Anda di halaman 1dari 10

ANALISA KRITIS GOOD GOVERNANCE DAN

PARADIGMA BARU ARAH PEMBANGUNAN DI ERA GLOBALISASI

Good Governance tidak lebih sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good Governance
hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin
membesar, pernyataan Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika
tahun 1998

Pendahuluan

Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, tapi gugatannya tersebut merupakan
bentuk pernyataan yang mengarah pada pengaruh struktur global terhadap reformasi
pemerintahan. Good Governance (GG) sendiri dalam kemunculannya ditangkap oleh dunia
internasional sebagai ramuan mujarab pembangunan internasional dan telah dipercaya lembaga-
lembaga donor sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir.

Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword) yang bisa melewati batas-batas
perbicangan dimensional dan sektoral. Batas dimensional adalah ketika kita berhadapan dengan
perbicangan ekonomi, politik, sosial, bahkan lingkungan hidup. Sedangkan batas sektoral adalah
mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kemiskinan, transportasi, bisnis perusahaan,
kelautan, maupun pengendalian polusi. Good Governance telah menjelma seperti hantu yang
bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi.

Dalam kajian administrasi publik good governance sedikit banyak juga telah melakukan
revisi total atas term Administrasi Publik yang selama ini telah terlanjur institusionalistik.
Governance sudah bukan lagi secara eksklusif menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub
organisasinya (public sectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai
elemen (dipersempit dalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan bisnis) utamanya
dalam mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik atau public patrimony.

Produk yang paling fenomenal dari good governance adalah ketika dirinya berhasil
menemukan missing link antara kerja refomasi pemerintahan dengan penanggulangan
kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan Good Governance maka distribusi anggaran
pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar (Renzio, 1997).
Namun, seiring berjalannya waktu, tersebar kabar juga, bahwa agenda good governance telah
gagal berbuat sesuai dengan tujuan yang dinyatakan. Sebagian karena karakteristknya sulit
didefinisikan dan dilaksanakan. Kejadian krisis pangan di sebagian belahan dunia salah satunya
kawasan Afrika, kenaikan harga pangan berkisar dua kali lipat di Afrika (Times/04/08). Serta
fenomena yang terjadi di Chile, sebagai negara barometer ekonomi Amerika Latin mengalami

1
penurunan daya beli rata-rata 20% hingga akhir tahun lalu (Economist/10/2007). Bahkan di
Indonesia, kita telah sama mearasakan kenaikan harga sejak awal tahun ini. Peristiwa-peristiwa
ini merupakan bukti tentang rapuhnya (fragile) dunia kita.

Peristiwa-peristiwa dunia inilah kemudian menjadi momen yang tepat untuk


mengevaluasi kerja lembaga donor internasional selama ini. Berbagai spekulasi mengaitkan
peristiwa ini merupakan bagian kegagalan Good Governance yang memasukkan arus globalisasi
dalam pigura analisisnya Pertanyaannya kemudian apakah rapuhnya fundamen ekonomi dunia
ini merupakan bukti kegagalan proyek milyaran dollar yang disebut Good Governance? Dan
apakah ini kemudian menunjukkan pertanda harus diakhirinya wacana Good Governance sebagai
arah dari pembangunan?

Pokok bahasan

Untuk menjawab dua permasalahan besar dalam pendahuluan diatas maka penulis akan
melakukan analisa dengan membatasi dalam pokok-pokok bahasan yang diturunkan dalam
pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakan sejarah dari good governance sendiri? Dan bagaimana good governance
dalam memaknai konsep tentang pemerintahan dan pembangunan?

2. Bagaimana konsep dan praktek dari good governance sendiri?

3. Apa saja kritik terhadap good governance? Dan apakah ini kemudian menunjukkan harus
diakhirinya wacana good governance sebagai arah dari pembangunan ?

4. Adakah konsep baru yang menggantikan good governance? Bagimananakah gambaran


konsepnya?

Transformasi Government menjadi Good Governance

Pokok bahasan ini akan menjawab pertanyaan pertama dari lontaran penulis yang akan
diulas dalam paper ini. Kenapa penulis mengambil judul pokok bahasan tersebut-bukan sejarah
good governance- karena penulis berpandangan dalam konteks teoritis pembicaraan tentang good
governance tidak bisa lepas dari proses transformasi government, karena dulu istilah
pemerintahan lebih populer sebagai government, bukan governance. Pandangan ini di dasarkan
ulasan Sutoro Eko dalam makalahnya Mengkaji Ulang Good Governance yang akan banyak
mewarnai pandangan penulis dalam paper ini .

Transformasi government sendiri sepanjang abad ke-20 secara kronologis berlangsung


melalui beberapa tahap. Tahap I adalah era abad ke-20 yang ditandai dengan konsolidasi
pemerintahan demokratis (democratic government) di dunia Barat.

2
Tahap II berlangsung pada pasca Perang Dunia I, yang ditandai dengan semakin
menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil dominan, yang melancarkan regulasi
politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat terhadap ruang-ruang politik dalam
masyarakat. Tahap II ini adalah era dimana peran negara dominan untuk membawa perubahan
sosial dan pembangunan ekonomi.

Tahap III, era tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah
di negara-negara Dunia Ketiga. Era itu adalah perluasan proyek developmentalisme
(modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan
pendalaman kapitalisme. Pada saat yang sama pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya
negara dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Perspektif
barat mengasumsikan bahwa modernisasi akan mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi
yang semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh
berkembang. Perspektif ini kemudian gugur, karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan
Amerika Latin malah diikuti oleh meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh
aliansi antara militer, birokrasi sipil dan masyarakat bisnis internasional.

Tahap IV, memasuki dekade 1980-an, yang ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial
negara yang melanda dunia. Di Amerika ketika Reagan naik menjadi presiden maupun di Inggris
ketika diperintah Margaret Tatcher, menghadapi problem serius tersebut. Di Indonesia juga
menghadapi krisis ekonomi yang dimulai dengan anjloknya harga minyak. Krisis ekonomi pada
dekade 1980-an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah
dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar
masalah krisis. Karena itu pada masa ini berkembang pesat penyesuaian struktural, yang lahir
dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar.
Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama
menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta.

Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade
1980-an) berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap
pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan good governance. Perspektif yang
berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti
IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai
mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.

Kemunculan konsep governance menjadi good governance punya cerita panjang, yang
terkait dengan pengelolaan bantuan oleh World Bank. Setelah kemerdekaan, para pemimpin di
kawasan Asia dan Afrika konon mengundang hadirnya donor dan agen-agen internasional untuk
keperluan asistensi membangun badan-badan pemerintahan dan untuk pelatihan para pejabat
publik. Pada waktu itu, tepatnya tahun 1960-an, bantuan-bantuan internasional tersebut dinamai
pembangunan kelembagaan (institution building) ketimbang governance. Namun memasuki
tahun 1990-an, konsep pembangunan kelembagaan mengalami revitalisasi di bawah kontrol

3
Bank Dunia, sebagai inisiatif pembangunan kapasitas kelembagaan (institutional capacity
building) di bawah rubrik governance untuk pembangunan.

Bank Dunia sebagai lembaga yang untuk pertama kalinya telah memperkenalkan konsep
public sector management programs (program pengelolaan sektor publik) dalam rangka
memperlakukan tata pemerintah yang lebih baik, khususnya dalam bingkai persyaratan bantuan
pembangunan, yang dikenal dengan Structural Adjustment Program (SAP, atau program
penyesuaian struktural) (Dasgupta 1998; World Bank 1983: 46). Good governance dalam
konteks tersebut kemudian maknanya tidak lebih sama dengan a sound of development. Sejak
saat itulah awal mula gelombang penyuntikan dalam upaya memberantas penyakit di dunia
ketiga dilakukan, dengan cara mewajibkan sejumlah persyaratan-persyaratan dari Bank Dunia
(yang kemudian diikuti oleh lembaga dan negara donor lainnya).

Krisis di Afrika telah membawa pesan yang jelas dalam memperkenalkan sebuah konsep
baru untuk melawan apa yang diidentifikasi Bank Dunia sebagai sebuah crisis of governance
atau bad governance (World Bank 1992). Tentu, dalam menyuntikkan ide-ide governance
semacam itu, telah diusung pula diskursus sebagai pemanis agar bisa diterima dan terlegitimasi
oleh kekuasaan diktatorial yang memang banyak berkuasa saat itu, termasuk rezim otoritarian
militer Soeharto di Indonesia. Good governance dalam konteks tersebut adalah imposisi politik
hukum yang dikendalikan negara-negara industrial dan agen internasional (lembaga maupun
negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan yang berselerakan pasar (Stokke 1995;
Gathii 1998). Inilah good governance yang lahir dari rahim agenda besar globalisasi.

Konsep, dan Praktek Good Governance

Konsep good governance menjadi sangat populer digunakan oleh badan-badan donor
internasional, yang sekarang diakui sebagai manifesto politik baru. Analisis Bank Dunia
menekankan pentingnya program governance, yang di dalamnya mencakup kebutuhan akan
kepastian hukum, pers yang bebas, penghormatan pada HAM, dan keterlibatan warga negara
dalam organisasi-organisasi sukarela. Menurut Lancester (1990), program governance itu
memusatkan perhatian pada reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah; privatisasi badan-
badan milik negara; dan perbaikan administrasi bantuan keuangan.

Bank Dunia memberi batasan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien,
sistem peradilan yang dapat diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada
publiknya. Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan
sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi
pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang
bershabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi,
penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi.
Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang
dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan

4
dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan,
sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan pemerintahan. Secara tegas, United Nations
Development Programme (UNDP) memberi karakteristik good governance antara lain:
participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity,
effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Menurut mereka pola
kepemerintahan yang baru ini, menuntut keterlibatan seluruh elemen yang ada dalam
masyarakat, dan segera bisa terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah,
yang berarti harus ada desentralisasi dan otonomi daerah.

Dalam praktek penyelenggaraan good governance untuk menciptakan demokrasi dan


pembaruan hukum tidak lepas dari support penuh Bank Dunia. Melalui laporan tahunannya Bank
Dunia jelas sekali proposisinya dalam membangun wacana kebutuhan good governance sebagai
prasyarat liberalisasi pasar. Oleh sebab itu, proyek-proyek good governance Bank Dunia,
senantiasa ditujukan pada pendisiplinan ketatapemerintahan yang berorientasikan pada kesetiaan
pada liberalisasi pasar. Pertanyannya mengapa good governance tiba-tiba muncul, lazim dan
bertahan lama sebagai model ketatapemerintahan di Indonesia yang banyak dituturkan, diikuti
dan diajarkan? Mengapa secara cepat pemerintahan yang baik menjadi akrab dengan dunia
birokrasi, dunia usaha, dunia kampus dan pusat-pusat studi (yang juga tumbuh subur bak jamur
di musim hujan), dunia aktivisme organisasi non-pemerintah (utamanya yang bergerak di isu
kebijakan publik dan antikorupsi), dan yang paling aneh tapi nyata, hampir semua lembaga-
lembaga dana internasional dan negara-negara donor serempak menggerojok (baik utang maupun
hibah) milyaran US dollars untuk proyek good governance?.

Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek good governance yang cukup


sukses adalah terkait dengan kesuksesan model negara pembangunan (developmental state
model) diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia Tenggara (Tshuma
1999; White 1987; Wade 1990). Pendapat lainnya mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah
melesat setelah runtuhnya komunisme dan membangun suatu suasana kondusif bagi kelahiran
governance sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme sebagai ideologi
dominan mencoba untuk mengkonstruksi politically lock-in neo-liberal reforms (Gill,1997).
Kedua pendapat di atas relevan dengan kemunculan good governance di Indonesia, karena selain
kebijakan pemerintah yang berorientasikan pembangunan semasa Orde Baru, dukungan Bank
Dunia dan IMF dalam mengguyurkan utang yang disertai persyaratan-persyaratan khusus
melengkapi posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar. Tetapi bila dilihat
secara lebih dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa good governance
bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan untuk menghasilkan mesin
yang halus dan efektif bagi upaya liberalisasi pasar.

Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga
pintu: (i) CGI (Consultative Group on Indonesia); (ii) Kemitraan untuk Pembaruan Tata
Pemerintahan (Partnership for Governance Reform); dan (iii) Justice for the Poor. Dalam forum
tahunan CGI, Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan (mendikte)

5
kebijakan ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan perundang-undangan). Ini bisa
terjadi karena pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga prasyarat utang tersebut
harus dipenuhi sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula bekerja secara dekat dengan
UNDP dan ADB sebagai sponsor dana utama untuk Partnership for Governance Reform (World
Bank 2003a). Melalui forum kelompok multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah
terlibat aktif dalam membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for
development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga
pemerintahan baru (World Bank 2003b). Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran
hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan oleh tidak
saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah.

Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank
Dunia dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah strategi
pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum. Bagi Bank Dunia, program-program
pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan hal penting dalam mewujudkan kaum
miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan korupsi, Bank Dunia sendiri memilih
menfokuskan lebih banyak pada proyek-proyek yang didanainya sendiri (World Bank 1997a: 29-
34), semacam Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK). Proyek pembaruan ketatapemerintahan
melalui good governance cenderung untuk melayani promosi konsensus pembaruan sosial dan
ekonomi, khususnya dengan mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal
partisipasi. Di titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih
menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut market friendly human rights
paradigm (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar). Muncul dan berperannya
Justice for the Poor di Indonesia adalah tak terpisahkan dengan program global dalam Poverty
Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang disponsori Bank Dunia. PRSPs telah mengaplikasikan
proyek dan mekanisme seragam untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara ketiga. PRSPs
yang demikian harus diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima pinjaman. Berdasarkan
laporan Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok, PRSPs telah mempromosikan
kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar, perdagangan terbuka, investasi, rezim finansial, dan
mendesakkan peran negara agar menghapus perusahaan-perusahaan milik negara.(Wiratraman
2006: 67).

Kritik Good Governance

Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance hampir banyak
negara mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance, padahal konsep itu sendiri
sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka
membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.

Beberapa ahli malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu
bermuatan nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya, menurut Purwo Santoso (2002), adalah

6
democratic governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang
dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta
dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat. Konseptualisasi ini secara substantif
tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good governance, hanya saja ia tidak memasukkan
dimensi pasar dalam governance.

Selain itu juga ada beberapa hal yang dilupakan oleh kaum intelektual yang terobsesi
dengan konsep good governance seakan-akan menjadikannya suatu konsep linguistik murni,
bukan suatu konsep filsafat politik murni. Meski terdapat kata good, dan juga dipertegas
dengan nilai serta prinsip yang demokratis namun kata good tersebut bukan merupakan
kontemplasi dari filosofis para filosof dunia, sedangkan prinsip-prinsip tersebut juga bukan buah
kesepakatan para ahli di dunia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan good
menurut keyakinan mereka. Term good dalam good governance adalah westernized dan
diabsolutkan sedemikian rupa sehingga terkadang mendekati god.

Kritik berikutnya terhadap good governance adalah kegagalannya dalam memasukkan


arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya
berkuatat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu
dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, secara kenyataan bahwa aktor
yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan,
aktor tersebut adalah dunia internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan
masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran
atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya
sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan
lokal (akibat hegemoni terma good oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif
internasional.

Singkatnya, good governance yang saat ini menjadi platform global tentang ke mana arah
pembangunan dunia harus dicapai. Secara konseptual keberhasilan penerapan good governance
di berbagai dunia akan selayaknya juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi
rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah
seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta
merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkrit yang
tidak bisa dipecahkan oleh good governance.

Sound Governance : Paradigma baru pembangunan di era globalisasi

Bila kita memahami kembali kutipan diawal pendahuluan pernyataan Presiden Tanzania
Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB sepuluh tahun lalu, beliau dengan lantang telah
mengkritik habis-habisan good governance yang dikatakannya sebagai konsep imperialis dan
kolonialis. Good governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara

7
kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik
tersebut mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG)
yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah good
governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka
fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui
agenda Sound Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru yang jauh lebih
komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar
kesalah kaprahan dari good governance. Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana
Sound Governance.

Pertama, dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance bahwa aktor kunci yang
berperan adalah terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society), dan good
governance selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat
secara domestik. Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan
empat aktor, yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu inklusifitas
relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu
kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan
perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance
kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis
di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, sebab
kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak
dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. Bahkan Ali Farazmand
(2004) secara tegas menyebut good governance sebagai bagian dari praktik penyesuaian
struktural (structural adjustment programs/SAPs), berikut pernyataannya :

The concept of good governance as espoused and promoted by the United Nations
agencies such as the WB, IMF, UNDP, and UNDESD as well as by most Western governments
and corporations, became one of the most pressing requirements on third world countries in Asia,
Africa, and Latin/Central America as a condition for international assistance. As part of the
structural adjustment programs (SAPs), the United Nations agencies, under the instructions and
pressures of donor institutions of the North (Western governments and corporations), demanded
that developing countries adopt the notion of good governance by implementing a number of
structural and policy reforms in their governments and society as a condition for international
aid. Seminars, workshops, and ferences were held worldwide that stressed the concept and
demanded results for sustainable development (Ali Farazmand , 2004)

Kedua, bermula dari kritik terhadap identitas dari good governance kata good menjadi
sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term good
dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound
Governance mempunyai pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya
penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai dasar
budaya pemerintahan tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran

8
kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat
besar dalam pengelolaan pemerintahan, berikut pernyataannya :

the concept of sound governance has ancient origin in the first worldstate empire of
Persia with a highly efficient and effective administrative system (Cameron, 1968; Cook, 1985;
Farazmand, 1998; Frye, 1975; Ghirshman, 1954; Olmstead, 1948). According to Darius the
Great, Cyrus the Greats successor, no empire can survive much less prosper without a sound
economy and sound governing and administrative system, and the Persian Empire needed to
rebuild its governing and administrative system with a sound economic, managerial, and
organizational policy that not only was efficient in its discharge of the empires current affairs
with-far flung territories, but also effective in its political control and anticipatory responses to
unexpected crises and emergencies (Ali Farazmand , 2004)

Berdasarkan apa yang disampaikan Ali Farazmand bahwa pentingnya sistem


pemerintahan yang berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga
terjadi di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena kontruksi
konsep birokrasi modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik
termasuk lahirnya good governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem
pemerintahan. Sound governance muncul untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan
keragaman kebudayaan lokal dalam mewarnai konsep tata pemerintahan.
Ketiga, dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya proses tata pemerintahan yang
baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang
digariskan dalam good governance yaitu: participation, rule of law, transparancy, responsiveness,
consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision.
Sound Governance mempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada proses menuju
tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-prinsip) dilakukan
untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance masih menekankan
perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal terkait demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Untuk itu titik tekan dari sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan inovasi
yang kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek pemerintahan.
Berikut pernyataan Ali Farazmand akan pentingnya inovasi dalam Sound Governance,
Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to
sound governance as well. Without policy and administrative innovations, governance falls into
decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and becomes a target of criticism and
failure (2004)

Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul
sebagai kritik good governance, yaitu memberikan makna term Sound menggantikan Good
adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound
governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka
kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni terma
good oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Sound Governance

9
menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable,
khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada prinsipnya juga
memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan
harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang
kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.

Kesimpulan

Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan good governance di berbagai


dunia itu harus juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat.
Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah seindah teori.
Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta
menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Salah satu kegagalan Good governance adalah tidak
memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah
kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di
negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan
bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan
dalam hitungan, yaitu aktor tersebut adalah dunia internasional.

Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance,
Setelah good governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat
nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara
miskin melalui agenda Sound Governance. Formula dasar Sound Governance empat aktor dalam
tatalaksana pemerintahan , yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu
inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi
aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global,
organisasi dan perjanjian internasional. Sound Governance menyadarkan kembali bahwa konsep-
konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain
itu Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal
dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) dengan membuka
kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal bagaimana negara dan
pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran
universal tentang kesejahteraan rakyat dan prasyarat-prasyarat dasar universal lainnya terkait
demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas harus tetap ditegakkan.

10

Anda mungkin juga menyukai