Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

Tonsilofaringitis Kronis, Septum Deviasi, Obstructive Sleep Apnea

Irine Damayanti

112016230

Pembimbing:

dr. Riza Rizaldi, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

RSUD Tarakan Jakarta Pusat

Periode 14 Agustus 2017 16 September 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

1
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

NAMA : Irine Damayanti

NIM : 112016230

PERIODE : 14 Augustus 16 September 2017

JUDUL : Tonsilofaringitis Kronis, Septum Deviasi, Obstructive Sleep Apnea

TANGGAL PRESENTASI : Selasa, 4 September 2017. Pukul 07.00 WIB

NAMA PEMBIMBING / PENGUJI : dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL

Jakarta, 9/9/2017

Yang Mengesahkan,

dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsilofaringitis adalah peradangan orofaring yang mengenai dinding faring dan tonsil.
Tonsilitis merupakan penyakit peradangan tonsil, yang biasanya mengacu pada tonsil palatina.
Tonsil adalah salah satu mekanisme perlindungan tubuh dari dunia luar, dan terletak pada bagian
superfisial sehingga merupakan tempat yang sering terpapar serangan dari dunia luar dan
menjadi tempat utama untuk hipertrofi. Penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit kronis
bila terjadi kegagalan terapi, dapat dikarenakan ketidakpatuhan pasien atau antibiotik yang tidak
sesuai pada penderita tonsilitis akut hingga merubah struktur pada kripta tonsil dan adanya
infeksi baru dapat menjadi faktor penyebab atau predisposisi pada tonsilitis kronis hingga terjadi
adanya eksaserbasi akut.

Faringitis merupakan penyakit yang bermanifestasi sebagai peradangan dinding faring yang
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, trauma, toksin, dan penyebab lain-lain. Virus dan bakteri
melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal.

Deviasi septum nasi memang merupakan masalah yang sering ditemukan di masyarakat.
Kelainan ini ditandai dengan bengkoknya lempeng kartilago septum, yaitu struktur yang
memisahkan antara kedua nostril. Deviasi septum biasanya disebabkan oleh trauma, walaupun
terdapat beberapa kasus yang merupakan bawaan sejak lahir dengan deviasi septum nasi.
Kelainan ini dapat menyebabkan terjadinya obstruksi nasal unilateral maupun bilateral, yang
bermanifestasi sebagai gangguan pernapasan melalui hidung, tidur mendengkur, sakit kepala,
infeksi sinus rekuren, ataupun perdarahan hidung yang rekuren.

Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Manusia
dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Tidur terdiri dari stage nonrapid eye movement
sleep (NREM) dan stage rapid eye movement sleep (REM). Lebih dari separuh tidur total adalah
fase NREM sedangkan 20-35% adalah fase REM. Gangguan tidur sering terjadi pada fase
REM.1 Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas
pada waktu tidur), dan gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur.2

3
Mendengkur merupakan masalah sosial dan masalah kesehatan. Mendengkur merupakan
masalah yang mengganggu pasangan tidur, menyebabkan terganggunya pergaulan, menurunnya
produktivitas, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas dan peningkatan biaya kesehatan pada
penderita OSA. Pendengkur berat lebih mudah menderita hipertensi, stroke dan penyakit jantung
dibandingkan orang yang tidak mendengkur dengan umur dan berat badan yang sama.2
Menurut studi yang ada, mendengkur dan OSA meningkatkan risiko hipertensi dua
hingga tiga kali, serta meningkatkan risiko dua kali lipat penyakit koroner atau serangan jantung.
Pendengkur dan penderita OSA juga berisiko terserang stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan
dengan orang yang tidak dengan OSA dan mendengkur.1
Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria, usia
pertengahan, dan obesitas. Sekitar 50 juta orang Amerika tidur mendengkur, dan 20 juta orang
Amerika menderita sleep apnea syndrom. Hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan
keluhan dari pasangan dan yang lebih penting membawa peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan kematian dini.2

1. 2 Maksud Penulis
Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai tonsilofaringitis
kronis, septum deviasi dan obstructive sleep apnea dengan harapan pembaca dapat mengerti dan
memahami seluk beluk dan perjalanan penyakit ini berdasarkan teori dan membandingkannya
dengan kasus yang ditemukan di lapangan.

1.3 Tujuan Penulis


Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan Jakarta.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

HIDUNG3,4

I. Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala
nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os
maksila, dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago alar mayor, dan 4) tepi anterior kartilago septum. Rongga hidung atau
kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di
bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.5
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding
medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian
tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan
4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

5
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan
lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk
oleh os sfenoid.

Gambar 1. Anatomi hidung

Vaskularisasi hidung3
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung

6
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a.
palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (littles area). Pleksus kiesesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
brjalan berdampingan denga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi sampai ke
intrakranial.

Gambar 2. Vaskularisasi hidung

Fisiologi Hidung3

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humikifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanise inunologik lokal; 2) fungsi pengidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui kondukdi
tulang; 4) fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. [ 3,4,5 ]

7
Fungsi respirasi3
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem repirasi melalui nares anterior, lalu naik
ke atas stinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah nasorafing. Aliran udara di
hidung ini benbentuk lingkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan menglami humidifikasi
oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit
penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti bulum nasi, b) silis, c) palut lender. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin.

Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pencecep dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel
bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas
dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecep adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk,
pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.

Fungsi fonetik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukkan konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.

8
Gambar 3. Sistem olfaktoris
SEPTUM DEVIASI5,6

Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung, tetapi pada orang dewasa
biasanya tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan
mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat akan menyebabkan penyempitan pada satu
sisi hidung. Dengan demikian dapat terjadi gangguan fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi.

Definisi dan Klasifikasi

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari
letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas
beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : S septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

9
Gambar 4. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina

Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :

1) Spina dan Krista


Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat terjadi pada
pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya. Bila
memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih
disebut spina. Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi
vertikal.

2) Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk C atau S yang dapat terjadi
pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai kartilago maupun tulang.

3) Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol ke salah satu
lubang hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan pada struktur sekitarnya.

4) Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di hadapannya.
Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.

10
Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa :

1) Dinding Lateral Hidung


Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan kompensasi yang terjadi
pada sisi konkaf septum.

2) Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri dan juga dapat
mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar, pengangkatan lantai kavum nasi,
distorsi palatum dan abnormalitas ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi
yang sakit.

3) Piramid Hidung
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi pada piramid
hidung.

4) Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit menyebabkan efek
kering sehingga terjadi pembentukan krusta. Pengangkatan krusta dapat menyebabkan
ulserasi dan perdarahan. Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya
resistensi terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai akibat
fenomena Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi.
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan :
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.

11
Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4, yaitu :
1) Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal
2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
3) Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal
4) Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.

Gambar 5. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk


Etiologi

Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya berhubungan
dengan kerusakan pada bagian lain hidung, seperti fraktur os nasal. Pada sebagian pasien, tidak
didapatkan riwayat trauma, sehingga Gray (1972) menerangkannya dengan teori birth Moulding.
Posisi intrauterin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas,
sehingga dapat terjadi pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat
kelahiran (partus) dapat menambah trauma pada septum.

Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar
ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak
menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.

Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus
tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap, juga karena perbedaan
pertumbuhan antara septum dan palatum. Dengan demikian terjadilah deviasi septum.

Gejala Klinis

Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga
bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang mengalami deviasi terdapat konka yang
hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat

12
mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain
itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi
septum juga dapat menyumbat ostium sinus sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya
sinusitis.

Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut ini:
Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
Perdarahan hidung (epistaksis)
Infeksi sinus (sinusitis)
Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.
Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi dan anak.

Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya menunjukkan
gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti common cold. Dalam hal ini,
adanya infeksi respiratori akan mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan secara
perlahan-lahan menyebabkan gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah
sumbatan/obstruksi yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold
telah sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi septum nasi juga
akan menghilang.

Diagnosis

Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang
hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi
jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.

Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena ujung
spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap
dinding lateral hidung untuk menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi
juga diperiksa karena struktur-struktur ini sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan
deformitas septum.

13
Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Pada
pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak septum nasi yang bengkok.
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian
posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal,
dilakukan pemeriksaan X-ray sinus paranasal.

Penatalaksanaan
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi
septum.
Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
Pembedahan :

o Septoplasty (Reposisi Septum)


Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii) dapat dikombinasi
dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi dislokasi pada bagian caudal dari
kartilago septum. Operasi ini juga dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum
bagian tengah atau posterior.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi
yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan saddle nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap
pertumbuhan wajah pada anak-anak.

o SMR (Sub-Mucous Resection)


Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi dilepaskan
dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri
dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya hidung
pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang
rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya tidak

14
dilakukan pada anak-anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan
menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.7
Komplikasi

Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang
dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi, diantaranya :
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau berasal dari
perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga menyebabkan
pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan darah. Hal ini umumnya
terjadi segera setelah operasi dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang menghubungkan antara
kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan perdarahan pada kedua sisi membran
di hidung selama operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari dalam
hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki deviasi septum
yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan.

FARING3-6

1) Nasofaring5
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.5
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus
faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan
kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus
vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus
os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.

15
2) Orofaring5
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan
n.vagus.
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina
dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer.
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas
tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua.
Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam
kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada

16
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi dapat terjadi di antara
kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole
sebagai abses peritonsilar.

3) Laringofaring (hipofaring)5
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan)
dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esophagus.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-
kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus

17
laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.

Fungsi Faring4,5
1) Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral, fase
faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring.
Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus
makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal,
disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara
peristaltic di esofagus menuju lambung.
2) Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-
mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-
sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m,palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi
aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap
pda periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

FARINGITIS KRONIS3-5

Faringitis Kronik
Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis
kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring adalah rhinitis kronik, sinusitis,

18
iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu.
Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang bernafas melalui mulut
karena hidungnya tersumbat.

a. Faringitis Kronik Hiperplasia5


Pada faringitis kronik hiperplasia terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasia. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular. Gejala berupa rasa
gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan dari tenggorokan. Batuk serta perasaan
mengganjal di tenggorokan. Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai
zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik. Pengobatan simptomatis diberikan obat
kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau
ekspektoran.Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati.
Terapi obat kumur antara lain dengan obat kumur dengan antiseptik Povidone Iodine
USP 1%. Povidone iodine dilarutkan atau diencerkan dengan volume yang sama dengan air,
lalu kumur hingga 10 ml selama 30 detik tanpa ditelan. Ulangi sampai 4 kali sehari, sampai
14 hari berturut-turut.
Faringitis kronik hiperplastik mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk
yang berdahak. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di
bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding
posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).

b. Faringitis Kronik Atrofi5


Faringitis kronik atropi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala berupa Pasien mengeluh tenggorok kering dan
tebal serta mulut berbau.Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering. Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya
dan untuk faringitis kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan
mulut.5

19
Faringitis atrofi umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Faringitis
kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan
bila diangkat tampak mukosa kering.

Etiologi
Banyak microorganism yang dapat menyebabkan faringitis, virus (40-60%) bakteri (5-
40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis yang paling banyak teridentifikasi
dengan Rhinovirus (20%) dan coronaviruses (5%). Selain itu juga ada Influenza virus,
Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxsackie virus A,
cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV). Selain itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan
terjadinya faringitis.
Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup S.pyogenes dengan 5-15%
penyebab faringitis pada orang dewasa. Group A streptococcus merupakan penyebab faringitis
yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan pada anak berusia <3tahun.
Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%) antara lain Neisseria gonorrhoeae,
Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium ulcerans, Yersinia eneterolitica dan Treponema
pallidum, Mycobacterium tuberculosis.
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis.
Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.14

Patogenesis
Bakteri S. Pyogenes memiliki sifat penularan yang tinggi dengan droplet udara yang
berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan melalui batuk dan bersin. Jika bakteri ini
hinggap pada sel sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi dan mensekresikan toksin. Toksin ini
menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada orofaring dan tonsil. Kerusakan
jaringan ini ditandai dengan adanya tampakan kemerahan pada faring Periode inkubasi faringitis
hingga gejala muncul yaitu sekitar 24 72 jam.
Beberapa strain dari S. Pyogenes menghasilkan eksotoksin eritrogenik yang
menyebabkan bercak kemerahan pada kulit pada leher, dada, dan lengan. Bercak tersebut terjadi
sebagai akibat dari kumpulan darah pada pembuluh darah yang rusak akibat pengaruh toksin.

20
Faktor risiko dari faringitis yaitu:

Cuaca dingin dan musim flu


Kontak dengan pasien penderita faringitis karena penyakit ini dapat menular melalui
udara
Merokok, atau terpajan oleh asap rokok
Infeksi sinus yang berulang
Alergi 14,15

Gejala klinis
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme
yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala
seperti demam, anorexia, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring yang
hiperemis, tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe pada
rahang bawah teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah
mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah dan leukosit.16,17

Penatalaksanaan
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan melakukan kaustik
faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter).
Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur, jika diperlukan dapat diberikann obat batuk
antitusif atau ekspetoran. Penyakit pada hidung dan sinus paranasal harus diobati.
Pada faringitis kronik atrofi pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk
faringitis kronik atrofi hanya ditambahkan dengan obat kumur dan pasien disuruh menjaga
kebersihan mulut.

Edukasi
1. Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan
bergizi dan olahraga teratur.
2. Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.
3. Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan yang dapat mengiritasi
tenggorok.

21
4. Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga kebersihan mulut.
5. Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Komplikasi
Komplikasi infeksi GABHS dapat berupa demam reumatik, dan abses peritonsiler.
Komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena bakteri yaitu:
Sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia. Kekambuhan biasanya
terjadi pada pasaien dengan pengobatan yang tidak tuntas pada pengobatan dengan
antibiotik, atau adanya paparan baru.
Demam rheumatic akut (3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal
glomerulonephritis, dan toxic shock syndrome, peritonsiler abses
Komplikasi infeks mononukleus meliputi: ruptur lien, hepatitis, Guillain Barr syndrome,
encephalitis, anemia hemolitik, myocarditis, B-cell lymphoma, dan karsinoma
nasofaring.16

Prognosis
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik. Pasien dengan faringitis
biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

TONSILITIS KRONIS3,5
1. Tonsilitis Kronis5
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau
subklinis yang berulan. Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi
fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil
akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok
sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu
dan kadang dapat menetap. Tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada
adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang
Berulang.

22
Etiologi4
Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil
berfungsi untuk membuat limfosit, yaitu sejenis sel darah putih yang bertugas membunuh kuman
yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut5,7. Tonsil akan berubah menjadi tempat infeksi bakteri
maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis. Penyebab
tonsilitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta Hemolyticus, Streptococcus viridans, dan
Streptococcus pyogenes. Streptococcus pyogenes merupakan patogen utama pada manusia yang
menimbulkan invasi lokal, sistemik dan kelainan imunologi pasca streptococcus.

Tabel 6. Etiologi terjadinya tonsilitis (Campisi, 2003)


Dari beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Streptococcus
Hemolitikus Grup A merupakan penyebab utama dari tonsilitis dengan persentase sekitar 15
30% dari semua jenis bakteri4,5. Beberapa etiologi lain yang juga cukup tinggi insidennya dalah
menyebabkan terjadinya tonsilitis adalah Haemophyllus influenza Staphylococcus aureus dan
Streptococcus Pyogenes.

Bakteriologi Tonsilitis5
Bakteri di dalam saluran tenggorok akan mulai muncul sejak pemberian makanan melalui
mulut. Bakteri tersebar di dinding faring permukaan tonsil maupun ke rongga mulut. Bakteri di
dalam tenggorok pada umumnya adalah flora normal. Flora normal di tenggorok terdiri dari
bakteri gram positif dan gram negatif baik yang aerob maupun anaerob. Bakteri anaerob seperti
Actinomyces, Nocardia, dan Fusobacterium mulai ditemukan pada usia 6 sampai 8 bulan.

23
Bacteroides, Leptotrichia, Propioni bacterium, dan Candida muncul sebagai flora rongga mulut.
Populasi Fusobacterium akan meningkat dengan terbentuknya gigi.
Bakteri aerob termasuk; Streptococcus non hemolyticus, Streptococcus mitis,
Streptococcus spp, Staphylococcus non coagulatif, Gemella haemolysans, Neisseria spp dan
lain-lain. Kondisi yang menguntungkan dari host terhadap perkembangan bakteri dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan flora normal menjadi patogen.
Peranan bakteri anaerob pada tonsilitis sulit dijelaskan. Bakteri anaerob merupakan flora
normal pada tonsil. Tidak ditemukan perbedaan bakteri anaerob pada tonsil yang sehat dengan
tonsilitis akut. Pada tonsilitis kronis juga tidak ditemukan perbedaan bermakna antara bakteri
anaerob di permukaan tonsil dengan di inti tonsil. Namun demikian secara invitro ditemukan
sinergi antara bakteri anaerob dan pertumbuhan Streptococcus hemolyticus group A. Bakteri
anaerob mempengaruhi pertumbuhan bakteri patogen.
Peranan bakteri anaerob penghasil laktamase seperti Bacteroides fragilis,
Fusobacterium spp, dapat menurunkan penetrasi penisilin terhadap bakteri patogen. Bakteri
anaerob penghasil laktamase yang resisten terhadap penisilin dapat melindungi organisme
patogen dimaksud. Pemeriksaan bakteriologi terhadap tonsil kanan dan tonsil kiri tidak
ditemukan perbedaan.

Patofisiologi3,5
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan sebagai
filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan membentuk antibodi terhadap
infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial
mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang
disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu
tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis.
Pada tonsilitis akut dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi
parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam
tinggi. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan akan terasa
mengental. Tetapi bila penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi
terhadap infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh ataupun

24
penyakit. Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga membersihkan
debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan.
Infeksi berulang pada tonsilitis akut sering tejadi pada pengobatan yang tidak adekuat.
Hal terjadi dikarenakan kemampuan bakteri untuk bertahan pada lingkungan intraseluler di
dalam kripta tonsil, sehingga tidak terkena paparan antibiotik yang diberikan pada pasien.
Dengan begitu bakteri tersebut dapat berkembang biak dan menyebabkan reinfeksi kembali4.
Mekanisme lain yang dapat menjelaskan kejadian ini adalah karena penetrasi antibiotik ke dalam
tonsil yang rendah akibat jaringan parut karena infeksi tonsilitis. Selain itu juga adanya flora
normal yang menghasilkan enzim protektif dan membentuk lapisan biofilm juga dapat
menghalangi penetrasi dari antobiotik ke dalam tonsil.

Gambar 7. Pembesaran tonsil. Disebabkan oleh (A) Tonsilitis berulang (B) Pada pasien
Obstructive Sleep Apnea (C) Unilateral hipertrofi tonsil (Alasil, 2011).

Tonsilitis kronis adalah suatu keadaan dimana penyakit terjadi secara berulang diikuti
oleh episode serangan akut atau keadaan subklinis dari suatu infeksi yang persisten, biasanya
terjadi akibat penatalaksanaan yang kurang adekuat. Terminologi tonsilitis berulang/recurrent
merupakan keadaan yang hampir sama dengan tonsilitis kronis. Akan tetapi pada keadaan
tonsilitis berulang, ada suatu keadaan dimana tonsil kembali ke keadaan normal secara
makroskopis dan histologis diantara dua serangan. Hal ini yang membedakannya dengan
tonsilitis kronis dimana keadaan ini tidak ditemukan.
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang menyebabkan epitel
mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid
diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar
(kriptus) yang akan diisi oleh detritus. Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear serta terbentuk detritus yang
terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas.

25
Patofisiologi tonsilitis kronis adalah akibat adanya infeksi berulang pada tonsil maka
pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi
1,11
tempat infeksi . Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submandibula.

Gambar 8. Gambaran tonsilitis kronis. Tidak ada kriteria


diagnostik yang jelas untuk tonsilitis kronis. Kripta tonsil yang
dalam, debris putih pada kripta, dan vaskularisasi pada pilar
anterior tampak pada tonsilitis kronis. Debris putih terdiri dari sisa
sisa makanan yang dapat menyebabkan halitosis (Onerci, 2009)

Manifestasi Klinis4
Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering ditenggorokan, anoreksia, otalgia,
tonsil membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah, sakit
menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan
dan keluarnya nanah pada lekukan tonsil.
Tanda klinisnya dijumpai tonsil membengkak dan meradang. Tonsila biasanya bercak-
bercak dan kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat ini mungkin keabu-abuan dan
kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul, membentuk membran dan pada beberapa kasus dapat
terjadi nekrosis jaringan local.
Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dialami oleh pasien yang menderita tonsilitis
akut, yaitu sebagai berikut ini :

26
1. Tanda
Napas berat dan lidah yang licin
Hiperemis pada pilar, uvula dan palatum mole
Kemerahan dan bengkak pada tonsil disertai dengan gambaran bintik bintik kuning yang
merupakan gambaran material purulen pada kripta yang terbuka (acute folicular
tonsilitis). Kedua tonsil dapat membesar hingga dapat bertemu pada midline orofaring.
Pembesaran dari KGB jugulodigastrikus
2. Gejala
Gejala yang sering ditemui berupa kesulitan dalam menelan, gangguan fonasi, respirasi dan
pendengaran. Selain itu gejala yang dapat muncul antara lain :
Sakit tenggorokan
Sakit menelan
Perubahan suara (serak)
Sakit pada telinga
Snoring (akibat obstruksi jalan napas atas)
Napas berbau
Gangguan pendengaran
Pasien tampak sangat sakit

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin
tampak, yakni :

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar,
kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam
di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat
yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua
pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi

27
T0 Tonsil sudah diangkat
T1 Tonsil masih di dalam fossa tonsilaris
T2 Tonsil keluar dari fossa tonsil tapi belum melewati garis tengah antara pinggir lateral
faring-uvula
T3 Tonsil sudah melewati garis tengah namun tidak sampai uvula
T4 Tonsil sudah mencapai uvula atau lebih

Penatalaksanaan4,5
Pemeriksaan kultur bakteri penyebab tonsilitis rekuren maupun tonsilitis kronis perlu
dilakukan untuk mengetahui bakteri penyebab sebagai bukti empiris dalam penatalaksanaan
tonsilitis. Terdapat perbedaan bakteri pada permukaan tonsil dengan bakteri di dalam inti tonsil
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan swab permukaan tonsil maupun pemeriksaan dari inti
tonsil. Swab dari inti tonsil didapatkan dari tonsil yang telah dilakukan tonsilektomi.
Untuk pasien yang menderita tonsilitis akut, berikut ini penatalaksanan yang dapat
diberikan:
1. Antibiotik golongan penisilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap
dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
2. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi
edema pada laring dan obat simptomatik.
3. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung selama
2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
4. Pemberian antipiretik.

Indikasi dilakukannya pemberian antibiotik pada pasien dengan infeksi pada tonsil dan
saluran napas adalah sebagai berikut :
1. Akut tonsilitis disertai dengan gejala sistemik
2. Unilateral peritonsilitis
3. Memiliki riwayat demam reumatik
4. Keadaan immunosupresi

28
Penatalaksanaan tonsilitis akut dengan memperbaiki higiene mulut, pemberian antibiotika
spektrum luas selama 1 minggu dan Vitamin C dan B kompleks . Pada beberapa penelitian
menganjurkan pemberian antibiotik lebih dari 5 hari. Pemberian antibiotik secepatnya akan
mengurangi gejala dan tanda lebih cepat. Meskipun demikian, tanpa antibiotik, demam dan
gejala lainnya dapat berkurang selama 3-4 hari. Pada demam rematik, gejala lainnya dapat
berkurang selama 3-4 hari. Pada demam rematik, gejala dapat bertahan sampai 9 hari selama
pemberian terapi
Untuk tonsilitis bakteri, penisililin merupakan antibiotik lini pertama untuk tonsilitis akut
yang disebabkan bakteri Group A Streptococcus B hemoliticus (GABHS). Walaupun pada kultur
GABHS tidak dijumpai, antibiotik tetap diperlukan untuk mengurangi gejala. Jika dalam 48 jam
gejala tidak berkurang atau dicurigai resisten terhadap penisilin, antibiotik dilanjutkan dengan
amoksisilin asamklavulanat sampai 10 hari. Pada tonsillitis kronik dilakukan terapi lokal untuk
hygiene mulut dengan obat kumur/hisap dan terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi
medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil.
Pada tonsilitis yang berulang, penggunaan antibiotik ciprofloxacin dan gentamisin perlu
dipertimbangkan. Hal ini karena organisme yang sering menyebabkan infeksi berulang ini adalah
Pseudomonas aeruginosa dan beberapa bakteri lain yang sensitif terhadap ciprofloxacin dan
gentamisin11. Pada pasien anak, penggunaan amoxicillin atau kombinasi amoxicillin-asam
klavulanat adalah pilihan pertama pada tonsilitis berulang, dimana penggunaan ciprofloxacin
menjadi kontraindikasi.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, Namun hal ini bukan
berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan
ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena
kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia,
tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit. Indikasi dilakukannya tonsilektomi dapat dibagi menjadi:
1. Indikasi absolut5
Infeksi tenggorokan berulang yang terjadi :
a. 3 kali atau lebih dalam satu tahun
b. Lima kali per tahun dalam dua tahun
c. Tiga kali per tahun dalam tiga tahun

29
d. Dua minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau kerja dalam satu tahun
Abses peritonsilar. Pada anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu setelah abses diobati.
Pada dewasa, serangan kedua abses peritonsilar merupakan indikasi asolut.
Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam
Hipertrofi tonsil yang menyebabkan :
a. Obstruksi saluran napas (sleep apnea)
b. Sulit menelan
c. Gangguan artikulasi suara
Suspek keganasan. Pembesaran tonsil unilateral kemungkinan limfoma pada anak, dan
kemungkinan karsinoma epidermoid pada dewasa. Sebelumnya harus dilakukan dahulu
biopsi eksisional.
2. Indikasi relatif5
Karies difteri yang tidak respon dengan pemberian antibiotik
Karies streptococcus , yang mungkin menjadi sumber infeksi lainnya
Tonsilitis kronis dengan halitosis yang tidak respon dengan terapi medikamentosa
Tonsilitis streptococcus berulang pada pasien dengan valvular heart disease.
3. Bagian dari operasi lain
Palatofaringoplasti yang dilakukan karena adanya sleep apnea syndrome.
Neurektomi glossofaringeal. Tonsil diangkat terlebih dahulu baru kemudian nervus
glossofaringeal diangkat dan bed of tonsil tetap ditinggalkan.

Beberapa perawatan yang harus dilakukan pada pasien yang telah menjalani tonsilektomi
adalah sebagai berikut :
1. Perawatan awal
Pasien tetap dikondisikan dalam keadaan Posisi Koma sampai efek anestesi hilang
Awasi tanda tanda perdarahan dari hidung dan mulut
Awasi tanda tanda vital pasien
2. Diet
Saat pasien sudah sadar, pasien dapat mulai diberikan makanan cair, seperti susu dingin
atau es krim. Kulum kulum es batu juga dapat mengurangi rasa nyeri. Diet diberikan

30
bertahap mulai dari makanan lunak sampai makanan biasa/solid. Pemberian puding, jelli,
dan telur rebus dapat diberikan pada hari kedua post-operasi.
3. Oral hygine
Pasien diberikan obat kumur 3 4 kali sehari. Mulut dibersihkan dengan air bersih setiap
selesai makan
4. Analgesik
Nyeri, biasanya terjadi secara lokal pada tenggorokan yang dapat menjalar ke telinga,
dapat diredakan dengan analgesik lemah, seperti paracetamol. Analgesik dapat diberikan
setengah jam sebelum pasien makan.
5. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dapat diberikan secara injeksi /oral selama sekitar satu minggu
Pasien dapat dipulangkan 24 jam setelah operasi jika tidak ada komplikasi dan dapat
beraktivitas normal kembali 2 minggu setelah operasi.

Gambar 9. Tonsil yang sudah diangkat beserta kapsulnya (Onerci, 2009)

Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menderita tonsilitis adalah
sebagai berikut :
1. Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya
terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal
ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah
malaise yang bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan
melakukan aspirasi abses.

31
2. Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol ke arah medial.
Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal
3. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, selanjutnya dilakukan tonsilektomi6.
4. Tonsilitis kronis dengan serangan akut
Biasanya terjadi karena tatalaksana tonsilitis akut yang tidak adekuat. Infeksi kronis dapat
terjadi pada folikel limfoid tonsil dalam bentuk mikroabses.
5. Otitis Media Akut
Serangan berulang otitis media akut berkaitan erat dengan serangan berulang dari tonsilitis
akibat infeksi yang menjalar melalui tuba eustachius.
6. Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi
ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak
nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan
melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
7. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan di atas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi2.
8. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis.
Anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33%
diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang
merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan
infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis.

32
Obstructive Sleep Apnea
Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara selama
10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan hipopnea
(pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin
>4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan desaturasi
oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara
berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke
paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau
terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal.1,2
Obstructive Sleep Apnea merupakan bagian dari sindrom henti nafas. Sindrom henti
napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe sentral, tipe obstruksi dan tipe campuran. Pada
tipe sentral terjadi aliran udara ini disebabkan berhentinya upaya bernapas selama beberapa saat
akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan otot dada untuk mempertahankan siklus
pernapasan. Sedangkan pada tipe obstruksi terjadi hambatan aliran udara ke paru-paru.2,8,9
Mendengkur adalah tanda pernapasan abnormal yang terjadi akibat obstruksi sebagian
sehingga aliran udara yang masuk akan menggetarkan palatum molle dan jaringan lunak
sekitarnya. Keadaan ini dipermudah dengan relaksasi lidah, uvula dan otot di saluran napas
bagian atas. Obstruksi dapat terjadi sebagian (hipopnea) atau total (apnea).1,10

Epidemiologi
OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50
tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA di negara-
negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita. Pria lebih sering
mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita obesitas. Prevalensi OSA
pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang
ditemukan pada wanita.1,2
Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat
juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down.
Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an.

33
Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan
usia.1,2,10
OSA terdapat pada lebih dari 40% individu dengan IMT 30 kg/ m2 atau individu dengan
sindrom metabolik. Pasien dengan penyakit kardiovaskular memiliki prevalens OSA yang
tinggi, 50% pasien dengan hipertensi, 50% pasien dengan fibrilasi atrium yang membutuhkan
tindakan kardioversi, 33% pasien dengan fibrilasi atrium saja, 33% pasien dengan penyakit
jantung koroner, 50% pasien dengan stroke akut dan 30-40% pasien dengan gagal jantung dan
disfungsi sistolik.1

Mendengkur dan OSA


Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara yang disebabkan oleh
dinding faring yang collapse sewaktu tidur. Etiologi dan mekanisme collapse multifaktorial
tetapi dikaitkan dengan interaksi saluran nafas atas yang sangat mudah collapse dengan relaksasi
otot dilator faring yang terjadi sewaktu tidur. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, kelainan
kraniofasial seperti retrognathia menambah kecenderungan keruntuhan dengan peningkatan
tekanan intraluminal pada jaringan disekeliling saluran napas atas. Tetapi gangguan structural
saja pada saluran napas tidak cukup memadai untuk menyebabkan OSA. Pasien tanpa kelainan
anatomi bisa menghidap OSA, ini karna kompleks jalan reflek dari saraf pusat ke faring yang
mengawal tindakan otot dilator faring bisa gagal untuk mempertahankan patensi faring.1,2,11
Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada
kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Mengapa hal ini terjadi hanya pada
sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi
dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Selain itu
obstruksi nasal menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan memperburukkan OSA.
Obstrusi nasal yang mengakibatkan usaha pernafasan melalui mulut semasa tidur sehingga
terjadi relaksasi otot genioglosus akibatnya lidah tergeser ke belakang.2
Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas akibat
sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan terjadi
akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan nafas pada waktu tidur di
mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi
obstruksi.2

34
Gambar 10. Sumbatan parsial dan total saluran nafas atas
Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur mengakibatkan
kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer. Akibatnya kemampuan otot
untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan meningkatkan kecenderungan saluran nafas
untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi
pada waktu mendengkur dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea
pada individu tertentu.2
Obstructive Sleep Apnoea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas atas
baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan berkurang (hipopnea)
atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen (hipoksemia) dan penderita berkali-kali
terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita benar-benar terbangun pada saat apnea di mana
mereka merasa tercekik. Lebih sering penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial
arousal yang berulang, berakibat pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat.
Keadaan ini menyebabkan penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi
dan ingatan terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang disertai dengan
peningkatan aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi dan hipertensi sistemik. Banyak
penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya
karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase preobstruktif) diselingi oleh
keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).2
Tidur terdiri dari 2 fase yaitu rapid eye movement (REM) atau tidur aktif dan non rapid
eye movement (NREM) atau tidur tenang. Pada individu normal siklus tidur NREM dan REM
akan terjadi secara bergantian dengan interval tidur REM 10-20 menit setiap 90-120 menit. REM
meliputi 25% dari waktu tidur ditandai oleh pergerakan bola mata yang cepat terutama pada

35
elektrookulogram, hilangnya tonus otot tubuh dan meningkatnya aktivitas simpatis
(meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah). Selama tidur REM kontrol pernapasan sering
irregular, episode apnea singkat selama 10-20 detik relatif umum terjadi Pada tahap NREM
aktivitas mental minimal atau tidak ada, sistem kardiovaskular-respirasi sebagian besar diatur
oleh faktor metabolik. Tidur NREM mempengaruhi aktivitas simpatis, penurunan denyut
jantung, tekanan darah secara bertahap dari tingkat I hingga aktivitas simpatis terendah yaitu
pada tingkat IV.1
Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakang hingga
menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Tidur
berbaring (supine) dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas akibat pergerakan mandibula,
palatum mole dan lidah ke arah belakang. Faktor struktural dan fungsional berperan penting
dalam menentukan tekanan kritis kolaps saluran napas. Penyempitan saluran napas akibat
mikrognatia, retrognatia, hipertrofi tonsil, makroglosia dan akromegali juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya OSA. Sistem saraf pusat berperan penting dalam OSA kombinasi aktivitas otot
saluran napas atas yang menurun pada saat tidur disertai struktur faring kecil membentuk
tekanan kritis kolaps saluran napas atas. Aktivasi kemoreseptor oleh hipoksemia dan hiperkapnia
selama apnea mengakibatkan hiperventilasi disertai proses terbangun mendadak yang tidak
disadari.1
Pada pasien obesita terjadi peningkatan deposit lemak disekelilng leher dan ruang
parafaring menyebabkan penyempitan dan kompresi salur napas atas dan mengganggu otot
dilator yang mempertahankan patensi salur napas atas. Obesitas bisa mengurangi volume paru
yang menyebabkan pengurangan functional residual capacity. Perubahan dalam volume paru
secara signifikan menurunkan ukuran faring salur napas atas melalui efek mekanikal traksi trakea
dan toraks yang dikenal tracheal tug meningkatkan resiko collapse.11

Gambaran Klinis
Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk yang
berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada
pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi,
kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat
mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan
meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.1,2,10

36
Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya hubungan
antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran akan kemungkinan
adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese). Hanya sekitar 50% penderita yang
didiagnosis OSA juga menderita obesitas.10
Gejala Tanda
Mendengkur
Mengantuk yang berlebihan pada siang hari Obesitas
Tersedak Mandibula/maksila hipoplasia
Tidur tidak nyeyak Penyempitan orofaring
Letih dan lesu sepanjang hari Pembesaran tonsil atau lidah
Penurunan konsentrasi Obstruksi nasal dan nasofaringeal
Riwayat OSA dalam keluarga

Tabel 11 : Gejala dan Tanda OSA


Diagnosis
Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke
dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase pre-
obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).1,2,9
The Epworth sleepiness scale digunakan untuk menilai ngantuk pada siang. OSA
disuspek pada pasien dengan skor diatas 10.10,11

Situation Chance of dozing

Sitting and reading ____________

Watching TV ____________

Sitting inactive in a public place (e.g a theater or a


meeting) ___________

37
As a passenger in a car for an hour without a break ____________

Lying down to rest in the afternoon when


circumstances permit ____________

Sitting and talking to someone ____________

Sitting quietly after a lunch without alcohol ____________

In a car, while stopped for a few minutes in traffic


______

Penilaian skor Epworth sleepiness scale

0 = no chance of dozing

1 = slight chance of dozing

2 = moderate chance of dozing

3 = high chance of dozing

Pengukuran BMI, tekanan darah, dan lingkaran lilit leher adalah parameter yang penting
dalam parameter pemeriksaan OSA. Dari pemeriksaan fisik harus di identifikasi posisi dan
ukuran tulang maksilla dan mandibula dan karakteristik fasial juga harus diidentifikasikan.11
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring, laring, leher untuk
menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut:
i. Hidung :deviasi septum,hypertrofi adenoid, tumor atau polip nasal, hipertrofi
konka

38
ii. Orofaring : palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatine, makroglosia,
penebalan(banding) dinding posterior faring
iii. Hipofaring : Collapse dinding faring lateral, tumor hipofaring, hipertrofi tonsil
lingual, retrognathia dan micrognathia
iv. Laring : paralisis pita suara, tumor laring
v. Leher : ukur lilit leher

Fiberoptic nasopharyngoscopy adalah teknik yang digunakan untuk evaluasi jalan


napas. Alat ini adalah penting untuk identifikasi tempat dan lokasi obstruksi : nasal, retropalatal
atau retrolingual. Kebaikan dan limitasi Muller maneuver juga digunakan untuk pemeriksaan
untuk prediksi preoperative terhadap keefektifan intervensi bedah berdasarkan beberapa studi
yang dilakukan.
Muller maneuver dilakukan pada pasien sadar yang menghasilkan tekanan negative
dengan melakukan inhalasi/inspirasi dengan menutup mulut dan hidung yang akan menyebabkan
collapse pada salur napas.11

Gambar 12 : Muellers Manuver

Cephalometric radiograph image 2 dimensi yang dihasilkan member infomasi tulang


rangka dan jaringan lunak . ini bisa mengkonfirmasikan pasien OSA melalui displacement tulang
hyoid ke inferior, ruang udara posterior yang sempit, palatum molle yang lebih panjang dari
pasien non-OSA.11

39
Diagnosis pasti penderita OSA dan CSA dengan pemeriksaan polisomnografi.
Polisomnografi adalah pemeriksaan Gold standard untuk diagnose OSA. Pada OSA untuk
melihat episode berhentinya aliran udara yang berulang diikuti dengan upaya respirasi kontinue
sedangkan pada CSA untuk melihat episode apnea berulang diikuti dengan hilangnya upaya
ventilasi, gerakan napas terhenti karena hilangnya pergerakan iga dan abdomen juga aktiviti
elektromiografi diafragma. Polisomnografi merupakan alat uji diagnostik menevaluasi gangguan
tidur, dilakukan pada saat malam hari di laboratorium tidur. Pemeriksaan terdiri dari
elektroensefalogram (EEG), elektromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG), parameter
respirasi, electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen dan mikrofon untuk merekam dengkuran.
Penderita dimonitor selama 6 jam 10 menit.8

Gambar 13: Gambaran Polisomnogram

Screening OSA dapat dilakukan dengan kuesioner Berlin yang bertujuan untuk
menjaring pasien terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi
tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai
mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering
merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat
hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI).

40
Seseorang dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas.
Kuesioner ini mempunyai validiti yang tinggi.2,8
Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan AHI terdiri dari apnea tidur ringan dengan
AHI 515, saturasi oksigen 86% dan keluhan ringan, apnea tidur sedang dengan AHI 1530,
saturasi oksigen 8085% dan keluhan mengantuk dan sulit konsentrasi, apnea tidur berat dengan
AHI 30, saturasi oksigen kurang dari 80% dan gangguan tidur.8

Terapi
A. Terapi Non-Bedah
Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al. memperkenalkan
nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip nCPAP sangat sederhana yaitu
dengan pemberian tekanan positif melalui hidung maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk
menyempit dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga
menekan suara dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari.
Efektifitas pengobatan dengan cara ini mencapai 90-95%.2,9 Selain itu, Bi-level PAP merupakan
suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi
(EPAP) yang berbeda kepada pasien yang bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap
terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di
jalan napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bi-level
memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan
berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi OSA. Keuntungan metode ini adalah
menurunkan kerja pernapasan (work of breathing).9
CPAP adalah teknik yang sering digunakan dalam tatalaksana non surgical OSA dan
merupakan tatalaksana terapi pertama OSA. CPAP mengurangi dengkur dan apnea dan
membaiki symptom ketiduran pada siang. American college of Chest Physicians
merekomendasikan penggunaan CPAP pada pasien dengan RDI > 30 kali/ jam dan kepada
semua pasien yang simptomatik dengan RDI 5-30 kali/jam. CPAP 90-95% effective dalam
eliminasi OSA dan keefektifannya tergantubg pada compliance dan keteraturan penggunaan
pasien.12

41
Gambar 14: nasal Continuous Positive Airway Pressure
Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan.
Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga, dan medikamentosa.
Berdasarkan penelitian, penurunan berat badan 10% - 15% dikaitkan dengan penurunan
50% kejadian apnea dan perbaikan keadaan klinis. Beberapa laporan kasus menunjukkan
gejala OSA dapat diatasi dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu
menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan
posisi miring atau telungkup (pronasi).8
Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular
advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan
mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat
memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur.
Alat ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan
penderita OSA yang ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada
penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat
mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula sehingga pemakaiannya diperlukan
seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu.2

Gambar 15. Mandibular Splint

42
B. Terapi Bedah
Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena
beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya
efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering.
Banyak pasien yang tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan
mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.2,8
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan
obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa
prosedur operasi dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,
tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi
CPAP.9
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring yang
berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat kaku dinding
faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka keberhasilannya 50% dalam
menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini adalah terjadinya regurgitasi nasofaring
saat minum namun hanya bersifat sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.2
3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik
fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di
hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung
pada pengobatan dengan CPAP.13
4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakan
oleh sebagian besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan
berdekatan dengan setiap sisi akar dari uvula diikuti
dengan pengurangan 50% dari uvula distal sehingga memperpendek
dan meningkatkan ukuran dan posisi uvulopalatal
kompleks.2,9
5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran saluran udara
bagian atas dengan menggerakkan pangkal lidah jauh dari hypopharyngeal posterior
dan dinding orofaringeal, penurunan collaps jalan napas. Pasien ada yang dipilih
berdasarkan tingkat keparahan mereka apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan

43
kraniofasial, seperti micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk
menanggapi terapi lain.2,9

6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan memasukkan elektroda


ke berbagai bagian langit-langit lunak
dan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami
'lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. prosedur ini dapat diulang beberapa kali
dan dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian atas, termasuk tonsil dan
pangkal lidah.2,9
7. Pemasangan implan Pillar pada palatum. `Implan Pillar atau implan palatal
merupakan teknik yang relative baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal.
Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang.
Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah
batang kecil diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang
menyebabkan snoring.9
8. Trakeostomy- tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir apabila metode
lain tidak berhasil adalah trakeostomy. Trakeostomy dilakukan dengan by pass
obstruksi salur napas atas. Indikasi trakeostomy adalah pasien dengan cor pulmunale,
obesity hypoventilation syndrome, aritmia, pasien yang tidak toleransi CPAP dan
intervensi surgical lain gagal.12

Gambar 16. Assessment and management of obstructive sleep apnea

44
Komplikasi
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di
antaranya:1,2,8,10,13
1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat,
sakit kepala, depresi.
2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung
iskemik, gagal jantung kongestif, stroke.
3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.
4. Metabolik: diabetes, obesitas.
5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
6. Hematologis: polisitemia.
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan hipertensi,
stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada penderita OSA
diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase
obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi
yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.1
Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua
komponen:1,2
1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang
berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.
Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA dikenal
sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA menyebabkan
peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada kemungkinan peranan
hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah pada penderita OSA. Mekanisme lain
yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada penderita OSA adalah hiperleptinemia,
resistensi insulin, peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron, disfungsi sel-sel endotel, dan
gangguan fungsi barorefleks.1
OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit aterosklerosis
pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme
efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:1

45
Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres
oksidatif.
Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam plasma,
penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti dengan
meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6.
Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan
infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari hipertensi,
aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan koagulopati
dan respons inflamasi.1,2
Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan
peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi,
berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang
rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko
terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi efeknya
terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan
dilakukan pada penderita stroke.1
Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest,
dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya
OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan
tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.1

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. FF
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Dokter Muda
Alamat : Jalan Ketapang No. 20 C, Tangerang

46
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 Agustus 2017, pukul 12.00 WIB

Keluhan Utama
Tidur selalu mendengkur sejak kecil.

Keluhan Tambahan
Tenggorokan terkadang terasa mengganjal sehingga pasien sering mendehem.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengatakan tidur mendengkur sejak kecil. Keluhan dirasakan sejak lama dan
mengganggu orang sekitar pasien. Pasien mengatakan pernah merasa ada yang mengganjal
sehingga sering mendehem. Menurut pasien ketika tidur sering mengorok, hal ini disadari ketika
temannya mengatakan kira-kira 1 bulan yang lalu. Saat ini pasien sedang tidak batuk, pilek,
maupun demam. Pasien tidak mengeluhkan adanya suara serak, kesukaran menelan, batuk
setelah makan, batuk yang mengganggu, dan nyeri di dada. Pasien juga tidak mempunyai
kebiasaan memakai pakaian terlalu ketat dan waktu makan dekat dengan saat tidur. Berdasarkan
keterangan pasien, ia tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol dan merokok. Pasien
juga mengatakan bahwa dirinya sering mengantuk dan pernah mengalami nyeri tenggorokan dan
sedikit nyeri menelan, namun keluhan itu jarang sekali dirasakan. Pasien tidak memiliki keluhan
pada telinga atau pendengarannya.
Pasien tidak merasakan adanya lendir pada hidung maupun sumbatan pada hidung.
Pasien tidak merasakan hidung gatal, bersin-bersin atau adanya gangguan fungsi penghidu. Rasa
nyeri di pipi maupun dahi disangkal oleh pasien pada saat ini. Pasien tidak mengeluhkan sering
sakit kepala ataupun adanya nyeri di pipi atau di bawah kelopak mata. Tidak ada keluhan gigi
berlubang pada pasien saat ini. Tidak ada pula riwayat trauma pada hidung pasien.

Pasien baru pertama kali datang ke dokter untuk keluhanya. Pasien belum mengonsumsi
obat apapun sebelum ke RS, dan saat ini pasien tidak sedang mengonsumsi obat-obatan yang
digunakan dalam jangka waktu yang lama.

47
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah memiliki asma pada usia 1 tahun. Pasien juga mengatakan bahwa dirinya
dulu sering demam dan sakit pada tenggorokannya. Pasien gemar memakan gorengan, es dan
coklat dari usia dini. Riwayat merokok (-), riwayat trauma hidung dan telinga (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah dan ibu pasien memiliki hipertensi. Sedangkan adanya riwayat asma, DM, jantung,
alergi dan paru-paru pada keluarga disangkal oleh pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS LOKALIS

Telinga
Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Normotia, Mikrotia (-), Normotia, Mikrotia (-), makrotia
makrotia (-), anotia (-), atresia (-), anotia (-), atresia (-), fistula (-),
(-), fistula (-), bats ear (-), lops bats ear (-), lops ear (-), cryptotia
ear (-), cryptotia (-), satyr ear (-) (-), satyr ear (-)
Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-), hiperemis (-),
(-), hipertermi (-), functio laesa hipertermi (-), functio laesa (-),
(-), edema (-) edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-), hematoma
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), abses (-), laserasi (-), abses (-), sikatriks
(-), sikatriks (-), massa (-), (-), massa (-), hiperemis (-), nyeri
hiperemis (-), nyeri (-), (-), hipertermi (-), edema (-)
hipertermi (-), edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), hipertermi (-), Massa (-), hiperemis (-), odem (-),
massa (-), nyeri (-), edema (-), nyeri (-), abses (-)
abses (-),

48
Liang telinga Lapang, edema (-), stenosis (-), Lapang, edema (-), stenosis (-),
atresia (-), furunkel (-), jar. atresia (-), furunkel (-), jar.
granulasi (-), hiperemis (-), granulasi (-), hiperemis (-),
serumen (+), sekret (-), laserasi serumen (+), sekret (-), laserasi
(-), hifa (-), perdarahan aktif (-), (-), massa (-), hifa (-), perdarahan
clotting (-) aktif (-), clotting (-)

Membran Timpani Utuh, reflex cahaya (+), bulging Utuh, refleks cahaya (+), bulging
(-), perforasi (-), sekret (-), (-), perforasi (-) , sekret (-),
retraksi (-) retraksi (-)

Tes Penala
Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Tidak ada lateralisasi
Schwabach Sesuai pemeriksa Sesuai pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz

Hidung
Dextra Sinistra
Bentuk Normal. Saddle nose (-), Normal. Saddle nose (-),
hump nose (-), agenesis (-), hump nose (-), agenesis (-),
hidung bifida (-), atresia hidung bifida (-), atresia
nares anterior (-), tidak ada nares anterior (-), tidak ada
deformitas. deformitas.
Tanda peradangan Hiperemis (-), hipertermi (-), Hiperemis (-), hipertermi (-),
nyeri (-), massa (-), functio nyeri (-), massa (-), functio
laesa (-) laesa (-)
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk Nyeri tekan (-), nyeri ketuk
maxillaris (-), krepitasi (-) (-), krepitasi (-)

49
Vestibulum Tampak bulu hidung, Tampak bulu hidung, laserasi
laserasi (-), sekret (-), (-), sekret (-), furunkel (-),
furunkel (-), krusta (-), krusta (-), hiperemis (-),
hiperemis (-), hipertermi (-), hipertermi (-), nyeri (-),
nyeri (-), massa (-) massa (-)
Cavum Nasi Lapang, sekret (-), massa (- Sempit, sekret (-), massa (-
), krusta (-), benda asing (-) ), krusta (-), benda asing (-)
hiperemis (-) hiperemis (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis (-), Hipertrofi (-), hiperemis (+),
livide (-), edema (-) livide (-), edema (-)
Meatus nasi inferior sekret (-), massa (-), edema sekret (-), massa (-), edema (-
(-) )
Konka Medius Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (-), hiperemis (-), livide (-),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)
Meatus nasi medius sekret (-), massa (-), edema sekret (-), massa (-), edema
(-) (-)
Septum nasi Deviasi (+) ke arah kanan, Deviasi (-), spina (-),
spina (-), hematoma (-), hematoma (-), abses (-),
abses (-), perforasi (-) perforasi (-)

Rhinopharynx
Koana : Sulit dinilai
Septum nasi posterior : Sulit dinilai
Muara tuba eustachius: Sulit dinilai
Tuba eustachius : Sulit dinilai
Torus tubarius : Sulit dinilai
Post nasal drip : Tidak ada (-)

50
Pemeriksaan Transluminasi
Sinus Frontal kanan, Kiri : tidak dilakukan
Sinus Maxilla kanan, Kiri : tidak dilakukan

Tenggorokan
Faring
Dinding faring posterior : Hiperemis (-), granula (+), ulkus (-), perdarahan aktif (-),
clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-),
laserasi (-)
Tonsil : T3-T3, hiperemis (-), kripta melebar (+), detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : Di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-), memanjang
(-), edema (-).
Gigi : caries (-).

Laring

Epiglottis : Sulit dinilai

Plica aryepiglotis : Sulit dinilai

Arytenoids : Sulit dinilai

Ventricular band : Sulit dinilai

Pita suara : Sulit dinilai

Rima glotis : Sulit dinilai

Cincin trachea : Sulit dinilai

Sinus Piriformis : Sulit dinilai

Kelenjar limfe submandibula dan servical : tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan palpasi.

51
Epworth sleepiness scale

Chance of
Situation
dozing

Sitting and reading 2

Watching TV 1

Sitting inactive in a public place (e.g a


theater or a meeting) 2

As a passenger in a car for an hour without a


break 2

Lying down to rest in the afternoon when


circumstances permit 2

Sitting and talking to someone 1

Sitting quietly after a lunch without alcohol 1

In a car, while stopped for a few minutes in


traffic 0

TOTAL = 11

RESUME

Anamnesis

Seorang laki-laki berusia 24 tahun datang dengan keluhan tidur mendengkur sejak kecil
dan mengganggu orang sekitar pasien. OS mengatakan pernah merasa ada yang mengganjal
sehingga sering mendehem. Berdasarkan keterangan, ia tidak pernah mengkonsumsi minuman
beralkohol dan merokok. OS juga mengatakan bahwa dirinya sering mengantuk dan pernah

52
mengalami nyeri tenggorokan dan sedikit nyeri menelan, namun keluhan itu jarang sekali
dirasakan. OS pernah memiliki asma pada usia 1 tahun. OS juga mengatakan bahwa dirinya dulu
sering demam dan sakit pada tenggorokannya. OS gemar memakan gorengan, es dan coklat dari
usia dini. Pasien tidak memiliki keluhan pada telinga atau pendengarannya. Pasien tidak
merasakan adanya lendir pada hidung maupun sumbatan pada hidung. Tidak ada keluhan gigi
berlubang pada pasien saat ini. Tidak ada pula riwayat trauma pada hidung pasien.
Pasien baru pertama kali datang ke dokter untuk keluhanya. Pasien belum mengonsumsi
obat apapun sebelum ke RS, dan saat ini pasien tidak sedang mengonsumsi obat-obatan yang
digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Pemeriksaan Fisik

Didapatkan tidak ada nyeri pada pemeriksaan nyeri tekan tragus dan tarik telinga pada
telinga kiri dan kanan. Pada pemeriksaan dengan otoskop telinga kanan dan kiri ditemukan liang
telinga lapang, ada serumen, tidak edema, tidak hiperemis, tidak tampak laserasi. Membran
timpani tampak utuh dimana reflex cahaya positive, lain- lain normal.

Pada pemeriksaan hidung didapatkan, septum deviasi ke arah kanan. Kedua konka
inferior eutrofi dan tidak tampak livid. Tidak ada sekret. Pada pemeriksaan faring didapatkan
dinding faring terdapat granul, tonsil T3 T3, kripta melebar.

DIAGNOSIS KERJA
1. Tonsilitis Kronis
Pemeriksaan fisik
TONSIL :
- Tonsil T3-T3, kripta melebar

2. Faringitis Kronis Hiperplastik


Pemeriksaan fisik

FARING :
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan faring bergranul.

53
3. Septum Deviasi

Dasar yang mendukung :


- Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan septum deviasi ke kanan

4. Obstructive Sleep Apnea


Dasar yang mendukung :

- Didapatkan Epworth sleepiness scale sebesar 11 ( 10).

- Tidur sering mendengkur

- Ayah memiliki kebiasaan tidur dengan mendengkur yang sama

- Memiliki bentuk mandibula retrognathia seperti ayah

RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN


Polisomnografi

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:

Tonsilitis Kronis: Terapi local ditujukan kepada higine mulut dengan berkumur atau obat
hisap.
Faringitis Kronis Hiperplastik : Terapi local dengan melakukan kaustik faring dengan
memakai zat kimia larutan nitras argenti. Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur
atau tablet hisap disamping obat antitusif atau ekspektoran. Penyakit dihidung dan sinus
paranasal harus diobati.

Non-medikamentosa:

Menjaga kebersihan mulut dengan berkumur atau dengan obat hisap


Pemakaian masker agar tidak menularkan penyakit
Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat
Kontrol seminggu kemudian untuk melihat keadaan tonsil, evaluasi apakah ada
indikasi tonsilektomi.

54
Minum obat teratur
Rajin kontrol ke dokter
Tonsilektomi

PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA

1. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular. Jurnal
Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.
2. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep Apnea.
Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.
3. Adams G. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC 1997.
4. Mansjoer, A (ed). Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok, Edisi 3. FK UI Jakarta
2005.

5. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan leher.
Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.

6. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.
7. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
8. Antariksa, Budhi. Patogenesis, Diagnosti dan Patogenesis OSA (Obstructive sleep
Apnea). Dept pulmonologi dan Respirasi. FKUI. Jakarta.
9. Prasenohadi. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. Dept Pulmunologi dan
Respirasi. FKUI. Jakarta.

55
10. Committee Advisory, 2005. Sleep Apnea-Assesment and Management of Obstructive
Sleep Apnea in Adult.
11. Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark A.
Richardson, K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, Cummings Otolaryngology Head
and Neck Surgery 5th Edition, Chapter 18: Sleep Apnea and Sleep Disorders ; 250-261.
12. Anil K Lalwani, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head and Neck
Surgery 2nd Edition, Lange Current Series, 536-542
13. Hormann, Karl. Verse, Thomas. Sleep Disordered Breathing. Surgery for Sleep
Disordered Breathing. 2005; 1-10.
14. Dhingra PL on Diseases of Pharynx and Larynx, ms 525-8, Diseases of Ear, Nose and
Throat 5th Edition.
15. Lalwani AK, Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck 2nd
Edition, The McGraw-Hill Companies 2007.
16. George . LA, Diseases of the Nasopharynx and Oropharinynx, ms 332-9 Boies
Fundamentals of Otolaryngology 6th Edition 1989.
17. Soepardi EA, Buku Ajar Ilmu KesehatanTelinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Edisi ke enam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2008

56

Anda mungkin juga menyukai