DASAR TEORI
Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk semacam itu
sering kali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau diluar paru dan kadang-kadang
merupakan gejala dini suatu penyakit. Batuk mungkin sangat berarti pada penularan penyakit
melalui udara ( air borne infection ). Batuk merupakan salah satu gejala penyakit saluran nafas
disamping sesak, mengi, dan sakit dada. Sering kali batuk merupakan masalah yang dihadapi
para dokter dalam pekerjaannya sehari-hari. Penyebabnya amat beragam dan pengenalan
patofisiologi batuk akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan penanggulangan
penderita batuk.
2.2 Gejala dan Penyebab Batuk
A. Gejala Batuk
Demam yang tinggi disertai otot tubuh yang kaku
Bersin-bersin dan hidung tersumbat
Sakit tenggorokan
B. Penyebab Batuk
Umumnya disebabkan oleh infeksi di saluran pernapasan bagian atas yang
merupakan gejala flu.
Infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA).
Alergi
Asma atau tuberculosis
Benda asing yang masuk kedalam saluran napas
Tersedak akibat minum susu
Menghirup asap rokok dari orang sekitar
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut
saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak
di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah
reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar
6 reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan
juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial, dan diafragma.
Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari
laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui cabang
Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis,
nervus glosofaringeus, menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan
rangsang dari perikardium dan diafragma. Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat
batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini
oleh serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan lumbar,
nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor
ini berdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma,otot-otot interkostal, dan lain-lain.
Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu: :
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau
serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk
juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran
telinga luar dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor
kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat
dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah
akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar
mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah
banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih
cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan
mekanisme pembersihan yang potensial.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago
aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi
sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama
0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-
otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi/ ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi,
sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi
disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis,
otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase
mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat
bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.
2.4 Pengobatan Batuk
1) Antitusif
Obat antitusif berfungsi menghambat atau menekan batuk dengan menekan pusat batuk
serta meningkatkan ambang rangsang sehingga akan mengurangi iritasi. Secara umum
berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan
antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan
narkotik dan nonnarkotik. Contoh : Kodein, DMP, Noskapin dan Uap Menthol.
2) Ekspektoran
Obat ini digunakan untuk meningkatkan sekresi mukus di saluran napas sehingga
bermanfaat untuk mengurangi iritasi dan batuknya akan berkurang dengan sendirinya.
Contoh : Amonium klorida, potasium sitrat, guaifenesin dan gliseril guaiakolat.
3) Mukolitika
Infeksi pernapasan menyebabkan munculnya mukus yg bersifat purulen atau
menyebabkan infeksi, oleh karena itu harus segera dikeluarkan secara alamiah. Obat
golongan ini berkhasiat melarutkan dan mengencerkan dahak yg kental sehingga lebih
mudah dikeluarkan melalui batuk dan sering digunakan pada penderita Bronkhitis.
Contoh : Asetilsistein , Bromheksin.
Menurut Beers (2003) batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan dahak dan
membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan dahak umumnya tidak
disupresikan. Yang diutamakan adalah pengobatan kausa seperti infeksi, cairan di dalam paru,
atau asma. Misalnya, antibiotik akan diberikan untuk infeksi atau inhaler bisa diberi kepada
penderita asma. Bergantung pada tingkat keparahan batuk dan penyebabnya, berbagai variasi
jenis obat mungkin diperlukan untuk pengobatan. Banyak yang memerlukan batuknya
disupresikan pada waktu malam untuk mengelakkan dari gangguan tidur. Menurut KKM
(2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan jenis obat batuk yang benar. Menurut
Beers (2003) pengobatan batuk secara umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis
batuknya berdahak atau tidak. Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak
dan tidak berdahak yang dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif.
a. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan sekret saluran
pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari
sputum (Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik berfungsi dengan cara mengubah viskositas
sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang
terdapat di pasaran adalah bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas, 2008).
b. Bromheksin
Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicine merupakan suatu zat
aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan kepada penderita bronkitis atau kelainan saluran
pernafasan yang lain. Obat ini juga digunakan di unit gawat darurat secara lokal di bronkus
untuk memudahkan pengeluaran dahak pasien. Menurut Estuningtyas (2008) data mengenai
efektivitas klinis obat ini sangat terbatas dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam pada
masa akan datang. Efek samping dari obat ini jika diberikan secara oral adalah mual dan
peninggian transaminase serum. Bromheksin hendaklah digunakan dengan hati-hati pada
pasien tukak lambung. Dosis oral bagi dewasa seperti yang dianjurkan adalah tiga kali, 4-8 mg
sehari. Obat ini rasanya pahit sekali.
c. Ambroksol
d. Asetilsistein
e. Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran
pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini didasarkan pengalaman empiris. Tidak
ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan.
Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara
refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga
menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan
ini ialah ammonium klorida dan gliseril guaiakoiat (Estuningtyas, 2008).
f. Ammonium Klorida
Menurut Estuningtyas (2008) ammonium klorida jarang digunakan sebagai terapi obat
tunggal yang berperan sebagai ekspektoran tetapi lebih sering dalam bentuk campuran dengan
ekspektoran lain atau antitusif. Apabila digunakan dengan dosis besar dapat menimbulkan
asidosis metabolik, dan harus digunakan dengan hatihati pada pasien dengan insufisiensi hati,
ginjal, dan paru-paru. Dosisnya, sebagai ekspektoran untuk orang dewasa ialah 300mg (5mL)
tiap 2 hingga 4 jam. Obat ini hampir tidak digunakan lagi untuk pengasaman urin pada
keracunan sebab berpotensi membebani fungsi ginjal dan menyebabkan gangguan
keseimbangan elektrolit.
g. Gliseril Guaiakolat
Penggunaan gliseril guaiakolat didasarkan pada tradisi dan kesan subyektif pasien dan
dokter. Tidak ada bukti bahwa obat bermanfaat pada dosis yang diberikan. Efek samping yang
mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan muntah. Ia tersedia dalam bentuk
sirup 100mg/5mL. Dosis dewasa yang dianjurkan 2 hingga 4 kali, 200-400 mg sehari. 2.6.3.
Antitusif Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant merupakan obat batuk yang
menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak dan menekan respirasi.
Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan opioid lemah. Terdapat juga
analgesik opioid seperti kodein, diamorfin dan metadon yang mempunyai aktivitas antitusif.
Menurut Husein (1998) antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan derivatnya
termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin. Kebanyakannya berpotensi untuk
menghasilkan efek samping termasuk depresi serebral dan pernafasan. Juga terdapat
penyalahgunaan.
h. Dekstrometorfan
i. Kodein
Menurut Corelli (2007) kodein bertindak secara sentral dengan meningkatkan nilai
ambang batuk. Dalam dosis yang diperlukan untuk menekan batuk, efek aditif adalah rendah.
Banyak kodein yang mengandung kombinasi antitusif diklasifikasikan sebagai narkotik dan
jualan kodein sebagai obat bebas dilarang di beberapa negara. Bagaimanapun menurut Jusuf
(1991) kodein merupakan obat batuk golongan narkotik yang paling banyak digunakan. Dosis
bagi dewasa adalah 10-20 mg setiap 4-6 jam dan tidak melebihi 120 mg dalam 24 jam.
Beberapa efek samping adalah mual, muntah, konstipasi, palpasi, pruritus, rasa mengantuk,
hiperhidrosis, dan agitasi (Jusuf, 1991).