, pada waktu lahir sampai beberapa bulan

sesudahnya, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara

sempurna. ASI merupakan substansi bahan yang hidup dengan kompleksitas

biologis yang luas yang mampu memberikan daya perlindungan, baik secara

aktif maupun melalui pengaturan imunologis. ASI tidak hanya menyediakan

perlindungan terhadap infeksi dan alergi tetapi juga menstimuli

perkembangan dari sistem imunologi bayi sendiri. ASI sebagai proteksi pasif

berpengaruh terhadap respon imun sistem anak melalui berbagai cara, yaitu

maturasional, antiinflamasi, imunomodulator, dan antimikrobial. Beberapa

efek imun yang bisa ditimbulkan dalam bentuk perpanjangan proteksi

61
terhadap ISPA. Respon imun anak berkaitan dengan dosis ASI bekerja

secara biologikal selama 4 bulan atau 6 bulan atau bahkan beberapa tahun

(Chantry et al., 2006).

Hasil analisis statistic dengan fisher exact diperoleh nilai p=0.04

(0.04<0.05) maka ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, pemberian ASI

Ekslusif berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita. Penelitian

yang dilakukan oleh Chantry et al.(2006), yang menuliskan bahwa pemberian

ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan anak dapat memberikan

perlindungan risiko terjadinya infeksi selama kurang dari 2 tahun

dibandingkan pemberian ASI pada anak kurang dari 6 bulan.

ASI mengandung segala zat gizi dan zat-zat protektif yang dapat

melindungi bayi dari berbagai macam penyakit. unsur-unsur yang terdapat

didalam ASI adalah mineral, vitamin, lemak, karbohidrat, protein, air, enzim,

factor penunjang pertumbuhan, factor anti parasit, antivirus, dan antibody

maka balita yang mendapatkan ASI ekslusif akan memiliki daya tahan tubuh

yang baik sehingga terhindar dari serangan berbagai penyakit termasuk

ISPA. ASI mampu memberi perlindungan baik secara aktif maupun pasif,

karena ASI tidak saja menyediakan perlindungan terhadap infeksi, tetapi juga

merangsang perkembangan sistim kekebalan bayi. Dengan adanya zat anti

infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindung dari berbagai

macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit

dan ASI juga mengandung zat anti peradangan (Roesli, 2001).

62
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk

mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit infeksi

saluran pernapasan akut pada anak balita, dimana faktor-faktor tersebut adalah

63
status imunisasi, status gizi, pemberian ASI ekslusif. Hasil penelitian ini dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Kelengkapan imunisasi berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA pada

anak balita.

2. Status gizi berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA pada anak balita.

3. Pemberian ASI ekslusif berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA pada

anak balita.

B. Saran

Saran-saran yang dapat disampaikan oleh penulis berdasarkan hasil

penelitian ini adalah:

1. Masyarakat perlu berperan aktif dalam menanamkan kebiasaan dan disiplin

membiasakan diri hidup dan berperilaku sehat dengan memperhatikan faktor-

faktor yang berhubungan dengan penyakit ISPA seperti status gizi, status

pemberian imunisasi, dan pemberian ASI ekslusif.

2. Dinas Kesehatan Kota Kendari perlu menyusun suatu kebijakan serta strategi

kesehatan yang lebih memfokuskan pada upaya-upaya pencegahan

penyakit, serta mensosialisasikan kepada orang-orang yang berperan di

masyarakat dan tempat kerja (tokoh masyarakat, provider, pimpinan institusi

maupun lintas sektor terkait) untuk selalu mendukung dan ikut

mensosialisasikan kebijakan tersebut melalui acara formal maupun non

formal.

3. Bagi keluarga dan masyarakat secara umum agar memberikan perhatian

yang lebih khusus terhadap kebutuhan gizi dengan menimbang secara rutin

64
di Posyandu untuk memantau pertubuhan balitanya serta pemberian

imunisasi lengkap, serta memberikan ASI secara benar.

4. Bagi peneliti agar dalam melakukan penelitian selanjutnya perlu

memperhatikan hal-hal yang masih kurang dalam penelitian ini agar

penelitian tersebut dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Surabaya: salemba Medika.

Alsagaff, Hood dan A. Mukty. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press.

Anonim. 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

______, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Arisman. 2010. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi Edisi 2. Jakarta:
EGC.

65
Asrun, 2009. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Magelang.
Yogyakarta: Tesis, UGM.

Azwar, Asrul. 2005. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Bina Rupa
Aksaara.

Bambang, W. 2006. Pengaruh Kondisi Social Ekonomi Dan Selang Kelahiran


Terhadap Status Gizi Balita. Info pangan dan gizi, Vol.1 No.4 Dirjen Kesmas.
Jakarta: Depkes RI.

BKKBN. 2001. ASI Eksklusif di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Chandra. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Corwin. 2003. Patofisiologi. Jakarta: EGC.

______. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Depkes RI. 2002. Informasi Tentang ISPA Pada Balita. Jakarta: Pusat Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat.

_________. 2005. Informasi Tentang ISPA Pada Balita. Jakarta: Pusat Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat.

_________. 2010. Menuju Indonesia Sehat. Jakarta: Depkes RI.

Dewi, Vivian NL. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika.

Dinkes Kota Kendari. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kota Kendari. Kendari.
Kurniawan, 2008. http://www.benih.net/lifestyle/gaya-hidup/ispa-infeksi-saluran-
pernapasan-akut-ketahui-dan-waspadailah.hmtl/ diakses tanggal 18 Maret
2013.

Naziruddin. 2003. Perawatan Anak. Bandung: FKKP-SPK.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam, 2008. Konsep Dalam Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Palloan, 2005. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi anak Balita
Usia 24-59 Bulan di Keamatan Palaran Kota Samarinda tahun 2005.
Makassar: Tesis tidak diterbitkan Unhas.

66
Prabu, 2008. http://putraprabu.wordpress.com/2008/01/15/faktor-resiko-ispa-pada-
balita/ diakses tanggal 18 Maret 2013.

Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP-SP.

Price, 2002. Patofisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Purwanti, Hubertin S. 2004. Konsep Penerapan ASI Ekslusif. Jakarta: EGC.

Rasmaliah, 2007. ISPA. http://ISPA.htm/ diakses tanggal 18 Maret 2013.

Sedia Oetama, 2001. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

Setiadi, 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Smeltzer, S.C., dan Brenda. 2001. Keperawatan Medikal BedahEdisi 8 Volume 1.


Jakarta: EGC.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Wawan&Dewi. 2010. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku


Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.

WHO. 2005. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN


PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS ABELI
KOTA KENDARI TAHUN 2013

67
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk
Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Keperawatan
di STIKES Mandala Waluya Kendari

ESI PUTRI CITRA SUPDIANTI


P201101320

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA
KENDARI
2013
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan

selesainya penyusunan skripsi ini dengan judul Faktor-Faktor yang Berhubungan

68
Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita Di

Puskesmas Abeli Kota Kendari Tahun 2013, sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan Pendidikan S1 Keperawatan pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Mandala Waluya Kendari.

Dalam penyusunan skripsi ini banyak sekali kendala dan hambatan yang

penulis dapatkan, namun berkat dorongan dan motivasi yang tak henti-hentinya dan

disertai harapan yang kuat untuk bisa mengatasi semua itu.

Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada bapak Darlin LaNdide, S.Kep., Ns., MN sebagai

pembimbing I dan ibu Fransiska Tatto Dua Lembang, S.Kep., Ns sebagai

pembimbing II atas semua waktu, tenaga, dan pikiran yang telah diberikannya dalam

membimbing dan mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih setinggi tingginya kepada :

1. Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mandala Waluya Kendari.

2. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mandala Waluya Kendari.

3. Ketua Program Studi Keperawatan STIKES-MW Kendari.

4. Seluruh Dosen pengajar dan Staf Prodi Keperawatan STIKES-MW Kendari

yang telah banyak membantu dalam penyelesaian proposal ini dan bimbingan

selama di bangku kuliah.

5. Teman-teman kelas E7 yang telah banyak membantu dalam penyelesaian

skripsi ini, terkhusus Magdalena dan Isfira.

6. Kepada ayah dan ibu yang telah berkorban begitu banyak untuk pendidikanku

selama ini.

vi
69
7. Adik-adikku (Juwit dan Syawal) yang telah memberikan semangat dan

bantuannya selama pendidikanku.

Semoga segala amal ibadah semua pihak yang telah membantu mendapat

pahala disisi Allah SWT, Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita

semua. Amin...

Kendari, Agustus 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................. ii

vii
70
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iii

RINGKASAN ........................................................................................ iv

ABSTRACT ........................................................................................... v

KATA PENGANTAR .............................................................................vi

DAFTAR ISI............................................................................................. viii

DAFTAR TABEL .................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ xii

DAFTAR SINGKATAN............................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................... 1

B. Perumusan Masalah......................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .............................................................. 7

D. Manfaat Penelitian............................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang ISPA......................................... 9

B. Tinjauan Tentang Anak Balita .......................................... 20

C. Tinjauan Tentang Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan ISPA... 24

BAB III KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel .................................................. 40

B. Kerangka Pikir.................................................................... 41
viii
C. Variabel Penelitian............................................................. 41

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif..................... 42

71
E. Hipotesis Penelitian............................................................ 44

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ......................................... 46

B. Tempat Dan Waktu Penelitian ............................................. 46

C. Populasi dan Sampel .......................................................... 47

D. Metode Pengumpulan Data ................................................ 48

E. Instrumen Penelitian............................................................. 48

F. Pengolahan data dan Analisa data...................................... 49

G. Penyajian Data .................................................................... 54

H. Etika Penelitian..................................................................... 54

BAB V HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Puskesmas Abeli ................................... 56

B. Hasil Penelitian .................................................................... 57

C. Pembahasan ....................................................................... 67

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .......................................................................... 75

B. Saran ................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
ix

No Teks Halaman

1 Klasifikasi status gizi anak dibawah lima tahun (Balita). 29

72
2 Distribusi Anak Balita menurut Umur di Puskesmas Abeli Kota 58
Kendari..

3 Distribusi Anak Balita menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Abeli 59


Kota Kendari..

4 Distribusi Responden menurut Umur Ibu di Puskesmas Abeli Kota 59


Kendari..

5 Distribusi Responden menurut Pendidikan Ibu di Puskesmas Abeli 60


Kota Kendari..

6 Distribusi Responden menurut Pekerjaan Ibu di Puskesmas Abeli 61


Kota Kendari..

7 Distribusi Kejadian ISPA Pada Anak Balita di Puskesmas Abeli Kota 62


Kendari....

8 Distribusi Kelengkapan Imunisasi Pada Anak Balita di Puskesmas 62


Abeli Kota Kendari...

9 Distribusi Status Gizi Pada Anak Balita di Puskesmas Abeli Kota 63


Kendari...

10 Distribusi Pemberian ASI Ekslusif Pada Anak Balita di Puskesmas 63


Abeli Kota Kendari....

11 Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian Penyakit ISPA 64


Pada Anak Balita..

12 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak 65


Balita..

13 Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Penyakit ISPA 66


Pada Anak Balita..

DAFTAR GAMBAR x

No Teks Halaman

73
1 Gambar Kerangka Konsep Penelitian 41

DAFTAR LAMPIRAN
xi

Lampiran I : Lembar Observasi/Kuesioner

74
Lampiran II : Lembar Permintaan Menjadi Responden

Lampiran III : Lembar Pernyataan Persediaan Menjadi Responden

Lampiran IV : Daftar Klasifikasi Berat badan Menurut Umur

Lampiran V : Master Tabel

Lampiran VI : Uji SPSS

Lampiran VII : Tabel X2 (Chi Square)

Lampiran VIII : Permohonan Izin Penelitian dari STIKES MW

Lampiran IX : Surat Izin Melakukan Penelitian dari Badan

Penelitian dan Pengembangan Propinsi SULTRA

Lampiran X : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari

Puskesmas Abeli

Lampiran XI : Dokumentasi

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN


xii

Lambang/Singkatan Arti/Keterangan

75
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut

WHO World Health Organization

Depkes Departemen Kesehatan

ASI Air Susu Ibu

SD Estndar Defiasi

NCHS National Centre for Health Statistic

BB/U Berat Badan menurut Umur

f frekuensi

n jumlah sampel

Taraf kepercayaan (0,05)

Lampiran 1
xiii

LEMBAR KUESIONER/OBSERVASI

76
Nomor Kuesioner :........................
Tanggal :........................

A. Identitas Sampel
1. Inisial Anak Balita :........................
2. Jenis Kelamin :........................
3. Diagnosa Penyakit :........................
4. Pendidikan Ibu Balita :..
5. Alamat :........................
B. Karakteristik Keluarga
1. Inisial Kepala Keluarga :.......................
2. Umur :.......................
3. Pekerjaan :.......................
C. Kelengkapan Imunisasi
Berikan tanda ( ) jika diberikan imunisasi
1. BCG :(......) bulan
2. DPT :(......) DPT-1,(.......) DPT-2,(.......), DPT-3 (.......)
3. Hepatitis B :(......) HB-1, (.......) HB-2, (........),HB-3 (.......)
4. Campak :(......)

D. Status Gizi Balita

1. Berat Badan Anak Balita :.........kg


2. Umur Balita :.........Bulan

E. Pemberian ASI

1. Apakah anak balitanya diberikan ASI saat usia 0-6 bulan tanpa makanan
tambahan lain?
a. Ya b. Tidak
Lampiran 2

LEMBAR PERMINTAAN MENJADI RESPONDEN

77
KEPADA
Yth. Bapak / Ibu
Di
Tempat
Sehubungan dengan penyelesaian tugas akhir di Program Studi S1

Keperawatan STIKES-MW Kendari, maka saya :

Nama : ESI PUTRI CITRA SUPDIANTI

NIM : P201101320

Status : Mahasiswa STIKES-MW

Akan melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita Di Puskesmas Abeli Kota Kendari

Tahun 2013. Untuk kepentingan tersebut, saya mohon kesediaan bapak / ibu untuk

berkenan menjadi subjek penelitian (dijadikan sampel). Identitas dan informasi yang

berkaitan demgan bapak / ibu dirahasiakan oleh peneliti.

Atas partisipasi dan dukungannya, disampaikan terima kasih.

Kendari, Juni 2013

Hormat saya

ESI PUTRI CITRA SUPDIANTI

Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

78
Dalam penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita Di Puskesmas Abeli Kota Kendari Tahun

2013 ini, saya bersedia berperan serta sebagai sample. Dan saya telah mengetahui

maksud dan tujuan dari penelitian ini sesuai dengan penjelasan dari peneliti yang

disampaikan kepada saya.

Demikian, secara sadar dan sukarela serta tidak ada unsur paksaan dari

siapapun, saya bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Peniliti Kendari, Juni 2013


Responden

ESI PUTRI CITRA SUPDIANTI ( )

RINGKASAN

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mandala Waluya


Program Studi Ilmu Keperawatan
Skripsi, Agustus 2013

79
ESI PUTRI CITRA SUPDIANTI (P201101320)

"FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT


INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS
ABELI KOTA KENDARI TAHUN 2013

Pembimbing I : Darlin La Ndide, S.Kep., Ns., MN


Pembimbing II : Fransiska Tatto Dua Lembang, S.Kep., Ns

(xi + 13 Tabel + 74 Halaman + 11 Lampiran + 1 Gambar)

Tingginya angka kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di


puskesmas Abeli mendorong peneliti untuk mengetahui factor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita. Beberapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita adalah kelengkapan imunisasi,
status gizi, dan pemberian asi ekslusif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian penyakit ISPA pada anak balita di Puskesmas Abeli Kota Kendari.
Jenis penelitian ini adalah analitik dengan rancangan cross sectional dengan
jumlah responden 56 sampel, menggunakan teknik accidental sampling. Penelitian ini
dilakukan pada tanggal 1 Juni sampai 30 Juni 2013 di puskesmas Abeli.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari hasil analisis statistic dengan chi
square dan fisher exact diperoleh nilai kelengkapan imunisasi nilai p=0.03 berarti ada
hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA, status gizi nilai
p=0.01 berarti ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA, pemberian ASI
ekslusif nilai p=0.04 berarti ada hubungan antara pemberian ASI ekslisif dengan
kejadian ISPA. Disarankan masyarakat perlu berperan aktif dalam menanamkan
kebiasaan dan disiplin membiasakan diri hidup dan berperilaku sehat dengan
memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit ISPA seperti status
gizi, kelengkapan imunisasi, dan pemberian ASI ekslusif.

Kata Kunci : Infeksi Saluran Pernapasan Akut; Kelengkapan Imunisasi,


Status Gizi, Pemberian ASI Ekslusif. Puskesmas Abeli Kota
Kendari
Daftar Pustaka : 33 (2001-2013)

ABSTRACT
iv

College of Health Sciences Mandala Waluya


Nursing Science Program

ii 80
Script, August 2013

ESI PUTRI CITRA SUPDIANTI (P201101320)

FACTORS RELATED TO THE OCCURRENCE OF ACUTE RESPIRATORY TRACT


INFECTIONS DISEASES AMONG CHILDREN UNDER FIVE IN HEALTH CARE
DISTRICT ABELI KENDARI 2013

Supervisor I : Darlin La Ndide, S.Kep., Ns., MN


Supervisor II : Fransiska Tatto Dua Lembang, S.Kep., Ns

(xi + 13 Table + 74 Pages + 11 Appendix Tables + 1 Picture)

The high incidence of acute respiratory infections (ARI) in the clinic Abeli
encourage researchers to determine the factors associated with the incidence of
respiratory infections in children under five. Several factors related to the incidence of
ARI in children under five is complete immunization, nutritional status, and exclusive
breast feeding.
This study aims to determine the factors associated with the incidence of
respiratory diseases among children in health care district Abeli Kendari.
The study was a cross sectional analytic with the number of those 56 samples,
using accidental sampling technique. The research was conducted on 1st June to 30th
June, 2013 at the health care district Abeli.
Results of this study showed that the results of statistical analysis with chi-
square and Fisher exact values obtained complete immunization p = 0:03 means that
there is a relationship between the completeness of immunization with ARI incidence,
nutritional status value of p = 0:01 means there is a relationship between nutritional
status with ARI events, giving exclusive breastfeeding p = 0.04 means that there is a
relationship between breastfeeding ekslisif with ARI incidence. Suggested the need to
play an active role in instilling habits and discipline used to living and healthy
behaviors with respect to the factors associated with respiratory diseases such as
nutritional status, completeness immunization and exclusive breastfeeding.

Keywords : Acute Respiratory Infections;


Completeness Immunisation, Nutritional Status,
Exclusive Breastfeeding.
health care district Abeli Kendari
Bibliography : 33 (2001-2013)

81

Anda mungkin juga menyukai