Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sesuatu yang tidak biasa terjadi seringkali dikatakan sebagai kelainan.
Demikian juga dalam hal seksual. Adakalanya terjadi deviasi seksual pada
sebagian orang. Deviasi seksual merupakan ganguan arah dan tujuan seksual.
Arah dan tujuan, dalam hal ini bukan lagi merupakan pasangan seks yang lain
(dalam hal hubungan heteroseksual yang dianggap normal). Cara utama untuk
mendapatkan kepuasan seksual ialah dengan objek lain atau dengan cara lain yang
dianggap keluar dari batas normal. Umumnya deviasi seksual ini dikategorikan
sebagai parafilia.
Parafilia merupakan gangguan perilaku psikoseksual, yang menyimpang
dari norma-norma dalam hubungan seksual yang secara sosial tidak dapat
diterima. Penderita senantiasa menggunakan fantasinya untuk mencapai kepuasan
seksual. Fantasi ini cenderung berulang mendadak dan terjadi dengan sendirinya.
Penyebab utama biasanya berhubungan dengan faktor psikologis. Sedangkan
gangguan fungsi karena kelainan atau gangguan organik pada alat kelamin, tidak
dimasukkan dalam parafilia.
Istilah voyeurism, dari kata Prancis berarti melihat, mengacu pada
keinginan untuk memandang tindakan dan ketelanjangan hubungan seks.
Voyeurisme ialah keadaan seseorang yang harus mengamati tindakan sexual atau
ketelanjangan (orang lain) untuk memperoleh rangsangan dan pemuasan seksual.
Voyeurisme adalah preokupasi rekuren dengan khayalan dan tindakan yang
berupa mengamati orang lain yang telanjang atau sedang berdandan atau
melakukan aktivitas seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai skopofilia.
Masturbasi sampai orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa.
Voyeurisme ini merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan dan bukan
merupakan aktivitas seksual dengan orang yang dilihat.
Menurut penelitian yang dilakukanlembaga kesehatan Jerman, Bremen Health awal
Juli 2006 lalu, di negara Jerman, Swiss, Austriadan Perancis sebanyak 43 % dari pelaku
Voyeurisme melakukan pengintipan dari ruang kos atau apartemen.Sementara 17 % melakukan

1
dari jendela hotel, 24 % melakukannya ke rumah tetangga, sedangkan 66 % mengintip siapa saja
yang penting wanita, baik dikenal maupun pacar sendiri,sedang ganti baju, mandi, sedang
bersetubuh, ataupun sedang mengganti pembalut. Arti dari hasil tersebut adalah komposisi ruang
memang bisa berganti, namun bagi yang terbiasa melakukan kegiatan mengintip, setiap
kesempatan kelihatannya akan dimanfaatkan untuk mengekspresikan perbuatan itu. Meski
perbuatannya itu tergolong dalam kategori kelainan seksual. Masih menurut hasil penelitian
Bremen Health, para pecandu mengintip ini jutru paling besar berpendidikan setingkat SMU,
Diploma, S1, dengan status lajang dan banyak melakukan hal ini dikeramaian. Adapun obyek
bagian tubuh wanita yang menjadi sasaran adalah bagian dada wajah dan leher. Sementara bagi
mereka yang berpendidikan S1 atau Pascasarjana, kegiatan mengintip ini dilakukan dengan cara
yang lebih modern. Artinya mereka menggunakan binocular untuk menyalurkan hobinya
tersebut. Asalkan kepuasannya tersalurkan dan tingkat keamanannya terjamin. Pelaku
voyeurisme ternyata tidak sekadar keranjingan mengintip, sebab sebagian pelaku mengaku
bahwa perbuatan mengintip akan disertai dengan masturbasi. Sejumlah pelaku secarasengaja ada
yang berhasil merekam hasil intipan mereka yang tentunya akan dapat diintip (kaliini ditonton)
berkali-kali. Yang perlu dikhawatirkan adalah pelaku voyeurisme yang menyebar-nyebarkan
gambar kepublik. Bisa jadi video atau gambar foto yang diambil para pelaku voyeurisme
menjadi kasus besar yang memalukan korban pengintipan. Apapun alasannya voyeurisme tetap
membahayakan kita

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang dapat ditarik dari latar belakang di atas adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan voyeurism?
2. Apakah diagnosis dari voyeurism?
3. Apakah penyebab voyeurism?
4. Bagaimana voyeurism dilihat dari berbagai sudut pandang?
5. Apakah sex show masuk ke dalam kategori voyeurism?
6. Apakah cyber sex masuk ke dalam kategori voyeurism?
7. Bagaimana cara penanganan voyeurism?
8. Bagaimana cara pencegahan voyeurism?

2
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas tujuan dari penulisan maalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi voyeurism
2. Mengetahui diagnosis dari voyeurism
3. Mengetahui penyebab dari voyeurism
4. Mengetahui voyeurism dari berbagai sudut pandang
5. Mengetahui apakah sex show masuk ke dalam kategori voyeurism
6. Mengetahui apakah cyber sex masuk ke dalam kategori voyeurism
7. Mengetahui cara penanganan voyeurism
8. Mengetahui cara pencegahan voyeurism

1.4 Manfaat
Diharapan dari pembuatan makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber
bacaan dan literature bagi pihak-phak yang membutuhkan.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Voyeurism


Voyeurism (voi-YUR-ih-zum) berasal dari Bahasa Prancis Voyeur yang
berarti melihat/mengintip.
Menurut American Psychiatric Association (2000), voyeurism mengacu
pada kenikmatan sexual dari melihat tubuh yang telanjang atau aktivitas seksual
orang lain, biasanya orang asing, dan tanpa diketahui oleh korban.
Pada beberapa laki-laki voyeurism adalah satu-satunya aktivitas seksual
yang mereka lakukan; pada laki-laki lain, lebih diminati namun tidak mutlak
diperlukan untuk menimbulkan gairah seksual (Kaplan & kreuger, 1997).
Orgasme seorang voyeur dicapai dengan melakukan masturbasi, baik sambil tetap
mengintip atau setelahnya, sambil mengingat apa yang dilihatnya.kadang seorang
voyeur berfantasi melakukan hubungan seksual dengan orang yang diintipnya,
namun hal itu menjadi fantasi, dalam voyeurism jarang terjadi kontak antara orang
yang diintip dan yang mengintip.
Selain itu bisa disebut sebagai gangguan psikoseksual di mana seseorang
merasakan kenikmatan dan kepuasan seksual dari melihat tubuh telanjang dan
organ genital atau mengamati tindakan seksual orang lain. Mengintip ini biasanya
tersembunyi dari pandangan orang lain. Voyeurisme adalah suatu bentuk
paraphilia.

2.2 Diagnosis Voyeurism


Menurut American Psychiatric Association dalam Diagnostic and
Statistical Mannual of Mental Disorder fourth edition (DSM-IV), kriteria diagnosa
untuk voyeurisme ialah seperti berikut :
1. Seseorang dengan kebiasaan melihat orang yang sedang telanjang,
menanggalkan pakaian, atau orang lain yang sedang melakukan aktivitas
seksual, yang dilakukan untuk membangkitkan hasrat seksual, dilakukan
berulang kali, dan terus menerus dalam kurun waktu minimal 6 bulan.

4
2. Pelaku voyeurisme mengalami penderitaan dan frustasi berat sehingga
mengganggu hubungan sosial, pekerjaan, dan aktivitas hariannya yang lain
disebabkan oleh fantasi seksual dan kegiatan pengintipannya.

Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostic pada voyeurisme adalah;


1. Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang
berhubungan seksual atau berprilaku intim seperti sedang menanggalkan
pakaian.
2. Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbasi, yang
dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.

2.3 Penyebab Voyeurism


Penyebab voyeurism antara lain :
1. Ketidak adekuatan relasi dengan lawan jenis dan rasa ingin tahu yang sangat
mendominasi dirinya tentang aktivitas seksual
2. Pernah mengalami trauma psikologis dari perlakuan jenis kelamin lain yang
menambah kadar rasa kurang percaya diri

Tujuan dari voyeurisme adalah untuk mengamati individu yang tidak


menaruh curiga yang telanjang, dalam proses membuka pakaiannya atau terlibat
dalam tindakan seksual. Orang yang sedang diamati biasanya orang asing bagi
pengamat. Tindakan melihat atau mengintip dilakukan untuk tujuan mencapai
gairah seksual. Pengamat umumnya tidak berusaha untuk memiliki kontak seksual
atau aktivitas dengan orang yang sedang diamati.
Voyeur sejati, hampir selalu laki-laki, tidak merasa gairah melihat
perempuan yang sengaja membuka pakaiannya untuk kesenangan si voyeur.
Elemen resiko nampaknya penting karena voyeur merasa bergairah dengan
kemungkinan reaksi si perempuan yang diintipnya dika ia mengetahuinya.
Beberapa voyeur mendapatkan kenikmatan tersendiri dengan secara diam-diam
mengamati pasangan yang sedang melakukan hubungan seksual.
Voyeurism itu pada umumnya berawal dari masa remaja. Ada pemikiran
bahwa voyeur merasa takut untuk melakukan hubungan seksual secara langsung
dengan orang lain, mungkin karena tidak terampil dalam hubungan social.

5
Tindakan mengintip yang mereka lakukan berfungsi sebagai pemuasan pengganti
dan kemungkinan memberikan rasa kekuasaan atas orang yang diintipnya. Voyeur
seringkali mengidap parafilia lain, namun tampaknya tidak menjadi gangguan.

2.4 Voyeurism Dari Berbagai Sudut Pandang


2.4.1 Sudut Pandang Biologis
Sebagian besar orang yang mengidap paraphilia dalam hal ini voyeurism
adalah laki-laki, terdapat spekulasi bahwa androgen, hormon utama pada laki-laki,
berperan dalam gangguan ini. Karena janin manusia pada awalnya terbentuk
sebagai perempuan dan kelakian yang ditimbulkan oleh pengaruh hormonal
terkemudian, mungkin pula dapat terjadi suatu kesalahan dalam perkembangann
janin. Meskipun demikian, temuan mengenai perbedaan hormonal antara orang
normal dan orang yang mengidap paraphilia tidak meyakinkan. Berkaitan dengan
perbedaan otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat memiliki relevansi
dengan sejumlah kecil kasus sadism dan ekshobisionisme (Murphy, 1997). Jika
ternyata factor biologi berperan penting, kemungkinan besar hal ini hanya
merupakan salah satu factor dari rangkaian penyebab yang kompleks yang
menyangkut penglaman sebagai salah satu factor utama jika bukan satu-satunya
factor utama (Meyer, 1995).

2.4.2 Sudut Pandang Psikososial


a. Perspektif Psikodinamik
Paraphilia dipandang oleh para teoritikus sebagai tindakan
defensive, melindungi ego agar tidak mengahadapi rasa takut, memori
yang direfres dan mencerminkan fiksasi di tahap pregenital dalam
perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap parafilia
dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan
heteroseksual yang wajar, bahkan terhadap hubungan heteroseksual
yang tidak melibatkan seks. Perkembangan social dan seksualnya
(umumnya laki-laki) tidak matang, tidak berkembang, dan tidak
memadai untuk dapat menjalani hubungan social dan heterokseksual
orang dewasa umumnya (Lanyon, 1986). Voyuerisme memilih untuk
memata-matai perempuan yang tidak menyadarinya daripada

6
melakukan kontak langsung dengan perempuan, jika perempuan yang
diiintip oleh voyeur menyadari tindakan voyeur, ia bisa saja
menyimpulkan bahwa perepuan tersebut tertarik padanya; karena rasa
tidak amannya sebagai laki-laki dan sebagai kekasih, hal itu sangat
menakutkan baginya sehingga kurang menimbullkan gairah seksual.
Maka mungkin seorang laki-laki terlibat dalam voyeurism bukan
karena resiko tertangkap basah yang membuatnya tergelitik, namun
lebih karena tindakan mengintip tanpa diketahui orang lain, karena hal
itu melindungi voyeur dari kemungkinan terjalinnya hubungan dengan
seorang perempuan dan mungkin merupakan cara berhubungan yang
kurang menakutkan baginya.

b. Perspektif Behavioristik
Interpretasi behavioral yang paling sederhana terhadap
penyimpangan seksual adalah bahwa penyimpangan tersebut adalah
merupakan hasil dari proses responden conditioning terhadap
pengalaman seksual pada masa kecil, secara khusus masturbasi, yang
kemudian menjadi stimulus yang berbeda ketika muncul.

c. Perspektif Cognitive Behavioral


Beberapa teoritiss memiliki paradigma behavioral berpendapat
bahwa parafilia terjadi karena pengondisian klasik yang terjadi secara
tidak sengaja, menghubungkan gairah seksual dengan sekelompok
stimuli yang oleh masyarakat sebagai stumuli yang tepat. Meskipun
jarang disebutkan dalam literature terapi perilaku, teori ini dikemukan
pertama dalam laporan Kinsey yang terkenal mengenai perilaku
seksual laki-laki dan perempuan Amerika (Kinsey, pomeroy, &
martin,1948). Sebagian besar teori behavioral kognitif mengenai
parafilia yang ada saat ini bersifat multidimensional dan berpendapat
bahwa parafilia terjadi bila sejumlah factor terdapat dalam diri
individu.
Riwayat masa kanak-kanak individu yang mengidap parafilia
mengungkapkan bahwa sering kali mereka sendiri mengalami

7
pelecehan fisik dan seksual dan dibesarkan dalam keluarga dimana
hubungan orangtua dan anak mengalami gangguan (Murphy,1997).
Pengalaman masa kecil tersebut dapat bekontribusi besar terhadap
rendahnya tingkat keterampilan social dan harga diri, rasa kesepian,
dan terbatasnya hubungan intim yang sering terjadi pada penderita
parafilia (Kaplan & Krueger,1997). Dengan demikian voyeurism
dengan mengintip dapat berfungsi sebagai pengganti hubungan dan
aktivitas sex yang wajar. Lebih jauh lagi keyakinan luas bahwa
pelecehan seksual di masa kanak-kanak memicu seseorang memiliki
perilaku voyeurism setelah dewasa, perlu dikoreksi bahwa penelitian
yang menunjukan bahwa kurang dari sepertiga penjahat seks berusia
dewasa yang mengalami pelecah seksual sebelum mereka berusia 18
tahun (Maletzky, 1993).
Hubungan orang tuaanak yang menyimpang juga dapat memicu
permusuhan atau sikap negatif pada umumnya dan kurangnya empati
terhadap perempuan, yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk
menyakiti perempuan. Alcohol dan efek negative seringkali memicu
tindakan voyeurism.
Penyimpangan kognitif juga berperan dalam parafilia, contoh
seorang voyeur dapat meyakini bahwa seorang perempuan yang
membiarkan tirai kamarnya terbuka ketika ia sedang berganti pakaian
memang ingin dirinya dilihat oleh orang lain (Kaplan & Krueger,
1997). Berbagai hipotesis yang memfokuskan pada kognisi terkesan
psikoanalisis.

d. Perspektif Interpersonal
Kekurangmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan
pegaulan bebas juga bisa menjadi penyebab paraphilia.

2.4.3 Sudut Pandang Sosiokultural


Penyebab parafilia berdasarkan sosiokultural sangat beragam mulai dari
faktor diskriminasi, lingkungan yang keras, dan pola asuh. Lingkungan keluarga
dan budaya di mana seorang anak dibesarkan ikut memengaruhi

8
kecenderungannya mengembangkan perilaku seks menyimpang. Anak yang
orangtuanya sering menggunakan hukuman fisik dan terjadi kontak seksual yang
agresif, lebih mungkin menjadi agresif dan impulsif secara seksual terhadap orang
lain setelah mereka berkembang dewasa. Suatu sistem keluarga pun memberikan
kontribusi dalam memunculkannya gangguan parafilia.

2.5 Sex Show dan Voyeurism


Sex show atau biasa disebut sebagai live sex adalah pertunjukkan sex atau
menjual jasa adegan hubungan intim secara langsung dan dipertontonkan secara
langsung pula kepada klien atau pelanggannya dengan syarat klien atau
pelanggan tidak boleh menyentuh ataupun ikut serta melakukan hubungan intim.
Mengacu dari pengertian voyeurism kenikmatan sexual dari melihat tubuh
yang telanjang atau aktivitas seksual orang lain, biasanya orang asing, dan tanpa
diketahui oleh korban, sex show tidak termasuk dalam kategori voyeurism.
Karena pertunjukkan sex yang terdapat dalam sex show dilakukan secara
sengaja, dan dengan sepengetahuan si pelaku atau si penjual jasa tersebut.

2.6 Cyber Sex dan Voyeurism


Cyber sex merupakan kegiatan yang dilakukan dengan membuat,
memasang, mendistribusikan dan menyebarkan material yang berbau pornografi,
cabul dan mengekspos hal-hal yang tidak pantas.Cyber sex itu sendiri erat
kaitannya dengan pornografi, kata pornografi berasal dari Bahasa Yunani, pornoe
dan graphos. Pornoe berarti wanita jalang dan graphos berarti gambar atau
tulisan. Jadi pornografi bisa diartikan menjadi gambar atau tulisan tentang
wanita jalang. Terdengar sederhana tetapi kenyataannya tidaklah sesederhana itu.
Karena sekarang ini pornografi terdapat dalam dunia maya. Jaringan komunikasi
global interaktif melalui fasilitas internet relaychat (chatting) dapat digunakan
untuk menyebarluaskan informasi tentang cerita ataupun gambar pornografi (baik
untuk sisi gelap maupun sisi terang dari pornografi) atau disebut juga cyber sex.
Ada dua bentuk dari cyber sex dalam ruangan chatting, yaitu computer
mediatedinteractive masturbation in rel time dan computer mediated telling of

9
interactive sexual stories (in real time) with the intent of arousal (Robin Hamman,
1996).
Cyber sex merupakan salah satu kejahatan dari cyber crime. Yang
dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Situs ini dapat diakses
dengan bebas, meskipun mereka yang mengakses ini masih belum cukup umur.
Dan dicafe internet atau pun dipenyediaanlayanan internet lainnya tidak ada
aturan batasan umur, pembatasan akses, dan aturan lain yang membatasi akses
yang negative. Menjadikan benda sebagai substitusi tubuh yang dapat
menimbulkan rangsangan seksual. Game seksual ini telah mensubtitusi tubuh
wanita bagi para pria untuk mendapatkan kepuasan seksual.Jika kita kembali
melihat teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud yang mengatakan
bahwa kepuasan seksual dari sebuah objek seksual tidak dapat dipisahkan dari
image yang dikembangkan oleh seseorang ketika berhadapan dengan realitas
anatomi sebatang tubuh (misalnya tubuh perempuan), dan image tersebut
kemudian dijadikan sebagai sebuah penanda (signifier), yang menghasilkan
makna atau petanda (signi fied) tertentu. Disinilah tubuh wanita yang dihasilkan
dari Binary code, telah menjadi sebuah fantasi, halusinasi dan imajinasi dan
sebuah visual pleasure yang biasa bagi para pria.
Visual sex reality adalah semacam tiruan dunia nyata kedalam dunia
computer tiga dimensi. Biasanya seseorang akan memakai kacamata seperti
kacamata penyelam dan kemudian dia akan memasuki dunia maya yang image-
nya adalah hasil dari rekayasa computer. Jadi seolah-olah orang itu memasuki
sebuah dunia baru. Virtual rality banyak digunakan untuk para pilot baru yang
belum diperbolehkan menerbangkan pesawat, jadi mereka belajar dulu dengan
simulasinya, atau para calon dokter yang ingin belajar cara membedah pasien.
Virtual sex reality dapat memungkinkan seseorang untuk bercinta dengan bentuk
wanita yang tampil utuh dalam tiga dimensi, pengguna virtual sex ini dapat
memprogram sendiri mulai dari bentuk, wajah, gesture, jenis ras pasangan sex
yang diinginkan. Virtual seks ini benar-benar dapat memuaskan imajinasi dan
fantasi para penggunanya.
Dalam akhir-akhir ini berbagai riset mengenai ini tengah dikembangkan,
khususnya riset dalam menyimulasi berbagai fungsi otak, fungsi syaraf yang

10
berkaitan dengansentuhan, rabaan, penciuman, memang sedang dilakukan. Jadi
mungkin tidak mungkin dimasa mendatang ketika teknologi virtual sex reality
mesin terus berkembang maka kenikmatan seksual yang sesungguhnya yang
didapatkan dengan manusia asli akan dikalahkan dengan mesin ini. Inilah matinya
dunia nyata. Pada akhirnya realitas mungkin akan lenyap diatas muka bumi,
manusia mungkin akan lebih senang bercinta dengan mesin computer ketimbang
bercinta didunia nyata. Karena mesin computer dapat lebih menghadirkan sebuah
imajinasi dan fantasi yang lebih hebat dan tidak ditemukan didunia nyata.
Manusia akan lebih senang dengan virtual lips, virtual clitoris, virtual penis, cyber
dildo, virtual sex machine dan juga virtual orgasm.
Kata-kata yang ditiap keybord untuk menggambarkan interaksi seksual
dengan pasangan chatting diinternet hingga membuat kedua belah pihak
terstimulasi secara seksual adalah definisi asas sexchat, sebagai salah satu aktiviti
cyber sex. Jadi sebenarnya sexchat adalah kegiatan penunjang daya khayal untuk
merangsang diri sendiri, sama seperti masturbasi. Secara ilmiah, sexchat tidak
menanggung resiko penukaran penyakit kalamin.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulan bahwa cyber sex dapat
dimasukkan dalam kategori voyeurism, karena dilakukan secara diam-diam atau
sembunyi-sembunyi, menjadikan benda sebagai substitusi tubuh yang dapat
menimbulkan rangsangan seksual bagi para pria untuk mendapatkan kepuasan
seksual.

2.7 Penanganan Voyeurism


Penanganan yang lebih manusiawi adalah dengan terapi kognitif dan
tingkah laku untuk memberikan kesadaran pada penderita agar menghilangkan
kebiasaannya. Tetapi dari data yang tercatat, rata-rata penurunan frekuensi dan
intensitas perilaku hanya 50% dan memerlukan waktu yang relatif lama.
Penggunaan obat-obatan atau zat-zat kimia organik juga dapat dilakukan untuk
mengurangi perilaku penyimpangan seksual. Zat yang digunakan biasanya adalah
Depo-Provera, Androcur atau Triptorelin. Dengan terapi obat ini, ketidakstabilan
hormon penderita dimanipulasi sedemikian rupa sehingga dorongan seksual yang
dimilikinya menurun. Namun, meski sudah diberikan obat-obatan, secara

11
psikologis harus tetap dilakukan perbaikan sebab obat-obatan itu hanya
mempengaruhi aspek fisologis. Sedangkan aspek psikologisnya yang dianggap
sebagai penyebab utama perlu ditangani secara psikologis pula.

2.7.1 Terapi
Penyimpangan seksual tidak hanya bersangkutan dengan pemuasan
dorongan seksual saja tetapi seringkali merupakan mekanisme pertahanan diri
terhadap perasaan-perasaan tidak senang. Ketakutan-kecemasan, dan depresi.
Oleh karena itu usaha penyembuhannya di samping menggunakan pendekatan
klinis, juga menggunakan metode multidisipliner. Terapi dapat berupa psikoterapi,
terapi perilaku, kognitif, sosioterapi, terapi hormonal dan farmakoterapi.

2.7.2 Psikoterapi
Psikoterapi adalah pendekatan yang paling sering digunakan untuk
mengobati parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya
sendiri dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia.
Secara khusus, mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang
menyebabkan mereka bertindak atas impulsnya. Psikoterapi juga memungkinkan
pasien meraih kembali harga dirinya dan memperbaiki kemampuan interpersonal
dan menemukan metoda yang dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan
seksual.

2.7.3 Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)


Pada terapi ini seorang voyeur harus belajar untuk mengendalikan impuls
(dorongan) untuk melihat aktivitas seksual orang lain dan memahami cara
mendapatkan kepuasan seksual yang sebenarnya. Pasien diberi keberanian dalam
mengutarakan masalah yang terdapat pada perilaku mereka serta berusaha
mengubah pola piker yang salah. Terapi ini juga menggabungkan teknik yang
mencegah terjadinya relaps yaitu dengan membantu pasien untuk mengontrol
perilaku yang tidak diinginkan dengan cara menghindari situasi yang mungkin
membangkitkan keinginannya tersebut. Keberhasilan terapi ini belum jelas.

2.7.4 Farmakoterapi

12
Farmakoterapi biasanya diberikan pada voyeurisme yang sulit terkendali
dengan psikoterapi maupun Behavioral terapi. Farmakoterapi bertujuan untuk
menurunkan dorongan yang kuat (kompulsif) yang dihubungkan dengan parafilia.
Beberapa golongan obat yang dapat membantu penyembuhan antara lain:
- Anti depresan.
- Preparat hormonal- GnRH (gonadotropin-releasing hormones).
- Anti-androgen, Cyproteron Asetat (CPA) dan Medroxyprogesteron Asetat
(MPA).
2.7.5 Sosioterapi
Pendekatan kepada penderita hendaknya dengan penuh pengertian, tidak
dengan menghakimi atau mempersalahkan. Selain itu, bisa dicoba untuk
menyelami perasaan, karena acapkali gangguan tersebut terbentuk dari keinginan
dan pengalaman masa lalu.

2.8 Pencegahan Voyeurism


Banyak ahli berpendapat bahwa dengan adanya pedoman mengenai
perilaku yang menurut budaya setempat dapat diterima akan mencegah
berkembangnya perilaku parafilia termasuk voyeurisme. Dalam banyak hal
voyeurisme dapat ditemukan secara tidak sengaja dengan cara pemuasan seksual
lainnya, tetapi tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana hubungan antara hal
tersebut terjadi.
Masyarakat dapat meminimalisir insiden voyeurisme dengan cara antara
lain menutup tirai, menutup jendela rapat-rapat, dan melakukan aktivitas seksual
di tempat tertutup dan sebaiknya tanpa cahaya lampu bagi yang tinggal di
kawasan padat penduduk misalnya rumah susun, asrama, dan sebagainya.
Selain itu diperlukan suatu undang-undang atau peraturan yang dapat
menindak tegas setiap bentuk perilaku menyimpang seksual termasuk
voyeurisme, yang dapat menyeret pelakunya ke meja hukum sehingga ada rasa
takut untuk mengulangi perbuatannya, karena selama ini voyeurisme dianggap
bukan sebagai tindakan kriminal karena sifatnya yang tidak menyakiti korbannya.

BAB 3

13
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa voyeurisme adalah tindakan
untuk mendapatkan rangsangan maupun kepuasan seks, dengan terlebih dulu
melihat orang lain telajang bahkan melepaskan pakaian. Namun, orang yang
menderita Voyeurisme baru merasa puas, jika orang yang diintip itu tidak tahu jika
dirinya dilihat. Kerena dengan mengintip mereka mampu mempertahankan
keunggulan seksual tanpa perlu mengalami risiko kegagalan atau penolakan dari
pasangan yang nyata.
Pada dasarnya voyeurisme merugikan kedua belah pihak yaitu pelakunya
sendiri dan korban tentunya. Voyeurisme sulit untuk dihentikan bila tidak ada
motivasi dan kesadaran dari pelakunya, diperlukan suatu aturan hukum yang dapat
menindak tegas pelakunya.
Sex show atau biasa disebut sebagai live sex adalah pertunjukkan sex atau
menjual jasa adegan hubungan intim secara langsung dan dipertontonkan secara
langsung pula kepada klien atau pelanggannya dengan syarat klien atau
pelanggan tidak boleh menyentuh ataupun ikut serta melakukan hubungan intim.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sex show tidak masuk ke
dalam voyeurism.
Sedangkan cyber sex merupakan salah satu kejahatan dari cyber crime
yang dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Kegiatan yang
dilakukan dengan membuat, memasang, mendistribusikan dan menyebarkan
material yang berbau pornografi, cabul dan mengekspos hal-hal yang tidak pantas
tanpa sepengetahuan korban. Maka tindakan ini dapat dimasukkan dalam kategori
voyeurism.

3.2 Saran
Saran yang dapat kami ajukan yaitu sebaiknya jika ingin melaukan
aktivitas pribadi (mandi, berganti pakaian, dll.) usahakan menutup tirai atau
menutup jendela rapat-rapat. Bagi yang ingin melakukan hubungan seksual
sebaiknya melakukan aktivitas seksual di tempat tertutup dan sebaiknya tanpa

14
cahaya lampu bagi yang tinggal di kawasan padat penduduk misalnya rumah
susun, asrama, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

15
American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. Fourth edition, text revised. Washington DC: American
Psychiatric Association.

Carson, C. Robert;Butcher, James N. 1992.Abnormal Psychology and Modern


Life.9th edition.Harper-Collin Publisher Inc.New York.

Crooks, Robert & Baur, Karla. 2014. Our Sexuality.12th edition. USA :
Wadsworth.

Davison, Gerald. C & Neale, John.M. 2001. Abnormal Psychology. 8th edition.
New York: John Wiley & Son.

16

Anda mungkin juga menyukai