Anda di halaman 1dari 82

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEODOKTERAN 2009 BAB I PENDAHULUAN Batu

empedu di Indonesia merupakan penyakit yang sering menyerang saluran pencernaan. Namun
penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari penderitanya karena minimnya gejala yang
tampak pada penderitanya. Pasien-pasien yang memiliki batu empedu jarang mengalami
komplikasi. Walaupun demikian, bila batu empedu telah menimbulkan serangan nyeri kolik yang
spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. Batu empedu
umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui
duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu
saluran empedu sekunder. Sekitar 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai
batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di
dalam saluran empedu intra-atau-ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Perjalanan
batu empedu belum sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat
dibandingkan batu kandung empedu asimptomatik. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi
Sistem Bilier 2.1.1 Kandung Empedu Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk
seperti buah pear, panjangnya 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Ketika terdistensi dapat
mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah lekukan pada permukaaan bawah hepar
yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu
dibagi menjadi 4 area secara anatomi: fundus, corpus, infundibulum dan leher. Fundus berbentuk
bulat, dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos,
kontras dengan corpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk
sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk Hartmanns pouch.1
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung kolesterol dan tetesan lemak.
Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan
dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan corpus.
Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan ototnya
adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna.
Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah, limfe dan
adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali bagian kandung empedu yang
menempel pada hepar. Kandung empedu di bedakan secara histologis dari organ-organ
gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.1 Arteri
cystica yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari cabang arteri hepatika kanan.
Lokasi Arteri cystica dapat bervariasi tetapi hampir selalu di temukan di segitiga hepatocystica,
yaitu area yang di batasi oleh Ductus cysticus, Ductus hepaticus communis dan batas hepar
(segitiga Calot). Ketika arteri cystica mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi
menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung
memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar cystica menuju vena porta. Aliran
limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian leher.1 Gambar 2.1Vesica fellea
Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis melewati
pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar,
kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus
splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus memberikan serat
kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan hepar.1 2.1.2 Duktus Biliaris Duktus
biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepaticus kanan dan kiri, Ductus hepaticus communis,
Ductus cysticus dan Ductus choledochus. Ductus choledochus memasuki bagian kedua dari
duodenum lewat suatu struktur muskularis yang disebut Sphincter Oddi.1 Ductus hepaticus kiri
lebih panjang dari yang kanan dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk berdilatasi sebagai
akibat dari obstruksi pada bagian distal. Kedua Ductus tersebut bersatu membentuk Ductus
hepaticus communis. Panjang Ductus hepaticus communis umumnya 1-4cm dengan diameter
mendekati 4mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri hepatica. Ductus hepaticus
communis dihubungkan dengan Ductus cysticus membentuk Ductus choledochus.1 Panjang
Ductus cysticus bervariasi. Dapat pendek atau tidak ada karena memiliki penyatuan yang erat
dengan Ductus hepaticus. Atau dapat panjang, di belakang, atau spiral sebelum bersatu dengan
Ductus hepaticus communis. Variasi pada Ductus cysticus dan titik penyatuannya dengan Ductus
hepaticus communis penting secara bedah. Bagian dari Ductus cysticus yang berdekatan dengan
bagian leher kandung empedu terdiri dari lipatan-lipatan mukosa yang disebut Valvula Heister.1
Gambar 2.2 Sistem Biliaris Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan diameter 5-10
mm. Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas dari ligamen hepatoduodenal,
disebelah kanan Arteri hepatica dan di anterior Vena porta. Bagian retroduodenal berada di
belakang bagian pertama duodenum, di lateral Vena porta dan Arteri hepatica. Bagian terbawah
dari Ductus choledochus (bagian pankreatika) berada di belakang caput pankreas dalam suatu
lekukan atau melewatinya secara transversa kemudian memasuki bagian kedua dari duodenum.
Ductus choledochus bergabung dengan Ductus pancreaticus masuk ke dinding duodenum
(Ampulla Vateri) kira-kira 10cm distal dari pylorus. Kira-kira 70% dari Ductus ini menyatu di
luar dinding duodenum dan memasuki dinding duodenum sebagai single ductus. Sphincter Oddi,
yang merupakan lapisan tebal dari otot polos sirkuler, mengelilingi Ductus choledochus pada
Ampulla Vateri. Sphincter ini mengontrol aliran empedu, dan pada beberapa kasus mengontrol
pancreatic juice ke dalam duodenum.1 Suplai arteri untuk Ductus biliaris berasal dari Arteri
gastroduodenal dan Arteri hepatika kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan
medial dari Ductus choledochus (kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam 9). Densitas serat
saraf dan ganglia meningkat di dekat Sphincter Oddi tetapi persarafan dari Ductus choledochus
dan Sphinchter Oddi sama dengan persarafan pada kandung empedu.1 Figure 52-1 Anatomy of
the biliary system and its relationship to surrounding structures. Gambar 2.3 Anatomi sistem
bilier Gambar 2.4 Anatomi sistem bilier 2.2 Fisiologi 2.2.1 Pembentukan dan Komposisi
Empedu Hepar memproduksi empedu secara terus menerus dan mengekskresikannya pada
kanalikuli empedu. Orang dewasa normal memproduksi 500-1000 ml empedu per hari. Stimulasi
vagal meningkatkan sekresi empedu, sebaliknya rangsangan saraf splanchnic menyebabkan
penurunan aliran empedu. Asam hydrochloric, sebagian protein pencernaaan dan asam lemak
pada duodenum menstimulasi pelepasan sekretin dari duodenum yang akan meningkatkan
produksi dan aliran empedu. Aliran empedu dari hepar melewati Ductus hepaticus, menuju CBD
dan berakhir di duodenum. Sphincter Oddi yang intak menyebabkan empedu secara langsung
masuk ke dalam kandung empedu.1 Empedu terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu,
protein, lemak, dan pigmen empedu. Natrium, kalium, kalsium, dan klorida memiliki konsentrasi
yang sama baik di dalam empedu, plasma atau cairan ekstraseluler. pH dari empedu yang di
sekresikan dari hepar biasanya netral atau sedikit alkalis, tetapi bervariasi sesuai dengan diet.
Peningkatan asupan protein menyebabkan empedu lebih asam. Garam empedu, cholate dan
chenodeoxycholate, di sintesis di hepar dari kolesterol. Mereka berkonjugasi dengan taurine dan
glycine dan bersifat sebagai anion (asam empedu) yang di seimbangkan dengan natrium.1 Garam
empedu di ekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan di tambah dari hasil pencernaan dan
penyerapan dari lemak pada usus. Pada usus sekitar 80% dari asam empedu di serap pada ileum
terminal. Sisanya di dekonjugasi oleh bakteri usus membentuk asam empedu sekunder
deoxycholate dan lithocholate. Ini di serap di usus besar di transportasikan ke hepar, di konjugasi
dan di sekresikan ke dalam empedu. Sekitar 95% dari pool asam empedu di reabsorpsi dan
kembali lewat vena porta ke hepar sehingga disebut sirkulasi enterohepatik. 5% di ekskresikan di
feses.1 Gambar 2.5 Gambar aliran empedu Kolesterol dan fosfolipid di sintesis di hepar sebagai
lipid utama yang di temukan di empedu. Proses sintesis ini di atur oleh asam empedu.1 Warna
dari empedu tergantung dari pigmen bilirubin diglucoronide yang merupakan produk metabolik
dari pemecahan hemoglobin, dan keberadaan pada empedu 100 kali lebih besar daripada di
plasma. Pada usus oleh bakteri diubah menjadi urubilinogen, yang merupakan fraksi kecil
dimana akan diserap dan di ekskresikan ke dalam empedu.1 Gambar 2.6 Aliran empedu 2.3
Penyakit Batu Empedu 2.3.1 Prevalensi dan Insidensi Penyakit batu empedu adalah salah satu
penyakit yang sering mengenai traktus digestivus. Dari autopsi didapatkan prevalensi dari batu
empedu adalah 11-36%. Prevalensi batu empedu berhubungan dengan banyak faktor termasuk
umur, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Beberapa kondisi yang merupakan predisposisi
berkembangnya batu empedu adalah obesitas, kehamilan, faktor makanan, rendahnya konsumsi
kopi, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal, operasi gaster, hereditary spherocytosis, sickle cell
disease, dan thalassemia. Semua ini akan meningkatkan resiko terjadinya batu empedu. Wanita 3
kali lebih sering terjadi batu empedu di bandingkan laki-laki dan insidensinya meningkat sesuai
dengan usia. 1,2 Figure 52-6 Influence of age and gender on the incidence of cholelithiasis.
Gallstones are more common in females and increase in incidence with aging. (Adapted from
Bateson MC: Gallbladder disease and cholecystectomy rate are independently variable. Lancet
2:621624, 1984.) Diagram 2.1 Insidensi batu empedu Sementara ini di dapat kesan bahwa
meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi di
bandingkan dengan angka yang terdapat di negara barat, dan sesuai dengan angka di negara
tetangga seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukan bahwa faktor
infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.coli ikut berperan penting dalam timbulnya batu
pigmen. Di wilayah ini insiden batu primer saluran empedu adalah 40-50% dari penyakit batu
empedu sedangkan di dunia barat sekitar 5%. 2 Batu empedu terbanyak di temukan di dalam
kandung empedu tetapi sepertiga dari batu empedu merupakan batu Ductus choledochus.
Gambar 2.7 Batu empedu 2.3.2 Batu Kolesterol Batu kolesterol murni jarang di dapatkan dan
terdapat hanya kurang dari 10%. Batu ini biasanya multipel, ukurannya bervariasi, bila keras
berbentuk ireguler, bila lunak berbentuk mulberi. Warnanya bervariasi dari kuning, hijau, dan
hitam. Batu kolesterol biasanya radiolusen, kurang dari 10% radioopak. Baik batu kolesterol
murni atau campuran, proses pembentukan batu kolesterol yang terutama adalah supersaturasi
empedu dengan kolesterol. Kolesterol adalah nonpolar dan tidak larut dalam air dan empedu.
Kelarutan kolesterol bergantung pada konsentrasi dari kolesterol, garam empedu, dan lesitin
(fosfolipid utama pada empedu). Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh hipersekresi
kolesterol di bandingkan pengurangan sekresi dari fosfolipid atau garam empedu. 3 Patogenesis
dari batu kolesterol multifaktorial, tetapi intinya terdiri dari 3 tahap. (1) supersaturasi kolesterol
pada empedu (2) nukleasi kristal dan (3) pertumbuhan batu. Mukosa kandung empedu dan fungsi
motorik juga berperan pada pembentukan batu empedu. Kunci untuk mempertahankan kolesterol
dalam bentuk cairan adalah pembentukan micelles (kompleks garam empedu-kolesterol-
fosfolipid) dan vesikel kolesterol-fosfolipid. Teori mengatakan dalam keadaan produksi
kolesterol berlebih vesikel ini juga akan meningkatkan kemampuannya untuk mentransport
kolesterol, dan pembentukan kristal dapat terjadi. Kelarutan kolesterol bergantung pada
konsentrasi kolesterol, garam empedu dan fosfolipid. Dengan memperhatikan persentasi masing-
masing komponen koordinat pada segitiga zona micellar dimana kolesterol benar-benar larut
dapat terlihat pada area bagian atas empedu mengalami supersaturasi kolesterol dan
pembentukan kristal kolesterol dapat terjadi.3 Figure 52-5 Triangular-phase diagram with axes
plotted in percent cholesterol, lecithin (phospholipid), and the bile salt sodium taurocholate.
Below the solid line, cholesterol is maintained in solution in micelles. Above the solid line, bile
is supersaturated with cholesterol and precipitation of cholesterol crystals can occur. Ch,
cholesterol. (From Donovan JM, Carey MC: Separation and quantitation of cholesterol carriers
in bile. Hepatology 12:94S, 1990.) Diagram 2.2 Segitiga cholesterol, lecithin,dan garam empedu.
Proses nukleasi adalah proses dimana terbentuk kristal kolesterol monohidrat padat. Proses
nukleasi terjadi lebih cepat pada empedu di kandung empedu pada pasien dengan batu kolesterol
di bandingkan pada pasien dengan empedu yang jenuh kolesterol tanpa batu. Batu empedu untuk
bisa menimbulkan gejala klinis harus mencapai ukuran yang cukup yang dapat menyebabkan
trauma mekanik pada kandung empedu atau obstruksi dari traktus biliaris. Pertumbuhan batu
dapat terjadi lewat 2 jalan: Pembesaran progresif kristal atau batu oleh endapan dari presipitat
yang tidak larut pada batas sekitar batu empedu. Penyatuan kristal atau batu dan membentuk
gumpalan yang lebih besar. Sebagai tambahan defek pada motilitas kandung empedu
menyebabkan waktu empedu berada lebih lama di kandung empedu, dengan demikian akan
memainkan peran dalam pembentukan batu. Pembentukan batu juga dapat terjadi pada keadaan
klinis dimana terdapat stasis kandung empedu seperti puasa dalam jangka waktu lama,
pengunaan nutrisi parenteral dalam jangka waktu lama, setelah vagotomy dan pada pasien
dengan tumor yang memproduksi somatostatin atau mendapatkan trapi stomatotatin jangka
panjang.3 2.3.3 Batu Pigmen Batu pigmen di klasifikasikan menjadi batu pigmen coklat dan
hitam. Batu pigmen hitam biasanya di hubungkan dengan kondisi hemolitik atau sirosis. Pada
keadaan hemolitik beban bilirubin dan konsentrasi dari bilirubin tidak terkonjugasi meningkat.
Batu ini biasanya tidak berhubungan dengan empedu yang tidak terinfeksi dan lokasinya selalu
di kandung empedu. Sebagai perbandingan, batu pigmen coklat mempunyai struktur yang
sederhana dan biasanya di temukan pada duktus biliaris dan terutama pada populasi Asia. Batu
coklat lebih sering terdiri dari kolesterol dan kalsium palmitat dan terjadi sebagai batu primer
pada pasien di negara barat dengan gangguan motilitas bilier dan berhubungan dengan infeksi
bakteri. Dalam hal ini bakteri memproduksi slime dimana berisi enzim glukuronidase.3 Gambar
2.8 Pembentukan Batu Pigmen 2.4 Diagnosis 2.4.1 Gejala Klinis Pasien dengan batu empedu,
dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu dengan
batu empedu simptomatik, dan pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus,
kolangitis dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik
waktu dengan diagnosis maupun selama pemantauan. Hampir selama 20 tahun perjalanan
penyakit, sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30% mengalami kolik bilier dan 20%
mendapat komplikasi.4 Gejala batu empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini
didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam,
biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba.2
Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktus biliaris
komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan
kontraksi peristaltik di tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri viscera di daerah epigastrium,
mungkin dengan penjalaran ke punggung yang disertai muntah.5 Penyebaran nyeri dapat ke
punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Jika terjadi
kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu
kandung empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang
merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat.2 2.4.2 Pemeriksaan Fisik Kalau ditemukan
kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis
lokal atau umum, hidrops kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankreatitis.2 Pada
pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi
kandung empedu. Tanda Murphy postitif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik napas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.2 2.4.3 Pemeriksaan Penunjang a) Laboratorium
Biasanya, jika sudah terjadi infeksi, maka akan ditemukan leukositosis (12.000-15.000/mm3).
Jika terjadi obstruksi pada duktus komunikus maka serum bilurubin total akan meningkat 1-4
mg/dL. Serum aminotransferase dan alkali fosfatase juga meningkat (>300 U/mL). Alkali
fosfatase merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi
saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini.
Kadar yang sangat tinggi, menggambarkan obstruksi saluran empedu.6 b) USG Merupakan
teknik yang cepat, tidak invasive, dan tanpa pemaparan radiologi. Ultrasonografi mempunyai
derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan
pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat
dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena peradangan
maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang udara di dalam usus.6 Gambar 2.9 USG Batu Empedu c) ERCP (Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreatography) Tes invasive ini melibatkan langsung saluran empedu
dengan kanulasi endoskopi Ampulla Vateri dan disuntikan retrogad zat kontras. Selain pada
kelainan pancreas, ERCP digunakan dalam pasien ikterus ringan atau bila lesi tidak menyumbat
seperti batu duktus koledokus. Keuntungan ERCP yaitu kadang-kadang terapi sfingterotomi
endoskopi dapat dilakukan serentak untuk memungkinkan lewatnya batu duktus koledokus
secara spontan atau untuk memungkinkan pembuangan batu dengan instrumentasi retrograde
duktus biliaris.6 Gambar 2.10 Teknik ERCP d) PTC (Percutaneous Transhepatik
Cholangiography) Merupakan tindakan invasive yang melibatkan pungsi transhepatik perkutis
pada susunan duktus biliaris intrahepatik yang menggunakan jarum Chiba dan suntikan prograd
zat kontras. Teknik ini memungkinkan dekompresi saluran empedu non bedah pada pasien
kolangitis akut toksik, sehingga mencegah pembedahan gawat darurat. Drainage empedu per
kutis dapat digunakan untuk menyiapkan pasien ikterus obstruktif untuk pembedahan dengan
menghilangkan ikterusnya dan memperbaiki fungsi hati.6 Gambar 2.11 Teknik PTC e) Foto
Polos Abdomen Foto polos perut biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat pada foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.6 2.5 Penatalaksanaan 2.5.1 Penatalaksanaan Batu
Kandung Empedu Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimptomatik tidak dianjurkan.
Sebagian besar pasien dengan batu asimptomatik adalah tidak akan mengalami keluhan dan
jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama
pemantauan. Untuk batu empedu simptomatik, dapat digunakan teknik kolesistektomi
laparoskopik, yaitu suatu teknik pembedahan invasive minimal di dalam rongga abdomen
dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem endokamera dan instrument khusus melalui
layar monitor tanpa menyentuh dan melihat langsung kandung empedu. Kolesistektomi
laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan kandung empedu simptomatik.
Keuntungan kolesistektomi laparoskopik ini yaitu dengan teknik ini hanya meliputi operasi kecil
(2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal. 2.5.2 Penatalaksanaan Batu Saluran Empedu
ERCP theurapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopi untuk mengeluarkan batu
empedu. Saat ini teknik ini telah berkembang pesat menjadi standard baku terapi non operatif
untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan
basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum
sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya. Pada
kebanyakan kasus, ekstraksi batu dapat mencapai 80-90% dengan komplikasi dini 7-10%.
Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batu meliputi pankreatitis akut, perdarahan
dan perforasi.4 2.6 Komplikasi Batu empedu sendiri tidak menyebabkan keluhan penderita
selama batu tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Jika batu tersebut
masuk ke dalam ujung duktus sistikus maka barulah dapat menyebabkan keluhan penderita dan
timbulah kolesistitis akuta. Hal ini disebabkan karena elemen empedu yang tidak diserap dan
kadarnya makin lama makin bertambah akan menimbulkan reaksi inflamasi dan terjadilah
infeksi sekunder. Akibatnya kandung empedu yang mengalami inflamasi dapat beradhesi dengan
sekitarnya dan biasanya terjadi perforasi dengan akibat abscess di tempat tsb, sehingga dapat
menimbulkan bile peritonitis atau terjadinya rupture ke dalam duodenum atau kolon, yang
memungkinkan terjadinya fistula yang kronis dan infeksi retrograde dari traktus biliaris. Jika
batu tersebut kecil, ada kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati duktus koledokus dan
masuk ke duodenum tanpa menyebabkan keluhan penderita tetappi mungkin dapat menyebabkan
penyumbatan sebagian pada duktus. Bila sampai terjadi penyumbatan seperti itu dan
menyebabkan tekanan intraduktal sebelah proksimal menaik, terjadilah kontraksi otot polos pada
duktus, dalam usahanya mengeluarkan batu. Sebagai akibatnya terjadilah kolik empedu, bila
obstruksinya sudah sempurna terjadilah retensi empedu, sehingga timbul ikterus obstruktiva.
Kemungkinan lain dari kolesistitis kronis yang lama dengan batu empedu dapat ditemukan 80%
pada karsinoma kandung empedu. Oleh karena itu inflamasi yang kronis dari kandung empedu
kemungkinan besar merupakan keadaan preakarsinoma.7 BAB III KESIMPULAN Pasien
dengan batu empedu, dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien dengan batu asimptomatik
(50%), pasien dengan batu empedu simptomatik (30%), dan pasien dengan komplikasi batu
empedu (20%) kolesistitis akut, ikterus, kolangitis dan pankreatitis). Pasien dengan batu empedu
dapat didiagnosis dari gejala klinis seperti kolik bilier, dan nyeri dapat menjalar ke punggung
bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Selain itu pemeriksaan
penunjang yang dapat mendukung adalah pemeriksaan laboratorium, USG, ERCP, PTC dan foto
polos abdomen. Penanganan batu empedu dapat secara bedah atau non bedah. Selain itu, dapat
dilakukan pencegahan batu empedu diantaranya dengan mencegah infeksi dan menurunkan
kadar kolesterol serum. BUTUH DAFTAR PUSTAKANYA ??? Hubungi aja 02291339839
Jangan berpikir macam2 dulu, dok... SMS aja dulu Salam TS Diposkan oleh Makalah Referat
Kedokteran di 01.24 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke
FacebookBagikan ke Pinterest 3 komentar: Anonim22 Maret 2011 03.28 mau dftar pustaka nya
donk, thx Balas Anonim6 Oktober 2011 04.30 boleh nih minta daftar pustakanya.. bagus nih
referatnya.. Balas Andrew Jonatan11 November 2016 06.58 boleh minta daftar pustaka nya kah
Balas Muat yang lain... Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan
Komentar (Atom) Arsip Blog 2010 (84) Oktober (5) Agustus (18) Referat Benign
Prostat Hypertrophy Referat Cholelithiasis Referat Polip Kantung Empedu REFERAT HERNIA
INGUINALIS KARSINOMA COLORECTAL REFERAT Penyakit Hirschsprung Referat
Appendicitis Acute Demam Tifoid Referat Ileus Mekanik et causa Adhesi Referat Infeksi Luka
Operasi Perforasi Gastrointestinal Referat Tumor Colorectal Referat Antropometri Gizi
Komunitas Hemostasis Trauma Pelvis Sindrom Croup Cholangitis Akut Juli (61) Mengenai
Saya Foto saya Makalah Referat Kedokteran Lihat profil lengkapku Kunjungan widgeo.net Ada
yang mau ditanyakan ?? Followerzzz Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef

Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef


CHOLELITHIASIS ( BATU EMPEDU )
04 Apr

CHOLELITHIASIS

( BATU EMPEDU )

I. Pengertian :

a. Batu saluran empedu : adanya batu yang terdapat pada sal. empedu (Duktus Koledocus ).

b. Batu Empedu(kolelitiasis) : adanya batu yang terdapat pada kandung empedu.

c. Radang empedu (Kolesistitis) : adanya radang pada kandung empedu.

d. Radang saluran empedu (Kolangitis) : adanya radang pada saluran empedu.

II. Penyebab:

Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan
kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein.

Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:

1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan penurunan
produksi empedu.

Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:

Infeksi kandung empedu


Usia yang bertambah
Obesitas
Wanita
Kurang makan sayur
Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol

2. Batu pigmen empedu , ada dua macam;

Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai hemolisis
kronik/sirosis hati tanpa infeksi
Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan disepanjang saluran
empedu, disertai bendungan dan infeksi

3. Batu saluran empedu

Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum didaerah vateri. Ada dugaan bahwa kelainan
anatomi atau pengisian divertikula oleh makanan akan menyebabkan obstruksi intermiten duktus
koledokus dan bendungan ini memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.

III. Pathofisiologi :

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu
lainnya.

Faktor predisposisi yang penting adalah :

Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu


Statis empedu
Infeksi kandung empedu

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan
batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam kandung empedu .

Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan
susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu dapat
menyebabkan stasis. Faktor hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan
perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok
ini.

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada pembentukan
batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan
viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. Infeksi lebih sering sebagai akibat
pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu.

IV. Perjalanan Batu

Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada pembentukan foto polos
abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher
kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus akan
menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi. Tergantung
beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis kolesistitis akut atau kronik.
Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap tinggal diduktus
yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.

V. Gejala Klinis

Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.

GEJALA AKUT GEJALA KRONIS


TANDA : TANDA:

1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan 1. Biasanya tak tampak gambaran pada
spasme abdomen

2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada 2. Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan
kwadran kanan atas atas

3. Kandung empedu membesar dan nyeri

4. Ikterus ringan

GEJALA: GEJALA:

1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang 1. Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat :
abdomen bagian atas (mid epigastrium), Sifat :
Menetap terpusat di epigastrium menyebar ke arah skapula
kanan
2. Mual dan muntah
2. Nausea dan muntah
3. Febris (38,5C)
3. Intoleransi dengan makanan berlemak

4. Flatulensi

5. Eruktasi (bersendawa)
VI. Pemeriksaan penunjang

Tes laboratorium :

1. Leukosit : 12.000 15.000 /iu (N : 5000 10.000 iu).

2. Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).

3. Amilase serum meningkat.( N: 17 115 unit/100ml).

4. Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena obstruksi sehingga
menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara Kapilar : 2 6 mnt).

5. USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya batu empedu dan
distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan prosedur diagnostik)

6. Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan untuk melihat


kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus duodenum.

7. PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan kontras untuk


menentukan adanya batu dan cairan pankreas.

8. Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya batu di sistim billiar.

9. CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu,


obstruksi/obstruksi joundice.

10. Foto Abdomen :Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones, pengapuran pada saluran
atau pembesaran pada gallblader.

Daftar Pustaka :

1. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P: 586-588.

2. Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa
AdiDharma, Edisi II.P: 329-330.
3. Marllyn E. Doengoes, Nursing Care Plan, Fa. Davis Company, Philadelpia, 1993.P: 523-
536.

4. D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach,


W. B. Saunders Company, Philadelpia, 1991.

5. Sutrisna Himawan, 1994, Pathologi (kumpulan kuliah), FKUI, Jakarta 250 251.

6. Mackenna & R. Kallander, 1990, Illustrated Physiologi, fifth edition, Churchill


Livingstone, Melborne : 74 76.
MAKALAH KMB I KOLELITIASIS (Batu Kantung Empedu)
MAKALAH KMB I KOLELITIASIS
(Batu Kantung Empedu)

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kolelitiasis

Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu
(duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa terdapat pada kantung
empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam
kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik
(duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik
disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan
koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan komposisi kimiawi dan gambaran mikroskopiknya, batu empedu dibagi menjadi tiga
tipe utama oleh Suzuki dan Sato, yaitu batu kolesterol (batu kolesterol murni, batu kombinasi, batu
campuran), batu pigmen (batu kasium bilirubinat, batu hitam atau pigmen murni), dan batu empedu
yang jarang (batu kalsium karbonat, dan batu kalsium asam lemak).

Menurut Hadi (2002), batu empedu terbagi menjadi tiga tipe yaitu:

Batu Kolesterol

a. Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal

Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto rontgen terlihat intinya.
Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau noduler. Batu ini tidak
mengandung kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar X biasa.

b. Batu kolesterol campuran

Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu mengandung batu
empedu kolesterol yang soliter dimana pada permukaannya terdapat endapan pigmen kalsium.

c. Batu kolesterol ganda

Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.

Batu pigmen

Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam kalsium dan matriks dari bahan
organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, keras, amorf, bulat, berwarna hitam atau hijau tua. Alasannya
10 % radioopaque.

Batu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai ( 80 %), dan terdiri atas kolesterol, pigmen
empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya berganda dan sedikit mengandung
kalsium sehingga bersifat radioopaque.

Menurut Sjamsuhidajat (1997), Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan
sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi
dibandingkan bentuk batu pigmen. Dapat berupa batu soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin
atau multifaset, bulat, berduri, da nada yang seperti buah murbei.

Batu pigmen mengandung kurang dari 25% kolesterol, sering ditemukan kecil-kecil, dapat
berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti
lumpur atau tanah yang rapuh.

2.3 Etiologi

Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau
tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin
besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena
kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol
dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia >
60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih
muda.

c. Obesitas

Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes militus tipe II,
hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan
merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol.

d. Statis Bilier

Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang bisa meningkatkan
kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian
diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan
pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan
menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.

e. Obat-obatan

Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat meningkatkan risiko
batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol
hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog
somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan
kantung empedu.

f. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam desoksikolat) dalam
empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi
kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.

g. Keturunan

Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun temurun,
seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.

h. Infeksi Bilier

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada pembentukan batu
dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas
dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.

i. Gangguan Intestinal

Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau kehilangan garam
empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat kolesterol, penurunan garam
pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.

j. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin
disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

k. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi,
karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu
menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.4 Manifestasi Klinik

Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah
asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara
tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang
ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi
untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.

Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala, yaitu
gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat
obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan
epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas
abdomen dapat terjadi.

Rasa Nyeri dan Kolik Bilier

Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan
akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien
dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit
setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai
dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah memakan makanan
dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi
dan intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu
menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik
melainkan presisten.

Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian
fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan
sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan
atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan rongga dada.

Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga membutuhkan preparat
analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin dianggap dapat meningkatkan spasme spingter
oddi sehingga perlu dihindari.
Ikterus

Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan presentase yang
kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke
dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.

Prubahan Warna Urin dan Feses

Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak
lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan clay-
colored.

Defisiensi Vitamin

Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena
itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama.
Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses pembekuan darah normal.

Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan
mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika
batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses,
nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.

2.5 Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu

Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan satu
proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses
litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait:

1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)


2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan duktus
hepatikus kanan dan kiri)
Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada
dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehinggakan patofisiologi
batu empedu turut terbagi atas:

1. Patofisiologi batu kolesterol

2. Patofisiologi batu berpigmen

2.5.1 Patofisiologi batu kolesterol

Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat
terjadi secara berurutan atau bersamaan:

Supersaturasi kolesterol empedu

Hipomotilitas kantung empedu

Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol

Hipersekresi mukus di kantung empedu

Supersaturasi kolesterol empedu

Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol
yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang
memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi
kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal.
Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam
bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil
terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian
hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan
terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat
lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam empedu.
Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan
fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari
lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada
dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu
empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi
kristal.. Empedu yang tersupersaturasi dengan kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase yaitu dapat
dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi
membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu.

Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel
unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel
multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan
menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini
mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang
menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu.

Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan
litogenisitas empedu. Faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk:

Hipersekresi kolesterol.

Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.

Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid.

Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol empedu.


Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:
Peningkatan uptake kolesterol hepatik

Peningkatan sintesis kolesterol

Penurunan sintesis garam empedu hepatik

Penurunan sintesis ester kolestril hepatik

Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A


reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas HMG-CoA
yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol
empedu. Hipersekresi kolesterol mengakibatkan konsentrasi kolesterol yang melampau tinggi dalam
empedu hingga terjadi supersaturasi kolesterol dan ini menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol
sesuai dengan gambaran pada diagram keseimbangan fase.

Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai
pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada molekul
protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein
ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu.
Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam
empedu utama yakni:

Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.

Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.

Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.

Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masing-
masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan
mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya
untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu. Kombinasi dari kedua-dua
hal ini akan menjurus kepada empedu yang litogenik. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang
membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas
yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder
bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan
cadangan asam deoksikolik yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu
meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya,
asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan mencegah
pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik
turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas
protein pronukleasi dalam empedu.

Sembilanpuluh lima persen dari pada fosfolipid epedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen
utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada
molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul
fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan
dewasa muda.

Hipomotilitas kantung empedu

Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis
dengan memastikan evakuasi empedu secara berterusan dari kantung empedu ke dalam usus sebelum
terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam
usus menerusi duktus empedu secara optimal dan ini menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol halus
yang cenderung bernukleasi dan berkembang menjadi batu empedu. Perlambatan evakuasi kantung
empedu membolehkan absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa secara melampau hingga terjadi
peningkatan konsentrasi empedu dan ini mempergiat proses litogenesis empedu. Hipomotilitas kantung
empedu dapat terjadi akibat:

a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya
kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.

Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu empedu
masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat
efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu
transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel
otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu
cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan serta
sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar.

Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis
merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan
perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam
usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu
dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi.

Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge)
terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama,
terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur
bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi
empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus.
Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol
dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga
dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.

Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol


Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses nukleasi.
Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat
mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi.

Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi
dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu. Penelitian in
vitro model empedu mendapatkan bahwa faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol
sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi
yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti
menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah
hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya
dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi.

Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk
imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam. Penelitian terbaru
menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi
nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam
kalsium inorganik maupun organik.2 Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA),
apoA-I dan apoA II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-
faktor ini masih belum dapat dipastikan.

Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi
yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu
telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek
mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.

Hipersekresi mukus di kantung empedu

Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal
pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi
pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan
dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung
empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak
sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini,
stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga
mempunyai peran penting dalam hal ini.

2.5.2 Patofisiologi batu berpigmen

Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu
berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.

Patofisiologi batu berpigmen hitam

Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya
monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat
hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya
dihidrolisis oleh glukuronidase endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama,
defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung empedu
atau menurunnya kapasitas buffering asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan
menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan
empedu dengan PH yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi
kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan
menghasilkan kristal dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.

Patofisiologi batu berpigmen coklat

Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan
penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri
Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris
lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu
berpigmen.

Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini
selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat.
Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:

Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan bilirubin


tak terkonjugat.

Fosfolipase a menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam palmitik).

Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan
membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat terendap lalu berkristalisasi sehingga terbentuk batu
empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang
tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen
perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus
oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap
kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin
menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
Pemeriksaan sinar-X abdomen

Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit kandung
empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu
empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

Gambar 3: hasil sinar-x pada kolelitiasis

Foto polos abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-
15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan
empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan
kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa
jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura
hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnostiknya
rendah.
Gambar 4: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan
karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada prndrita
disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan
pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi
batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG
juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit
dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada
batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.

USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan pilihan
pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu
pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun
demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119
pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam
mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering
sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.

Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis

Kolesistografi

Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk penderita
tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat
untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral
dapat digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan
kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu
empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi
alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak
dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi

Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)


Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat
dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang
fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan
ke dalam duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam
duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga
memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus
bagian distal untuk mengambil batu empedu.

Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)

Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke dalam
percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relative besar, maka semua
komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan
panjang doktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan
jelas.
Computed Tomografi (CT)

CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu
empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih
mahal dibanding US.

Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis

Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP)


2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Penatalaksanaan Non-Pembedahan

Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri kandung
empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika memungkinkan, untuk
menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi
pembedahan.

Penatalaksanaan Supotif dan Diet

Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan
infus, pengisapan nasogastric, analgesic dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala
akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin
memburuk.
Farmakoterapi

Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak mengalami
kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis 18-20
mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada
pemberian asam kenodeoksikolat adalah diare.

Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya 8-10 mg/kg/hari,
dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan
sekitar 30% batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam
kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.

Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam
kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.

Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan


untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari
kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek
samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama.
Mekanisme kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi
desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan
batu yang baru dicegah pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga
12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif
bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi
pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.

Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien sesudah terapi
dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk
mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi
bedah atau litotropis merupakan indikasi.

Pengangkatan batu tanpa pembedahan


Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu
bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut
tersebut dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam
kandung empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan batu
yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui endoskop ERCP, atau kateter
bilier transnasal.

Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang


kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu
atau duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen.
Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan
elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi
cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan
dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung
empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam
empedu yang diberikan per oral.

Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat
dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang
dipasang pada endoscop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.

2.7.2 Penatalaksanaan Pembedahan

Koleksistektomi Terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2%
pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru
ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera dalam pasien dengan
kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah
24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat
harus dipertimbangkan.

Mini Kolesistektomi

Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar 4cm.
Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran
lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan
waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.

Kolesistektomi laparoskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya kolesistisis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur ini
dalam pasien dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan
secara toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri
menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur
ini, berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang
mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang
berkaitan dengan modalitas baru.

Bedah Kolesistotomi

Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas, atau
bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui
pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter
untuk drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan
dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar kateter atau perembesan
getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali
lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki
angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses
penyakit pasien yang mendasarinya.

Kolesistotomi Perkutan

Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis kolesistisis
akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani tindakan pembedahan atau anastesi umum.
Pasie-pasien ini mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal
ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan lewat
dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT.
Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian
sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi saluran empedu.
Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis
dan kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.

Koledokostomi

Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. Setelah
batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah
empedu sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung
empedu biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama
kolesistektomi.

2.8 Komplikasi

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan


mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung
empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun terlepas lagi.
Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila
terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang
dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang
berakibat terjadi peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung
empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau
kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran
cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang
komplikasi kolelitiasis:

Hidrops

Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat
diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut dan sindrom yang berkaitan
dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu
berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek massa
dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.

Kolesistitis akut

Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak
dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan
fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang
memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian
dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.

- Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis supuratif, kandung
empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.

- Nekrosis dan Perforasi

Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi. Batu empedu
yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias
memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian
vesica biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang
terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan
dengan pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran
empedu.

- Pritonitis

Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah. Karena efek iritan
garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.

Kolesistitis kronis

- Fistel bilioentrik

Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding organ di dekatnya
seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ
tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi
fitsel antara kandung empedu dan organ-organ tersebut.

Kolangitis

Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi. Penyebab utama dari
infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh
Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau
mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
Pankreatitis

Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas. Ini disebebkan
karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak menutupi ampula vetri.

2.9 Rencana Asuhan Keperawatan

Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk merencanakan
dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut yaitu pengkajian, identifikasi
masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.

2.9.1 Pengkajian

Data yang dikumpulkan meliputi :

a. Identitas

Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien
tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.

Identitas penanggung jawab

Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung jawab klien
selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan
klien dan alamat.

b. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama

Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya keluhan
utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas.

Riwayat kesehatan sekarang

Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P)
yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh
klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat
mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut.

(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak

(Q): Nyeri dirasakan hebat

(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke punggung atau bahu kanan.

(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi

(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu

Riwayat kesehatan yang lalu

Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya.

Riwayat kesehatan keluarga

Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.
c. Pemeriksaan fisik

Pendekatan dengan metode 6B:

B1-Breath

Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi peningkatan frekuensi
pernapasan sebagai kompensasi.

B2-Blood

Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.

B3-Brain

B4-Bladder

Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.

B5-Bowel

Feses berwarna kelabu clay colored akibat obstruksi duktus biliaris sehingga pigmen empedu tidak
dibuang melalui feses.

B6-Bone

2.9.2 Diagnosa--NANDA 2012-2014

Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu

Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Ketidakmampuan Pemasukan Nutrisi

Mual b.d Iritasi Lambung

Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif


Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri

Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri

Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri

Ansietas b.d Ancaman Kematian

Kerusakan Integritas Kulit b.d Faktor mekanik

Risiko Perdarahan

Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif

2.9.3 Prioritas Diagnosa

No Priorotas Diagnosa

1 Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung


Empedu.

2 Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri

3 Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif

4 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d


Ketidakmampuan Menelan Makanan

5 Mual b.d Iritasi Lambung

6 Ansietas b.d Ancaman Kematian

7 Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri

8 Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri

9 Kerusakan Integritas Kulit


10 Risiko Perdarahan

11 Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif

2.10. Tabel Intervensi Keperawatan

Diagnosa
NIC NOC
Keperawatan
Nyeri akut Penatalaksanaan Nyeri : meringankan Nyeri: Efek Merusak : efek
1. Membantu
atau mengurangi nyeri sampai pada merusak dari nyeri terhadap emosi nyeri dan
tingkat kenyamanan yang dapat dan perilaku yang diamati atau tentang
diterima oleh pasien. dilaporkan. penyakit, t
keefektifan
1. Lakukan pengkajian nyeri yang Dibuktikan dengan indikator
2. Men
komprehensif meliputi lokasi, berikut :
memusatka
karakteristik, awitan/durasi, frekuensi,
1. Pasien akan melapor bahwa nyeri meningkatk
kualitas, intensitas atau keparahan
akan hilang (4) mengatasi n
nyeri, dan faktor presipitasinya.
3. Meringa
2. Pasien akan menunjukkan
2. Ajarkan penggunaan teknik pascaopera
penggunaan keterampilan
nonfarmakologi (misalnya, umpan 4. Meminim
relaksasi dan aktifitas hiburan
balik biologis, transcutaneous akibat nyer
sesuai indikasi untuk situasi
electrical nerve stimulation (TENS),
individual (4)
hipnosis, relaksasi, imajinasi
3. Penurunan penampilan peran atau
terbimbing, terapi musik, distraksi,
terapi bermain, terapi aktivitas, hubungan interpersonal (4)
akupresur, kompres hangat/dingin,
4. Gangguan kerja, kepuasan hidup
dan masase) sebelum, setelah dan jika
atau kemampuan untuk
memungkinkan, selama aktivitas yang
mengendalikan (4)
menyakitkan; sebelum nyeri terjasi
atau meningkat; dan selama
penggunaan tindakan pengurangan
nyeri yang lain.

3. Kelola nyeri pascaoperasi awal


dengan pemberian opiat yang
terjadwal (misalnya, setiap 4 jam atau
36 jam) atau PCA.

4. Berikan perubahan posisi, masase


punggung, dan relaksasi.

Ketidakefektifan Pola Pengelolaan jalan nafas: Fasilitasi Status Respirasi: Pergerakan


1. Kedalaman
Nafas untuk kepatenan jalan nafas. udara ke dalam dan ke luar paru- bernafas
paru. efektif atau
1. Pantau kecepatan,irama, kedalaman
2. Tidak adan
dan usaha respirasi. ditandai dengan indikator:
menandaka
2. Informasikan kepada pasien dan
1. Kedalaman inspirasi dan keadaan no
keluarga tentang tehnik relaksasi kemudahan bernafas (3) 3. Pada pe
untuk meningkatkan pola pernafasan terdengar s
2. Tidak ada otot bantu (3)
4. Nafas pe
3. Berikan obat nyeri untuk
3. Bunyi nafas tambahan tidak ada nafas terga
pengoptimalan pola pernafasan.
(3)
4. Posisikan pasien untuk
4. Nafas pendek tidak ada (3)
mengoptimalkan pernafasan.

Kekurangan volume Pengelolaan Cairan: Peningkatan Keseimbangan Elektrolit dan


1. Untuk
cairan keseimbangan cairan dan pencegahan Asam-Basa: Keseimbangan pertimbang
komplikasi akibat kadar cairan yang elektrolit dan nonelektrolit dalam dasar/indik
tidak normal atau tidak diinginkan. ruang intrasel dan ekstrasel tubuh. kebutuhan
memberika
Aktivitas: Ditunjukkan dengan indikator:

1. Pantau hasil laboratorium yang


1. Elektrolit serum (misalnya,
2. Memenuhi
relevan dengan keseimbangan cairan natrium, kaliun, kalsium, dan tertunda
(misalnya, kadar hematokrit, BUN, magnesium) dalam batas normal keseimbang
albumin, protein total, osmolalitas (4).
serum, dan berat jenis urine). 3. Menggan
2. Serum dan pH urine dalam batas
nasogastrik
2. Anjurkan pasien untuk normal (4).
menerima s
menginformasikan perawat bila haus.
3. Tidak memiliki konsentrasi urine
3. Berikan ketentuan penggantian yang berlebihan. BJ urine normal:
4. Untuk p
nasogastrik berdasarkan haluaran, 1003-1030 biasanya
sesuai dengan kebutuhan. eliminasi.
kateter ur
4. Pasang kateter urine, bila perlu.
pasien untu
Ketidakseimbangan Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau Status Gizi: Nilai Gizi 1.: Berguna u
nutrisi kurang dari pemberian asupan diet makanan dan Keadekuatan zat gizi yang yang tepat
kebutuhan tubuh cairan yang seimbang. dikonsumsi tubuh. 2. Agar klie
kebutuhan
1. Pantau kandungan nutrisi dan kalori Dibuktikan dengan indikator
bagaimana
pada catatan asupan. berikut :
3. Klien pasc
2. Berikan informasi yang tepat tentang
1. Asupan mkanan dan cairan oral (4) asupan nut
kebutuhan nutrisi dan bagaimana sesuai
2. Mempertahankan massa tubuh
memenuhinya. mempercep
dan berat badan dalam batas
juga, sehin
3. Tentukandengan melakukan normal (4)
akan lebih
kolaborasi bersama ahli gizi, secara
3. Melaporkan keadekuatan tingkat menentuka
tepatjumlah kalori dan jenis zat gizi
energi (4) yang tepat
yang dibutuhkan untuk memenuhi
4. Memb
kebutuhan nutrisi (khususnya untuk
mendapatk
pasien dengan kebutuhan energi
yang juga
tinggi, seperti pasien pascoperasi dna
nutrisi klien
luka bakar, trauma, demam, dan
luka).

4. Berikan pasien minuman dan camilan


bergizi, tinggi protein, tinggi kalori
yang siap dikonsumsi, bila
memungkinkan.

LAMPIRAN PATOFIS
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2009-
2011. Jakarta : EGC

Kurnia, Nila Ramdani. Kolelitiasis (Online)

http://bedahmataram.org/index.php?option=com_content&view=article&id=104:kolelitiasis-
ur&catid=43:regfrat-urologi&Itemid=81. (Diakses 22 November 2012; 18.00).

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Sanjaya, Arif. Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu (Online)

http://penyuluhan-kesehatan.blogspot.com/2011/12/patofisiologi-pembentukan-batu-empedu.html
(Diakses 23 November 201; 10.30)

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC


Sherlock, Sheila. 1990. Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Jakarta: Widya Medika.
ANESTESI PADA LAPAROSKOPI CHOLESISTEKTOMI
Juni 26, 2008 imadeharyoga Tinggalkan komentar Go to comments

Dewasa ini penyakit batu empedu (cholelitiasis) yang terbatas pada kantung empedu biasanya
asimtomatis dan menyerang 10 20 % populasi umum di dunia. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
ultrasonografi abdomen.1 Kira-kira 20% wanita dan 10 % pria usia 55 sampai 65 tahun memiliki batu empedu. 2

Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu empedu
(cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi. 3 Karena
teknik minimal invasif memiliki aplikasi diagnosis dan terapi di banyak pembedahan, bedah laparoskopi meningkat
penggunaannya baik pada pasien rawat inap ataupun rawat jalan. Walaupun prosedur laparoskopi memiliki
keuntungan untuk pasien, namun prosedur ini juga merupakan tantangan untuk spesialis anestesi. 4

Teknik laparoskopi atau pembedahan minimal invasif diperkirakan menjadi trend bedah masa depan.
Bahkan pada 2010 mendatang, sekitar 70-80 persen tindakan operasi di negara-negara maju akan menggunakan
teknik ini. Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai
California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari
RS Cipto Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic
Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk
penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di
Indonesia. 5

Pada laparoskopi cholesistektomi, jenis anestesi yang direkomendasikan adalah anestesi umum dengan
intubasi endotrakeal dengan antibiotic profilaksis preoperatif untuk mengatasi pathogen empedu. 3

2.1 Laparoskopi
2.1.1 Definisi Laparoskopi

Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan memasukkan gas CO2 ke
dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga
memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut. 7 Teknik laparoskopi atau pembedahan
minimally invasive diperkirakan menjadi trend bedah masa depan. Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai
dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta.
Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi
pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997, Laparoscopic
Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit besar
di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. 5

2.1.2 Prosedur Laparoskopi

Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa empat
hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis. Sebelum puasa pasien
laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi
jumlah kotoran di saluran cerna.8

Setelah pasien teranestesi, tindakan operasi pertama yang dilakukan adalah membuat sayatan di bawah
lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO 2 sampai batas kira-
kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus
tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut. Setelah perut terisi gas CO2, alat trocar dimasukkan.
Alat itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar
yang dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada
dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah
tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah,
selebar 5 mm. Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan dan
digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai mata dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan
melihat organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke
monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja.8

Dalam tayangan video terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang dipotong atau
mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan bisa
digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium
akan dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, dokter harus mengatakan kepada
pasien dan keluarganya kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien. 8

Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah untuk dilihat oleh semua operator karena
menggunakan berbagai peralatan penunjang. Operator harus melihat jelas video monitor dan pengaliran insuflasi
CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra abdomen dan laju gas. 3

2.1.3 Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi

CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak membantu pembakaran, mudah
berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2
kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi.
Selama persediaan O2 cukup, konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.7

Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa
sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan peritoneum. CO 2
tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO 2 bisa tersisa di
intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan
respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan
efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral,
peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.7

2.1.4 Keuntungan Prosedur Laparoskopi

Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan karena insisi yang kecil dan nyeri
pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan sedikit kemungkinan terjadi
atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat
inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali beraktivitas. Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan
tipe prosedur.4

2.1.5 Kerugian Prosedur Laparoskopi

Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung karena
kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas
yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest. Emboli CO2 yang
masif bisa dideteksi dengan murmur precordial, transesofugeal echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2
meningkat secara sementara kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO 2,
hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan memasang kateter
vena central untuk aspirasi gas.4

Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau prosedur laparoskopi meliputi
insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema subkutan bisa terjadi,
volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai level tinggi dan terdapat krepitus yang biasanya dapat
sembuh tanpa intervensi. Hal serius lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka
atau insisi yang dibuat sewaktu pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak selalu harus,
karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi dihentikan. 4

2.1.6 Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi


Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani prosedur laparoskopi.
Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO 2. Insuflasi CO2 ke dalam
rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk visualisasi selama
prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan tekanan intraabdomen dan meningkatkan resistensi
pembuluh darah sehingga curah jantung menjadi turun sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa
merubah respon ini. Pada saat posisi tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu
mencolok dibandingkan posisi anti tredelenburg.4

Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO 2 memegang peranan
utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama beberapa menit dimana kenaikan CO2 biasanya mencapai
30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat
menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat
dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari
peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan penurunan pulmonary compliance dan kapasitas residu
fungsional serta peningkatan dead space.4

2.2. Laparoskopi Cholesistektomi

Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu empedu
(cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi.3
Keuntungan melakukan prosedur laparoskopi pada cholesistektomi yaitu: laparoscopic cholesistektomi
menggabungkan manfaat dari penghilangan gallblader dengan singkatnya lama tinggal di rumah sakit, cepatnya
pengembalian kondisi untuk melakukan aktivitas normal, rasa sakit yang sedikit karena torehan yang kecil dan
terbatas, dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi dibandingkan dengan teknik open laparotomi. Namun
kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan open
cholesistektomi dan bila terjadi pendarahan perlu dilakukan laparotomi. 9

Kontra indikasi pada Laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita ada resiko tinggi untuk anestesi
umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu
kandung empedu yang besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar. 3

2.3. Manajemen Anestesi pada Laparoskopi

Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain : umur, jenis kelamin, status fisik,
jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan yang dipakai, ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan
sarananya, status rumah sakit, dan permintaan pasien. Saat ini sekitar 70-75 % operasi pada rumah sakit, dilakukan
di bawah anestesi umum (general anesthesia). Operasi sekitar kepala, leher, dada, dan abdomen sangat baik
dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakheal, sejak diketahui bahwa dengan
metode ini jalan nafas dapat dikontrol dengan baik sepanjang waktu.1

Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena iritasi yang mengenai
diafragma dari insuflasi CO2. bisa menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi waktu penyembuhan untuk
pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama. Dengan lidocaine dosis rendah dan teknik spinal opioid, salah satu
studi menemukan bahwa nyeri pasca operasi setelah laparoskopi ginekologi lebih sedikit dibandingkan dengan
general anestesi dengan desflurane.1

2.3.1 Evaluasi Preoperasi

Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur laparoskopi, evaluasi
sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru berat dan gangguan fungsi
jantung.4

2.3.2 Manajemen Intraoperatif.

Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum dengan menggunakan monitor
standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan
pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu, monitor pengukuran tekanan
arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat,
end tidal CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya dengan monitor
pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru atau transesofageal echocardiografi bisa
berguna untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru. 1

Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur laparoskopi, seperti pada
keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang adekuat adalah kunci dari
resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena
sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan vena perifer. 1

Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa endotrakeal. Pemasangan
sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung,
menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan
intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal dapat digunakan untuk memberikan
tekanan ventilasi yang positif untuk mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO 2 yang
diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan
trakea yang pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus,
sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan untuk lebih sering
mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.1

Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid intravena, dan obat pelumpuh otot.
Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur laparoskopi karena ini akan
meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan klinis N 2O ini masih menjadi
perdebatkan.1

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg atau Reverse Trendelenburg.
Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan membantali seluruh ekstremitas.
Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya butuh penyesuaian. 1

Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi umum adalah
menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal
beberapa menit setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali CO2 ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan
meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada
kasus sulit prosedur bedah diubah menjadi prosedur bedah terbuka. 1

Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur laparoskopi. Jika tekanan
darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan
pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi untuk menimbulkan
keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel blocker. Pengobatan dengan alpha agonist seperti clonidine
atau dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha agonist dapat menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi
inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi). Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi perubahan
hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung yang buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat
dicegah dengan penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central line, transesofageal ochocardiografi)
selama prosedur berlangsung.1

2.3.3 Manajemen Pasca Operasi

Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah prosedur
selesai.1 Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai 42%.7 Mual
muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari
pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal maupun dalam kombinasi untuk
mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk
menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan
mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada
pasien rawat jalan, evaluasi pada saat pasien akan pulang juga diperlukan. 1

Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan sesudah
bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi,
visceral, atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama prosedure
pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam kombinasi dengan NSAID intravena
membantu agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada
port sites kulit dan peritoneum memblock nyeri somatik dan visceral.1
MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KOLELITIASIS
Disusun oleh :
xxxxxxxxxxxxx
AKADEMI KEPERAWATAN xxxxxxx
TAHUN AJARAN 2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmatNya,
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan dengan
Kolelitiasis ini tepat pada waktu yang ditentukan. Dalam proses penyelesaian makalah ini,
dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1.Bapak xxxx selaku Direktur xxxxxx yang sudah mendukung dalam pembuatan makalah ini
2. Ibu xxxxx, Skep, , pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan , pengarahan dan
petunjuk dalam penyusunan makalah ini.
3. pihak-pihak lain yang telah mendukung dalam pembuatan makalah ini
Semoga Allah SWT membalas jasa serta budi budi baik kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Harapan kami, walaupun kecil semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat khususnya bagi perkembangan ilmu
keperawatan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyususnan makalah ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari kami, kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah ini akan penulis terima dengan keiklasan hati.

Pati, Oktober 2013

Kelompok,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kolelitiasis ( kalkulus / kalkuli, batu empedu )biasanya terbentuk dalam kandung empedudari
unsure unsure pasat yang membentuk cairan empedu; batu empedu memiliki ukuran, bentuk,
dan komposisi yang berfariasi. Batu empedu tidak lazim di jumpai pada anak anak dan dewasa
muda tetapi insidensnya semakin sering pada individu dengan usia di atas 40 tahun. Sesudah itu,
insidens kolelistiasis semakin meningkat hingga satu tingkat yang diperkirakan bahwa pada usia
75 tahun satu dari tiga orang akan memiliki batu empedu.
( Brunner & Suddarth : 2001)

B. Tujuan penulisan makalah ini adalah :


1. Sebagai syarat untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang penyakit koleslitiasis
3. Agar mahasiswa dapat membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit kolelitiasis

BAB II
ISI
A. DEFINISI
Kolelitiasis / koledokolelitiasi merupakan adanya batu di kandung empedu, atau pada saluran
kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol.
( Williams, 2003 )

Kolelitiasis merupakan suatu keadaan dimana terdapat batu empedu di dalam kandung empedu
(vesika felea) dari unsure unsurepadat yang membentuk cairan empedu yang memiliki ukuran
bentuk dan komposisi yang bervariasi.
(Bbrunner & Suddarth : 2001)

B. ETIOLOGI

Penyebab pasti dari kolelitiasis / koledokolelitiasis atau batu empedu belum di ketahui. Suatu
teori mengatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan superaturasi empedu di kandung
empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami superaturasi menjadi mengkristal
dan memulai membantuk batu. Tipe lain batu empedu adalah batu pigmen. Batu pigmen tersusun
oleh kalsium bilirubin, yang terjadi ketika bilirubin bebas berkombinasi dengan kalsium.
( Williams, 2003 )

C. MANIFESTASI KLINIK

1. Gangguan pencernaan mual dan muntah


2. Nyeri perut kanan atas atau kadang kadanghanya rasa tidak enak di epigastrium
3. Yang khas yaitu nyeri yang menjalar ke bahu atau sub scapula
4. Demam dan ikterus
5. Gejala nyeri perut akan bertambah apabila terdapat lebih banyak lemak
( Mansjoer, Arif , 1999 )

D. PATOFISIOLOGI

Ada 2 tipe utama batu empedu yaitu, Batu Empedu Pigmen dan Batu Empedu Kolesterol.
Batu pigmen, yaitu kemungkinan akan terbentukmbila pigmen yang tidk konjugasi dalam
empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga menjadi batu. Resiko terbantuknya batu
ini pada pasien serosis, hemolisis, dan infeksi percabangan biliar. Batu ini tidak dapat di larutkan
dan harus di keluarkan dengan jalan operasi.
Batu kolesterol merupakan unsure normal pembentuk empedu yang bersifat tidak larut dalam air.
Kelarutannya tergantung pada asam empedu dan lesitin dalam empedu. Pada pasien yang
cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam dan peningkatan
kolesterol dalam hati sehingga mengendap dan membentuk batu.getah empedu yang jenuh oleh
kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan
yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu.
( Brunner & Suddarth : 2001 )

E. PATHWAY

F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang penting ialah terjadinya kolelitiasis akut dan kronik koleodokolitiasis dan
pancreatitis yang lebih jarang ialah kolangitis abses hati sirosibilier, empiema, dan ikterus
obstrukstif.
(Mansjoer,arif:1999)

G. PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan pendukung dan diet.


Kurang lebih 80% dari pasien pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat,
cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus di tunda
sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi
pasien memburuk.
( Smeltzer, 2002 )
Manajemen terapi :
Diet rendah lemak, rendah kalori, dan tinggi protein
Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut
Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)

2. Pengangkatan batu empedu tanpa pmbedahan.


Pelarutan bahan empedu dengan bahan pelarut (misalnya : monooktanion atau metil tertier butil
eter / MTBE) dengan melalui jalur selang atau kateter yang di pasang perkutan langsung
kedalam kandung empedu ; melalaui selang atau drain yang di masukkan melalui saluran T
Tubeuntuk melarutkan batu yang belum di keluarkan saat pembedahan; melalui endoskop ERCP;
atau kateter biliar transnasal.
Pengangkatan non bedah dengan bberapa metode di gunakan untuk mengeluarkan batu yang
belum diangkatpada saat kolisistomi atau yang terjepit dalam duktus koledukus. Prosedur
pertama sebuah kateter dan alat di sertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran
T Tube atau lewat fistula yang terbentuk saat insersi T Tube; jaring di gunakan untuk memasang
dan menggunakan endoskop ERCP. Setelah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan
lewat endoskop tersebut kedalam ampula Vater dari duktus kolbatuedukus. Alat ini di gunakan
untuk memotong serabut serabut mukosa atau papila dari spingter Oddi sehingga mulut
spingter tersebut dapat di perlebar. Perlebaran ini memungkinkan yang terjepit untuk bergerak
dengan spontan kedalam duodenum . alat lain yang di lengkapi dengan jaring atau balon kecil
pada ujungnya dapat dimasukkan melelui endoskop untuk mengluarkan batu empedu . meskipun
komplikasi setelah tindakan ini jarang terjadi, namun kondisi pasien harus diobservasi dengan
ketat untuk mengamati terjadinya perdarahan, perforasi, pankreatitis.
ESWL (Exstrakorporeal Shock Wve Lithotripsy) prosedur noninvasiv ini menggunakan
gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang di arahkan pada batu empedu atau
duktus koledukus dengan maksut memecah betu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.
( Smeltzer, 2002 )

3. Penatalaksanaan bedah
Penanganan bedah pada penyakit batu empedu dan kandung empedu di laksanakan untuk
mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk mengurangi penyebab kolik bilier dan
untuk mengurangi kolasistisi akut. Pembedahan dengan efektif dilaksanakan jika gejala yang di
rasakan pasien sudah mereda atau bisa di laksanakan sebagai suatu prosedurdarurat bila mana
kondisi pasien mengharuskannya.
Tindakan operatif meliputi :
Sfingerotomi endoskopik
PTBD(perkutaneus transhepatik bilirian drainage)
Pemasangan T Tube saluran empedu endoskop
Laparatomi kolesistomi pemasangan T Tube

4. Penatalaksanaan pra operatif


Pemeriksaan sinar X pada kandung empedu
Foto thoraks
Ektrokardiogram
Pemeriksaan faal hati
Vitamin K (diberikan bila kadar protombin pasien rendah)
Terapi komponen darah
Pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa secara intravena bersama suplemen
hidrolisat proteinmungkin di berikan untuk membantu kesembuhan luka dan mencegah
kerusakan hati.
( Mansjoer, Arif : 1999)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian :

1. Aktivitas dan istirahat:


subyektif : kelemahan
Obyektif : kelelahan
2. Sirkulasi :
Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
3. Eliminasi :
Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan atas, urine pekat .
4. Makan / minum (cairan)
Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit.
Tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas.
Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn).
Ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.
Obyektif :
Kegemukan.
Kehilangan berat badan (kurus).
5. Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif :
Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
Nyeri apigastrium setelah makan.
Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.
Obyektif :
Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot meregang /kaku hal ini dilakukan pada
pemeriksaan RUQ dan menunjukan tanda marfin (+).
6. Respirasi :
Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak nyaman.
7. Keamanan :
Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus , cenderung perdarahan (
defisiensi Vit K ).
8. Belajar mengajar :
Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu kandung empedu.
Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada saluran cerna bagian bawah.

Prioritas Perawatan :
a. Meningkatkan fungsi pernafasan.
b. Mencegah komplikasi.
c. Memberi informasi/pengetahuan tentang penyakit, prosedur, prognosa dan pengobatan

Tujuan Asuhan Perawatan :


a. Ventilasi/oksigenasi yang adekwat.
b. Mencegah/mengurangi komplikasi.
c. Mengerti tentang proses penyakit, prosedur pembedahan, prognosis dan pengobatan
( Dongoes : 1999 )

b. Diagnosa dan Intervensi.


1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : Nyeri berkurang dalam waktu kurang dari 24 jam.
Kriteria Hasil : Klien menyatakan nyeri berkurang, tidak takut melakukan mobilisasi, klien dapat
istirahat dengan cukup.
Skala nyeri sedang
Rencana Tindakan :
a. Beri penjelasan pada klien tentang sebab dan akibat nyeri.
b. Ajarkan teknik relaksasi dan destraksi.
c. Bantu klien menentukan posisi yang nyaman bagi klien.

Rasional :
a. Penjelasan yang benar membuat klien mengerti sehingga dapat diajak bekerja sama.
b. Dapat mengurangi ketegangan atau mengalihkan perhatian klien agar dapat mengurangi rasa
nyeri.
c. Penderita sendiri yamg merasakan posisi yang lebih menyenangkan sehingga mengurangi rasa
nyeri.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah


Tujuan : menunjukkan adanyakeseimbangan cairan seperti output urine adekuat, tekanan darah
stabil, membran mukosa mulut lembab, dan turgor kulit baik.
Kriteria Hasil : Cairan tubuh tetap stabil, tekanan darah normal, mukosa mulut lembab, dan kulit
elastis.
Rencana Tindakan :
a. Berikan makanan dan cairan
b. Berikan pengobatan anti diare dan anti muntah
c. Lakukan bersihan mulut sebelum dan sesudah makan
Rasional :
a. Memenuhi kebutuhan makanan dan minuman
b. Menurunkan peristaltik pada usus dan muntah
c. Meningkatkan nafsu makan
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual / muntah
Tujuan : peningkatan status nutrisi
Kriteria Hasil : Kebutuhan nutrisi tubuh tetep terpenuhi
Rencana tindakan :
a. Sajikan makanan yang mudah di cerna, dalam keadaan hangat, tertutup, dan berikan sedikit-
sedikit tapi sering.
b. Jaga kebersihan mulut pasien
c. Bantu pasien makan jika tidak mampu
Rasional :
a. Meningkatkan selera makan dan intake makan
b. Mulut yang bersih akan meningkatkan nafsu makan
c. Mempermudah pasien bila dalam keadaan keterbatasan gerak
4. Perasaan tidak menyenangkan disebabkan oleh sumber yang tidak jelas / tidak spesifik/
Tujuan : pasien dapat menurunkan kecemasan
Kriteria Hasil : Kondisi pasien tetap stabil dan terkendali kestabilan emosinya
Intervensi tindakan :
a. Membantu pasien dalam kemampuan koping
b. Lakukan hubungan lebih akrab dengan pasien sebelum tidur
c. Perhatikan keluhan fisik selama mengalami kecemasan
Rasional :
a. Koping yang positif dapat menurunkan kecemasan
b. Menimbulkan kepercayaan dan pasien merasa nyaman
c. Cemas menimbulkan kegagalan pemenuhan fisik

( Tarwoto, Wartonah : 2003 )


Kesimpulan
Dalam bab penutup penulis mengambil beberapa kesimpulan :
Penulis dapat memenuhi tugas dalam perkuliahan
Kolelitiasis / koledokolelitiasi merupakan adanya batu di kandung empedu, atau pada saluran
kan Kolelitiasis merupakan suatu keadaan dimana terdapat batu empedu di dalam kandung
empedu (vesika felea) dari unsure unsurepadat yang membentuk cairan empedu yang memiliki
ukuran bentuk dan komposisi yang bervariasi.
dung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol.

Saran
Sebagai perawat profesional diharapkan mampu melakukan tindakan Asuhan Keperawatan yang
tepat dan sesuai prisedur. Selaim itu pasien juga diharapkan dapat mengetahui labih lanjut
tentang penyakit kolelitiasis dan dapat menghindari makanan yang dapat menyebabkan penyakit.
Misalnya engan mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 vol 2. Jakarta EGC
Dongoes. M. E. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Terjemah oleh Kariasa M. 1999. Jakarat. EGC
Mansjoer Arif, (2001), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 Jakarta : Media Aescuapius.
Tarwoto, Wartonah. 2003 Kebutuhan Dasar Manusia. Salemba Medika.

LikeShow More Reactions

CommentShare

Top comments

14 14

2 shares

4 comments

Comments

Write a comment...

Press Enter to post.

Nanang Paramitabs makasih yah atas makalahnyaSee translation

Like Reply 2 4 August 2014 at 08:16

Beng-beng
Home gastroenterohepatologi interna Kolesistitis (cholecystitis) - Pemeriksaan penunjang dan
Terapi Kolesistitis (cholecystitis) - Pemeriksaan penunjang dan Terapi Macz Tags
gastroenterohepatologi interna Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis kolesistitis meliputi pemeriksaan laboratorium (meski kurang
akurat),.radiografi, CT Scan, USG, MRI, HBS (hepatobiliary scintigraphy) dan endoscopy.
Tentu saja pilihan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan tergantung pada pusat kesehatan
yang bersangkutan, apakah memilikinya atau tidak. Pemeriksaan laboratorium. Meski kurang
akurat untuk mendiagnosis kolesistitis, namun beberapa temuan pada pemeriksaan lab ini dapat
menjadi pertimbangan untuk menunjang diagnosis : a. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
(leukosit imatur lebih tinggi jumlahnya dibandingkan leukosit matur) dapat dijumpai pada
kolesistitis. b. Kadar enzim intrinsik hati Alanin Amino Transferase (ALT) dan Aspartat Amino
Transferase (AAT) digunakan untuk mengevaluasi fungsi hati dan adanya hepatitis serta dapat
pula jumlahnya meningkat pada kolesistitis dan obstruksi saluran empedu. c. Kadar Bilirubin dan
Alkalin Fosfatase diperiksa untuk mengevaluasi obstruksi saluran empedu yang umum dijumpai.
d. Kadar Amilase dan Lipase biasanya digunakan untuk memeriksa adanya Pankreatitis, namun
Amilase dapat pula meningkat pada kolesistitis. e. Peningkatan kadar Alkalin Fosfatase
ditemukan pada sekitar 25% pasien dengan kolesistitis. f. Urinalisis digunakan
untukmenyingkirkan Pyelonefritis dan batu ginjal. g. Pasien wanita yang berada pada usia subur
wajib menjalani pemeriksaan kehamilan. Sebuah studi retrospektif oleh Singer berusaha
menunjukkan hubungan antara kondisi klinis dengan temuan pemeriksaan lab. HBS
(hepatobiliary scintigraphy) pada pasien dengan kolesistitis akut . Ia menemukan 40 pasien
memiliki hasil lab. HBS yang positif namun sebanyak 36 orang (90%) di antara yang positif
tersebut, tidak mengalami demam dan 16 orang (40%) tidak mengalami leukositosis. Hasil studi
ini menunjukkan tidak ada manfaat klinis dari mengkombinasikan beberapa jenis pemeriksaan
lab dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi kolesistitis yang di konfirmasi berdasarkan
temuan HBS. Rekomendasi Pemeriksaan Radiologi : Asosiasi Radiologi Amerika (ACR) telah
menyusun kriteria foto radiologi yang direkomendasikan untuk kolesistitis : a. Sonografi (USG)
dianjurkan sebagai pemeriksaan awal untuk kolesistitis akut dan scintigrafi merupakan alternatif
penggantinya yang dianjurkan. b. CT Scan dianjurkan sebagai pemeriksaan radiologi sekunder
yang dapat mengidentifikasi kelainan ekstrabilier sebagai komplikasi dari kolesistitis akut seperti
gangren, formasi gas dan perforasi. c. CT Scan dengan kontras intravena berguna untuk
mendiagnosis kolesistitis akut pada pasein dengan nyeri perut yang tidak khas. d. MRI dengan
media kontras intavena berbasis gadolinium, juga merupakan modalitas pemeriksaan radiologi
sekunder yang berguna sebagai konfirmasi kolesistitis akut. e. MRI tanpa kontras berguna untuk
melakukan pemeriksaan pada wanita hamil dengan dugaan kolesistitis akut yang dengan USG
tidak menghasilkan diagnosis yang jelas. Tiadanya kontras mengurangi resiko paparan raioaktif
terhadap ibu dan janinnya. f. Bahan kontras sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang sedang
mendapat terapi dialisis kecuali pada keadaaan darurat dan mutlak diperlukan, Radiografi (X-
Ray). Batu empedu dapat divisualisasikan dengan peeriksaan radiografi meski tanpa kontras
pada 10-15% kasus. Penemuan ini hanya mengindikasikan kolelitiasis, dengan atau tanpa
kolesistitis. Udara bebas sub diafragmatika tidak mungkin berasal dari saluran empedu. Bila ia
ada, berarti mengindikasikan sutau kondisi penyakit lain di luar gangguan saluran empedu.
Udara yang terlokalisir di dinding kandung empedu, biasanya menunjukkan adanya kolesistitis
emfisematosa yang dihasilkan bakteri penghasil gas seperti E. Coli , Clostridia dan bakteri
streptokokus anaerob. Kolesistitis Emfisematosa memiliki angka kematian yang tinggi dan
biasanya dijumpai pada pasien pria dengan diabetes dan kolesistitis akalkulus (non batu).
Kandung empedu yang terkalsifikasi difus, seringkali merupakan suatu karsinoma meskipun 2
studi menunjukkan tidak ada hubungan antara kalsifikasi parsial darikandung empedu dengan
karisnoma. Penemuan lain dari pemeriksaan radiografi dapat berupa batu ginjal, obstruksi
intestinal dan pneumonia. Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan dengan USG merupakan
pemeriksaan dengan sensitivitas antara 90-95% dan spesifisitas 80-85% untuk kolesistitis. Bila
disertai batu empedu dengan diamater lebih dari 2 mm , maka sensitivitas dan spesifisitasUSG
menjadi lebih dari 95%. Hasil pemeriksaan USG yang menunjukkan kemungkinan adanya
kolesistitis antara lain : cairan di daerah perikolesistik, penebalan dinding kandung empedu
hingga lebih dari 4 mm dan tanda murphy sonografi positif. Adanya batu juga menunjang
diagnosis. Pemeriksaan USG sebaiknya dilakukan setelah 8 jam puasa oleh karena batu empedu
divisualisasikan dengan baik pada kandung empedu yang terdistensi oleh cairan empedu. CT
Scan dan MRI Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan CT Scan dan MRI untuk memprediksi
kolesistitis akut adalah lebih dari 95%. Kelebihan pemeriksaan ini dibandingkan ERCP
(endoscopic retrogade cholangiopancreatography) adalah sifatnya yang non invasif, namun
kelemahannya adalah tidak memiliki efek terapi serta tidak cocok pada kasus kolesistitis tanpa
batu empedu. Hasil pemeriksaan CT Scan dan MRI yang menunjukkan adanya kolesistitis adalah
: penebalan dinidng kandung empedu (> 4 mm), cairan di perikolesistik, edema subserosa (bila
tidak ada ascites), gas intramural, dan pengelupasan mukosa. CT Scan dan MRI juga bermanfaat
untuk melihat struktur sekitar bila diagnosis tidak meyakinkan. HBS (hepatobiliary scintigraphy)
Keakuratan HBS dalam mendeteksi kolesistitis akut mencapai 95%. Sementara sensitivitasnya
dalam rentang 90-100% dan spesifisitasnya 85 hingga 95%. Endoskopi (ERCP = Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreatography) Pemeriksaan ERCP sangat bermanfaat dalam
memvisualisasikan anatomi kandung dan saluran empedu pada pasien berisiko tinggi memiliki
batu empedu yang disertai gejala sumbatan saluran empedu positif. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Sahai dkk, ERCP lebih dianjurkan dibandingkan USG Endoskopik dan
Cholangiografi Intraoperatif pada pasien yang berisiko tinggi memiliki batu empedu dan akan
menjalani operasi kolesistektomi laparoskopik. Kelemahan ERCP adalah membutuhkan tenaga
khusus yang ahli mengoperasikan alatnya, biaya tinggi serta kemungkinan adanya komplikasi
seperti pankreatitis (3-5% kasus). Pemeriksaan Histologi. Perubahan awal pada kolesistitis
adalah edema dan kongesti vena. Berdasarkan gambaran histologinya, kolesistitis akut biasanya
saling tumpang tindih dengan kolesistitis kronik. Penemuan yang spesifik diantaranya : adanya
fibrosis, mukosa yang rata dan sel inflamasi kronik. Herniasi mukosa yang juga dikenal sebagai
Sinus Rokitansky-Aschoff berkaitan dengan peningkatan tekanan hidrostatik dan ditemukan
pada sekitar 56% kasus. Nekrosis fokal disertai influx sel neutrofil juga dapat ditemukan. Pada
kasus yang berat dapat dijumpai gangren dan perforasi. Penatalaksanaan /Terapi Penatalaksanaan
pasien dengan kolesistitis tergantung pada derajat keparahan serta ada tidaknya komplikasi yang
menyertai. Kasus yang tanpa disertai komplikasi seringkali dapat berobat jalan saja namun pada
kasus yang disertai komplikasi harus dengan terapi pembedahan. Pada pasien yang tidak stabil,
drainase perkutaneus kolesistostomi transhepatik dapat sangat membantu. Antibiotik dapat
diberikan untuk mengatasi infeksi. Terapi definitif diantaranya : kolesistektomi disertai
penempatan alat drainase, dan bila terdapat batu maka ERCP juga merupakan pilihan yang baik.
Pasien kolesistitis yang rawat inap dan akan dioperasi sebaiknya tidak mendapat asupan
makanan per oral, kecuali bila kolesistitisnya tanpa komplikasi , pasien masih diijinkan makan
dalam bentuk cair serta rendah lemak per oral hingga tiba saatnya operasi. Terapi awal dan
pemberian Antibiotik Untuk kolesistitis akut, terapi awal meliputi pengistirahatan usus (bowel
rest), hidrasi intravena, koreksi elektrolit, analgesia, dan antibiotik intravena. Untuk kasus yang
ringan, terapi antibiotik menggunakan satu jenis antibiotik berspektrum luas sudah cukup
memadai. Beberapa pilihan untuk jenis terapi awal ini : a. Sanford guide merekomendasikan
piperacillin/tazobactam (Zosyn, 3,375 gram IV/6 jam atau 4,5 gram IV/8 jam),
ampicilin/sulbactam (Unasyn, 3 gram IV/6 jam), atau meropenem (Merrem, 1 gram IV/8 jam).
Pada kasus berat yang mengancam jiwa, Sanford guide merekomendasikan Imipenem/cilastatin (
primaxin, 500 mg IV/6 jam). b. Regimen alternatif meliputi sefalosporin generasi ketiga plus
metronidazole (Flagyl, 1 gram IV bolus diikuti 500 mg IV/6 jam). c. Bakteri yang biasa
ditemukan pada kolesititis adalah : Eschericia coli, Bacteroides fragilis, Klebsiella,
Enterococcus, dan Pseudomonas. d. Bila terdapat emesis dapat diberikan antiemesis dan suction
nasogastrik. e. Oleh karena sering terjadi progesi yang cepat dari kolesistitis akalkulus menjadi
gangren dan perforasi, deteksi dan intervensi dini sangat dibutuhkan. f. Obat-obatan suportif
dapat diberikan seperti pengatur kestabilan hemodinamik, antibiotik untuk mengtasi bakteri gram
negatif usus dan bakteri anaerobik, terutama bila curiga adanya infeksi saluran empedu. g.
Stimulasi kontraksi kandung empedu harian dengan menggunakan kolesistokinin intavena,
menunjukkan keefektifannyadalam mencegah gumpalan di kandung empedu pada pasien yang
menerima nutrisi parenteral total (TPN). Terapi konservatif untuk kolesistitis tanpa komplikasi.
Pasien dapat dirawat jalan pada kasus kolesititis tanpa komplikasi dengan memberikan terapi
antibiotik, analgesik dan kontrol untuk follow up. Kriteria pasien yang dapat di rawat jalan
adalah : a. Tidak demam (afebris) dengan tanda vital yang stabil. b. Tidak ada bukti adanya
obstruksi berdasarkan hasil lab. c. Tidak ada masalah medis lain, usia lanjut, kehamilan serta
masalah immunocompromised. d. Analgesia yang adekuat. e. Pasien memiliki sarana dan akses
transportasi yang mudah ke sarana kesehatan. f. Bersedia untuk kontrol/follow up. Beberapa
obat-obatan yang dapat diberikan : a. Antibiotik profilaksis : levoflaxacin (Levaquin, 500 mg per
oral 1x/hari) dan metronidazole (500 mg per oral 2x/hari). b. Antiemetik : prometazin
(phenergan) oral/rectal , prochlorperazine (compazine). c. Analgesik : oxycodone/acetaminophen
(percocet) oral. Kolesistektomi Kolesistektomi laparoskopi merupakan terapi bedah standar
untuk kolesistitis. Kolesistektomi dini yang dilakukan dalam 72 jam setelah pasien masuk rumah
sakit, memberikan keuntungan dari sisi medis maupun sosioekonomi. Pada pasien yang hamil,
kolesistektomi laparoskopi dinyatakan aman untuk semua umur kehamilan namun paling aman
pada trimester kedua. kolesistektomi-laparoskopik kolesistektomi laparoskopik dilihat dari
laparoskop. sumber wikipedia. CT Scan yang dilakukan 72 jam sebelum operasi sangat
membantu mendeteksi adanya kolesistitis gangrenosa yang ditandai dengan : defek pada dinding
kandung empedu, cairan di perikolesistik dan tidak ditemukan adanya batu empedu. Asosiasi
dokter bedah gastrointestinal dan endoskopi Amerika (SAGES) telah mengeluarkan guideline
pada tahun 2010 mengenai aplikasi klinik dari bedah laparoskopi saluran empedu ini. Guideline
ini mencakup petunjuk kapan melakukan tindakan, prosedur operasi dan manajemen pasien post
operasi. Berikut beberapa poin lainnya : a. Antibiotik preoperatif hanya diberikan untuk
mengurangi risiko infeksi luka bedah pada pasien berisiko tinggi dan hanya menggunakan satu
dosis preoperatif saja. b. Kolangiografi intraoperatif dapat membantu mengenali cedera yang
mungkin terjadi dan menurunkan risiko cedera saluran empedu. c. Bila cedera duktus biliaris
ditemukan, pasien harus dirujuk pada dokter spesialis hepatobiliari terlebih dahulu sebelum
melakukan perbaikan, kecuali bila dokter bedahnya telah memiliki pengalaman reparasi duktus
biliaris yang memadai. Kontraindikasi untuk kolesistektomi laparoskopi antara lain : a. Berisiko
tinggi terhadap anastesi umum. b. Obesitas berat. c. Ada tanda perforasi kandung empedu seperti
: abses, peritonitis dan fistula. d. Batu empedu raksasa atau diduga keganasan. e. Penyakit hati
stadium akhir yang disertai hipertensi portal dan koagulopati berat. f. SAGES guideline juga
menambahkan kontraindikasi yakni : syok septik akibat kolangitis, pankreatitis akut, peralatan
dan tenaga ahli yang tidak memadai, serta baru saja mendapat prosedur bedah abdominal
lainnya. Drainase perkutaneus Untuk pasien yang kontraindikasi/berisiko tinggi terhadap
prosedur bedah, maka terapi Drainase perkutaneus kolesistostomi transhepatik (yang dipandu
USG) merupakan pilihan terapi definitif dikombinasikan dengan pemberian antibiotik. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien kolesistitis akalkulus akut dapat diterapi
dengan drainase perkutaneus saja, akan tetapi SAGES guideline menganjurkan bahwa terapi ini
hanya bersifat sementara sampai pasien dapat menerima kolesistektomi. Terapi Endoskopik
Endoskopi memiliki kelebihan yakni sebagai alat bantu untuk mendiagnosis juga dapat sebagai
terapi. Beberapa prosedur endoskopik untuk kolesistitis : a. Endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP). Terapi ini dapat memvisualisasikan anatomi sekaligus dapat
menyingkirkan batu empedu pada duktus biliaris komunis. b. Endoscopic ultrasound-guided
transmural cholecystostomy. Penelitian menunjukkan bahwa terapi ini aman sebagai terapi awal,
interim maupun definitif untuk pasien dengan kolesistitis akut berat yang berisiko tinggi terhadap
prosedur kolesistektomi. c. Endoscopic gallbladder drainage. Mutignani dkk, menyimpulkan
dalam penelitiannya terhadap 35 orang pasien kolesistitis akut bahwa terapi ini efektif untuk
kolesistitis akut namun sifatnya hanya sementara saja. artikel terkait : Kolesistitis bagian kedua :
Diagnosis dan pemeriksaan Kolesistitis bagian pertama : Patofisiologi, etiologi, epidemiologi
dan prognosis kolesititis Google Facebook Twitter Artikel Terkait Cara tepat menangani
hiponatremia Stroke Kolesistitis (cholecystitis) - Pemeriksaan dan diagnosis Sekilas Malaria
Kolesistitis (Cholecystitis) - Apakah kolesistitis itu ? Mengenal Diabetes Mellitus Macz Macz
Dehisensi Luka Operasi Abdomen Kolesistitis (cholecystitis) - Pemeriksaan dan diagnosis
Facebook Twitter Youtube Google+ Diberdayakan oleh Google TerjemahanTerjemahan Artikel
Pilihan Bishop Score - Nilai Bishop N ilai b ishop adalah suatu standarisasi objektif dalam
memilih pasien yang lebih cocok untuk dilakukan induksi persalinan letak verteks. ...
BLEFARITIS BLEFARITIS B lefaritis adalah radang pada kelopak mata. Blefaritis ditandai
dengan pembentukan minyak berlebihan di dalam kelenjar di dekat kelopak mat... Kolesistitis
(cholecystitis) - Pemeriksaan penunjang dan Terapi Kolesistitis (cholecystitis) - Pemeriksaan
penunjang dan Terapi Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis kolesistitis meliputi pemeriksaan laboratorium (meski kurang akurat... KERATOSIS
SEBOROIK KERATOSIS SEBOROIK K eratosis seboroik merupakan tumor jinak kulit yang
paling banyak muncul pada orang yang sudah tua, sekitar 20% dari populasi dan biasanya ...
Kategori Artikel Terbaru Terapi Diabetes dan Resistensi Insulin dengan menghilangkan protein
Gal3 Pedikulosis Pubis (kutu kemaluan) PENYAKIT KUSTA (MORBUS HANSEN)
OBSTRUKSI BILIARIS : TERAPI DAN TATALAKSANA OBSTRUKSI BILIARIS :
PEMERIKSAAN PENUNJANG MedStuffs Kumpulan Artikel Kesehatan, Informasi Penyakit
dan Ilmu Medis. Senarai About Sitemap Newsletter Berlangganan artikel via email.

Read more at: http://www.medicinestuffs.com/2013/11/kolesistitis-terapi.html


Copyright MedStuffs
MONITORING OPERATIVE
I. PENGERTIAN

Perawatan pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang dimulai
sejak pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke
meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.

Perawatan intra operatif dimulai sejak pasien ditransfer ke meja bedah dan berakhir bila pasien
di transfer ke wilayah ruang pemulihan.

Perawatan post operasi merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre dan intra operatif yang
dimulai saat klien diterima di ruang pemulihan / pasca anaestesi dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya

II. PRE OPERATIF

Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang meliputi persiapan psikologi baik
pasien maupun keluarga dan persiapan fisiologi (khusus pasien).

A. Persiapan Psikologi
Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi emosinya tidak stabil. Hal ini dapat
disebabkan karena :

1. Takut akan perasaan sakit, narcosa atau hasilnya.


2. Keadaan sosial ekonomi dari keluarga.
Penyuluhan merupakan fungsi penting dari perawat pada fase pra bedah dan dapat mengurangi
cemas pasien. Hal-hal dibawah ini penyuluhan yang dapat diberikan kepada pasien pra bedah.

Penjelasan tentang peristiwa


Informasi yang dapat membantu pasien dan keluarganya sebelum operasi :

- Pemeriksaan-pemeriksaan sebelum operasi (alasan persiapan).


- Hal-hal yang rutin sebelum operasi.
- Alat-alat khusus yang diperlukan
- Pengiriman ke ruang bedah.
- Ruang pemulihan.
- Kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah operasi :
Perlu peningkatan mobilitas sedini mungkin.
Perlu kebebasan saluran nafas.
Antisipasi pengobatan.
Bernafas dalam dan latihan batuk
Latihan kaki
Mobilitas
Membantu kenyamanan

B. Persiapan Fisiologi

1. Diet 8 jam menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam sebelum operasi pasien
tidak diperbolehkan minum, (puasa) pada operasi dengan anaesthesi umum.

Pada pasien dengan anaesthesi lokal atau spinal anaesthesi makanan ringan diperbolehkan.
Bahaya yang sering terjadi akibat makan/minum sebelum pembedahan antara lain :

- Aspirasi pada saat pembedahan


- Mengotori meja operasi.
- Mengganggu jalannya operasi.

2. Persiapan Perut.
Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi dilakukan pada bedah saluran pencernaan atau
pelvis daerah periferal. Untuk pembedahan pada saluran pencernaan dilakukan 2 kali yaitu pada
waktu sore dan pagi hari menjelang operasi.

Maksud dari pemberian lavement antara lain :

- Mencegah cidera kolon


- Memungkinkan visualisasi yang lebih baik pada daerah yang akan dioperasi.
- Mencegah konstipasi.
- Mencegah infeksi.

3. Persiapan Kulit
Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut. Pencukuran dilakukan pada waktu malam
menjelang operasi. Rambut pubis dicukur bila perlu saja, lemak dan kotoran harus terbebas dari
daerah kulit yang akan dioperasi. Luas daerah yang dicukur sekurang-kurangnya 10-20 cm2.

4. Hasil Pemeriksaan
Meliputi hasil laboratorium, foto roentgen, ECG, USG dan lain-lain.

5. Persetujuan Operasi / Informed Consent


Izin tertulis dari pasien / keluarga harus tersedia. Persetujuan bisa didapat dari keluarga dekat
yaitu suami / istri, anak tertua, orang tua dan kelurga terdekat.

Pada kasus gawat darurat ahli bedah mempunyai wewenang untuk melaksanakan operasi tanpa
surat izin tertulis dari pasien atau keluarga, setelah dilakukan berbagai usaha untuk mendapat
kontak dengan anggota keluarga pada sisa waktu yang masih mungkin.

C. Persiapan Akhir Sebelum Operasi Di Kamar Operasi (Serah terima dengan perawat
OK)
1. Mencegah Cidera
Untuk melindungi pasien dari kesalahan identifikasi atau cidera perlu dilakukan hal tersebut di
bawah ini :

Cek daerah kulit / persiapan kulit dan persiapan perut (lavement).


Cek gelang identitas / identifikasi pasien.
Lepas tusuk konde dan wig dan tutup kepala / peci.
Lepas perhiasan
Bersihkan cat kuku.
Kontak lensa harus dilepas dan diamankan.
Protesa (gigi palsu, mata palsu) harus dilepas.
Alat pendengaran boleh terpasang bila pasien kurang / ada gangguan pendengaran.
Kaus kaki anti emboli perlu dipasang pada pasien yang beresiko terhadap tromboplebitis.
Kandung kencing harus sudah kosong.
Status pasien beserta hasil-hasil pemeriksaan harus dicek meliputi ;
- Catatan tentang persiapan kulit.
- Tanda-tanda vital (suhu, nadi, respirasi, TN).
- Pemberian premedikasi.
- Pengobatan rutin.
- Data antropometri (BB, TB)
- Informed Consent
- Pemeriksan laboratorium.

2. Pemberian Obat premedikasi


Obat-obat pra anaesthesi diberikan untuk mengurangi kecemasan, memperlancar induksi dan
untuk pengelolaan anaesthesi. Sedative biasanya diberikan pada malam menjelang operasi agar
pasien tidur banyak dan mencegah terjadinya cemas.

Pengkajian Keperawatan Pra Bedah


A. Data Subyektif
i. Pengetahuan dan Pengalaman Terdahulu.
Pengertian tentang bedah yang duanjurkan
1. Tempat
2. Bentuk operasi yang harus dilakukan.
3. Informasi dari ahli bedah lamanya dirawat dirumah sakit, keterbatasan setelah di bedah.
4. Kegiatan rutin sebelum operasi.
5. Kegiatan rutin sesudah operasi.
6. Pemeriksaan-pemeriksaan sebelum operasi.
Pengalaman bedah terdahulu
1. Bentuk, sifat, roentgen
2. Jangka waktu

Kesiapan Psikologis Menghadapi Bedah


Penghayatan-penghayatan dan ketakutan-ketakutan menghadapi bedah yang dianjurkan.
Metode-metode penyesuaian yang lazim.
Agama dan artinya bagi pasien.
Kepercayaan dan praktek budaya terhadap bedah.
Keluarga dan sahabat dekat
- Dapat dijangkau (jarak)
- Persepsi keluarga dan sahabat sebagai sumber yang memberi bantuan.
Perubahan pola tidur
Peningkatan seringnya berkemih.

Status Fisiologi
Obat-obat yang dapat mempengaruhi anaesthesi atau yang mendorong komplikasi-komplikasi
pascabedah.
Berbagai alergi medikasi, sabun, plester.
Penginderaan : kesukaran visi dan pendengaran.
Nutrisi : intake gizi yang sempurna (makanan, cairan) mual, anoreksia.
Motor : kesukaran ambulatori, gerakan tangan dan kaki, arthritis, bedah orthopedi yang terdahulu
(penggantian sendi, fusi spinal).
Alat prothesa : gigi, mata palsu, dan ekstremitas.
Kesantaian : bisa tidur, terdapat nyeri atau tidak nyaman, harapan mengenai terbebas dari nyeri
setelah operasi.

B. Data Obyektif

Pola berbicara : mengulang-ulang tema, perubahan topik tentang perasaan (cemas), kemampuan
berbahasa Inggris.
Tingkat interaksi dengan orang lain.
Perilaku : gerakan tangan yang hebat, gelisah, mundur dari aktifitas yang sibuk (cemas).
Tinggi dan berat badan.
Gejala vital.
Penginderaan : kemampuan penglihatan dan pendengaran.
Kulit : turgor, terdapat lesi, merah atau bintik-bintik.
Mulut : gigi palsu, kondisi gigi dan selaput lendir.
Thorak : bunyi nafas (terdapat, sisanya) pemekaran dada, kemampuan bernafas dengan
diafragma, bunyi jantung (garis dasar untuk perbandingan pada pasca bedah).
Ekstremitas : kekuatan otot (terutama) kaki, karakteristik nadi perifer sebelum bedah vaskuler
atau tubuh.
Kemampuan motor : adalah keterbatasan berjalan, duduk, atau bergerak di tempat duduk,
koordinasi waktu berjalan.

Masalah Keperawatan Yang Lazim Muncul


1. Takut
2. Cemas
3. Resiko infeksi
4. Resiko injury
5. Kurang pengetahuan

INTRA OPERATIF

Anggota Tim Asuhan Keperawatan Intra Operatif


Anggota tim asuhan pasien intra operatif biasanya di bagi dalam dua bagian. Berdasarkan
kategori kecil terdiri dari anggota steril dan tidak steril :

A. Anggota steril
1. Ahli bedah utama / operator
2. Asisten ahli bedah.
3. Scrub Nurse / Perawat Instrumen

B. Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari :


1. Ahli atau pelaksana anaesthesi.
2. Perawat sirkulasi
3. Anggota lain (teknisi yang mengoperasikan alat-alat pemantau yang rumit).

Prinsip Tindakan Keperawatan Selama Pelaksanaan Operasi.


A. Persiapan Psikologis Pasien
B. Pengaturan Posisi
Posisi diberikan perawat akan mempengaruhi rasa nyaman pasien dan keadaan psikologis pasien.

Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam pengaturan posisi pasien adalah :
1. Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.
2. Umur dan ukuran tubuh pasien.
3. Tipe anaesthesia yang digunakan.
4. Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada pergerakan (arthritis).

Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien :


1. Atur posisi pasien dalam posisi yang nyaman.
2. Sedapat mungkin jaga privasi pasien, buka area yang akan dibedah dan kakinya ditutup
dengan duk.
3. Amankan pasien diatas meja operasi dengan lilitan sabuk yang baik yang biasanya dililitkan
diatas lutut. Saraf, otot dan tulang dilindungi untuk menjaga kerusakan saraf dan jaringan.
4. Jaga pernafasan dan sirkulasi vaskuler pasien tetap adekuat, untuk meyakinkan terjadinya
pertukaran udara.
5. Hindari tekanan pada dada atau bagain tubuh tertentu, karena tekanan dapat menyebabkan
perlambatan sirkulasi darah yang merupakan faktor predisposisi terjadinya thrombus.
6. Jangan ijinkan ekstremitas pasien terayun diluar meja operasi karena hal ini dapat
melemahkan sirkulasi dan menyebabkan terjadinya kerusakan otot.
7. Hindari penggunaan ikatan yang berlebihan pada otot pasien.
8. Yakinkan bahwa sirkulasi pasien tidak berhenti ditangan atau di lengan.
9. Untuk posisi litotomi, naikkan dan turunkan kedua ekstremitas bawah secara bersamaan untuk
menjaga agar lutut tidak mengalami dislokasi.

Membersihkan dan Menyiapkan Kulit.


Penutupan Daerah Steril
Mempertahankan Surgical Asepsis
Menjaga Suhu Tubuh Pasien dari Kehilangan Panas Tubuh
Monitor dari Malignant Hyperthermia
Penutupan luka pembedahan
Perawatan Drainase
Pengangkatan Pasien Ke Ruang Pemulihan, ICU atau PACU.

Pengkajian
Sebelum dilakukan operasi
a. Pengkajian psikososial
- Perasaan takut / cemas
- Keadaan emosi pasien
b. Pengkajian Fisisk
- Tanda vital : TN, N, R, Suhu.
- Sistem integumentum
Pucat
Sianosis
Adakah penyakit kulit di area badan.
- Sistem Kardiovaskuler
Apakah ada gangguan pada sisitem cardio ?
Validasi apakah pasien menderita penyakit jantung ?
Kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi.
Kebiasaan merokok, minum alcohol
Oedema
Irama dan frekuensi jantung.
Pucat
- Sistem pernafasan
Apakah pasien bernafas teratur ?
Batuk secara tiba-tiba di kamar operasi.
- Sistem gastrointestinal
Apakah pasien diare ?
- Sistem reproduksi
Apakah pasien wanita mengalami menstruasi ?
- Sistem saraf
Kesadaran ?
- Validasi persiapan fisik pasien
Apakah pasien puasa ?
Lavement ?
Kapter ?
Perhiasan ?
Make up ?
Scheren / cukur bulu pubis ?
Pakaian pasien / perlengkapan operasi ?
Validasi apakah pasien alaergi terhadap obat ?

Selama dilaksanakannya operasi


Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien yang diberi anaesthesi total
adalah yang bersifat fisik saja, sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesi lokal ditambah
dengan pengkajian psikososial.

Secara garis besar hal-hal yang perlu dikaji adalah :

a. Pengkajian mental
Bila pasien diberi anaesthesi lokal dan pasien masih sadar / terjaga maka sebaiknya perawat
menjelaskan prosedur yang sedang dilakukan terhadapnya dan memberi dukungan agar pasien
tidak cemas/takut menghadapi prosedur tersebut.

b. Pengkajian fisik
- Tanda-tanda vital
(Bila terjadi ketidaknormalan tanda-tanda vital dari pasien maka perawat harus memberitahukan
ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah).

- Transfusi
(Monitor flabot transfusi sudah habis apa belum. Bila hampir habis segera diganti dan juga
dilakukan observasi jalannya aliran transfusi).

- Infus
(Monitor flabot infuse sudah habis apa belum. Bila hampir habis harus segera diganti dan juga
dilakukan observasi jalannya aliran infuse).

- Pengeluaran urin
Normalnya pasien akan mengeluarkan urin sebanyak 1 cc/kg BB/jam.

MASALAH KEPERAWATAN YANG LAZIM MUNCUL


Diagnosa keperawatan yang mungkin sering muncul pada pasien selama pelaksanaan operasi
adalah sebagai berikut :
1. Cemas
2. Resiko perlukaan/injury
3. Resiko penurunan volume cairan tubuh
4. Resiko infeksi
5. Kerusakan integritas kulit

iv. Fase Pasca Anaesthesi


Periode segera sesudah anaesthesi adalah gawat. Pasien harus diamati dengan jeli dan harus
mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anaesthesi
mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil.

Banyaknya asuhan keperawatan yang dilaksanakan segera setelah periode pasca anaesthesi
tergantung kepada prosedur bedah yang dilakukan. Hal-hal yang harus diperhatikan meliputi :

Mempertahankan ventilasi pulmonari


1. Berikan posisi miring atau setengah telungkup dengan kepala tengadah kebelakang dan rahang
didorong ke depan pada pasien sampai reflek-reflek pelindung pulih.

2. Saluran nafas buatan.


Saluran nafas pada orofaring biasanya terpasang terus setelah pemberian anaesthesi umum untuk
mempertahankan saluran tetap terbuka dan lidah kedepan sampai reflek faring pulih. Bila pasien
tidak bisa batuk dan mengeluarkan dahak dan lendir harus dibantu dengan suction.

3. Terapi oksigen
O2 sering diberikan pada pasca operasi, karena obat anaesthesi dapat menyebabkan
lyphokhemia. Selain pemberian O2 harus diberikan latihan nafas dalam setelah pasien sadar.

Mempertahankan sirkulasi.
Hipotensi dan aritmia adalah merupakan komplikasi kardiovaskuler yang paling sering terjadi
pada pasien post anaesthesi.

Pemantauan tanda vital dilakukan tiap 15 menit sekali selama pasien berada di ruang pemulihan.

Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit


Pemberian infus merupakan usaha pertama untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit.

Monitor cairan per infus sangat penting untuk mengetahui kecukupan pengganti dan pencegah
kelebihan cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga harus dimonitor.

Mempertahankan keamanan dan kenyamanan


Pasien post operasi atau post anaesthesi sebaiknya pada tempat tidurnya dipasang pengaman
sampai pasien sadar betul. Posisi pasien sering diubah untuk mencegah kerusakan saraf akibat
tekanan kepada saraf otot dan persendian.
Obat analgesik dapat diberikan pada pasien yang kesakitan dan gelisah sesuai dengan program
dokter.

Pada pasien yang mulai sadar, memerlukan orientasi dan merupakan tunjangan agar tidak merasa
sendirian. Pasien harus diberi penjelasan bahwa operasi sudah selesai dan diberitahu apa yang
sedang dilakukan.

v. Perawatan Pasien Di Ruang Pemulihan/Recovery Room


Uraian diatas telah membahas tentang hal yang diperhatikan pada pasien post anaesthesi. Untuk
lebih jelasnya maka dibawah ini adalah petunjuk perawatan / observasi diruang pemulihan :

1. Posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan pada pasien dengan pembiusan
umum, sedang pada pasein dengan anaesthesi regional posisi semi fowler.
2. Pasang pengaman pada tempat tidur.
3. Monitor tanda vital : TN, Nadi, respirasi / 15 menit.
4. Penghisapan lendir daerah mulut dan trakhea.
5. Beri O2 2,3 liter sesuai program.
6. Observasi adanya muntah.
7. Catat intake dan out put cairan.
Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan terjadinya situasi krisis

- Tekanan sistolik < 90 100 mmHg atau > 150 160 mmH, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90
mmHg.
- HR kurang dari 60 x menit > 10 x/menit
- Suhu > 38,3 o C atau kurang dari 35 o C.
- Meningkatnya kegelisahan pasien
- Tidak BAK + 8 jam post operasi.
Pengeluaran dari ruang pemulihan / Recovery Room

Kriteria umum yang digunakan dalam mengevaluasi pasien :

1. Pasien harus pulih dari efek anaesthesi.


2. Tanda-tanda vital harus stabil.
3. Tidak ada drainage yang berlebihan dari tubuh.
4. Efek fisiologis dari obat bius harus stabil.
5. Pasien harus sudah sadar kembali dan tingkat kesadaran pasien telah sempurna.
6. Urine yang keluar harus adekuat ( 1cc/ Kg/jam). Jumlahnya harus dicatat dan dilaporkan.
7. Semua pesan harus ditulis dan dibawa ke bangsal masing-masing.
8. Jika keadaan pasien membaik, pernyataan persetujuan harus dibuat untuk kehadiran pasien
tersebut oleh seorang perawat khusus yang bertugas pada unit dimana pasien akan dipindahkan.
9. Staf dari unit dimana pasien harus dipindahkan, perlu diingatkan untuk menyiapkan dan
menerima pasien tersebut.

Pengangkutan Pasien keruangan


Hal-hal yang harus diperhatikan selama membawa pasien ke ruangan antara lain :

- Keadaan penderita serta order dokter.


- Usahakan pasien jangan sampai kedinginan.
- Kepala pasien sedapat mungkin harus dimiringkan untuk menjaga bila muntah sewaktu-waktu,
dan muka pasien harus terlihat sehingga bila ada perubahan sewaktu-waktu terlihat.

vi. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi


A. Pengkajin awal

Status Respirasi
Melipuiti :

- Kebersihan jalan nafas


- Kedalaman pernafasaan.
- Kecepatan dan sifat pernafasan.
- Bunyi nafas

Status sirkulatori

Meliputi :

- Nadi
- Tekanan darah
- Suhu
- Warna kulit
Status neurologis
Meliputi : tingkat kesadaran

Balutan
Meliputi :

- Keadaan drain
- Terdapat pipa yang harus disambung dengan sistem drainage.
Kenyamanan
Meliputi :

- Terdapat nyeri
- Mual
- Muntah
Keselamatan
Meliputi :

- Diperlukan penghalang samping tempat tidur.


- Kabel panggil yang mudah dijangkau.
- Alat pemantau dipasang dan dapat berfungsi.
Perawatan
Meliputi :

- Cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran cairan.


- Sistem drainage : bentuk kelancaran pipa, hubungan dengan alat penampung, sifat dan jumlah
drainage.
Nyeri
Meliputi :

- Waktu
- Tempat.
- Frekuensi
- Kualitas
- Faktor yang memperberat / memperingan

A. Data Subyektif
Pasien hendakanya ditanya mengenai gejala-gejala ketidaknyamanan setelah ditempatkan
ditempat tidur dengan posisi tubuh yang menunjang. Pertanyaan-pertanyaan yang langsung
misalnya :Bagaimana perasaan anda?, dapat memperlihatkan data mula dan nyeri tanpa
memfokuskan pada daerah yang spesifik, dimana tidak ada keluhan. Penginderaan rasa nyeri
sering kali meningkat pada waktu ini akibat pemindahan dari brankard ke tempat tidur. Sangat
penting untuk mengetahui lokasi, bentuk serangan dan perubahan intensitas rasa nyeri, dan
bukan menyangka bahwa nyeri berasal dari torehan.
Mual jarang timbul setelah pasca anaesthesi baru. Sangat besar kemungkinan terjadi mual bila
perut mengalami manipulasi yang ekstensif pada waktu prosedur bedah atau telah mendapat
narkotika yang cukup banyak.

B. Data Objektif
Sistem Respiratori
Status sirkulatori
Tingkat Kesadaran
Balutan
Posisi tubuh
Status Urinari / eksresi.

C. Pengkajian Psikososial
Yang perlu diperhatikan : umur, prosedur pembedahan, efek samping dari prosedur pembedahan
dan pengobatan, body image dan pola/gaya hidup. Juga tanda fisik yang menandakan kecemasan
termasuk denyut nadi, tekanan darah, dan kecepatan respirasi serta ekspresi wajah.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berdasarkan pada prosedur pembedahan, riwayat medis, dan
manifestasi klinik post operasi.

Pemeriksaan laboratorium lab post operasi secara umum anatara lain :

Analisa serum dan elektrolit, glukosa dan pemeriksaaan darah lengkap.


Pemeriksaann urine sekitar setiap 4 jam untuk klien dengan resiko dehidrasi dan insufisisensi
ginjal.

Masalah Keperawatan Yang Lazim Muncul


A. Diagnosa Umum
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan efek samping dari anaesthesi.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka post operasi.
c. Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan.
d. Resiko injury berhubungan dengan kelemahan fisik, efek anaesthesi, obat-obatan (penenang,
analgesik) dan imobil terlalu lama.

B. Diagnosa Tambahan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
b. Resiko retensi urine berhubungan dengan anaesthesi, bedah pelvis, dan kurang gerak.
c. Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah memahami informasi.
d. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang prosedur pembedahan.
e. Nausea berhubungan dengan efek anaesthesi, narkotika, ketidaseimbangan elektrolit.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
g. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksoia, lemah,
nyeri, mual.
h. Konstipasi berhubungan dengan efek anaesthesi.

Menurut urgensi dilakukan tindakan pembedahan, maka tindakan pembedahan dapat


diklasifikasikan menjadi 5 tingkatan, yaitu :

1)Kedaruratan/Emergency
Pasien membutuhkan perhatian segera, gangguan mungkin mengancam jiwa. Indikasi dilakukan
pembedahan tanpa di tunda. Contoh : perdarahan hebat, obstruksi kandung kemih atau usus,
fraktur tulang tengkorak, luka tembak atau tusuk, luka bakar sanagat luas.
2)Urgen
Pasien membutuhkan perhatian segera. Pembedahan dapat dilakukan dalam 24-30 jam. Contoh :
infeksi kandung kemih akut, batu ginjal atau batu pada uretra.
3)Diperlukan
Pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan dapat direncanakan dalam bebeapa minggu
atau bulan. Contoh : Hiperplasia prostat tanpa obstruksi kandung kemih. Gangguan tyroid,
katarak.
4)Elektif
Pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi pembedahan, bila tidak dilakukan pembedahan
maka idak terlalu membahayakan. Contoh : perbaikan Scar, hernia sederhana, perbaikan vaginal.
5)Pilihan
Keputusan tentang dilakukan pembedahan diserahkan sepenuhnya pada pasien. Indikasi
pembedahan merupakan pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan estetika. Contoh : bedah
kosmetik.
Sedangkan menurut faktor resikonya, tindakan pembedahan di bagi menjadi :

1)Minor
Menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko kerusakan yang minim. Contoh : incisi
dan drainage kandung kemih, sirkumsisi
2)Mayor
Menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian sangat serius. Contoh : Total abdominal
histerektomi, reseksi colon, dll.

DAFTAR PUSTAKA
http://zahra-youtube.blogspot.com/2010/11/askep-perioperatif.html

Effendy, Christantie, 2002, Handout Kuliah Keperawatan Medikal Bedah : Preoperatif Nursing,
Tidak dipublikasikan, Yogyakarta.

Effendy, Christantie dan Ag. Sri Oktri Hastuti, 2005, Kiat Sukses menghadapi Operasi, Sahabat
Setia, Yogyakarta.

Shodiq, Abror, 2004, Operating Room, Instalasi Bedah Sentral RS dr. Sardjito Yogyakarta,
Tidak dipublikasikan, Yogyakarta.

Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong, 1998, Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi, EGC, Jakarta

Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah:
Brunner Suddarth, Vol. 1, EGC, Jakarta

Wibowo, Soetamto, dkk, 2001, Pedoman Teknik Operasi OPTEK, Airlangga University Press,
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai